Di Balik Pagar Bambu

 Di sebuah desa yang tenang, tersembunyi di antara sawah hijau dan hutan bambu, hiduplah dua keluarga yang sejak lama bermusuhan: keluarga Wijaya dan keluarga Darma. Perselisihan mereka telah berlangsung turun-temurun, bahkan tak ada yang ingat pasti apa penyebab awalnya. Namun satu hal pasti—anak-anak mereka dilarang untuk saling bergaul, apalagi jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah memilih tempat tumbuh.


Di Balik Pagar Bambu

Bab 1: Hujan Pertama

Hujan datang lebih cepat dari biasa sore itu. Langit yang tadinya hanya mendung berubah menjadi gelap seolah menyimpan rahasia. Petani-petani mulai berlarian dari ladang, menuntun kerbau dan menutup tumpukan padi dengan terpal seadanya. Raka, yang baru saja selesai menebas rumput untuk pakan sapi, berlari menuju gubuk kecil di ujung sawah.

Begitu ia sampai, suara langkah kaki lain terdengar di belakangnya. Ia menoleh, dan di ambang pintu berdiri seseorang yang tak seharusnya ada di sana.

Ayu Wijaya.

Raka terpaku. Dia mengenalnya. Semua orang di desa mengenal Ayu—putri bungsu Pak Lurah Wijaya yang anggun dan cerdas. Tapi bagi Raka, dia lebih dari sekadar nama terlarang. Ia pernah melihat gadis itu dari jauh, saat pasar desa sedang ramai atau saat keluarga Wijaya lewat dengan kereta kuda tua mereka. Namun, ini kali pertama mereka berada begitu dekat.

Ayu tampak canggung, tapi tetap melangkah masuk. “Maaf. Aku hanya… butuh tempat berteduh.”

Raka mengangguk pelan. Mereka duduk di dua sudut berseberangan, diam, hanya ditemani suara hujan yang menari di atas atap daun rumbia.

“Lucu ya,” kata Ayu setelah beberapa menit. “Kita hidup di desa yang sama, tapi seperti di dua dunia yang berbeda.”

Raka menoleh. “Mungkin karena dunia kita memang diciptakan untuk tidak bersentuhan.”

Mereka saling menatap. Ada jeda panjang di antara kata-kata itu, dan dalam diam itulah sesuatu tumbuh. Bukan sekadar keberanian—tapi benih dari sesuatu yang tak boleh ada.


Bab 2: Surat di Celah Pagar

Sejak sore hujan itu, Raka dan Ayu tidak lagi menjadi dua orang asing. Mereka tidak pernah berbicara langsung lagi—terlalu berisiko—tetapi mereka menemukan cara lain: pagar bambu yang memisahkan ladang keluarga mereka menjadi perantara rahasia.

Di celah bambu yang agak renggang, Ayu menyelipkan selembar kertas, dibalut daun pisang agar tidak basah oleh embun pagi. Isinya singkat, tapi cukup membuat dada Raka sesak:

“Kau pernah bilang dunia kita diciptakan untuk tidak bersentuhan. Tapi apakah dunia bisa salah?”

Raka membalas malam harinya, setelah memastikan ayah dan adik-adiknya telah tidur. Ia menyelinap ke ladang, membawa potongan kertas kecil yang ditulis dengan tangan bergetar:

“Kalau dunia salah, mungkin tugas kita memperbaikinya. Bukan lari. Tapi membuktikan.”

Hari demi hari, surat-surat kecil itu menjadi candu. Mereka berbicara tentang segalanya—tentang mimpi Ayu menjadi guru, tentang keinginan Raka membuka perpustakaan desa, tentang bagaimana mereka membayangkan hidup tanpa dinding kebencian warisan orang tua.

Namun, cinta yang tumbuh dalam sembunyi selalu dikejar oleh bayang-bayang. Suatu pagi, surat Ayu tak lagi dibalas. Dua hari berlalu, tiga. Di hari keempat, Ayu menemukan selembar kertas yang tidak ditulis tangan Raka. Bukan surat, melainkan ancaman.

“Kami tahu apa yang kau lakukan. Hentikan sebelum nama keluargamu dipermalukan.”

Tangannya gemetar. Ia menoleh ke sekeliling—tak ada siapa-siapa. Tapi ia tahu, seseorang sedang mengawasi.


Bab 3: Luka Lama

Pak Darma duduk di beranda rumahnya, wajahnya muram di balik kerutan usia. Tangan kasarnya menggenggam surat yang ditemukan di bawah bantal Raka. Ia tak perlu membaca ulang untuk tahu isinya—nama Ayu Wijaya tertera jelas di sana. Dunia yang selama ini ia bangun dengan garis tegas antara "kami" dan "mereka", kini diguncang oleh anak kandungnya sendiri.

"Anak bodoh," desisnya pelan.

Istrinya, Bu Sari, tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap suaminya dengan mata yang tak sepenuhnya setuju. Tapi ia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk melawan. Dendam keluarga Darma dan Wijaya bukan sekadar kisah lama, tapi luka yang belum pernah kering.

Dua puluh tahun lalu, adik Pak Darma meninggal dalam keributan di pasar desa. Tuduhan mengarah ke salah satu pemuda keluarga Wijaya. Tidak pernah terbukti, tapi tidak pernah juga dilupakan.

Di sisi lain desa, di rumah keluarga Wijaya yang megah, Pak Lurah duduk murka. Ayu dikurung di kamarnya sejak pagi. Ibunya hanya bisa mengetuk pintu perlahan, menyodorkan makanan yang tak pernah disentuh.

"Dia mencoreng kehormatan kita," kata Pak Lurah.

"Dia hanya mencintai," balas istrinya dengan suara rendah. "Seperti kita dulu."

Pak Lurah menatap istrinya tajam, sejenak terdiam. Ia tahu maksudnya. Dahulu mereka juga melawan restu demi bersama. Tapi waktu telah mengubahnya—ia kini lebih takut kehilangan nama baik daripada kehilangan anaknya sendiri.


Di dalam kamar, Ayu menatap langit-langit. Hatinya bergemuruh. Ia tahu surat itu ditemukan. Ia tahu ia diawasi. Tapi yang tak ia tahu adalah keadaan Raka. Apakah ia baik-baik saja? Atau telah dihukum karena cintanya?

Saat malam turun, Ayu mengambil keputusan. Ia menulis satu surat terakhir, dengan tangan gemetar namun hati yang mantap.

“Kalau kita harus mati karena cinta, setidaknya kita mati sebagai diri kita. Aku akan menunggu di pohon jambu, malam Sabtu. Jika kau datang, kita pergi. Jika tidak, aku akan menganggap cinta ini telah selesai.”

Ia menyelipkan surat itu di celah pagar bambu, dengan doa bahwa angin malam membawanya ke tangan yang tepat.


Bab 4: Malam Sabtu

Langit malam itu tidak sepenuhnya gelap. Bulan separuh tergantung malu-malu di balik awan tipis, seakan ikut menyembunyikan rahasia dua jiwa yang sedang berjudi dengan nasib.

Raka sudah berada di bawah pohon jambu jauh sebelum waktunya. Ia datang tanpa membawa apa-apa kecuali tekad dan cinta yang selama ini ia sembunyikan. Di balik luka akibat bentakan ayahnya dan ancaman pengusiran dari rumah, satu hal yang tak mampu dikalahkan adalah harapan bahwa Ayu akan datang.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti jam. Setiap suara ranting patah membuat jantungnya melompat. Namun yang datang bukan Ayu. Bukan langkah ringan yang ia hafal dari jauh.

Melainkan suara dari balik semak-semak.

"Raka."

Ia menoleh cepat. Dan di sana, dengan rambut dikepang dan mata penuh air, Ayu berdiri. Nafasnya terengah, wajahnya merah, tapi senyumnya tetap sama seperti sore hujan pertama.

"Kau datang," bisik Raka, nyaris tak percaya.

"Aku tak punya tempat lain untuk pergi," jawab Ayu sambil melangkah mendekat. "Kecuali ke arahmu."

Mereka saling menggenggam, seolah dunia benar-benar berhenti. Di saat itulah, mereka tahu: ini bukan pelarian, ini pembebasan.

Malam itu mereka berjalan kaki menembus batas desa, menyusuri jalan setapak yang hanya dikenal oleh para pencari kayu dan pencuri waktu. Mereka tak tahu ke mana akan pergi. Hanya tahu satu hal—mereka tak akan kembali.


Pagi harinya, kabar itu menyebar. Dua anak dari dua keluarga yang saling membenci telah menghilang. Ada yang bilang mereka tenggelam di sungai. Ada yang bilang mereka kabur ke kota. Tapi satu hal pasti: pagar bambu yang dulu jadi batas, kini jadi tempat orang-orang meletakkan bunga setiap tanggal mereka menghilang.

Beberapa tahun kemudian, seorang pemuda pendatang membuka taman baca kecil di kota kabupaten. Di sana, seorang perempuan muda mengajar anak-anak membaca puisi. Tak ada yang tahu nama asli mereka, tapi mereka menyebut diri: “Raka dan Ayu.”


TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta yang Tak Tersentuh

Di Balik Meja Rapat

Cinta di Waktu yang Salah