Di Antara Dua Dunia
Di Antara Dua Dunia
Bab 1 – Pintu di Tengah Malam
Raka tidak pernah menyangka malam itu akan mengubah hidupnya.
Seharusnya ia hanya keluar rumah untuk membeli mie instan di warung dekat gang. Namun, ketika melewati lapangan kosong yang biasanya sepi, ia melihat sesuatu yang aneh: sebuah pintu kayu tua berdiri tegak di tengah tanah, tanpa dinding, tanpa rumah, hanya… pintu.
Angin malam berhembus. Hati Raka berdebar.
“Ah, paling cuma properti orang syuting,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Namun saat ia mendekat, pintu itu bergetar pelan, seperti bernapas. Dan… ada cahaya biru temaram yang merembes dari celah-celahnya.
Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari balik pintu.
“Jika kau bisa mendengar ini… berarti kau dipanggil.”
Raka mundur selangkah.
“Hah?! Siapa itu? Jangan bercanda!”
Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagang pintu itu.
Begitu pintu terbuka, cahaya biru menyilaukan matanya. Ia menutup wajahnya sejenak.
Saat membuka mata kembali, ia tak lagi berdiri di lapangan gang sempit Jakarta.
Melainkan di sebuah padang luas berlangit dua warna—separuh biru siang, separuh ungu senja.
Dan di sana, seorang gadis berambut putih berdiri menunggunya.
“Selamat datang, Penjelajah,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Raka terdiam, tak tahu apakah ia sedang bermimpi… atau baru saja memulai petualangan paling gila dalam hidupnya.
Bab 2 – Gadis Berambut Putih
Raka menatap gadis itu dengan mulut setengah terbuka.
“Pen… penjelajah? Maksudnya siapa?”
Gadis itu melangkah pelan mendekat. Matanya berwarna biru pucat, berkilau seperti kristal.
“Aku Lyra. Aku yang memanggilmu ke dunia ini.”
“W–wait, kamu yang bikin pintu aneh itu?!”
Raka hampir kehilangan akal sehatnya. Baru satu jam lalu ia masih mikirin harga mie instan, sekarang sudah berdiri di dunia yang langitnya dua warna.
Lyra mengangguk ringan.
“Dunia kami retak… hampir runtuh. Hanya orang luar yang bisa menyelamatkannya. Dan kau terpilih.”
Raka mengerutkan dahi.
“Kenapa harus aku? Aku bahkan… bukan siapa-siapa. Cuma mahasiswa yang skripsinya aja belum kelar.”
Lyra menatapnya lama, seolah mencari sesuatu dalam diri Raka.
“Ada alasan. Tapi kau akan mengerti nanti. Sekarang, ikut aku.”
Sebelum Raka bisa protes, Lyra mengangkat tangannya. Dari tanah, muncul jalan bercahaya yang memanjang ke arah hutan jauh di sana. Raka melongo.
“Ini serius banget ya… bukan prank YouTube kan?”
Lyra tidak menjawab, hanya tersenyum samar.
“Langkah pertama akan sulit. Tapi jika kau mundur sekarang, pintu itu akan menutup selamanya. Kau tak akan bisa kembali ke dunia ini lagi.”
Jantung Raka berdetak kencang.
Di satu sisi, ia ingin kabur. Pulang, tidur, bangun besok, dan pura-pura semua ini tidak pernah terjadi.
Tapi… ada sesuatu di tatapan Lyra yang membuatnya tak sanggup menolak.
Tatapan yang seolah berkata: “Aku butuhmu.”
Dengan napas berat, Raka mengangguk.
“Baiklah. Aku ikut.”
Lyra tersenyum—senyum yang entah kenapa membuat dada Raka terasa hangat.
“Kalau begitu, Penjelajah… selamat datang di petualanganmu yang sesungguhnya.”
Bab 3 – Bayangan di Hutan
Raka mengikuti Lyra menyusuri jalan bercahaya itu. Semakin jauh melangkah, suasana sekitar terasa asing. Pohon-pohon menjulang tinggi, daunnya berwarna keperakan, memantulkan cahaya seperti kaca.
Suara jangkrik aneh terdengar, nadanya mirip… musik.
“Ini beneran dunia lain ya…” gumam Raka sambil melirik ke kanan-kiri.
Lyra berjalan tenang di depannya, seolah sudah hafal setiap sudut hutan.
“Tapi hati-hati,” katanya tanpa menoleh, “hutan ini tidak ramah pada orang asing.”
Raka menelan ludah. “Maksudmu… ada semacam binatang buas?”
Belum sempat Lyra menjawab, ranting di sebelah kiri patah. Dari balik semak, muncul bayangan hitam bergerak cepat. Wujudnya samar, seperti kabut yang membentuk tubuh serigala raksasa dengan mata merah menyala.
Raka langsung melompat mundur.
“WHAT THE—?! Itu apaan?!”
Lyra mengangkat tangannya. Cahaya biru mengalir dari telapak tangannya membentuk lingkaran sihir di udara.
“Itu yang kami sebut Shadra. Bayangan yang lahir dari retaknya dunia ini.”
Serigala bayangan itu menggeram keras, lalu melompat menerjang mereka.
Refleks, Raka menutup mata. Ia yakin dirinya bakal jadi santapan pertama.
Namun… suara dentuman terdengar. Saat ia membuka mata, makhluk itu terhempas ke belakang, terbentur batang pohon besar.
Lyra berdiri di depannya, tubuh mungilnya dipenuhi aura cahaya.
“Selama aku bersamamu, kau aman,” katanya tenang.
Jantung Raka berdegup kencang.
Bukan hanya karena hampir mati diterkam monster, tapi juga karena… untuk pertama kalinya, ia merasa seperti tokoh utama di novel yang biasa ia baca diam-diam sebelum tidur.
Masalahnya, ini bukan novel. Ini nyata.
Bab 4 – Pertarungan Pertama
Serigala bayangan itu bangkit lagi. Tubuhnya retak seperti kaca, tapi pecahan hitamnya menyatu kembali, seakan tak bisa benar-benar mati.
Raka melongo.
“Uh, dia respawn gitu?!”
Lyra menghunus tongkat ramping yang entah muncul dari mana. Ujungnya bercahaya biru.
“Shadra tak bisa dibunuh dengan mudah. Mereka akan terus bangkit… kecuali dihantam tepat di inti bayangannya.”
Serigala itu meraung keras, lalu berlari cepat ke arah mereka.
Lyra bersiap melancarkan sihir, tapi Raka tiba-tiba bergerak lebih dulu. Ia meraih batang kayu di tanah dan mengayunkannya asal-asalan.
“WOOY! JAUH-JAUH DARI KAMI!”
Pukulan itu tentu saja mental begitu saja. Serigala bayangan tidak merasakan sakit.
Namun gerakan nekat Raka memberi celah bagi Lyra. Cahaya biru di tongkatnya berkilat, lalu menembakkan semburan cahaya lurus ke dada makhluk itu.
Serigala menjerit. Dari tubuhnya, sebuah bola cahaya merah gelap melayang keluar—intinya.
Lyra berteriak cepat, “Raka! Hantam itu, sekarang!”
Tanpa berpikir, Raka mengayunkan kayu di tangannya lagi, tepat ke arah bola merah itu. Dentuman terdengar. Cahaya merah pecah berkeping-keping, dan tubuh serigala bayangan lenyap jadi debu hitam.
Raka terdiam, napasnya terengah-engah.
“…Aku… aku barusan… ngebunuh monster?”
Lyra menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Tidak. Kau baru saja menyelamatkan kita.”
Raka ingin menyangkal—dia tahu tindakannya lebih mirip gerakan panik ketimbang heroik. Tapi tatapan Lyra terlalu tulus. Dan entah kenapa, dada Raka terasa hangat lagi.
Lyra mengulurkan tangan.
“Mulai sekarang, kita lawan dunia yang retak ini bersama-sama.”
Raka menatap tangan itu. Ada sedikit goyah dalam dirinya—antara takut dan bersemangat. Tapi akhirnya, ia menggenggamnya erat.
Dalam hati ia bergumam:
Kalau ini mimpi… jangan biarkan aku bangun dulu.
Bab 5 – Kota di Bawah Dua Langit
Setelah pertarungan dengan Shadra, Raka dan Lyra melanjutkan perjalanan. Jalan bercahaya akhirnya berakhir di tepi bukit.
Dari atas sana, Raka tertegun melihat pemandangan yang tersaji:
Sebuah kota luas terbentang di bawah mereka. Bangunannya seperti perpaduan Eropa abad pertengahan dan fantasi—atap merah, dinding batu, menara-menara tinggi. Di langit, dua warna masih terbagi jelas: biru cerah di sisi kiri, ungu senja di sisi kanan.
“Gila…” Raka hampir tak bisa menutup mulut.
“Indah banget… kayak wallpaper game RPG.”
Lyra menoleh padanya dengan senyum kecil.
“Itu Kota Arvenis. Tempat di mana semua Penjelajah biasanya memulai.”
“Penjelajah? Maksudnya… ada orang lain kayak aku?”
Lyra tidak langsung menjawab. Tatapannya agak meredup.
“Dulu, ada banyak. Tapi sekarang… hanya kau yang tersisa.”
Ucapan itu membuat bulu kuduk Raka meremang. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi Lyra sudah melangkah menuruni bukit.
Saat mereka memasuki gerbang kota, suasana langsung terasa hidup. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, aroma roti panggang bercampur rempah tercium di udara, dan anak-anak berlari sambil membawa balon berbentuk aneh.
Raka menelan ludah. “Oke… ini beneran bukan mimpi. Ada pasar, ada orang… bahkan ada ayam. Fantasi banget tapi… nyata.”
Seorang pedagang tua menatap Raka dengan heran.
“Orang luar, ya? Sudah lama sekali aku tak melihat wajah baru.”
Lyra segera menunduk hormat, lalu menarik tangan Raka menjauh.
“Jangan terlalu menarik perhatian. Orang-orang masih sulit percaya pada Penjelajah.”
Raka ingin protes, tapi sadar genggaman tangan Lyra erat sekali. Aneh, walau baru kenal, ia merasa nyaman.
Malam harinya, mereka beristirahat di sebuah penginapan kecil. Dari jendela kamar, Raka bisa melihat dua langit yang tetap terbelah bahkan di malam hari—satu dipenuhi bintang, satu lagi berkabut ungu.
“Dunia ini… benar-benar rusak, ya?” bisiknya.
Lyra yang duduk di kursi hanya terdiam, lalu menatapnya dengan mata biru yang tenang.
“Karena itu… aku bersyukur kau ada di sini.”
Raka terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya sekadar orang biasa.
Mungkin… untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar berarti bagi seseorang.
Bab 6 – Bayangan di Balik Tahta
Keesokan paginya, Raka dan Lyra pergi ke alun-alun Kota Arvenis. Orang-orang sudah berkumpul, suasana ramai. Di tengah kerumunan, berdiri sebuah panggung kayu tempat seorang ksatria berbaju zirah perak berpidato.
“Warga Arvenis!” suaranya menggelegar. “Perbatasan timur kembali diterjang Shadra! Desa-desa hancur, dan korban terus bertambah. Kita tak bisa hanya menunggu keajaiban!”
Orang-orang bersorak, sebagian marah, sebagian ketakutan.
Raka melirik Lyra. “Kayaknya serius banget. Jadi… kerajaan ini lagi darurat, gitu?”
Lyra menunduk pelan. “Ya. Retakan dunia semakin besar. Dan Shadra makin kuat.”
Tiba-tiba, ksatria itu mengangkat tangannya menunjuk ke arah Raka.
“Dan hari ini… kita menemukan orang asing yang masuk ke kota! Bukankah kalian tahu siapa mereka? Para Penjelajah!”
Kerumunan mendadak ribut. Bisikan-bisikan terdengar:
“Penjelajah? Masih ada yang tersisa?”
“Tapi bukankah… mereka semua sudah gugur?”
“Kalau dia gagal, kita semua dalam bahaya…”
Raka panik. “Woi, kenapa tiba-tiba aku jadi bahan tontonan?! Aku bahkan baru nyampe semalem!”
Lyra berdiri di sampingnya, menatap ksatria itu dengan tatapan dingin.
“Sir Darius… kau tidak berhak mempermalukannya di depan umum.”
Ksatria yang dipanggil Darius menyeringai. “Kalau dia benar Penjelajah, maka biarkan rakyat melihat sendiri… apakah ia benar-benar bisa melindungi kita.”
Di saat itu juga, sebuah suara raungan terdengar dari arah barat kota. Tanah bergetar, dan asap hitam menjulang tinggi.
Orang-orang berteriak panik. Dari kejauhan, muncul wujud besar merayap ke arah kota—seekor Shadra berbentuk naga kabut, tubuhnya menutupi setengah langit.
Raka terpaku.
“…Oke, ini nggak kayak game tutorial lagi. Ini langsung boss battle.”
Lyra menoleh padanya, matanya serius.
“Raka. Waktunya membuktikan… apakah kau siap menjadi Penjelajah sejati.”
Bab 7 – Naga Bayangan
Langit bergetar ketika Shadra naga itu mendekat. Tubuhnya terbentuk dari kabut hitam pekat, sayapnya membentang seperti awan badai. Setiap kali ia menggeram, kaca jendela bergetar dan tanah retak.
Orang-orang berlarian, berteriak histeris. Kota Arvenis berubah jadi lautan kepanikan.
Raka menelan ludah.
“Lyra… aku bahkan belum sempet latihan tutorial. Gimana caranya lawan boss segede itu?!”
Lyra menatap lurus ke arah naga itu, wajahnya tegang.
“Kita tidak sendirian. Ksatria kota juga akan bertarung. Tapi inti dari Shadra itu… hanya kau yang bisa menghancurkannya.”
Raka menunjuk dirinya sendiri, hampir tercekik udara.
“HAH? Aku?! Serius?! Aku bahkan hampir pingsan lawan serigala kemarin!”
Tiba-tiba, suara lantang terdengar.
“Pasukan, siapkan formasi pertahanan!”
Sir Darius berdiri di depan gerbang kota bersama puluhan prajurit. Tombak dan panah terangkat, cahaya sihir berkumpul di udara.
Naga itu meraung, lalu menembakkan semburan kabut hitam ke arah kota. Bangunan runtuh, orang-orang menjerit. Raka refleks menunduk.
Lyra meraih tangannya. “Raka! Fokus padaku!”
Ia menatap Lyra. Di tengah kekacauan itu, mata birunya tetap jernih, penuh keyakinan.
“Kau punya sesuatu yang mereka tidak punya—kunci dari luar dunia ini. Kalau kau tidak percaya pada dirimu, maka percayalah padaku.”
Jantung Raka berdetak kencang. Ia mengangguk cepat, meski kakinya gemetar.
“Oke… ayo kita coba.”
Prajurit kota melepaskan panah sihir, menghujani tubuh naga. Tapi kabut hitam itu hanya pecah sebentar lalu menyatu lagi.
Lyra berlari ke depan, membentuk lingkaran sihir biru raksasa. “Aku akan membuka celah! Raka, bersiaplah!”
Cahaya biru menembus dada naga, memperlihatkan sebuah bola merah raksasa yang berdenyut—inti bayangan.
Lyra berteriak. “Sekarang, Raka!”
Raka menggenggam kayu yang entah kenapa masih ia bawa. Tapi kali ini, cahaya biru dari lingkaran sihir Lyra mengalir ke dalamnya, mengubah kayu itu menjadi seperti tombak bercahaya.
Dengan teriakan putus asa, Raka melompat ke depan—lebih karena dorongan adrenalin ketimbang teknik. Tombak cahaya itu menusuk tepat ke inti merah.
Ledakan cahaya memenuhi langit. Naga bayangan meraung keras, tubuhnya pecah menjadi ribuan kepingan kabut sebelum akhirnya lenyap.
Semua terdiam. Asap tipis menyelimuti kota.
Raka terjatuh ke tanah, napasnya tersengal.
Orang-orang mulai bersorak.
“Penjelajah! Penjelajah masih ada!”
“Kita diselamatkan!”
Lyra berlari menghampiri Raka, menunduk di sampingnya. Ia tersenyum lembut.
“Kau berhasil…”
Raka tertawa kecil, kelelahan.
“Berhasil katanya… aku hampir mati tiga kali barusan.”
Tapi di balik tawanya, ada sesuatu yang ia rasakan untuk pertama kalinya:
Keyakinan. Bahwa ia memang benar-benar dibutuhkan di dunia ini.
Bab 8 – Pahlawan yang Dipertanyakan
Sorak-sorai memenuhi alun-alun Kota Arvenis. Nama “Penjelajah” kembali bergema setelah sekian lama dianggap punah.
Raka masih terduduk di tanah, tubuhnya lemas. Lyra mendukungnya, membantu agar ia bisa berdiri.
“Tenang. Kau butuh istirahat.”
Namun sebelum sempat bergerak, Sir Darius mendekat. Ksatria tinggi itu menatap Raka dari atas dengan sorot mata tajam.
“Jadi… kau benar-benar bisa menghancurkan inti Shadra.”
Nada suaranya terdengar lebih seperti tuduhan daripada pujian. Raka menggaruk kepala, gugup.
“Uh, iya… tapi jujur aja, tadi aku lebih banyak nebak-nebak.”
Kerumunan di sekitar mereka semakin ramai. Ada yang bersorak memuji, ada pula yang berbisik penuh curiga.
“Lihat, dia benar Penjelajah!”
“Kalau begitu, dunia ini masih bisa diselamatkan…”
“Tapi… bukankah Penjelajah sebelumnya juga gagal?”
Darius mengangkat tangan, membuat kerumunan terdiam.
“Dengarkan aku! Memang ia berhasil menumbangkan satu Shadra… tapi jangan lupa. Sejarah mencatat, para Penjelajah adalah pedang bermata dua. Mereka bisa menyelamatkan… atau menghancurkan dunia ini.”
Bisik-bisik ketakutan kembali menyebar. Tatapan orang-orang pada Raka berubah—dari kagum, menjadi ragu.
Raka tercekat. “Ehh, kok jadi aku yang salah lagi?”
Lyra menatap Darius dengan dingin.
“Sir Darius, kau tahu Penjelajah adalah harapan terakhir dunia ini. Jangan menanamkan ketakutan pada rakyatmu.”
Darius menyipitkan mata. “Atau mungkin… aku hanya berhati-hati. Dunia ini tidak boleh lagi menaruh nasibnya pada orang asing.”
Suasana menegang. Beberapa prajurit di belakang Darius ikut memandang Raka dengan waspada, seolah siap menahan jika terjadi sesuatu.
Raka merasa keringat dingin menetes di pelipisnya.
“Uh… aku baru sehari di sini, dan udah diangkat jadi pahlawan plus tersangka. Cepet banget promosi karirnya.”
Lyra menggenggam tangan Raka erat, menenangkannya.
“Jangan pedulikan mereka. Aku percaya padamu. Dan kepercayaan itu lebih kuat dari seribu keraguan.”
Sorot mata Lyra membuat dada Raka kembali hangat, walau situasi di sekeliling terasa dingin.
Malam itu, di penginapan, Lyra duduk di dekat jendela sambil menatap dua langit yang masih terbelah.
“Raka… kau harus tahu. Semakin besar kekuatanmu tumbuh, semakin besar juga ancaman yang datang. Shadra bukan satu-satunya musuh di dunia ini.”
Raka yang berbaring di ranjang mendesah pelan.
“Jangan bilang… manusia juga bisa jadi musuhku?”
Lyra terdiam lama. Lalu dengan suara nyaris berbisik, ia menjawab:
“Ya. Dan terkadang… mereka jauh lebih berbahaya daripada Shadra.”
Bab 9 – Undangan Raja
Keesokan harinya, utusan kerajaan datang ke penginapan tempat Raka dan Lyra menginap. Mereka menyampaikan titah: Raja Arvenis ingin bertemu langsung dengan Penjelajah.
Di istana megah berlapis marmer putih, Raka dibuat kagum sekaligus gugup. Raja—seorang pria tua dengan janggut perak dan mata penuh wibawa—menyambutnya.
“Jadi, kaulah Penjelajah yang tersisa. Dunia ini pernah menaruh harapan pada orang sepertimu… lalu dikhianati. Katakan padaku, apakah aku harus menaruh harapan lagi?”
Raka tercekat. Ia ingin jujur bahwa dirinya hanyalah mahasiswa biasa, tapi Lyra menatapnya penuh keyakinan.
Akhirnya ia berkata, “Aku bukan pahlawan. Tapi… kalau memang cuma aku yang bisa, aku akan berusaha.”
Raja menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.
“Baiklah. Maka bersiaplah. Retakan terbesar ada di perbatasan utara. Jika kau gagal di sana… seluruh dunia ini akan runtuh.”
Bab 10 – Pengkhianatan di Malam Hari
Malam itu, saat Raka dan Lyra bersiap untuk misi, sekelompok prajurit menyerbu penginapan. Mereka dipimpin oleh Sir Darius.
“Raja mungkin mempercayaimu, tapi aku tidak!” Darius menghunus pedangnya. “Aku tidak akan membiarkan dunia ini bergantung pada orang asing yang bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.”
Pertarungan pecah. Lyra melindungi Raka dengan sihir, tapi jumlah prajurit terlalu banyak. Saat terdesak, tiba-tiba kabut hitam menyerbu dari jendela.
Dari kegelapan itu muncul Shadra berbentuk manusia—mengenakan jubah, dengan mata merah menyala.
“Penjelajah… akhirnya kita bertemu.”
Semua orang membeku. Darius pun mundur ketakutan.
“Siapa kau?!” teriak Raka.
“Akulah luka dari dunia ini. Selama retakan ada, aku akan lahir. Dan kau, Penjelajah, adalah kunci terakhir… untuk menghancurkan segalanya.”
Dengan satu gerakan, makhluk itu melumpuhkan para prajurit, lalu menghilang dalam kabut, meninggalkan pesan:
“Temui aku di perbatasan utara. Jika kau tidak datang… dunia ini akan hancur tanpa pertarungan.”
Bab 11 – Perjalanan ke Utara
Raka dan Lyra menempuh perjalanan panjang ke perbatasan utara. Sepanjang jalan, mereka melewati desa-desa hancur, ladang gosong, dan langit yang makin retak.
Di suatu malam, mereka beristirahat di tepi api unggun. Raka menatap Lyra, lalu bertanya pelan:
“Kenapa kau begitu percaya sama aku? Padahal aku ini cuma orang biasa.”
Lyra terdiam, lalu tersenyum lembut.
“Karena aku pernah percaya pada Penjelajah lain… dan dia gagal. Tapi saat aku melihatmu, aku tahu: kau tidak akan lari. Itu lebih berharga daripada kekuatan apa pun.”
Raka terdiam, dadanya hangat sekaligus berat. Untuk pertama kalinya, ia ingin benar-benar bertarung bukan hanya karena “dipanggil”… tapi karena Lyra percaya padanya.
Bab 12 – Retakan Terbesar
Di perbatasan utara, retakan dunia terlihat jelas—langit terbelah, tanah melayang di udara, dan dari dalam jurang hitam keluar Shadra raksasa. Di tengah semua itu berdiri makhluk berjubah hitam yang mereka temui sebelumnya.
“Selamat datang, Penjelajah. Inilah akhir dari dunia… dan pilihanmu.”
Pertarungan pun dimulai. Lyra menahan pasukan bayangan dengan sihir, sementara Raka maju menghadapi Shadra utama.
Inti merah raksasa berdenyut di langit, seperti jantung dunia. Suara makhluk berjubah menggema:
“Hancurkan inti ini, maka semua penderitaan berakhir… beserta dunia ini.”
Raka menggenggam tombak cahaya yang tercipta lagi di tangannya. Kepalanya penuh keraguan.
Kalau aku salah langkah… semua orang bisa lenyap.
Lyra berteriak di tengah kekacauan.
“Raka! Ingat, kau tidak sendirian! Aku di sini, bersamamu!”
Suara itu memberi kekuatan. Dengan teriakan keras, Raka menancapkan tombaknya ke inti merah.
Bab 13 – Cahaya dan Bayangan
Ledakan cahaya menerangi langit. Tubuh Shadra raksasa pecah, makhluk berjubah hitam menjerit sebelum larut dalam kabut. Retakan dunia mulai menutup perlahan.
Raka jatuh tersungkur, tubuhnya nyaris habis tenaga. Lyra berlari menghampirinya, menahan tubuhnya.
“Kau berhasil…” bisiknya.
Raka tersenyum lemah. “Aku? Yang berhasil itu… kita.”
Bab 14 – Akhir dan Awal
Beberapa hari kemudian, dunia mulai stabil. Kota Arvenis memuliakan Raka sebagai pahlawan. Raja menggelar perayaan, dan bahkan Sir Darius terpaksa mengakui keberaniannya.
Namun Raka tahu, perjalanannya belum benar-benar selesai. Retakan mungkin menutup, tapi bayangan bisa muncul lagi kapan saja.
Di balkon istana, Raka menatap langit yang kini utuh.
“Kalau dunia ini butuh aku lagi… aku akan siap.”
Lyra berdiri di sampingnya, senyumnya hangat.
“Dan aku akan selalu bersamamu.”
Raka tertawa kecil. “Ya ampun… kalau kayak gini, skripsiku beneran nggak bakal kelar-kelar.”
Keduanya tertawa, sementara langit dua warna perlahan menyatu jadi biru cerah. Dunia diselamatkan… untuk saat ini.
Epilog – Bisikan Dunia Baru
Beberapa bulan setelah pertempuran besar di perbatasan utara, Kota Arvenis kembali normal. Pasar ramai, anak-anak berlarian, dan langit biru membentang tanpa retakan.
Raka duduk di tepi sungai, Lyra di sampingnya. Ia melempar batu ke air sambil tersenyum lemah.
“Rasanya… aneh ya. Dunia aman, tapi aku masih merasa ada yang menunggu.”
Lyra mengamati langit senja.
“Benar. Kekuatan seperti itu tidak pernah benar-benar hilang. Hanya tersembunyi. Dunia ini selalu memiliki bayangannya sendiri.”
Tiba-tiba, angin membawa serpihan cahaya kecil dari arah timur. Raka menatapnya. Sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya:
“Penjelajah… waktumu belum habis. Dunia lain menunggu.”
Raka menoleh ke Lyra, matanya menyala dengan tekad baru.
“Kalau begitu… petualangan kita belum selesai.”
Lyra tersenyum penuh arti.
“Kau siap?”
“Selamanya.”
Di kejauhan, matahari terbenam menyinari sungai, memantulkan cahaya ke emas dan biru. Dunia aman… untuk saat ini. Tapi Raka tahu, di balik kedamaian itu, petualangan baru sudah menanti.
Komentar
Posting Komentar