Cinta yang Tak Tersentuh
Cinta yang Tak Tersentuh
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Malam itu, langit Jakarta dihiasi oleh bintang-bintang yang jarang terlihat. Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan, namun tak menghalangi langkah Nabila untuk pergi menuju sebuah café kecil di sudut kota. Udara segar setelah hujan membuatnya sedikit lebih tenang, meskipun hatinya terasa berat.
Ini adalah pertemuan yang telah dia nantikan, meskipun dengan perasaan yang campur aduk. Arya—pria yang telah membuat hatinya berdebar selama lebih dari setahun—akan datang. Mereka berdua sudah sering bertemu, tetapi hanya dalam kapasitas profesional. Namun, ada satu hal yang selalu membuat Nabila terjaga sepanjang malam: Arya sudah memiliki pacar, Maya. Dan Nabila tahu, ia bukanlah siapa-siapa di dunia Arya.
Saat pintu café terbuka, Arya masuk dengan senyum khasnya, yang selalu membuat dunia di sekitar Nabila terasa lebih cerah. Pakaian kasual yang dikenakannya tampak sempurna di tubuh tinggi tegapnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada wajah Arya malam itu. Ada kerut di dahinya, seolah beban di pundaknya terasa semakin berat.
"Nabila," Arya menyapa dengan suara hangat, meskipun ada sedikit keheningan di antara mereka. "Maaf aku terlambat."
"Tak apa," jawab Nabila sambil tersenyum. Namun, senyuman itu terasa begitu kaku di wajahnya.
Mereka duduk di meja yang sama, berbincang tentang pekerjaan dan hal-hal ringan, tapi setiap kali Nabila menatap Arya, perasaan itu kembali datang—rindu yang tak bisa ia ungkapkan, rasa yang tak bisa ia kendalikan. Dan dalam setiap tawa Arya, dia hanya bisa bertanya-tanya, apakah dia akan selalu menjadi bagian dari cerita yang tak pernah bisa dia miliki.
Bab 2: Takdir yang Menjadi Kenyataan
Hari-hari berlalu, dan perasaan Nabila semakin sulit ditahan. Cinta yang tak pernah bisa dia ungkapkan, yang hanya ada dalam diam, mulai meresap dalam setiap tindakannya. Dia tahu, Arya adalah milik orang lain, namun perasaan itu tetap ada. Setiap kali bertemu, meski hanya sebentar, Nabila merasa seolah dunia berhenti berputar.
Suatu malam, saat mereka duduk di sebuah restoran yang tenang, Arya kembali mengungkapkan sesuatu yang tak pernah ia duga.
"Nabila, ada yang ingin aku katakan," Arya berkata pelan, menatapnya dengan serius. "Aku dan Maya... kami sedang berpikir untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius."
Jantung Nabila berhenti berdetak sejenak. Kata-kata itu seperti petir yang menghantam hatinya. Dia sudah tahu, tapi mendengarnya langsung dari mulut Arya membuat segalanya terasa lebih nyata.
"Tentu saja," jawab Nabila dengan suara yang berusaha tetap tenang. "Kalian memang cocok. Aku senang untuk kalian."
Namun di dalam hati, ada rasa sakit yang tak bisa dia sembunyikan. Mengikhlaskan orang yang kita cintai untuk bersama orang lain adalah hal yang paling sulit dilakukan, dan Nabila baru menyadari betapa beratnya itu.
Arya menatapnya dengan penuh penyesalan. "Aku tidak ingin menyakitimu, Nabila. Kau berarti banyak bagiku, lebih dari sekadar teman kerja, tapi aku sudah berkomitmen dengan Maya."
Nabila hanya tersenyum, meskipun air mata hampir tumpah. "Aku tahu," katanya perlahan, "Aku hanya ingin kau bahagia, Arya."
Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang tak bisa dibendung. Dia tahu, dia tidak akan pernah bisa memiliki Arya. Dan dia harus belajar menerima kenyataan itu.
Bab 3: Cinta yang Ikhlas
Sejak malam itu, Nabila merasa ada jarak yang lebih besar di antara mereka. Arya semakin sibuk dengan persiapannya untuk menikah, sementara Nabila merasa dirinya semakin terasing. Setiap kali bertemu, dia berusaha menutupi perasaannya, menyembunyikan rasa sakit yang semakin menggerogoti hati.
Suatu sore, Nabila berdiri di tepi jendela apartemennya, memandangi hujan yang turun deras di luar. Di bawah langit yang mendung, dia merasakan kesendirian yang mendalam. Tetapi dalam kesendirian itu, dia juga merasakan kedamaian.
