Persugihan: Tumbal yang Tak Terbayar

 Persugihan: Tumbal yang Tak Terbayar


Bab 1 – Bisikan di Sawah Malam

Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari sawah yang baru dipanen. Di desa Karangjati, orang-orang sudah terbiasa dengan cerita-cerita gaib: suara gamelan tanpa wujud, kuntilanak yang menunggu di pohon randu, dan tentu saja—persugihan.

Bima, pemuda dua puluh tahun yang hidup sederhana, berjalan pulang dengan langkah berat. Ayahnya sakit keras, adiknya butuh biaya sekolah, sementara hasil panen mereka tak pernah cukup.

“Kalau saja ada jalan cepat…,” gumamnya.

Seakan menjawab gumamannya, dari tengah sawah terdengar suara lirih, berat, dan bergetar:

“Ada jalan cepat… asal kau berani…”

Bima terhenti. Dadanya bergemuruh. Ia menoleh ke arah suara itu—tak ada siapa-siapa. Hanya bulan pucat yang menggantung di langit dan siluet pohon pisang yang bergoyang pelan.

Tapi suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah berbisik tepat di telinganya:

“Datanglah ke tepi sungai tengah malam… bawalah kemenyan… aku bisa memberimu apa pun yang kau mau…”

Bima merinding. Ia ingin berlari pulang, tapi kaki terasa berat, seperti ditahan. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran—dan harapan.

Malam itu, Bima tidak tidur. Kata-kata gaib itu terus berputar di kepalanya.

“Apa benar ada jalan…?”

 

Bab 2 – Tepi Sungai Tengah Malam

Tepat pukul dua belas malam, Bima berjalan menuju sungai di ujung desa. Langkahnya terasa berat, tapi genggamannya pada sebungkus kemenyan semakin erat. Hatinya berkecamuk—antara takut dan terdesak keadaan.

Di sepanjang jalan, jangkrik seakan terdiam, diganti suara burung hantu yang memecah keheningan. Sungai itu tampak hitam pekat, tak ada cahaya bulan yang berani menyentuhnya.

Bima menyalakan kemenyan. Asap tipis mengepul, terbawa angin malam.
Tiba-tiba, dari balik kabut, muncul sosok bayangan tinggi besar. Matanya merah menyala, wajahnya samar, seolah tertutup kabut hitam yang bergerak sendiri.

“Kau datang juga…” suara itu berat, menggetarkan udara.

Bima terbelalak, tubuhnya gemetar. “Si… siapa kau?”

Sosok itu mendekat, langkahnya tak menimbulkan suara. Dari balik kabut, samar terlihat jubah hitam panjang, dan tangan dengan kuku panjang berwarna kehitaman.

“Aku penunggu sungai ini… yang bisa memberimu kekayaan… asal kau berani membayar harganya.”

Bima menelan ludah. Bayangan rumah yang hampir roboh, ayahnya yang terbaring sakit, dan adiknya yang menangis karena belum bayar uang sekolah, berkelebat dalam pikirannya.

“Apa… yang harus kubayar?” suaranya bergetar.

Makhluk itu tersenyum samar, menyingkap deretan gigi tajam.

“Tak banyak. Hanya satu nyawa… untuk satu keinginanmu. Dan kau harus menjaga perjanjian ini… selamanya.”

Suasana hening. Hanya suara riak sungai yang terdengar, seakan ikut menegaskan kata-kata itu.

Bima menggenggam tanah basah dengan jari gemetaran. Di dalam hati, ada bisikan kecil: jangan lakukan, ini jalan terlarang. Tapi ada pula suara lain yang lebih keras: kau bisa menyelamatkan keluargamu…

Di hadapan makhluk gaib itu, pilihan hidup dan mati terasa begitu tipis.

Bab 3 – Tumbal Pertama

Bima terdiam cukup lama, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam begitu dingin. Suara makhluk itu masih terngiang, berat dan menekan:

“Satu nyawa… untuk satu keinginanmu.”

“Kalau… aku setuju,” suara Bima parau, “apa yang akan kudapat?”

Makhluk itu menyeringai. Dari balik kabut, samar terlihat senyum lebar dengan gigi tajam seperti belati.

“Uang. Kekayaan. Segala kemewahan yang tak pernah kau bayangkan. Rumahmu akan penuh makanan, sawahmu berlipat ganda hasilnya. Kau tak akan miskin lagi… asalkan kau menyerahkan satu nyawa malam ini.”

Bima tercekat. “Malam ini?”

