LEVEL UP LOVE

 LEVEL UP LOVE


Bab 1 – Pertemuan di Dunia Virtual

Di balik layar monitor yang dingin, Raka (24), seorang mahasiswa sekaligus streamer game semi-profesional, tengah fokus dengan pertandingan ranking di game "Eternal Battle Online". Tangannya lincah menekan keyboard, sesekali terdengar teriakan kecil ketika ia berhasil menumbangkan lawan.

Namun, malam itu berbeda. Saat ia mencari tim untuk push rank, notifikasi muncul:
[Player ‘Lynxie’ ingin bergabung dengan party kamu].

Raka mengernyit. Nama itu asing, tapi avatar mage yang dipakai Lynxie terlihat keren—penuh aura misterius.

"Yaudah, coba invite," gumamnya.

Mereka masuk voice chat. Suara lembut seorang perempuan terdengar, agak malu-malu.
"Eh… halo. Aku Lynxie. Makasih ya udah invite."

Raka sempat terdiam. Jarang sekali ia main dengan player cewek, apalagi suaranya terdengar… menenangkan.
"Oke, siap. Let’s go, rank up!" jawabnya sambil berusaha tetap tenang.

Malam itu mereka main hampir empat jam tanpa terasa. Kombo mereka di dalam game sangat padu—mage dan assassin. Setelah match terakhir, keduanya tertawa bersama, seolah sudah lama kenal.

Sebelum log out, Lynxie berkata,
"Raka… ehm, besok kamu on lagi nggak? Seru banget main bareng kamu."

Hati Raka berdegup lebih cepat. Dunia game yang biasanya terasa sunyi, mendadak penuh warna.

Bab 2 – Rahasia di Balik Nickname

Keesokan harinya, Raka duduk di depan komputernya dengan semangat yang berbeda. Biasanya, ia main hanya untuk konten dan push rank, tapi malam ini ada yang ia tunggu: suara itu—suara lembut yang menemaninya semalam.

Jam menunjukkan pukul 8 malam, dan notifikasi akhirnya muncul.
[Lynxie is online]

"Yeay, akhirnya!" Raka langsung mengirim invite.

Tak lama, suara familiar itu terdengar lagi.
"Halo, Raka. Hehe, kamu nungguin aku ya?"

Raka terkekeh kecil, meski wajahnya sedikit memerah.
"Ya nggak juga… tapi kebetulan aja aku lagi online."

Mereka mulai bermain. Semakin lama, Raka sadar bahwa Lynxie bukan sekadar player jago, tapi juga pintar mengatur strategi. Mereka sering bercanda di sela-sela pertandingan, kadang bahkan saling mengejek dengan cara yang hangat.

Namun ada satu hal yang membuat Raka penasaran. Setiap kali ia mengajak Lynxie untuk sekadar ngobrol di luar game, misalnya bertukar Instagram atau Discord, Lynxie selalu mengelak.

"Aduh… aku jarang buka sosmed. Mending di sini aja deh," kata Lynxie cepat-cepat.

Malam itu, setelah berhasil memenangkan 10 match berturut-turut, Raka memberanikan diri.
"Lynxie… eh, boleh aku tahu nama asli kamu? Kan kita udah sering main bareng."

Ada hening beberapa detik. Suara Lynxie terdengar ragu, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.
"Aku… hmm… panggil aja aku Lya. Nama lengkapnya nanti aja deh, kalau kita udah ketemu langsung."

Raka terdiam. Ada rasa senang karena ia mendapat sedikit kepingan identitas Lynxie, tapi juga muncul rasa penasaran besar. Siapa sebenarnya Lya? Kenapa ia begitu tertutup?

Sebelum log out, Raka hanya sempat mendengar suara Lya yang lirih namun penuh makna:
"Raka… kalau suatu saat kamu tahu siapa aku sebenarnya, jangan benci aku ya…"

Dan layar pun gelap.

Raka duduk terdiam. Malam itu, untuk pertama kalinya ia merasa bahwa game yang ia mainkan bukan hanya sekadar hiburan—tapi awal dari sesuatu yang lebih rumit dan berbahaya.

Bab 3 – Player dengan Dua Dunia

Sejak percakapan terakhir itu, kata-kata Lya terus terngiang di kepala Raka. “Kalau suatu saat kamu tahu siapa aku sebenarnya, jangan benci aku ya…”

Raka jadi semakin penasaran. Siapa sebenarnya perempuan di balik nickname Lynxie itu?

Malam berikutnya mereka kembali bermain bersama. Kali ini, suasana sedikit berbeda. Lya terdengar lebih pendiam dari biasanya, meski tetap jago mengatur strategi.

Di sela-sela permainan, Raka mencoba membuka obrolan.
"Lya… kamu tinggal di kota mana, sih? Siapa tahu… kita nggak terlalu jauh."

Ada jeda hening beberapa detik sebelum Lya menjawab pelan,
"Aku… di Jakarta. Kamu?"

Raka langsung menegakkan badan. "Serius? Aku juga di Jakarta! Wah, kebetulan banget!"

Namun, bukannya terdengar gembira, suara Lya justru terdengar cemas.
"Raka… jangan coba-coba cari aku, ya."

Ucapan itu membuat Raka terdiam. Ada rasa tidak enak yang menyelinap, seakan Lya sedang menyembunyikan sesuatu yang besar.

Setelah match terakhir, Lya buru-buru log out tanpa berpamitan. Raka hanya menatap layar monitor dengan bingung.


Keesokan harinya, saat sedang scrolling forum komunitas game Eternal Battle Online, Raka menemukan sesuatu yang mengejutkan. Ada sebuah thread berjudul:

“Top Player Mage Ternyata Cewek Cantik? Ada yang kenal ‘Lynxie’?”

Raka membuka thread itu, dan matanya langsung terpaku. Ada foto seorang gadis muda berambut panjang, mengenakan seragam SMA, sedang menghadiri turnamen offline. Di bawah foto itu tertulis:
“Ini dia Lynxie, salah satu pemain mage terbaik di server! Ternyata masih siswi SMA elite di Jakarta.”

Jantung Raka berdegup kencang.
“SMA? Jangan bilang… Lya itu masih… 17 tahun?”

Ia langsung menutup laptopnya, bingung dan resah. Selama ini ia mengira Lya sebaya dengannya—atau setidaknya kuliah. Tapi kenyataannya jauh berbeda.

Di satu sisi, Raka merasa bodoh karena sudah mulai jatuh hati. Di sisi lain, ia tak bisa memungkiri bahwa setiap bersama Lya, dunianya terasa lebih hidup.

Namun satu hal pasti: hubungan mereka bukan lagi sekadar permainan.

Bab 4 – Antara Log Out dan Stay Online

Sejak malam itu, Raka tidak bisa tidur nyenyak. Fakta bahwa Lya ternyata masih SMA membuat pikirannya kalut. “Astaga… aku 24, dia masih 17. Ini gila. Aku nggak boleh keterusan.”

Namun ketika notifikasi game muncul—[Lynxie is online]—jari-jarinya otomatis bergerak untuk login. Ia menahan diri sejenak, tapi akhirnya tetap masuk.

Suara lembut itu kembali terdengar.
"Halo, Raka… maaf kemarin aku buru-buru off. Kamu nggak marah, kan?"

Raka menarik napas dalam.
"Nggak, kok. Cuma… aku lihat foto kamu di forum. Kamu masih SMA ya, Lya?"

Hening. Suasana di voice chat terasa berat.
Lya akhirnya bicara pelan.
"Iya… aku nggak bermaksud bohong. Aku cuma takut kalau kamu tahu, kamu bakal menjauh."

Raka memejamkan mata.
"Lya… kamu sadar kan, dunia kita beda? Aku udah kuliah, sebentar lagi lulus. Sedangkan kamu…"

Sebelum ia melanjutkan, suara Lya terdengar bergetar.
"Raka, aku main game ini bukan cuma buat hiburan. Aku… aku kesepian. Di sekolah aku selalu dibandingkan sama kakakku, di rumah aku nggak pernah didengar. Di sini… cuma di game ini aku bisa jadi diriku sendiri. Dan kamu… kamu orang pertama yang bikin aku ngerasa dihargai."

Kata-kata itu menusuk hati Raka. Ia bisa merasakan kesedihan di balik tawa Lya selama ini.

"Aku tahu kita beda dunia," lanjut Lya, "tapi… aku cuma minta satu hal. Jangan tinggalkan aku di game ini. Setidaknya biarkan aku punya satu tempat di mana aku nggak sendirian."

Raka terdiam lama. Ia tahu perasaannya sendiri sudah mulai goyah. Ia ingin melindungi Lya, tapi juga takut terjebak lebih dalam.

Akhirnya ia menjawab pelan,
"Oke… aku tetap main bareng kamu. Tapi janji, kita tetap di game. Jangan campur sama dunia nyata dulu, ya."

Lya terdengar tersenyum lega.
"Janji. Makasih, Raka."

Namun, jauh di lubuk hatinya, Raka tahu… semakin lama ia bersama Lya, semakin sulit untuk hanya menganggapnya sebagai teman game.

Bab 5 – Turnamen yang Membawa Risiko

Hari-hari berikutnya, Raka dan Lya semakin sering bermain bersama. Meski mereka sepakat untuk tetap menjadikan hubungan ini sebatas “teman game”, tapi dalam hati Raka tahu: ia semakin sulit menjaga batas itu.

Suatu malam, Lya terdengar bersemangat di voice chat.
"Raka! Kamu tau nggak? Minggu depan bakal ada Eternal Battle Offline Tournament di Jakarta. Hadiahnya gede banget! Aku pengen ikut…"

Raka terhenyak.
"Turnamen offline?"

"Iya," jawab Lya ceria. "Aku udah daftar sama tim sekolah. Kalau lolos babak awal, aku bakal main di mall besar. Kamu harus nonton ya!"

Raka langsung gelisah.
"Lya… bukannya kita sepakat nggak campurin dunia nyata?"

Lya terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar lirih.
"Aku tahu… tapi ini penting buat aku. Aku pengen buktiin kalau aku bukan cuma ‘bayangan’ kakakku. Kalau aku bisa juara, mungkin… orangtuaku bakal berhenti ngeremehin aku."

Hati Raka mencelos. Ia bisa merasakan betapa besar tekanan yang ditanggung Lya.


Beberapa hari kemudian, timeline media sosial komunitas gamer penuh dengan poster turnamen itu. Raka yang awalnya berniat menjauh, justru makin penasaran. “Gimana kalau aku datang? Tapi… kalau ketahuan, apa aku siap dengan kenyataan?”

Saat hari turnamen tiba, Raka akhirnya memutuskan untuk pergi diam-diam. Ia berdiri di antara kerumunan penonton, menatap panggung dengan jantung berdebar.

Di sana, untuk pertama kalinya ia melihat Lya secara langsung.
Gadis dengan rambut hitam panjang, mengenakan seragam tim sekolah, memegang mouse dan keyboard dengan penuh percaya diri. Senyumnya berbeda—lebih hidup daripada suara lembut yang biasa ia dengar di voice chat.

Namun di sisi lain, Raka sadar… banyak mata yang tertuju pada Lya. Ada kamera, ada sorak-sorai penonton, bahkan ada beberapa cowok seumuran Lya yang terang-terangan mendukungnya.

Perasaan aneh mulai tumbuh dalam hati Raka: campuran bangga, khawatir, sekaligus… cemburu.

Dan saat mata Lya tanpa sengaja bertemu dengan Raka di kerumunan, ekspresinya membeku.


“Dia datang…?”

Pertandingan baru saja dimulai, tapi drama antara “dunia game” dan “dunia nyata” sudah tidak bisa dihindari.