Terkadang, mencintai bukan tentang memiliki, tetapi tentang memberi tanpa berharap kembali. Nabila mulai mengerti bahwa mencintai Arya, meskipun ia tahu perasaan itu takkan pernah terbalas, adalah sebuah cara untuk memberi sesuatu yang tulus—tanpa menginginkan balasan.
Dia tak bisa memaksakan dirinya dalam hidup Arya, dan itu adalah kenyataan yang harus dia terima. Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa mencintai dengan ikhlas adalah bentuk cinta yang paling murni. Cinta yang memberi tanpa menuntut, yang melepaskan dengan hati yang tenang.
Bab 4: Mencintai dari Jauh
Beberapa bulan kemudian, ketika Arya dan Maya akhirnya menikah, Nabila hadir di pernikahan mereka. Di antara tamu yang hadir, dia hanya bisa tersenyum tulus, meskipun ada perasaan yang tetap mengganjal di dalam dada.
Di hari itu, Nabila menyadari bahwa hidupnya tidak berakhir hanya karena cinta yang tidak terbalas. Ia masih memiliki banyak hal yang bisa dicintai: keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan dirinya sendiri. Arya adalah bagian dari kisah hidupnya, namun dia tidak boleh menjadi pusat dari segala sesuatu.
Saat matahari mulai terbenam, Nabila berdiri di balkon hotel, memandangi langit yang perlahan berubah oranye. Di dalam hatinya, dia merasakan kedamaian yang datang dari menerima kenyataan, dan dari melepaskan apa yang tak pernah bisa dia miliki.
"Cinta memang bisa datang dalam berbagai bentuk," gumamnya pada diri sendiri, "dan kadang, yang terbaik adalah mencintai dari jauh."
Epilog: Cinta yang Tersisa
Waktu berlalu begitu cepat, seperti hujan yang turun dan akhirnya menguap menjadi uap, meninggalkan keheningan yang mengalir pelan. Nabila kini sudah jauh lebih dewasa. Hidupnya berjalan tanpa mengharapkan apa pun lagi dari cinta yang pernah ia pendam. Cinta yang tak pernah ia ungkapkan, yang hanya tersisa sebagai kenangan manis sekaligus pahit.
Setahun setelah pernikahan Arya dan Maya, Nabila kembali ke kota yang dulu pernah ia tinggalkan karena rasa sakit yang tak terucapkan. Kini, dia merasa lebih kuat, meski bayang-bayang masa lalu terkadang masih datang mengunjungi pikirannya.
Di sebuah café kecil yang dulu sering mereka kunjungi, Nabila duduk sendiri, memandangi secangkir kopi hitam yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang kembali ke masa-masa itu, ke saat-saat yang penuh tawa bersama Arya, meskipun dia tahu itu bukan untuk selamanya.
Ponsel di meja bergetar, dan Nabila meraih dengan cepat. Sebuah pesan singkat muncul di layar:
"Nabila, aku ingin berterima kasih. Kamu mengajarkanku banyak hal, termasuk tentang arti melepaskan. Aku harap kamu bahagia."
Pesan itu dari Arya. Nabila tersenyum tipis. Meski tak ada lagi harapan, meski perasaan itu sudah lama ia pendam, kata-kata sederhana itu mengingatkannya akan perjalanan yang telah ia lalui.
Terkadang, cinta yang terpendam tak harus berakhir dengan keinginan untuk memiliki. Cinta yang sejati adalah tentang memberi, bahkan jika itu harus disertai dengan keikhlasan untuk melepaskan.
Nabila meminum kopinya, menatap keluar jendela, dan melihat dunia yang terus berjalan, meski kadang membawa luka. Namun, kini ia tahu, luka itu adalah bagian dari proses penyembuhan.
Cinta yang pernah ada di hatinya untuk Arya kini tak lagi terasa sakit, melainkan sebagai kenangan yang indah, yang dia simpan dalam ruang hati yang telah ia bersihkan.
Dia tahu, hidup masih panjang. Ada banyak cerita yang menantinya, dan dia tidak lagi takut untuk mencintai, meski kali ini, dia tahu, cinta itu akan datang dengan cara yang berbeda. Tanpa harus mengikat, tanpa harus memiliki.
Karena cinta, pada akhirnya, bukanlah tentang siapa yang kita miliki. Tetapi tentang siapa kita menjadi, dan bagaimana kita mengizinkan diri kita untuk tumbuh dari apa yang telah kita lewati.
Dan Nabila sudah siap untuk itu.
NB : Cinta yang tak terbalas memang sering kali menyisakan banyak perasaan campur aduk, tetapi juga bisa mengajarkan banyak hal tentang pengikhlasan dan kedewasaan.
Komentar
Posting Komentar