Melepas Yang Tak Pernah Dimiliki
Bab 1: Seperti Mimpi
Aulia duduk di meja kayu toko bunga milik ibunya, melipat rapi serbuk bunga yang jatuh dari pot-pot kecil. Setiap hari, aroma segar dari bunga-bunga yang tumbuh rapi membuatnya merasa tenang. Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang terus mengganggu. Sebuah perasaan yang tak bisa ia hindari—rasa cinta yang tumbuh pada Rafli, pemuda yang sering datang membeli bunga.
Rafli adalah lelaki yang baik hati, tampan, dan cerdas. Setiap kali ia datang, Aulia merasa dunia seperti berhenti sejenak. Matanya yang tajam selalu membuat Aulia tertegun, dan senyum ramahnya terasa seperti hangatnya matahari di pagi hari. Namun, meskipun Rafli sering berbicara padanya, Aulia tahu betul bahwa hatinya tidak untuknya.
"Aulia, bunga ini untuk ibuku," Rafli berkata suatu hari, sambil tersenyum lebar. "Ia sedang sakit, aku ingin memberinya yang terbaik."
Aulia hanya mengangguk, berusaha menutupi perasaan yang mulai membuncah di dalam dada. "Semoga ibumu cepat sembuh," jawabnya, meski suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Rafli tersenyum lebih lebar, lalu pergi dengan bunga yang ia beli. Aulia menatap kepergiannya, merasa sedikit kosong di dalam hatinya.
Bab 2: Berbicara Tanpa Kata
Hari-hari berlalu dengan Aulia semakin terperangkap dalam pikirannya sendiri. Rafli semakin sering datang, dan setiap kali itu terjadi, Aulia merasa dunia semakin dekat dengan mimpinya. Tapi ia juga tahu, mimpi itu takkan pernah menjadi kenyataan.
Di suatu sore yang cerah, ketika Aulia sedang merapikan bunga di luar toko, Rafli datang lagi, wajahnya tampak sedikit berbeda dari biasanya.
"Aulia, aku ada kabar baik," katanya dengan senyum yang lebih lebar daripada yang pernah Aulia lihat.
"Apa itu?" Aulia bertanya, meskipun hatinya sudah mulai merasakan sesuatu yang tak nyaman.
"Aku melamar Nadia," jawab Rafli dengan mata yang berbinar. "Kami akan menikah."
Aulia merasakan dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menghantam hatinya lebih keras dari yang ia bayangkan. Ia berusaha tersenyum, tapi rasanya senyum itu begitu berat.
"Aku... aku senang untukmu, Rafli," jawab Aulia dengan suara yang hampir tak terdengar. "Semoga kalian bahagia."
Rafli menatapnya sejenak, seolah mencari reaksi yang lebih. Namun, Aulia hanya berdiri diam, menahan air mata yang hampir jatuh. Rafli mengangguk dan pergi, tanpa menyadari betapa dalam luka yang ia tinggalkan.
Bab 3: Menjaga Jarak
Pernikahan Rafli dan Nadia menjadi kenyataan beberapa bulan kemudian. Aulia diundang untuk hadir, meskipun hatinya merasa berat. Namun, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Ia harus menghadapi kenyataan.
Hari pernikahan tiba. Aulia duduk di bangku belakang gereja, mencoba untuk tidak menangis melihat pasangan yang bahagia itu. Rafli berdiri di altar, memandang Nadia dengan penuh cinta. Aulia menatap mereka, berusaha mengendalikan diri. Namun, seketika matanya bertemu dengan mata Rafli. Ada keheningan sejenak antara mereka, sebuah pengakuan tanpa kata.
Aulia tahu, saat itu, bahwa ia harus melepaskan. Ia harus mengikhlaskan perasaan yang selama ini ia simpan dalam diam.
Bab 4: Mencari Kedamaian
Setelah pernikahan, Aulia merasa hatinya sedikit lebih ringan. Meskipun luka masih ada, ia mulai belajar menerima kenyataan bahwa cinta yang ia simpan selama ini bukanlah untuknya. Ia memilih untuk mengikhlaskan, untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri.
Waktu berlalu, dan Aulia semakin sibuk dengan toko bunga ibunya. Ia mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti merawat bunga-bunga yang tumbuh di taman. Setiap kelopak yang mekar mengingatkannya pada perjalanan hatinya—betapa ia telah belajar bahwa meskipun ada cinta yang harus dilepaskan, hidup masih memiliki banyak keindahan untuk ditawarkan.
Suatu sore, Aulia duduk di bangku taman, memandang bunga-bunga yang berwarna cerah. Ia tersenyum kecil. Cinta yang tak terbalas memang menyakitkan, tetapi ia sadar bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari orang lain. Kadang, kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri—dalam setiap langkah kita untuk melepaskan dan menerima.
Dan dengan itu, Aulia akhirnya mengerti. Melepaskan bukan berarti melupakan, tapi memberi ruang untuk cinta yang lain tumbuh—cinta untuk diri sendiri, cinta untuk hidup, dan cinta untuk masa depan yang masih penuh dengan harapan.
Akhir
Keikhlasan Aulia bukanlah hasil dari satu keputusan cepat. Itu adalah perjalanan panjang, penuh dengan air mata dan tawa, penuh dengan luka dan penyembuhan. Dalam setiap langkahnya, ia belajar bahwa melepaskan yang bukan milik kita memberi ruang bagi kebahagiaan yang sejati—kebahagiaan yang datang dari dalam diri, bukan dari luar.
Catatan: Novel mini ini menggambarkan perjalanan seorang wanita yang belajar untuk melepaskan cinta yang tidak terbalas, serta bagaimana proses menerima kenyataan dan mengikhlaskan bisa membawa kedamaian.
Komentar
Posting Komentar