“Ya.”

“Siapa?”

Makhluk itu mengangkat tangannya yang panjang, menunjuk ke arah jalan kecil di balik pepohonan.

Bima menoleh. Dan di sana… terlihat sosok yang sangat dikenalnya.

Seorang tetangganya, Pak Darto, berjalan sambil menenteng obor. Lelaki tua itu sering menolong keluarganya—memberikan beras ketika mereka lapar, bahkan membawakan ramuan untuk ayahnya yang sakit.

“Tidak… bukan dia…” bisik Bima, suaranya pecah.

Makhluk itu tertawa lirih, suaranya seperti batu digesek di dasar sungai.

“Kau tak bisa memilih. Tumbal sudah ditentukan. Jika kau menolak… perjanjian ini batal. Tapi ingat… kesempatan tidak datang dua kali.”

Pak Darto makin dekat, melintasi jalan setapak menuju rumahnya. Bima menatap dengan mata berkaca-kaca, hatinya seperti terbelah dua.

Tiba-tiba, kemenyan di tangannya menyala lebih terang, asapnya berputar seperti lingkaran. Bayangan hitam itu mendekat ke telinganya, berbisik pelan:

“Satu nyawa untuk kebahagiaan keluargamu… atau biarkan mereka mati perlahan dalam kemiskinan…”

Jantung Bima berdegup kencang. Tangannya gemetar, pikirannya kacau. Di hadapannya, Pak Darto hanya tinggal beberapa langkah…

Dan malam itu, Bima harus memutuskan—mengkhianati orang baik yang pernah menolongnya, atau mengorbankan keluarganya sendiri.

Bab 4 – Darah di Tepi Sungai

Pak Darto berjalan pelan melewati jalan setapak. Obor di tangannya bergetar tertiup angin, memantulkan bayangan di pohon-pohon sekitar.

Bima bersembunyi di balik semak, tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh, tapi tangannya seolah digerakkan oleh sesuatu yang lebih kuat dari dirinya sendiri.

“Cepatlah… sebelum terlambat,” bisik makhluk itu, suaranya dingin dan menusuk.

Bima meraih batu besar dari tanah. Tangannya bergetar hebat, tapi bayangan wajah ayahnya yang sekarat dan adiknya yang menangis terus menghantui.

“Maafkan aku, Pak…” gumamnya lirih.

Dalam sekejap, batu itu menghantam belakang kepala Pak Darto. Lelaki tua itu terhuyung, obor jatuh, api kecil merambat di tanah kering. Bima terdiam, napasnya tercekat. Darah mengalir, merah gelap di tanah hitam.

Pak Darto sempat menoleh, matanya lemah, penuh keheranan dan pengkhianatan.
“B-Bima…?” suaranya serak sebelum tubuhnya ambruk di tanah, tak bergerak lagi.

Bima menutup mulut, hampir menjerit. Tangannya berlumuran darah. Dunia terasa berputar, udara semakin sesak.

Makhluk itu muncul dari kabut, semakin jelas wujudnya. Jubah hitamnya berkibar meski angin tak berhembus. Ia mendekat, lalu menunduk ke arah tubuh Pak Darto.

“Bagus…” suaranya berat namun puas. “Tumbal pertama diterima.”

Tiba-tiba, tubuh Pak Darto diselimuti asap hitam. Dalam hitungan detik, jasad itu menghilang, seolah ditelan bumi. Tak ada darah, tak ada jejak. Hanya tanah basah yang kembali tenang.

Bima terperanjat, mundur dengan tubuh gemetar. “Dia… ke mana…?”

Makhluk itu mendekat, matanya berkilat merah.

“Tak perlu kau tanyakan. Sekarang, pulanglah. Esok pagi kau akan melihat hasilnya.”

Suara itu menggema, lalu sosoknya lenyap begitu saja, menyisakan Bima yang terduduk, tangan masih berlumur darah.

Malam itu, di tepi sungai, Bima baru saja menyerahkan tumbal pertamanya.

Dan di kejauhan, gonggongan anjing terdengar panjang, seolah meratapi sebuah jiwa yang telah hilang.

Bab 5 – Kekayaan Pertama

Keesokan paginya, Bima terbangun dengan tubuh lemas. Malam itu masih membekas jelas dalam pikirannya—darah, batu, dan tatapan terakhir Pak Darto. Ia hampir yakin itu semua mimpi buruk, kalau saja tangannya tidak masih berbekas noda kering berwarna cokelat gelap.

Namun, begitu ia keluar rumah, sesuatu membuatnya terpaku.

Halaman rumah yang biasanya gersang, kini dipenuhi karung-karung beras, bertumpuk seperti baru saja dikirim. Ayahnya yang biasanya batuk-batuk lemah, pagi itu duduk di kursi bambu dengan wajah lebih segar. Adiknya berlari menghampirinya dengan mata berbinar.

“Kak, lihat! Ada orang baik yang mengirim semua ini. Katanya untuk kita!”

Bima terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu betul, ini bukan kiriman dari siapa pun. Ini adalah hasil dari tumbal yang ia berikan semalam.

Di pojok halaman, seekor ayam hitam berkokok. Tatapannya menusuk, seolah mengawasi Bima.

Malam berikutnya, mimpi buruk kembali datang. Dalam tidurnya, Bima melihat Pak Darto, wajahnya pucat, matanya kosong, berdiri di tepi sungai. Darah masih menetes dari kepalanya.

“Kenapa, Bima…? Aku menolong keluargamu… tapi kau yang mengambil nyawaku…”

Bima terbangun dengan teriakan, keringat dingin membasahi tubuhnya. Dari luar rumah, ia bisa mendengar suara lirih—suara makhluk itu:

“Ini baru awal. Kau sudah merasakan hasilnya, bukan? Tapi ingat… setiap keinginan baru akan menuntut tumbal baru.”

Bima menutup telinganya, tapi suara itu tak mau hilang. Ia menunduk, menatap keluarganya yang tertidur pulas.
Air matanya jatuh. Ia sadar, jalan yang ia pilih tak akan pernah membiarkannya kembali menjadi manusia biasa lagi.

Bab 6 – Permintaan Kedua

Hari-hari berikutnya terasa aneh bagi Bima. Rumahnya kini tak pernah sepi dari makanan dan kebutuhan. Sawah yang biasanya kering, tiba-tiba tampak subur. Bahkan beberapa tetangga mulai bertanya-tanya, dari mana datangnya keberuntungan mendadak itu.

Namun, di balik senyum keluarganya, hati Bima masih dihantui wajah Pak Darto. Setiap kali ia melewati jalan dekat sungai, ia merasa ada mata yang mengintai dari balik kabut.

Suatu malam, saat ia duduk termenung di depan rumah, suara itu kembali datang. Lirih, tapi menusuk telinga:

“Bagaimana rasanya, Bima? Hidup tanpa kekurangan… Kau bisa dapat lebih. Kau bisa punya segalanya.”

Bima menelan ludah. “Aku… tidak ingin lebih. Cukup ini saja.”

Makhluk itu tertawa, suara seraknya bergaung di sekeliling rumah.

“Jangan bohong. Kau ingin ayahmu sembuh total, bukan? Kau ingin adikmu sekolah tinggi, bukan? Itu semua butuh lebih banyak… lebih banyak dari apa yang kau punya sekarang.”

Bima terdiam. Suara itu benar. Ia memang ingin ayahnya kembali sehat, ingin adiknya tidak lagi dipandang rendah karena kemiskinan.

“Kalau begitu… kau tahu apa yang harus kau lakukan.”

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara langkah kaki. Seorang pemuda desa, sahabat lama Bima, Arga, lewat sambil membawa seikat kayu bakar.

“Bim! Kau kelihatan sehat sekarang. Kalau ada waktu, mainlah ke rumah. Lama kita tak bercakap.” Arga melambaikan tangan, senyum tulus menghiasi wajahnya.

Bima membalas dengan senyum kaku. Tapi begitu Arga berlalu, suara makhluk itu berbisik di telinganya:

“Dialah tumbal berikutnya…”

Jantung Bima berdegup kencang. “Tidak! Bukan dia! Dia sahabatku!”

“Sahabat? Hahaha… sahabat tidak bisa membuat ayahmu sembuh. Sahabat tidak bisa menyekolahkan adikmu ke kota. Kau hanya perlu memilih: keluargamu… atau dia.”

Bima memejamkan mata, tangannya mengepal. Di dalam dada, pertarungan batin kembali berkecamuk.

Dan untuk pertama kalinya, suara hatinya mulai goyah.

Bab 7 – Bayangan Sahabat

Sejak malam itu, setiap kali Bima melihat Arga, dadanya terasa sesak.
Sahabat yang sejak kecil selalu menemaninya bermain di sawah, berlarian di pematang, hingga sama-sama mencuri mangga tetangga… kini justru jadi bayangan tumbal berikutnya.

Arga tidak curiga sedikit pun. Justru ia makin sering datang, membawa buah, membantu mengurus sawah, bahkan menjenguk ayah Bima dengan tulus.

“Bim, kau beruntung. Aku ikut senang lihat keluargamu sekarang nggak kekurangan lagi,” ucap Arga sambil tersenyum, ketika ia membantu memperbaiki pagar rumah.

Bima hanya menunduk. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menancap dalam.

Malamnya, mimpi buruk kembali datang.
Ia melihat Arga berdiri di tepi sungai, tubuhnya basah kuyup, menatap Bima dengan mata penuh kecewa.

“Sahabat… kau tega menyerahkan aku?”

Bima terbangun dengan teriakan, napasnya terengah. Dan seperti biasa, suara itu kembali datang, dingin dan menghantui:

“Semakin kau menunda, semakin sakit keluargamu akan dibuat. Waktu tak berpihak padamu, Bima. Pilih sekarang… atau kau akan kehilangan segalanya.”

Bima menutup telinganya dengan kedua tangan. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Dalam pikirannya, wajah ayahnya yang terbaring lemah terus bertabrakan dengan senyum sahabatnya yang tulus.

Hari-hari berikutnya, Arga masih setia datang. Setiap kali ia muncul, Bima merasa dadanya seperti diremas. Dan di belakang Arga, entah mengapa, Bima selalu melihat bayangan hitam tinggi menjulang—hanya dirinya yang bisa melihatnya.

Makhluk itu seolah mengawasi, menunggu, menuntut.

“Cepatlah, Bima. Tumbal berikutnya harus jatuh. Jika tidak… kau tahu konsekuensinya.”

Bima menatap sahabatnya yang tertawa ringan, tanpa tahu bahaya mengintai.
Dan untuk pertama kalinya, Bima merasa dirinya benar-benar terperangkap—tak ada jalan keluar.

Bab 8 – Perlawanan Pertama

Malam itu, Bima duduk di kamar dengan mata merah karena kurang tidur. Suara makhluk itu terus menghantui, memaksa, menuntut tumbal baru. Namun kali ini, ada tekad berbeda yang tumbuh dalam dirinya.

“Aku tidak akan menyerahkan Arga,” gumamnya keras, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Tiba-tiba, asap tipis muncul di sudut kamar. Bau amis menusuk hidung. Dari balik kegelapan, makhluk itu muncul, lebih jelas dari sebelumnya. Wajahnya kini menampakkan bentuk menyeramkan: kulit menghitam, mata merah menyala, dan lidah panjang menjulur.

“Kau menolak?” suaranya bergemuruh, membuat dinding kamar bergetar.

Bima menggertakkan gigi. “Aku tak akan mengorbankan sahabatku. Cari tumbal lain kalau mau, jangan dia!”

Makhluk itu tertawa panjang, suaranya seperti ribuan kelelawar.

“Bodoh! Perjanjian tidak bisa kau ubah sesuka hati. Kau sudah membuka pintu, Bima. Dan pintu itu hanya bisa ditutup dengan darah… atau nyawamu sendiri.”

Tiba-tiba, dari kamar sebelah terdengar suara batuk keras ayahnya. Disusul teriakan adiknya yang panik.

Bima berlari, mendapati ayahnya tergeletak di lantai, tubuhnya kejang, wajahnya pucat kebiruan. Adiknya menangis, memanggil-manggil namanya.

“Kau lihat?” suara makhluk itu menggema di telinganya. “Selama kau menolak, keluargamu akan menderita. Pilihannya sederhana: sahabatmu… atau mereka!”

Bima terduduk, memeluk ayahnya yang kini megap-megap, nafasnya tersengal. Air mata membasahi wajahnya. Ia menoleh ke sudut ruangan, tapi sosok makhluk itu sudah lenyap—meninggalkan hawa dingin yang menusuk.

Untuk pertama kalinya, Bima sadar: melawan bukan berarti bebas. Justru ia semakin terikat, semakin ditekan oleh kekuatan yang tak bisa ia lawan dengan tangan kosong.

Dan di luar rumah, angin berhembus kencang. Dari kejauhan, terdengar suara lolongan panjang, seperti anjing-anjing desa yang merasakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Bab 9 – Bayangan Kutukan

Sejak malam itu, tidur Bima tidak pernah nyenyak lagi. Setiap kali ia memejamkan mata, selalu ada sosok Pak Darto muncul dengan wajah penuh darah, matanya kosong, bibirnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas.

“Giliran berikutnya… sahabatmu… sahabatmu…”

Bima terbangun dengan jeritan. Peluh dingin membasahi tubuhnya, meski udara malam terasa menusuk. Ia meneguk air dari kendi, namun ketika menoleh, bayangan Pak Darto justru terlihat di cermin bambu—berdiri tepat di belakangnya.

Bima hampir menjatuhkan kendi itu. Ia membalik badan, tapi ruangan kosong. Hanya suara jangkrik yang terdengar.

Pagi harinya, desas-desus mulai beredar di desa. Warga mulai curiga dengan hilangnya Pak Darto.
“Katanya dia tak pernah pulang malam itu… ada yang bilang dia tenggelam di sungai,” bisik seorang tetangga.

Bima menunduk, dadanya terasa sesak. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan kebenaran, tapi lidahnya seolah terkunci.

Di sisi lain, kondisi ayahnya makin buruk. Meski sempat membaik, kini sakitnya kambuh, bahkan lebih parah. Nafasnya pendek-pendek, matanya sayu.

“Bima…” suara ayahnya lirih, “kalau aku sudah tiada… jaga adikmu baik-baik…”

Kata-kata itu menusuk hati Bima. Ia ingin menolong, tapi ia tahu satu-satunya jalan adalah memenuhi tuntutan makhluk gaib itu.

Malamnya, suara itu datang lagi. Kali ini lebih keras, memenuhi seluruh rumah.

“Kau lihat sendiri. Tolol sekali kalau kau pikir bisa menunda. Selesaikan tumbal kedua… atau keluarga kecilmu habis satu per satu!”

Bima menutup telinganya, berjongkok di lantai, menangis. Bayangan Arga kembali muncul di kepalanya—sahabat yang tak tahu apa-apa, yang selalu tersenyum tulus padanya.

Dan malam itu, Bima tahu: persugihan ini bukan lagi sekadar jalan pintas. Ini kutukan, yang semakin hari semakin menjerat lehernya.

Bab 10 – Darah Kedua: Sahabat atau Keluarga?

Malam itu, Bima duduk di tepi ranjang, memandangi ayahnya yang semakin lemah. Nafas sang ayah tersengal-sengal, tubuhnya berkeringat dingin. Adiknya tertidur di lantai, menggenggam tangan ayah mereka dengan wajah penuh harap.

Bima menunduk, air mata menetes di kedua pipinya. Ia tahu waktunya sudah hampir habis.

“Bima…” suara makhluk itu terdengar dari balik bayangan di sudut kamar, dingin dan mendesak.
“Pilih sekarang. Nyawa ayahmu… atau sahabatmu.”

Bima menutup telinga, namun suara itu terus bergema di dalam kepalanya.

Keesokan harinya, Arga datang dengan senyum cerah, membawa sekeranjang buah mangga.
“Bim, aku dengar ayahmu makin parah. Aku bawa buah segar, semoga bisa sedikit membantu.”

Bima hampir tak sanggup menatap wajah sahabatnya itu.
Arga duduk di beranda, bercerita tentang rencana masa depannya: ingin merantau ke kota, mencari pekerjaan, dan suatu hari mengajak Bima ikut serta.

“Kita bisa sukses bareng-bareng, Bim. Nggak usah pusing mikirin desa ini terus.”

Bima hanya terdiam, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Arga yang tulus terasa seperti cambuk, semakin membuat dilema di dadanya tak tertahankan.

Malamnya, suara itu kembali datang. Kali ini bukan sekadar suara. Dari balik kegelapan, makhluk itu muncul, lebih menyeramkan dari sebelumnya. Tubuhnya kini dipenuhi urat-urat hitam berdenyut, dan bau amis darah menyelimuti udara.

“Saatnya tiba. Bawa dia ke sungai malam ini. Atau keluargamu akan kubuat mati perlahan, satu demi satu, di depan matamu.”

Bima jatuh berlutut, menutup wajah dengan kedua tangan. Bayangan ayahnya yang sekarat dan wajah Arga yang tersenyum tulus saling bertabrakan di kepalanya.

Tangannya bergetar hebat. Hatinya terbelah.
Dan malam itu, Bima tahu bahwa keputusan apa pun yang ia ambil… akan meninggalkan luka yang tak pernah bisa ia sembuhkan.

Bab 11 – Pilihan yang Memecah Hati

Bima menatap Arga yang tertidur di rumahnya. Tubuh sahabatnya begitu rapuh, wajahnya begitu polos.
Makhluk itu muncul lagi, mendorong Bima untuk mengambil keputusan.

“Sekarang atau tidak sama sekali. Sahabatmu… atau keluargamu.”

Bima menunduk, napasnya tersengal. Ia memandang ayahnya yang kehabisan tenaga, adiknya yang tidur tak sadar akan bahaya. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia mengambil keputusan:

“Aku menolak! Aku… aku tidak akan menyakiti Arga!”

Makhluk itu menertawakan Bima. “Bodoh. Kalau begitu, saksikan penderitaan mereka sendiri.”

Ayah Bima tiba-tiba kejang hebat, dan adiknya menjerit. Bima menjerit, merasa putus asa. Namun, di tengah kekalutan itu, ia melihat Arga berdiri, menatapnya dengan mata penuh tekad.

“Bim, aku akan membantumu. Kita lawan ini bersama!”

Bima tersentak. Sahabatnya rela taruh nyawa untuk menolongnya. Itu memberi Bima keberanian baru.


Bab 12 – Perlawanan Bersama

Malam itu, Bima dan Arga pergi ke sungai—tempat makhluk itu biasanya muncul—dengan tujuan menantangnya.
Bima menyiapkan simbol-simbol tradisional, mantra-mantra perlindungan, hasil ia baca dari buku-buku tua yang ia temukan di rumah Pak Darto. Arga membantunya, walau ia sendiri tidak paham sepenuhnya.

Makhluk itu muncul, tubuhnya menebarkan hawa panas dan bau busuk.

“Kalian berani melawan?” suaranya bergemuruh.

Bima menatap Arga. “Kita berani. Kau tidak berkuasa atas kami lagi.”

Dengan keberanian dan niat murni, mereka membaca mantra perlindungan bersama-sama. Makhluk itu menjerit, tubuhnya terbakar oleh cahaya putih yang muncul dari niat murni manusia.


Bab 13 – Tumbal yang Tak Terbayar

Makhluk itu kalah dalam perlawanan, tapi tidak lenyap begitu saja. Tubuhnya mengecil menjadi asap gelap, berputar-putar di udara sebelum akhirnya menghilang ke kegelapan malam.
Bima dan Arga tersungkur, kelelahan, tapi lega.

Ayah Bima pulih secara perlahan, seolah beban berat yang menindih tubuhnya telah diangkat. Adik Bima bangun dari tidurnya, tersenyum lega melihat Bima dan Arga.

“Kalian… berhasil?” tanya adiknya.

Bima hanya tersenyum lemah. Ia tahu perjuangan ini belum sepenuhnya selesai—tapi mereka telah mematahkan cengkeraman persugihan itu.


Bab 14 – Akhir dari Awal

Beberapa minggu kemudian, desa mulai kembali normal.
Keberuntungan mendadak Bima hilang, tapi keluarganya tetap selamat. Bima belajar bahwa tidak ada jalan pintas untuk hidup yang baik—segala sesuatu harus diperoleh dengan usaha dan kejujuran.

Arga tetap di sisinya, sahabat sejati yang telah menolongnya dari kehancuran.

Bima menatap sungai tempat mereka dulu menantang makhluk itu, kini tenang. “Kita selamat, Arga. Tapi aku harus lebih hati-hati… jangan sampai keserakahan datang lagi.”

Arga tersenyum. “Setuju. Kita jalani hidup ini bersama-sama, dengan cara kita sendiri.”


Bab 15 – Pelajaran yang Tersisa

Waktu berlalu.
Bima, meski pernah tergoda persugihan, kini hidup dengan bijaksana. Ia menanam, bekerja keras, dan menolong tetangga yang kesulitan.
Kisahnya menjadi pelajaran bagi anak-anak desa: jalan pintas mungkin menggiurkan, tapi selalu ada harga yang tak tertanggung jika kita memilihnya.

Bima menatap langit senja, napasnya tenang. Ia tahu, persugihan itu mungkin akan datang lagi pada orang lain. Tapi ia telah belajar: keberanian, persahabatan, dan hati yang murni jauh lebih kuat daripada kekuatan gelap apa pun.


Akhir Cerita: Bima selamat, sahabatnya selamat, keluarganya selamat. Persugihan dikalahkan, tapi pelajaran tentang konsekuensi tetap tertanam. Kisah ini ditutup dengan pesan moral tentang keserakahan, persahabatan, dan keberanian.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh