Bayang-Bayang di Kepala

Bayang-Bayang di Kepala



Genre:

Drama psikologis, realisme, slice of life

Tema:

Kecemasan, kesendirian, self-healing, pencarian makna

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bab 1: Senyap di Dalam Ramai

Langit Jakarta pagi itu cerah, tapi di dalam kepala Dira, semuanya kelabu. Di sekelilingnya, orang-orang berlalu-lalang di stasiun Sudirman, masing-masing dengan tujuan, langkah pasti, dan telepon genggam di tangan. Tapi Dira hanya berdiri diam, menempel pada tiang peron seolah jika ia melepaskan diri sedikit saja, dunia akan runtuh dan menyeretnya ke dalam kekacauan.

Jantungnya berdetak terlalu cepat. Napasnya pendek. Tangan kirinya gemetar meski tak ada angin. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan jam: 07.03. Kereta akan datang dua menit lagi. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak maju. Kakinya terasa seberat besi.

"Tarik napas... satu... dua... tiga..." Dira membisikkan mantra itu dalam hati. Ia sudah hafal. Sudah belajar. Tapi tetap saja, pagi-pagi seperti ini selalu mengalahkannya.

Hari ini ada rapat penting di kantor. Dira sudah menyiapkan presentasinya seminggu. Tapi itu tak membuatnya tenang. Sebaliknya, semakin ia mempersiapkan diri, semakin parah kecemasannya. Ia membayangkan ratusan pasang mata menatapnya, menilai, mencibir dalam diam, meski kenyataannya hanya akan ada lima orang di ruangan rapat itu.

Kereta tiba dengan deru dan dengung besi. Orang-orang mulai mendorong, bergerak, menyesuaikan diri dalam alur kota yang padat dan terburu-buru. Dira menelan ludah, mencoba memaksa kakinya maju. Tapi napasnya kian sesak.

Lalu ia berbalik. Langkahnya cepat, menjauh dari peron, dari kereta, dari segalanya. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin aman. Dan satu-satunya tempat yang terasa aman hari itu—adalah kamarnya yang sunyi, tempat ia bisa menarik selimut dan bersembunyi dari dunia yang terasa terlalu besar.

Bab 2: Tempat Paling Aman adalah Diam

Dira pulang sebelum sempat berangkat.

Ia membatalkan kereta, membatalkan hari, membatalkan dirinya sendiri dari segala yang direncanakan. Langit masih biru ketika ia menutup tirai jendela kamarnya, menciptakan senja palsu di tengah pagi. Kamarnya hening, sempit, dan nyaris kosong. Hanya ada ranjang kecil, rak buku yang isinya tak pernah disentuh sejak kuliah, serta meja kerja mungil tempat laptop menunggu perintah.

Ia menjatuhkan tubuh ke kasur. Tidak menangis. Tidak juga tidur. Hanya diam, memandangi langit-langit, membiarkan pikirannya berkecamuk tanpa arah.

"Kenapa kamu kayak gini terus, Ra?"

Pertanyaan itu muncul lagi. Bukan dari orang lain. Tapi dari dirinya sendiri—dengan suara yang keras dan penuh penilaian. Suara yang seharusnya menenangkan, tapi malah menyalahkan.

Ia meraih ponselnya dan membuka WhatsApp. Ada belasan pesan dari grup kantor, satu dari Bu Rina:

Bu Rina: Halo Dira, apa kamu baik-baik saja? Kami tunggu updatemu ya.

Dira tak menjawab. Jarinya sudah mengetik “Maaf Bu, saya kurang sehat pagi ini.” Tapi ia tak menekan tombol kirim. Ia malah menghapusnya. Lalu mengetik lagi. Lalu menghapus lagi.

Ia tak bisa menjelaskan bahwa “kurang sehat” ini bukan demam atau flu. Bahwa ia tidak pingsan atau batuk, tapi merasa tubuhnya runtuh dari dalam. Bahwa rasa takut yang mengikat dadanya lebih menyakitkan dari luka fisik. Tapi siapa yang bisa mengerti itu? Siapa yang percaya pada sakit yang tak kelihatan?

Dira membenamkan wajah ke bantal. Ia muak dengan dirinya sendiri, dengan kelemahannya, dengan semua hal yang tak bisa dikendalikannya.

Lalu ia tidur.

Atau lebih tepatnya, memaksakan tubuh untuk diam, berharap pikirannya ikut tenang. Tapi tak lama, suara ketukan dari pintu kos membuatnya tersentak.

“Dir, makan dulu, yuk!” Itu suara Leni, teman sekos sebelah kamar.

Dira diam. Leni baik. Terlalu baik kadang-kadang. Tapi hari ini, Dira tak punya tenaga untuk bersikap ramah.

Setelah beberapa detik, suara langkah kaki Leni menjauh. Dan kesunyian kembali mengisi ruang.


Waktu berlalu lambat.

Di meja, kertas presentasi masih tergeletak. Di dinding, cermin kecil menampilkan wajah yang lelah dan mata yang seperti telah lama kehilangan cahaya. Ia menatap dirinya sendiri cukup lama hingga bayangan itu tampak seperti orang asing.

Dan dalam hati kecilnya, muncul suara yang perlahan-lahan mulai berbisik:

"Kalau kamu terus begini... sampai kapan?"

Bab 3: Percakapan yang Tak Pernah Selesai

Hari berikutnya, Dira memaksakan diri untuk berangkat kerja.

Ia berdiri di depan kaca, mematut wajahnya yang pucat dengan sedikit polesan bedak dan lip tint, mencoba menutupi kelelahan yang tak bisa disembunyikan dari mata. Tubuhnya bergerak seperti mesin, otomatis dan tanpa semangat. Tapi setidaknya hari ini, ia berhasil naik kereta, berdiri di antara lautan manusia, dan sampai di kantor tanpa kabur.

Ruang kerja startup tempatnya bekerja punya desain terbuka: tanpa sekat, tanpa privasi. Semua orang terlihat sibuk, energik, dan... terhubung. Sementara Dira duduk di pojok meja panjang dengan laptop terbuka, jari-jarinya mengetik pelan—lebih banyak menghapus daripada menulis.

“Hey,” suara lembut tapi jelas menyapa dari sebelah.

Yudha. Pria itu duduk dua kursi dari tempatnya. Rambutnya sedikit berantakan, mengenakan hoodie hitam dan celana jeans, seperti biasa. Tapi matanya—tajam, penuh pengamatan.

“Kamu kemarin nggak masuk, ya?” tanyanya, seolah ingin memastikan sesuatu.

Dira tersenyum tipis. “Iya… kurang sehat.”

“Kamu nggak apa-apa?” Yudha tidak langsung kembali ke laptopnya. Ia menatap Dira, bukan dengan tatapan kasihan atau basa-basi, tapi seperti benar-benar ingin tahu.

Dira mengangguk. “Cuma kecapekan aja.” Jawaban yang aman. Jawaban yang sudah ia hafal di luar kepala.

Yudha mengangguk pelan. Tidak mengejar. Tidak menekan. Tapi ia meninggalkan satu kalimat sebelum kembali mengetik:

“Kalau kamu butuh teman ngobrol, aku di sini, ya.”

Itu kalimat sederhana. Tapi seperti menyentuh sesuatu yang lembut dan rapuh di dalam dada Dira. Ia tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya pagi itu, ia merasa sedikit lebih... nyata.


Siang harinya

Di pantry, Dira duduk sendiri, menyendok makan siang sambil menatap layar ponsel. Ia membuka aplikasi pencatat suasana hati, seperti yang direkomendasikan blog psikologi yang sering ia baca diam-diam.

Mood hari ini: 4/10
Aktivitas: kerja, menghindari orang, pura-pura kuat
Pikiran berulang: “Apa mereka tahu aku sedang panik dalam diam?”

Ia hampir menyimpannya saat jari-jarinya berhenti.

Dalam benaknya terlintas wajah Yudha. Dan kalimatnya pagi tadi. “Kalau kamu butuh teman ngobrol…”

Tapi Dira tahu, tidak semudah itu. Ia bukan tipe orang yang bisa membuka luka lalu membiarkannya dilihat.

Ia menulis satu kalimat tambahan:

Mungkin besok aku akan coba bicara. Mungkin.

Lalu menutup aplikasi. Menatap sendok di tangannya. Makanan sudah dingin.


Hari itu, Dira tidak bicara banyak. Tapi ia pulang dengan perasaan yang sedikit berbeda dari biasanya. Tidak tenang, memang. Tapi tidak sekelam kemarin.

Ada suara lain di kepalanya malam itu. Bukan suara yang menuduh atau mencemaskan.

Hanya satu pertanyaan lembut:

"Apa kamu benar-benar ingin terus merasa sendiri, Ra?"

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu jawabannya.

Bab 4: Jeda yang Tak Biasa

Tiga hari setelah percakapan singkat di kantor itu, Dira masih mengingat suara Yudha. Kalimatnya berputar di kepala seperti lagu yang tak selesai. Ia tidak tahu kenapa suara itu berbeda dari suara orang lain. Mungkin karena Yudha tidak bertanya terlalu banyak. Mungkin karena matanya tidak menghakimi.

Atau mungkin, karena Dira mulai merasa lelah untuk terus pura-pura tidak butuh siapa-siapa.

Hari itu kantor agak lengang. Sebagian tim sedang ke luar kota untuk pitching, dan ruang kerja mendadak sunyi. Dira tetap di depan laptop, tapi otaknya kosong. Ia hanya menatap spreadsheet yang tak kunjung diedit sejak pukul sembilan.

“Dira,” suara Yudha memanggil dari sisi meja.

Dira menoleh, agak terkejut.

“Aku mau ngopi sebentar di bawah. Temenin, yuk.”

Biasanya, Dira akan menolak. Dengan sopan. Dengan alasan pekerjaan. Tapi hari itu… ia merasa jantungnya berdetak lebih pelan. Tidak setegang biasanya.

“Boleh,” jawabnya. Suaranya hampir tak terdengar, tapi Yudha tersenyum.


Kafe kecil di lantai dasar kantor

Tempat itu selalu sepi saat siang. Mereka duduk di pojok, dekat jendela. Cahaya matahari menerobos kaca, menyentuh rambut Dira yang dikuncir asal. Yudha memesannya flat white, dan Dira hanya memesan air mineral.

“Kamu nggak suka kopi?” tanya Yudha.

“Suka, tapi kadang bikin makin cemas,” jawab Dira jujur, lalu segera menyesal.

Terlalu cepat. Terlalu terbuka.

Tapi Yudha hanya mengangguk pelan. Tidak bereaksi aneh. Tidak memberi nasihat sok tahu.

“Mungkin kamu bisa coba kopi decaf,” katanya santai, sambil tersenyum. “Atau… cukup duduk di tempat yang ada aroma kopi juga udah cukup menenangkan, kadang.”

Dira menatapnya. Dalam diam, ada jeda panjang.

“Kamu tahu soal itu?” tanyanya pelan.

Yudha mengangkat bahu. “Dikit-dikit. Aku pernah deket sama seseorang yang punya gangguan kecemasan juga.”

Dira tidak menjawab. Tapi napasnya terasa sedikit lebih ringan.

“Mereka yang kelihatan paling tenang, kadang yang paling sibuk di dalam kepalanya,” lanjut Yudha, kali ini dengan suara rendah. “Aku tahu itu bukan hal yang gampang dijelaskan.”

Dira menunduk. Tangannya meremas gelas air mineral.

“Aku capek, Yud,” katanya akhirnya. Suara itu pelan, seperti seseorang yang baru belajar mengakui perasaannya sendiri.

Yudha tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk, lalu duduk diam bersama Dira.

Diam yang tidak membuat canggung. Diam yang terasa seperti pelukan diam-diam.


Hari itu, saat kembali ke meja, Dira membuka catatan suasana hatinya:

Mood hari ini: 6/10
Aktivitas: kerja setengah hati, minum air mineral bareng Yudha
Pikiran berulang: “Mungkin aku tidak benar-benar sendirian.”

Bab 5: Hal-Hal Kecil yang Tidak Sengaja

Ada sesuatu yang berubah sejak percakapan di kafe itu.
Dira mulai menyadarinya bukan dari hal besar—bukan dari gombalan murahan atau pesan-pesan manis—melainkan dari hal-hal kecil yang hampir tak terlihat.

Seperti cara Yudha selalu menyapanya duluan setiap pagi.
Atau cara dia kadang-kadang menggeser kursinya sedikit lebih dekat saat diskusi tim.
Atau ketika ia meninggalkan setengah potong kue dari rapat sore dan meletakkannya diam-diam di samping laptop Dira, dengan selembar post-it: “Kamu suka yang manis, kan?”

Dira membacanya tanpa bisa menahan senyum. Lalu buru-buru menyembunyikannya di bawah meja, takut ketahuan siapa pun—terutama dirinya sendiri.

Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi semua itu.
Yudha tidak pernah memaksa, tidak pernah bertanya lebih dari yang perlu, tapi juga tidak menjauh. Ia tetap hadir, perlahan, konsisten.

Seperti hujan ringan yang datang tanpa guntur, hanya menyentuh pelan-pelan sampai tanah mulai lembap.


Suatu malam, lewat pukul sembilan

Hanya tersisa dua orang di ruang kerja: Dira dan Yudha.
Deadline mendekat, dan sebagian tim sudah pulang lebih dulu. Musik lo-fi mengalun pelan dari speaker kecil, dan suasana kantor yang biasanya bising terasa jauh lebih akrab dalam keheningan.

“Capek?” tanya Yudha sambil melirik ke arah Dira.

“Lumayan,” jawab Dira, menggosok pelipisnya.

Yudha berdiri, berjalan ke pantry, lalu kembali dengan dua gelas cokelat hangat. Ia menyodorkannya tanpa bicara. Dira menerimanya dengan kedua tangan.

“Thanks.”

Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Lalu Yudha bicara—pelan, hati-hati.

“Kamu tahu nggak, Dir… kadang aku ngerasa kamu kayak orang yang lagi berdiri di tepi jurang. Tapi nggak pernah mau lihat ke bawah.”

Dira terdiam. Cokelat di tangannya mendadak hambar.

“Aku nggak bermaksud menekan kamu,” lanjut Yudha cepat. “Aku cuma… penasaran. Apa kamu pernah pengen turun dari jurang itu? Atau kamu ngerasa lebih aman di sana?”

Dira menatapnya. Mata Yudha tenang. Tak menuntut. Tapi dalam.

“Aku takut jatuh,” jawabnya jujur. “Terlalu dalam. Terlalu hancur.”

Yudha tersenyum tipis. “Kalau kamu jatuh, siapa tahu kamu nggak jatuh sendirian.”


Saat mereka berpisah malam itu, Dira berjalan pulang dengan dada yang aneh—berat, tapi hangat. Seperti membawa sesuatu yang rapuh tapi berharga.

Dan malam itu, sebelum tidur, ia menulis:

Mood hari ini: 7/10
Pikiran berulang: “Kalau aku jatuh… mungkinkah ada yang menangkap?”
Catatan tambahan: Mungkin aku mulai menyukai seseorang. Mungkin.

Bab 6: Tumbuh yang Menyesakkan

Dira mulai menghindari Yudha.

Bukan secara terang-terangan—dia tetap menyapa, tetap hadir dalam rapat, tetap tersenyum sopan saat berpapasan. Tapi tak lagi membalas pesan secepat biasanya. Tak lagi duduk di kursi yang berdekatan saat makan siang. Tak lagi menyisakan tempat di sebelahnya seperti dulu.

Dan Yudha, seperti biasa, tidak memaksa. Ia hanya mengamati dari jauh, dengan mata yang tetap ramah tapi mulai bertanya.


Dira menulis lebih sering di jurnal malamnya. Tapi kalimat-kalimatnya berubah—tidak lagi tentang perasaan yang ringan, tapi penuh kekacauan diam-diam.

Mood hari ini: 3/10
Pikiran berulang: “Aku tidak pantas dicintai. Nanti aku akan menyakiti orang itu. Atau dia akan pergi.”
Kenapa aku malah takut saat seseorang mendekat? Kenapa bagian dalam kepalaku selalu bilang aku akan merusak segalanya?

Setiap kali Yudha menunjukkan perhatian, dada Dira terasa sempit. Ia ingin membalas, ingin membuka diri—tapi seolah ada tembok tak kasatmata di dadanya. Dan di balik tembok itu: ketakutan, trauma masa lalu, dan suara ibu yang dulu sering berkata “kamu ini terlalu sensitif, terlalu cengeng.”

Cinta, bagi Dira, bukanlah tempat berlindung. Ia adalah medan perang yang terlalu banyak ranjau.


Suatu malam, setelah lembur, Yudha akhirnya menahannya di lobi kantor.

“Dira,” suaranya tenang tapi tegas. “Aku nggak ngerti kamu akhir-akhir ini. Tapi kalau aku ngelakuin sesuatu yang salah, kasih tahu aku.”

Dira terdiam.

Yudha melanjutkan, “Kamu pernah bilang takut jatuh. Tapi sekarang aku ngerasa kamu bahkan nggak mau lihat ke arahku lagi.”

Suasana hening beberapa detik.

Lalu Dira berkata lirih, “Aku takut suka sama kamu.”

Yudha mengerjap, terkejut. Tapi tidak bicara. Jadi Dira lanjut, suaranya mulai gemetar.

“Karena kalau aku suka, aku bisa kehilangan. Karena orang datang, lalu pergi. Karena aku nggak tahu gimana caranya percaya kalau ada yang beneran mau tinggal.”

Mata Yudha melembut.

“Dir… aku nggak janji bisa tinggal selamanya. Tapi aku juga nggak akan lari cuma karena kamu takut.”

Ia menatap Dira dengan mata yang jujur. Tak romantis, tak berlebihan—hanya penuh kesabaran.

“Aku cuma minta satu hal. Jangan tutup semua pintu sebelum kamu benar-benar tahu rasanya dibuka.”


Malam itu, Dira pulang dengan perasaan aneh. Ia tidak tahu harus sedih atau lega. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak menulis tentang ketakutan.

Ia hanya menulis satu kalimat:

Aku ingin percaya. Meskipun sedikit. Meskipun perlahan.

 

Bab 7: Pelan Tapi Ada

Langit Jakarta mendung sore itu. Dira berdiri di dekat jendela kantor, memandangi awan yang menggumpal seperti pikirannya.
Ia baru saja selesai meeting mingguan—melelahkan, seperti biasa. Tapi yang paling melelahkan bukan isi rapatnya. Melainkan keputusan kecil yang ia ambil sejak pagi: hari ini, dia akan mengajak Yudha bicara.

Bukan karena tekanan. Bukan karena merasa berutang. Tapi karena dia ingin.

Pelan-pelan. Tapi ingin.


Yudha sedang memeriksa presentasi di mejanya saat Dira menghampiri.

“Yud,” panggilnya pelan.

Yudha menoleh. Raut wajahnya sejenak terlihat terkejut, tapi segera berubah menjadi tenang.

“Aku bisa temani kamu makan malam nggak?” tanya Dira. Suaranya nyaris bergetar.

Untuk sepersekian detik, Yudha hanya menatap. Lalu mengangguk. “Tentu.”


Mereka duduk di sebuah warung tenda yang tak jauh dari kantor. Tempatnya sederhana, bangkunya sedikit miring, tapi Dira merasa lebih nyaman di sini dibanding restoran yang ramai. Tidak ada suasana yang menuntut mereka tampil sempurna.

“Aku nggak jago ngomong,” kata Dira sambil menunduk. “Tapi... aku mau bilang makasih. Karena kamu nggak pergi.”

Yudha tersenyum. “Aku di sini, kan?”

Dira mengangguk. Perlahan ia mulai bicara, satu demi satu, tentang malam-malamnya yang penuh suara di kepala. Tentang kecemasan yang tak selalu masuk akal. Tentang pagi-pagi yang dimulai dengan rasa bersalah tanpa sebab. Ia bicara seperti seseorang yang baru belajar mengenali lukanya sendiri.

Dan Yudha tidak menyela. Tidak berusaha memberi solusi. Ia hanya mendengarkan—dan itu lebih dari cukup.

Setelah jeda panjang, Yudha berkata:

“Kamu tahu nggak, Dir... kadang aku merasa suka sama kamu bukan karena kamu kuat. Tapi karena kamu tetap berdiri meskipun terus gemetar.”

Dira terdiam.

Itu bukan pernyataan cinta yang megah. Tapi rasanya seperti seseorang baru saja membuka jendela dalam ruang yang pengap.

Ia tidak membalas dengan kata. Hanya tersenyum kecil—senyum pertama yang tulus, bukan karena sopan santun. Senyum yang datang dari tempat yang lama terkunci.


Di jurnal malamnya, Dira menulis:

Mood hari ini: 8/10
Pikiran berulang: “Mungkin tidak semua yang datang akan pergi. Mungkin ada yang bisa bertahan.”
Catatan: Aku bilang ‘terima kasih’ padanya. Tapi sebenarnya aku ingin bilang, ‘tolong jangan pergi dulu.’

 

Bab 8: Yang Datang Tanpa Diundang

Sudah dua minggu sejak Dira dan Yudha makan malam di warung tenda itu.
Mereka tak pernah benar-benar membicarakan apa pun setelahnya, tapi kehadiran mereka satu sama lain berubah. Lebih hangat. Lebih sadar.
Dira masih takut, masih ragu—tapi ia membiarkan Yudha berjalan di sampingnya sekarang. Bahkan saat ketakutan itu belum pergi.

Namun seperti semua hal yang perlahan tumbuh, badai kadang datang sebelum akar cukup dalam.


Hari itu, kantor ramai seperti biasa. Dira sedang mencatat hasil rapat saat seorang wanita muncul di depan ruang kaca.

Perempuan itu tinggi, rapi, dan mengenakan blazer hitam dengan senyum profesional. Tapi bukan itu yang membuat Dira terpaku.
Melainkan bagaimana Yudha langsung menegang saat melihatnya.
Bagaimana ia buru-buru keluar dari ruangan, menghampiri perempuan itu, dan berbicara dengannya di sudut koridor. Suara pelan tapi ekspresinya tegang.

Dira hanya bisa melihat dari balik kaca. Matanya tidak berkedip.

Beberapa menit kemudian, Yudha kembali—tatapannya singgah sebentar pada Dira sebelum buru-buru membereskan tasnya dan berkata pada manajer, “Aku izin sebentar.”

Dan pergi. Tanpa penjelasan.


Dira tidak bertanya apa pun malam itu. Ia hanya diam. Tapi kepalanya—seperti biasa—tidak.

Siapa dia?
Kenapa Yudha tampak canggung?
Kenapa rasanya seperti ada jarak yang tiba-tiba membeku?

Malam itu ia menulis:

Mood hari ini: 4/10
Pikiran berulang: “Mungkin aku terlalu cepat merasa aman.”
Catatan tambahan: Ini alasanku takut. Dunia bisa berubah dalam sedetik.


Keesokan harinya, Yudha datang lebih pagi dari biasanya. Ia menghampiri Dira sebelum jam kantor dimulai.

“Boleh bicara sebentar?”

Dira menatapnya, dingin tapi tenang. “Silakan.”

Mereka duduk di teras belakang gedung—tempat yang jarang dipakai. Sunyi. Cocok untuk percakapan yang tidak nyaman.

“Perempuan kemarin itu namanya Anya,” kata Yudha pelan. “Dia mantan tunanganku.”

Dira mengerjap. Kata itu menghantam keras.

“Kami putus setahun lalu. Dia mendadak datang lagi kemarin, bilang dia mau bicara. Tentang kemungkinan... kembali.”

“Dan kamu?” tanya Dira cepat, nadanya lebih dingin dari yang ia maksudkan.

“Aku nggak mau kembali,” kata Yudha. “Tapi aku nggak bisa bohong—kehadiran dia bikin pikiranku kacau. Bukan karena aku masih cinta. Tapi karena aku benci luka yang dulu belum selesai.”

Dira terdiam. Angin bertiup pelan, tapi terasa menusuk.

“Aku nggak mau sembunyi dari kamu, Dir,” lanjut Yudha. “Tapi aku juga nggak tahu apakah aku pantas minta kamu tetap percaya.”

Dira menatapnya lama. Ada perang dalam dirinya. Luka lama yang berkata “lihat, dia juga bisa pergi,” dan bagian lain yang berbisik “tapi dia kembali untuk bicara.”

Ia tidak menjawab. Tidak memeluk. Tidak marah.

Ia hanya berkata, dengan suara pelan:
“Aku butuh waktu.”

Dan untuk pertama kalinya, Yudha yang mengangguk—mengerti, meski jelas hatinya berat.

Bab 9: Memilih Untuk Bertahan

Dira tidak tidur nyenyak setelah percakapan itu.
Malam-malamnya dipenuhi bayang-bayang perasaan yang tak pernah selesai. Pikiran-pikiran berputar tentang Yudha dan mantan tunangannya, tentang keputusan yang harus diambil, dan yang paling besar—tentang dirinya sendiri. Tentang apakah ia cukup berani untuk menerima kenyataan bahwa seseorang bisa datang, memilih tinggal, dan tetap memilihnya meskipun masa lalu mereka rumit.

Tapi pagi itu, Dira sadar satu hal: ia tidak ingin kembali ke titik di mana ia terus merasa sendiri. Ia tidak ingin menutup pintu hanya karena takut.


Hari itu, Dira memilih untuk berhadapan langsung dengan Yudha. Tanpa memendam pertanyaan, tanpa terlalu banyak berdiam diri dalam keraguan.

“Kita harus bicara,” katanya, duduk di hadapan Yudha saat istirahat siang.

Yudha mengangguk, tidak berkata apa-apa. Seolah menunggu Dira untuk memulai.

“Aku nggak akan bilang aku nggak takut,” Dira memulai. “Tapi aku juga nggak bisa terus-terusan takut.”

Yudha memandangnya dengan mata yang penuh kejujuran. Ia tidak terburu-buru menanggapi, membiarkan Dira melanjutkan.

“Semua yang kamu bilang soal Anya—aku nggak tahu harus merasa bagaimana,” lanjut Dira. “Tapi aku tahu satu hal: aku nggak mau menutup diri hanya karena dia. Aku nggak mau takut lebih banyak dari yang sudah ada.”

Yudha menarik napas panjang, menatap Dira sejenak, lalu akhirnya berbicara dengan suara lembut, “Aku nggak akan pernah nyakitin kamu dengan cara yang sama.”

Dira menelan ludah. “Aku nggak tahu apakah aku bisa percaya sepenuhnya, Yud. Tapi aku mau coba.”

Yudha tersenyum—senyum yang penuh kelegaan. Senyum yang Dira rasakan seperti beban yang sedikit lebih ringan.

“Cobalah. Kita coba sama-sama,” jawab Yudha. “Aku nggak tahu apakah kita bisa jadi sempurna, tapi aku janji, aku akan berusaha sebaik mungkin.”


Malam itu, Dira menulis dengan perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya:

Mood hari ini: 6/10
Pikiran berulang: “Aku memilih untuk bertahan. Meskipun aku takut.”
Catatan tambahan: Ini bukan akhir. Ini awal untuk belajar lebih banyak tentang diri kita masing-masing.

Bab 10: Ujian dari Luar

Minggu pertama setelah percakapan yang menentukan itu terasa seperti angin yang mulai berhembus lebih tenang. Dira dan Yudha melangkah lebih dekat, pelan tapi pasti. Ada ruang yang terbuka di antara mereka, ruang yang cukup untuk mereka belajar saling memahami tanpa tekanan—tanpa ekspektasi yang berlebihan.

Namun, seperti semua hubungan, ada saat-saat di mana kenyataan luar datang mengetuk pintu mereka.


Hari itu, Dira sedang bekerja di mejanya saat teleponnya berdering. Tersedia di layar, nama ibunya muncul—panggilan yang selalu membuatnya merasa cemas.
Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum mengangkat telepon.

“Halo, Ma.”

“Dira, ada yang perlu kamu tahu. Aku dapat kabar dari temanmu di kantor. Katanya kamu mulai dekat sama Yudha?”

Dira menegakkan punggungnya, seolah telepon itu bukan hanya percakapan, tapi ujian yang lebih besar.

“Iya, Ma. Kami bicara beberapa kali. Apa ada masalah?” Dira berusaha terdengar tenang, meski hatinya mulai berdebar.

Ibunya diam sejenak sebelum menjawab, “Aku cuma nggak ingin kamu terluka, Dira. Kamu tahu kan, pria seperti dia—mereka nggak akan bisa bertahan lama.”

Dira menahan napas, menekan rasa sakit yang mulai tumbuh di dadanya. “Ma, itu bukan keputusanmu. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

“Dira, kamu selalu seperti ini. Kamu percaya pada orang yang salah. Aku cuma ingin kamu berhati-hati,” suara ibunya menjadi lebih lembut, tapi tetap penuh kekhawatiran.

Dira memejamkan mata. “Aku sudah cukup hati-hati, Ma. Terima kasih atas perhatianmu.”

Ia menutup telepon dengan hati yang terasa penuh. Rasanya seperti dinding berat dibangun di antara dirinya dan ibunya, meski ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Sejak kecil, ia diajarkan untuk menghindari hubungan yang bisa menyakitinya—untuk menganggap semua orang yang dekat denganmu akan pergi. Dan kini, peringatan itu datang lagi, lebih kuat dari sebelumnya.


Beberapa hari setelah itu, Yudha merasakan ada yang berubah dalam sikap Dira. Ia tidak seperti biasanya, tidak seperti Dira yang biasanya mengajak bicara dengan ringan. Ia mulai menghindar lagi, bahkan ketika mereka duduk berdampingan dalam rapat.

Yudha mencoba untuk memberi ruang, tetapi semakin lama, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang mengganjal.

Akhirnya, di sore hari yang lembap, saat Dira duduk di bangku taman luar kantor, Yudha menghampirinya.

“Dira,” suara Yudha penuh dengan keseriusan. “Kamu jauh lagi. Apa yang terjadi?”

Dira menatap ke depan, matanya kosong. “Aku baru saja berbicara dengan ibuku.”

Yudha duduk di sampingnya, tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Dira merasa bahwa ia ada di sana.

“Dan?” tanya Yudha dengan lembut.

“She doesn’t approve,” jawab Dira, pelan. “Dia bilang aku harus hati-hati. Bahwa orang-orang seperti kamu nggak akan bertahan lama.”

Yudha terdiam. Ia tahu betul, betapa kuatnya pengaruh ibu dalam hidup Dira. Bagaimana tiap keputusan Dira, setiap langkah yang diambil, selalu dibayangi dengan harapan dan ketakutan ibunya.

“Dira,” Yudha mulai, suaranya menahan sesuatu. “Aku nggak bisa janji bahwa kita akan sempurna. Tapi aku janji, aku nggak akan pergi hanya karena kamu takut.”

Dira menoleh padanya. Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Yudha melihat betapa dalam ketakutan itu mengakar dalam diri Dira.

“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi,” kata Dira. “Tapi aku nggak bisa terus takut.”

Yudha meraih tangannya dengan hati-hati, menggenggamnya dengan lembut. “Aku di sini, Dir. Aku nggak akan pergi.”


Malam itu, Dira menulis lagi:

Mood hari ini: 7/10
Pikiran berulang: “Apa yang aku takutkan? Apakah ini hanya soal percaya?”
Catatan tambahan: Aku ingin percaya. Aku ingin memberi lebih banyak dari apa yang aku beri sebelumnya.

 

Bab 11: Akhir yang Ditemukan

Waktu terus berjalan, dan Dira mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Meskipun ketakutannya masih ada—meskipun bayang-bayang rasa takut itu tetap mengintai—sesuatu dalam dirinya telah berubah. Dira mulai belajar bahwa hidup bukan tentang menghindari rasa takut, tetapi tentang berjalan bersamanya. Tentang memilih untuk tidak mundur meski jalan terasa penuh rintangan.

Dia mulai menerima bahwa cinta bukanlah sesuatu yang selalu mudah. Itu adalah sesuatu yang datang dengan keraguan, dengan luka, dan dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tetapi yang terpenting, cinta adalah pilihan—pilihan yang harus diambil dengan kesadaran penuh.


Beberapa bulan setelah percakapan terakhir mereka di taman kantor, Dira dan Yudha berdiri di pelataran kafe kecil yang sering mereka kunjungi setelah kerja. Matahari sore itu berkilau lembut, dan langit biru membentang luas.

Yudha tersenyum lembut, tangannya menyentuh ujung rambut Dira, menuntun gadis itu untuk menatap matanya.

"Dir," kata Yudha dengan suara pelan, penuh arti, "kamu masih takut?"

Dira menghela napas, merasa berat dan ringan sekaligus. “Iya, aku masih takut... tapi aku juga ingin percaya. Aku ingin kita mencoba, tanpa jaminan, tanpa segala kepastian.”

Yudha menatapnya dalam-dalam, kemudian menariknya ke dalam pelukan—pelukan yang penuh dengan pengertian dan penerimaan.

“Aku tahu kamu takut. Aku juga takut,” jawab Yudha, berbisik di telinganya. “Tapi aku nggak akan pergi. Aku akan di sini. Kita akan jalani semuanya, perlahan.”

Dira merasa sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Ada ketenangan yang mulai meresap ke dalam dirinya—sebuah pengertian bahwa cinta, meskipun tak sempurna, adalah sesuatu yang bisa bertahan. Cinta tidak selalu harus bebas dari rasa takut, tapi bisa belajar untuk tumbuh meskipun ada rasa itu.


Malam itu, Dira menulis di jurnalnya untuk yang terakhir kali:

Mood hari ini: 9/10
Pikiran berulang: “Aku memilih untuk percaya, bahkan ketika aku takut.”
Catatan tambahan: Aku tidak akan menutup pintu lagi. Aku memilih untuk memberi lebih banyak, meski tanpa kepastian.

Dira tahu, perjalanan ini belum selesai. Ada banyak hari yang harus dijalani, banyak keputusan yang harus diambil, dan mungkin lebih banyak ketakutan yang harus dihadapi. Tetapi satu hal yang pasti: dia tidak lagi merasa sendirian. Ada seseorang yang bersedia berjalan bersamanya, dengan semua ketakutannya, dan itu sudah cukup untuk membuatnya memilih untuk tetap maju.

Dan dengan itu, cinta—meskipun penuh dengan ketakutan dan keraguan—akhirnya menemukan tempatnya dalam hati Dira.

Epilog: Di Antara Cinta dan Ketakutan

Tahun-tahun berlalu, dan Dira akhirnya belajar untuk berjalan di dunia yang lebih tenang. Dunia yang tidak lagi dihantui bayang-bayang ketakutannya. Meskipun ketakutan itu tidak pernah sepenuhnya hilang, ia tidak lagi membiarkan rasa itu mengendalikan langkahnya.

Dira masih sering bertanya-tanya, seperti saat-saat awal ketika ia mengenal Yudha. Tetapi sekarang, pertanyaan-pertanyaan itu bukan lagi untuk meragukan dirinya atau hubungannya. Ia belajar bahwa kadang-kadang, jawaban terbaik adalah memberi ruang bagi diri sendiri untuk tumbuh.


Yudha tetap di sampingnya, bukan sebagai jawaban atas semua ketakutan, tetapi sebagai teman seperjalanan. Ia bukanlah penyelamat, bukan pula seseorang yang selalu tahu apa yang terbaik. Namun, Yudha hadir sebagai seseorang yang bersedia berjalan bersamanya, hari demi hari, dengan segala ketidaksempurnaan yang mereka miliki. Tidak ada janji besar tentang kebahagiaan yang abadi, tapi ada janji tentang kesetiaan—kesetiaan untuk bertahan bersama dalam keadaan yang baik maupun buruk.

Mereka sering berjalan berdua di sore hari, tangan mereka saling menggenggam tanpa kata-kata, menikmati kebersamaan yang sederhana. Kadang-kadang, mereka berdiam dalam sunyi, berbicara hanya dengan mata, atau hanya dengan senyum yang tidak membutuhkan alasan.

Di antara mereka, ada pemahaman yang tidak diucapkan—bahwa cinta tidak selalu sempurna, tapi cinta adalah tentang menerima ketakutan dan ketidakpastian, dan memilih untuk tetap ada di samping satu sama lain, meski dunia bisa berubah begitu cepat.


Dira tidak lagi merasa terjebak dalam bayang-bayang yang dulu selalu menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa hidup tidak selalu harus penuh dengan kepastian, dan itulah yang membuatnya bisa menikmati hari-hari mereka bersama.

Kadang-kadang, Dira memikirkan ibunya—perempuan yang selalu mengingatkan dirinya untuk hati-hati. Terkadang, ia ingin mengatakan pada ibunya bahwa, meskipun ia tidak selalu mengerti jalan hidupnya, ia merasa lebih kuat sekarang. Lebih mampu menerima bahwa ketakutan itu bukan musuh, melainkan bagian dari perjalanan yang harus dilalui.

Namun, satu hal yang lebih penting dari semua itu: Dira tahu bahwa cinta bukan tentang menjadi tanpa rasa takut. Cinta adalah tentang memilih untuk bertahan meskipun ketakutan itu ada, dan memberi ruang untuk tumbuh, bersama, perlahan.

Dan di tengah perjalanan ini, Dira tahu bahwa ia tidak sendirian.


Setiap kali ia melihat Yudha, setiap kali ia merasakan kehangatan tangan Yudha yang menggenggam tangannya, ia merasa seperti berada di tempat yang aman—tempat di mana mereka berdua bisa saling menguatkan, meskipun dunia di luar mereka kadang begitu tidak pasti.

Di antara cinta dan ketakutan, Dira menemukan sesuatu yang lebih berharga dari kepastian: sebuah perjalanan yang terus berlanjut, yang tak pernah berhenti berkembang.

Dan itu sudah cukup.


The End.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh