Persugihan: Tumbal yang Tak Terbayar
Persugihan: Tumbal yang Tak Terbayar Bab 1 – Bisikan di Sawah Malam Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari sawah yang baru dipanen. Di desa Karangjati, orang-orang sudah terbiasa dengan cerita-cerita gaib: suara gamelan tanpa wujud, kuntilanak yang menunggu di pohon randu, dan tentu saja—persugihan. Bima, pemuda dua puluh tahun yang hidup sederhana, berjalan pulang dengan langkah berat. Ayahnya sakit keras, adiknya butuh biaya sekolah, sementara hasil panen mereka tak pernah cukup. “Kalau saja ada jalan cepat…,” gumamnya. Seakan menjawab gumamannya, dari tengah sawah terdengar suara lirih, berat, dan bergetar: “Ada jalan cepat… asal kau berani…” Bima terhenti. Dadanya bergemuruh. Ia menoleh ke arah suara itu—tak ada siapa-siapa. Hanya bulan pucat yang menggantung di langit dan siluet pohon pisang yang bergoyang pelan. Tapi suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah berbisik tepat di telinganya: “Datanglah ke tepi sungai tengah malam… ...