Bab 6 – Rival di Arena, Rival di Hati

Sorak-sorai penonton menggema di atrium mall. Lya duduk di kursi gamer, headset terpasang, matanya fokus pada layar. Sementara itu, Raka berdiri di antara kerumunan, menahan campuran rasa gugup dan bangga.

Lya masuk ke pertandingan semifinal bersama tim sekolahnya. Lawan mereka adalah tim favorit juara, dipimpin oleh seorang player cowok dengan nickname “Raven”.

Begitu pertandingan dimulai, Raka segera menyadari sesuatu: Raven tidak hanya lihai bermain, tapi juga punya chemistry yang aneh dengan Lya. Setiap kali Lya membuat gerakan brilian, Raven akan melemparkan senyum percaya diri, seolah ingin menguji sekaligus menggodanya.

Raka mengepalkan tangan. “Cowok itu… siapa, sih?”


Pertandingan berjalan ketat. Lya memainkan mage-nya dengan luar biasa, tetapi tim lawan selalu bisa membaca gerakannya. Di tengah tensi yang menegangkan, terdengar teriakan dari Raven:

"Bagus, Lya! Tapi kamu nggak akan bisa kalahin aku kali ini!"

Sorak-sorai penonton pecah. Raka semakin panas mendengar nama asli Lya disebut di depan umum. “Jadi mereka memang kenal?”

Di sela-sela strategi, Lya sempat melirik ke arah penonton. Matanya kembali bertemu dengan Raka. Sesaat, fokusnya buyar—dan itu dimanfaatkan Raven untuk melakukan serangan balik. Tim Lya kalah di semifinal.


Setelah pertandingan usai, Raven menghampiri Lya di panggung. Dengan santai ia menepuk bahunya.
"Kamu makin jago, Lya. Nanti kalau ada waktu, kita latihan bareng lagi, ya?"

Lya hanya tersenyum tipis, tampak tidak nyaman. Tapi bagi Raka yang melihat dari jauh, momen itu seperti pukulan telak.

“Latihan bareng lagi? Jadi mereka sudah sering ketemu sebelumnya? Kenapa dia nggak pernah cerita?”


Ketika acara selesai, Lya keluar lewat pintu belakang. Tanpa sadar, langkah Raka mengikutinya.

"Lya!" panggilnya lirih.

Gadis itu terkejut, menoleh, lalu wajahnya pucat.
"Raka… kamu… datang?"

Raka menatapnya dengan campuran marah dan bingung.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita soal Raven? Dan… kenapa dia bisa seenaknya manggil nama kamu kayak gitu?"

Lya terdiam. Jemarinya meremas tali tas ranselnya erat-erat.
"Raven itu… kakak kelasku. Dulu dia yang ngajarin aku main game. Aku… nggak pernah cerita karena… aku takut kamu salah paham."

Raka tertawa hambar, menahan perasaan yang campur aduk.
"Salah paham? Lya, aku bahkan nggak ngerti posisi aku di hidup kamu ini apa…"


Suasana hening. Hanya suara langkah orang lewat yang terdengar.

Dan untuk pertama kalinya, Lya menatap Raka dalam-dalam.
"Raka… kamu lebih dari sekadar teman game buat aku. Tapi… kalau aku bilang itu, apa kamu masih mau tetap di sisiku?"

Hati Raka berdentum keras. Ia tahu, jika ia menjawab iya, semuanya akan jadi jauh lebih rumit. Tapi kalau ia mundur sekarang, ia mungkin akan kehilangan Lya selamanya.

Bab 7 – Pilihan yang Tidak Mudah

Udara malam di parkiran mall terasa dingin. Raka berdiri kaku di depan Lya, otaknya dipenuhi ribuan pikiran yang saling bertabrakan.

Kata-kata Lya barusan menggantung di udara:
"Kamu lebih dari sekadar teman game buat aku."

Raka menarik napas panjang.
"Lya… kamu sadar nggak apa yang kamu bilang barusan?"

Lya menunduk, wajahnya memerah, tapi suaranya mantap.
"Aku sadar. Aku tahu kamu lebih tua. Aku tahu banyak orang bakal anggap ini salah. Tapi… Raka, aku nggak peduli. Aku cuma… nggak mau kehilangan kamu."

Hati Raka bergetar hebat. Ia ingin sekali memeluk gadis itu, tapi ia juga tahu—jika ia melangkah lebih jauh, batas tipis di antara mereka akan runtuh.


Beberapa detik terasa seperti selamanya, sebelum akhirnya Raka berucap pelan:
"Lya… aku juga sayang sama kamu. Tapi kita harus realistis. Kamu masih punya jalan panjang di depan. Aku nggak mau jadi orang yang bikin kamu salah langkah."

Lya menggigit bibir, menahan air mata.
"Kenapa semua orang selalu ngatur jalan hidup aku? Ayah, Ibu, kakakku… sekarang kamu juga. Kenapa nggak ada yang mau biarin aku milih sendiri?"

Kalimat itu menghantam Raka tepat di dadanya. Ia sadar, Lya bukan hanya mencari cinta—tapi juga kebebasan.


Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Raven muncul dari arah belakang.
"Lya, aku udah bilang kan, hati-hati sama cowok asing dari game. Kamu nggak tahu dia sebenarnya siapa."

Raka langsung menegang.
"Apa maksud kamu?"

Raven menatap Raka dengan tajam.
"Maksudku, dia cuma player random yang kamu temuin online. Sedangkan aku… aku kenal Lya di dunia nyata, aku tahu keluarganya, aku tahu beban yang dia tanggung. Jadi kalau ada yang lebih pantas jagain dia, jelas itu aku."

Wajah Lya pucat.
"Raven, jangan—"

Tapi Raka lebih dulu melangkah maju, suaranya rendah tapi tegas.
"Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, jangan perlakukan Lya kayak barang yang harus dimiliki."


Hening sejenak. Lya berdiri di antara dua dunia—Raka dengan ketulusan dan jarak aman yang ia ciptakan, Raven dengan kedekatan nyata yang penuh tekanan.

Dan untuk pertama kalinya, Lya sadar: cepat atau lambat, ia harus memilih jalannya sendiri.

Bab 8 – Menjaga Jarak, Menghancurkan Hati

Sejak insiden di parkiran mall itu, suasana antara Raka dan Lya berubah. Mereka masih sering bermain bersama, tapi ada jarak tipis yang mulai terasa. Raka sengaja menahan diri: lebih jarang membuka obrolan personal, lebih fokus pada strategi game.

Namun, Lya bukan gadis bodoh. Ia bisa merasakan perubahan itu.
"Raka…" suaranya lirih di voice chat. "Kamu lagi ngejauh, ya?"

Raka terdiam. Jemarinya berhenti menekan keyboard.
"Bukan gitu, Lya. Aku cuma… nggak mau bikin kamu tambah bingung. Aku takut kalau kita makin dekat, dunia kamu makin berantakan."

Lya menghela napas panjang.
"Aku nggak peduli dunia aku berantakan, Raka. Yang aku takutin cuma satu: kamu ninggalin aku."

Kalimat itu membuat hati Raka serasa diremas. Ia ingin bilang bahwa ia akan selalu ada, tapi di kepalanya, suara logika terus berbisik: “Dia masih SMA. Kamu harus jaga batas.”


Di sisi lain, Raven semakin gencar mendekati Lya. Ia mulai sering menjemput Lya sepulang sekolah, bahkan beberapa kali memposting foto berdua di media sosial. Komunitas game pun mulai heboh:
“Lynxie ternyata deket sama Raven!”

Raka membaca semua itu dengan dada sesak. Ia tahu Lya tidak pernah mengunggah apapun sendiri, tapi tetap saja—setiap foto Raven dengan Lya terasa seperti tusukan yang dalam.

Malam itu, setelah match panjang yang penuh keheningan, Raka akhirnya bicara.
"Lya… mungkin mulai sekarang, kamu lebih baik main sama Raven aja. Dia ada di dunia nyata kamu. Dia bisa jagain kamu secara langsung."

Ada jeda panjang. Lya tidak menjawab. Tapi suara isaknya pelan terdengar di headset Raka.
"Kalau gitu… aku logout dulu."

Dan koneksi terputus.


Raka menatap layar gelap, perasaan hampa menghantam keras. Untuk pertama kalinya sejak bertemu Lya, ia merasa benar-benar sendirian di dunia game itu.

Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu: meski mencoba menjauh, ia tidak bisa benar-benar menghapus perasaan itu.

Bab 9 – Hadir di Dunia Nyata

Beberapa hari setelah insiden logout itu, Lya tidak muncul lagi di game. Raka yang setiap malam menunggu, hanya melihat notifikasi offline-nya. Hatinya gelisah.

Tiba-tiba, suatu sore, ada ketukan di pintu apartemennya. Raka membuka, dan di depan pintu berdiri Lya—mata merah, rambut sedikit acak-acakan, tapi tetap cantik.

"Raka… aku… aku nggak bisa lagi cuma main game. Aku butuh kamu di dunia nyata juga," katanya terbata-bata.

Raka terdiam. Semua logika yang selama ini menahannya bertabrakan dengan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menarik Lya masuk.

"Kenapa baru sekarang datang?" tanyanya, suara serak.

"Aku nggak peduli dunia nyata orang lain. Aku cuma mau kita jujur sama perasaan sendiri," jawab Lya.


Bab 10 – Konfrontasi dengan Raven

Raka dan Lya bertemu di kafe untuk bicara. Saat itu Raven muncul, wajahnya serius.
"Lya… aku nggak nyangka kamu malah pilih dia," ucap Raven.

Lya menatap Raka, lalu berkata tegas:
"Raven, aku berterima kasih kamu selalu ada. Tapi hatiku… sudah memilih sendiri."

Raka menggenggam tangan Lya.
"Kamu nggak sendiri lagi, Lya. Aku nggak bakal ninggalin kamu."

Raven menghela napas, mengangguk pelan, lalu pergi. Situasi tegang itu membuat Raka sadar: menjaga jarak saja tidak cukup—ia harus berani menghadapi dunia nyata untuk Lya.


Bab 11 – Level Up Bersama

Hari-hari berikutnya, Raka dan Lya mulai terbiasa bertemu di dunia nyata sekaligus tetap bermain game bersama. Mereka tetap menjaga kesepakatan: di dunia game, mereka adalah partner; di dunia nyata, mereka belajar untuk saling memahami.

Raka membantu Lya menghadapi tekanan sekolah dan keluarganya, sementara Lya memberikan semangat dan keceriaan yang selama ini hilang dari hidup Raka.

Mereka juga ikut turnamen offline bersama-sama, kali ini sebagai tim resmi yang solid. Kekompakan mereka di game menjadi simbol kedekatan yang kini juga ada di dunia nyata.


Epilog – Happiness Unlocked

Setahun kemudian, Raka dan Lya duduk bersama di arena game offline terbesar di Jakarta, mengenakan jersey tim mereka, tersenyum saat kamera memotret.

Di tangan Raka ada cincin kecil—bukan untuk pernikahan, tapi simbol janji mereka: selalu level up bersama.

Lya menggenggam tangannya erat.
"Raka… terima kasih sudah nggak ninggalin aku."

Raka tersenyum, menatap mata Lya.
"Kalau sama kamu, Lya… aku siap main di dunia nyata maupun virtual. Kita akan selalu menang bareng."

Di layar monitor, mereka berdua login ke game favorit mereka. Avatar mage dan assassin muncul berdampingan. Musuh-musuh baru menanti, tapi mereka tahu—selama bersama, mereka bisa menghadapi apa pun.

Dan di dunia nyata maupun dunia game, cinta mereka akhirnya unlocked.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh