Bayangan yang Berjalan Sendiri
Bayangan yang Berjalan Sendiri
Sinopsis:
Darin, seorang pemuda berusia 24 tahun, hidup di dunia yang terasa terlalu bising baginya. Setiap langkah mendekat ke orang lain membuatnya ingin mundur, setiap senyuman yang tulus terasa seperti beban yang menyesakkan. Ia menghindari pertemanan, cinta, bahkan keluarganya sendiri. Namun ketika dia bertemu dengan Aira—seseorang yang memiliki luka yang sama tapi memilih untuk berjuang—dunia Darin mulai retak, dan dia dipaksa menghadapi bayangan yang selama ini dia hindari: dirinya sendiri.
Bab 1: Senyap di Tengah Keramaian
Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Darin duduk di pojok ruangan, punggung menempel di dinding, mata tertunduk ke layar ponselnya yang kosong. Seperti biasa, dia datang sendirian, berharap tidak ada yang memperhatikannya.
Darin bukan tidak ingin berteman—dia hanya tidak tahu bagaimana. Setiap kali seseorang mendekat, tubuhnya menegang, pikirannya kacau, dan mulutnya terkunci. Dia takut dilukai, takut ditolak, takut ditertawakan. Jadi, dia memilih untuk diam, membiarkan jarak menjadi perisai.
Pintu kafe terbuka, dan masuklah seorang gadis dengan langkah ringan, membawa semilir aroma vanila yang anehnya menenangkan. Dia mencari tempat duduk, matanya terhenti pada kursi kosong di depan Darin.
"Aku boleh duduk di sini?" tanyanya, tersenyum kecil.
Darin meneguk ludah. Ia ingin menolak, ingin berdiri dan pergi, tapi bibirnya tak bergerak. Ia hanya mengangguk pelan, dan gadis itu duduk.
Aira. Namanya terukir di cangkir kopinya.
Dan entah bagaimana, duduk bersama Aira, Darin merasa tidak sepi… meski kata-kata tak terucap.
Bab 2: Dinding yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu, dan Aira sering datang ke kafe yang sama, duduk di meja yang sama. Kadang dia berbicara tentang hujan, tentang buku yang dia baca, tentang lukisan-lukisan yang dia buat. Darin hanya mendengarkan, tak banyak bicara, hanya mengangguk atau tersenyum kecil.
Namun semakin lama, ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam hati Aira.
"Kenapa kamu selalu duduk di pojok?"
"Kenapa kamu jarang bicara?"
"Kenapa kamu terlihat… takut?"
Darin ingin menjawab, tapi ada tembok tebal yang menghalanginya. Tembok yang dia bangun sendiri, tembok yang dia percayai melindunginya dari rasa sakit. Tapi dengan setiap kata Aira, tembok itu mulai retak.
Bab 3: Luka yang Sama
Suatu malam, hujan turun deras. Darin berdiri di depan kafe, ragu untuk masuk. Di dalam, Aira duduk, wajahnya sembab, matanya merah. Untuk pertama kalinya, Darin yang menghampiri.
"Aira… kenapa menangis?" tanyanya, suara serak yang jarang dia gunakan.
Aira menoleh, terkejut mendengar suaranya. Dia menunduk, menutup wajahnya.
"Aku capek… selalu mencoba. Aku juga takut, Darin… takut ditinggalkan, takut dianggap lemah."
Kata-katanya seperti cermin, memantulkan ketakutan Darin yang selama ini dia sembunyikan. Mereka duduk berdua dalam diam, ditemani hujan, dan untuk pertama kalinya, Darin merasa tidak sendiri.
Bab 4: Ketakutan yang Terucap
Hujan sudah reda ketika mereka berpisah malam itu, tapi perasaan Darin justru semakin deras. Kata-kata Aira terus bergema di kepalanya. "Aku juga takut, Darin…"
Untuk pertama kalinya, Darin merasa dia bukan satu-satunya yang terluka. Tapi di sisi lain, rasa takut yang sudah mengakar bertahun-tahun itu juga menjeratnya lebih erat.
Keesokan harinya, Darin menghindari kafe itu. Dia berjalan tanpa tujuan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia baik-baik saja. Tapi bayangan Aira, senyumnya, air matanya, terus membayangi.
Di taman, dia duduk di bangku kosong, memandangi langit kelabu. "Kalau aku mendekat, aku pasti akan melukai dia juga…" pikirnya. "Kalau aku pergi, mungkin ini yang terbaik."
Namun tiba-tiba, sebuah pesan muncul di ponselnya.
📩 Aira: "Kamu baik-baik saja? Aku… aku ingin mendengarkan kamu juga, Darin."
Pesan itu membuat jantung Darin berdetak tak karuan. Tangannya gemetar. Dia menatap layar itu lama, sebelum akhirnya, dengan keberanian yang hampir habis, dia mengetik balasan pendek:
📩 Darin: "Aku juga takut, Aira. Aku selalu takut."
Bab 5: Luka yang Terbuka
Hari berikutnya, Darin kembali ke kafe. Aira sudah ada di sana, duduk di tempat biasa, menatap kosong ke jendela. Ketika Darin masuk, Aira tersenyum—bukan senyum yang cerah, tapi senyum kecil yang penuh pengertian.
Mereka duduk dalam diam. Setelah beberapa saat, Aira berkata, "Tak apa, Darin. Kamu nggak harus selalu bicara. Kadang, diam pun cukup."
Darin menarik napas dalam-dalam. Ada banyak kata yang mendesak di dadanya, tapi seperti ada gumpalan di tenggorokannya yang menahan semua keluar. Tangannya mengepal di atas meja, matanya menatap meja.
Aira memperhatikan itu. Dengan hati-hati, dia menyentuh tangan Darin, hangat dan ringan.
"Kamu nggak sendiri, Darin."
Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu yang sudah lama tertutup rapat.
Pelan-pelan, Darin mulai bercerita. Tentang masa kecilnya, tentang ayahnya yang keras dan ibunya yang selalu menangis, tentang bagaimana dia selalu merasa harus menjadi ‘baik’, harus menyesuaikan diri, harus menghindari konflik, bahkan harus menghindari kebahagiaan karena takut kehilangan.
Air mata Darin mengalir tanpa suara. Aira menggenggam tangannya erat, membiarkan tangis itu tumpah.
Bab 6: Cahaya di Ujung Lorong
Beberapa minggu berlalu. Darin dan Aira mulai rutin bertemu di kafe, kadang berbicara, kadang hanya diam. Aira mulai mengenalkan Darin ke dunia kecilnya—lukisan-lukisannya, lagu-lagu yang dia dengarkan, bahkan buku-buku yang dia sukai.
Darin masih sering ragu, masih sering menarik diri, tapi dia belajar untuk pelan-pelan membuka pintu hatinya. Dan Aira ada di sana, menunggu dengan sabar, tanpa memaksa, tanpa menghakimi.
Suatu hari, Aira menyerahkan sebuah buku sketsa pada Darin. Di dalamnya ada sebuah gambar: dua orang berdiri di bawah pohon besar, satu dengan bayangan besar yang menutupinya, satu dengan cahaya kecil di tangan.
Di bawah gambar itu tertulis:
"Kadang kita hanya butuh satu cahaya kecil untuk berjalan di kegelapan."
Darin menatap gambar itu lama, dan untuk pertama kalinya, dia tersenyum tulus pada Aira.
"Terima kasih, Aira."
Hari itu, Darin tahu, meski jalannya masih panjang, dia tidak lagi berjalan sendiri.
Bab 7: Jarak yang Tercipta
Hari-hari berjalan, dan untuk pertama kalinya, Darin merasa ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya. Namun, ketika hubungan itu mulai tumbuh, Darin juga mulai merasa takut. Takut kalau dia akan merusak semuanya, takut kalau Aira akan pergi seperti semua orang yang pernah ada di hidupnya.
Suatu sore, ketika Aira bercerita dengan antusias tentang proyek lukisannya di galeri kecil kota, Darin merasa tercekik. Melihat Aira begitu bercahaya membuat Darin merasa kecil, tak layak berada di sisinya.
Tanpa berkata apapun, Darin berdiri dari meja dan pergi, meninggalkan Aira yang menatap punggungnya dengan wajah terluka.
Di luar, Darin berlari, seolah mencoba lari dari semua perasaan yang berkecamuk di dadanya. Langkahnya terhenti di taman yang biasa dia datangi. Napasnya memburu, dadanya sesak.
"Aku nggak bisa... aku pasti nyakitin dia... Aku harus pergi..." gumam Darin, matanya berkaca-kaca.
Tapi di dalam hatinya, sebuah suara kecil berbisik, "Kalau kamu terus lari, kamu akan kehilangan dia."
Bab 8: Luka yang Terucap
Keesokan harinya, Aira tidak datang ke kafe. Hari berikutnya, dan berikutnya lagi, bangku di seberang Darin kosong. Ada ruang hampa yang menyesakkan.
Darin memandangi kursi itu lama, menunggu, berharap Aira akan muncul dengan senyum kecilnya, dengan cerita-cerita sederhana yang membuat dunia terasa lebih ringan. Tapi Aira tidak datang.
Akhirnya, dengan tangan gemetar, Darin menulis pesan:
📩 Darin: "Maaf... Aku pergi tanpa bicara. Aku takut, Aira. Aku takut nggak cukup baik untukmu."
Beberapa jam kemudian, balasan datang:
📩 Aira: "Kamu nggak harus jadi cukup baik, Darin. Kamu hanya perlu jadi kamu. Tapi aku nggak bisa terus menunggu kalau kamu nggak mau mencoba."
Pesan itu seperti tamparan bagi Darin. Malam itu, dia duduk di kamarnya, menatap cermin. Wajahnya lelah, matanya kosong, tapi di balik itu, ada kerinduan yang dalam.
Dia sadar: selama ini dia bukan hanya menghindari orang lain, tapi juga menghindari dirinya sendiri.
Bab 9: Langkah Kecil
Keesokan paginya, Darin menunggu di depan galeri kecil tempat Aira bekerja. Ketika Aira muncul, dia tampak terkejut, bahkan agak ragu.
Darin menatap matanya, dan dengan suara pelan, dia berkata:
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Aira... tapi aku mau mencoba. Aku nggak mau lari lagi."
Aira menatap Darin lama, kemudian tersenyum kecil.
"Kalau kamu mau mencoba, aku juga mau."
Mereka berjalan bersama di trotoar yang basah setelah hujan. Tidak ada janji besar, tidak ada kata-kata manis. Hanya dua orang dengan luka mereka masing-masing, yang memilih untuk berhenti menghindar, memilih untuk berjalan bersama, meski pelan, meski takut.
Hari itu, Darin belajar: kadang keberanian bukan soal menjadi kuat, tapi soal mau mencoba—meskipun gemetar.
Bab 10: Pintu yang Terkunci
Hari-hari berlalu, dan meskipun Darin dan Aira mulai sering berjalan bersama, ada sesuatu yang tetap mengganjal di antara mereka.
Aira bisa merasakannya—Darin masih sering diam mendadak, seperti menarik diri ke dalam cangkangnya sendiri. Suatu sore, Aira memberanikan diri bertanya,
"Darin, boleh aku tahu… tentang keluargamu?"
Darin terdiam. Wajahnya mengeras, matanya kosong. Aira segera menyesal bertanya, tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, Darin menjawab pelan,
"Aku… nggak suka bicara tentang itu."
Dia berdiri, mengucapkan maaf cepat, dan pergi begitu saja, meninggalkan Aira yang terdiam dengan rasa bersalah.
Di kamar Darin malam itu, kenangan-kenangan lama berputar di kepalanya. Ayahnya yang galak, teriakan yang meledak seperti bom, ibunya yang sering menangis diam-diam di dapur.
Darin ingat malam-malam di mana dia bersembunyi di lemari, menahan napas agar tidak terdengar, berharap semua kekacauan itu hilang begitu saja.
Dia menatap ponselnya, melihat pesan Aira yang belum dia balas. Tangannya gemetar, ada air mata yang jatuh di pipinya, tapi dia belum siap.
Belum.
Bab 11: Retakan yang Dalam
Beberapa hari berlalu tanpa kabar dari Darin. Aira mulai cemas, tapi dia juga tahu Darin butuh waktu. Meski begitu, ada perasaan yang menggantung di dadanya, rasa takut yang pelan-pelan tumbuh.
Sampai akhirnya, Aira mendengar kabar: galeri kecil tempat dia bekerja akan ditutup karena masalah dana. Dunia Aira juga mulai retak.
Di saat yang sama, Darin berjuang sendiri. Dia mulai merasa Aira lebih baik tanpa dia—lebih bebas, lebih kuat. Dalam pikirannya, dia hanya akan menjadi beban.
Saat Aira mengirim pesan, "Boleh kita ketemu? Aku butuh teman," Darin hanya membaca, tanpa membalas. Bukan karena dia tidak peduli—justru karena dia terlalu peduli, tapi merasa dirinya tidak cukup baik untuk ada di sana.
Dan malam itu, Aira menangis sendirian di kamarnya.
Bab 12: Jatuh dan Bangkit
Beberapa hari kemudian, Darin berdiri di depan cermin, matanya merah, wajahnya pucat. Dia lelah lari.
Dia ingat Aira bilang, "Kamu nggak harus jadi cukup baik. Kamu hanya perlu jadi kamu."
Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Dan akhirnya, dengan langkah berat, Darin pergi ke galeri Aira. Di sana, dia melihat Aira sedang membereskan lukisan-lukisannya, wajahnya kosong, lelah, tapi tetap mencoba tersenyum.
Darin mendekat, suaranya pelan, gemetar,
"Aira… aku minta maaf. Aku nggak ada waktu kamu butuh aku. Aku cuma takut… aku nggak cukup baik."
Aira menoleh, matanya berkaca-kaca. Dia mendekat dan berkata,
"Aku nggak butuh kamu jadi cukup baik, Darin. Aku cuma butuh kamu ada."
Darin menunduk, air matanya jatuh. Aira menggenggam tangannya erat. Mereka berdiri di tengah ruangan kosong itu, dua orang yang sama-sama terluka, tapi memilih untuk saling menemani.
Hari itu, Darin berjanji pada dirinya sendiri: dia mungkin nggak bisa langsung berubah, tapi dia akan mencoba. Bukan untuk jadi sempurna, tapi untuk tetap ada. Untuk Aira, dan untuk dirinya sendiri.
Bab 13: Rumah yang Pernah Menjadi Sangkar
Suatu pagi, setelah bermalam di kamar yang gelap dan penuh sesak oleh pikiran sendiri, Darin duduk di tepi ranjangnya. Tangannya gemetar ketika membuka ponsel, mencari nama yang selama ini dia hindari: Ayah.
Dia ingat kata-kata Aira:
"Kalau kamu terus lari, luka itu nggak akan pernah sembuh, Darin."
Dengan napas tertahan, Darin akhirnya menekan tombol panggil.
Suara di ujung sana terdengar dingin, asing tapi familiar.
"Halo?"
Darin diam. Ada jeda panjang, seperti sebuah dunia yang runtuh dalam kesunyian. Akhirnya, dengan suara gemetar, Darin berkata,
"Aku… aku cuma mau bilang aku baik-baik aja. Dan aku… aku nggak marah lagi."
Ayahnya terdiam, lalu berkata dengan nada yang lirih,
"Darin… aku nggak tahu harus bilang apa. Aku juga minta maaf."
Air mata mengalir di pipi Darin, tapi ada kelegaan yang mengalir bersamanya. Mungkin hubungan mereka tak akan pernah sempurna, tapi hari itu, sebuah pintu yang tertutup rapat mulai terbuka.
Bab 14: Rahasia di Balik Senyuman Aira
Beberapa hari kemudian, Darin menemani Aira membereskan galeri yang akan ditutup. Saat Darin membantunya mengemas lukisan, dia menemukan sebuah sketsa lama di bawah tumpukan kanvas. Gambar itu menggambarkan seorang gadis kecil duduk sendiri di bawah hujan, dengan payung patah.
Darin menatap Aira, matanya bertanya. Aira terdiam, wajahnya berubah muram. Setelah menarik napas panjang, Aira berkata,
"Itu aku. Dulu, waktu kecil… aku sering ditinggal di rumah nenek. Orang tuaku sibuk bertengkar, mereka lupa aku ada. Kadang aku berpikir… kalau aku hilang, mungkin nggak ada yang sadar."
Darin terkejut. Di balik senyuman Aira, ada luka yang dalam. Mereka saling menatap, dua orang dengan luka masa lalu yang berbeda, tapi sama-sama terasa menyesakkan.
Darin menggenggam tangan Aira, matanya penuh pengertian. Untuk pertama kalinya, dia berkata dengan mantap,
"Kita nggak perlu jadi kuat sendirian, Aira."
Aira menatapnya, tersenyum kecil sambil menahan air mata.
Bab 15: Langkah Kecil yang Baru
Hari demi hari, mereka mulai belajar untuk tidak menghindar. Darin mulai membaca buku tentang trauma dan mulai mencoba terapi, meski setiap langkah kecil itu terasa berat.
Aira, di sisi lain, mulai mencoba melukis lagi, bukan untuk galeri, tapi untuk dirinya sendiri—melukis tentang luka-luka yang tak terlihat dan cahaya kecil yang tumbuh di antaranya.
Suatu sore, mereka duduk di taman, di bawah pohon besar yang daunnya berguguran. Aira bersandar di bahu Darin, dan Darin menatap langit yang perlahan menggelap.
"Kamu tahu, Darin?" Aira berkata pelan. "Aku nggak butuh kamu jadi sempurna. Aku cuma mau kita jalan bareng, meski kadang kita jatuh."
Darin mengangguk, hatinya terasa hangat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia percaya: mungkin dia bisa dicintai, meski dengan segala luka yang dia bawa.
Bab 16: Badai yang Datang Tiba-Tiba
Hubungan Darin dan Aira mulai terasa lebih stabil. Mereka belajar saling mendengarkan, saling memberi ruang, dan pelan-pelan, Darin mulai terbuka soal pikirannya.
Tapi suatu hari, badai datang tanpa peringatan.
Darin mendapat telepon dari kantor lamanya—tempat dia dulu bekerja sebelum memutuskan berhenti karena burnout. Mereka menawarkan posisi penting dengan gaji besar, posisi yang dulu Darin impikan.
Darin terdiam lama menatap layar ponselnya. Tawaran itu seperti pintu ke masa lalu, ke dunia yang dulu membuatnya tenggelam.
Di satu sisi, ini adalah kesempatan. Di sisi lain, dia tahu, pekerjaan itu pernah membuatnya kehilangan dirinya sendiri.
Saat dia menceritakan kabar ini ke Aira, senyum Aira sempat pudar. Aira berkata pelan,
"Kalau itu memang yang kamu mau, aku dukung. Tapi aku takut kamu akan tenggelam lagi, Darin…"
Darin menunduk, merasakan ketakutan yang sama. Ini bukan hanya soal pekerjaan, tapi soal siapa dirinya yang ingin dia pertahankan.
Bab 17: Perdebatan di Antara Kita
Minggu itu, untuk pertama kalinya, mereka bertengkar.
Darin ingin mencoba pekerjaan itu—membuktikan bahwa dia sudah berubah, bahwa dia bisa lebih kuat dari dulu. Tapi Aira, dengan cemas, mengingatkannya pada malam-malam gelap yang pernah Darin lewati.
"Aku cuma nggak mau kamu terluka lagi, Darin."
"Dan aku cuma mau kamu percaya aku bisa. Jangan lihat aku seperti orang yang rapuh, Aira!"
Kata-kata itu tajam, dan Aira mundur dengan mata berkaca-kaca. Darin langsung menyesal, tapi dia terlalu lelah untuk menjelaskan.
Hari itu, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan hati berat. Hubungan yang mereka bangun dengan hati-hati terasa rapuh kembali.
Bab 18: Luka Bukan untuk Disembunyikan
Beberapa hari setelahnya, Darin duduk di bangku taman tempat biasa mereka bertemu. Di tangannya, ada buku catatan yang Aira berikan dulu—halaman kosong yang dia isi dengan perasaan dan pikirannya.
Dia membaca kembali tulisannya:
"Aku nggak harus jadi cukup baik. Aku cuma harus ada."
Darin sadar, dia terlalu fokus membuktikan diri, sampai lupa: yang Aira butuhkan bukan Darin yang hebat, tapi Darin yang hadir. Yang mau bercerita, yang mau lemah, yang mau jatuh.
Sore itu, dia mengirim pesan:
📩 Darin: "Aira, aku salah. Aku terlalu sibuk pengen kamu lihat aku kuat, sampai aku lupa kalau kita nggak harus selalu kuat."
📩 Aira: "Aku juga minta maaf, Darin. Aku takut kehilangan kamu, jadi aku malah mencoba mengendalikan."
Malam itu, mereka bertemu lagi di taman, duduk berdampingan tanpa banyak kata. Darin berkata pelan,
"Aku mungkin akan tetap takut. Tapi aku mau belajar nggak lari lagi. Sama kamu."
Aira menggenggam tangannya, hangat, dan berkata,
"Kita sama-sama belajar, Darin."
Dan di bawah cahaya remang lampu taman, dua hati yang luka itu tahu: perjalanan mereka masih panjang, tapi mereka nggak harus berjalan sendirian.
Bab 19: Jalan di Persimpangan
Darin akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan itu—bukan karena dia ingin membuktikan sesuatu, tapi karena dia ingin mencoba. Kali ini, dia akan melakukannya dengan cara yang berbeda: dengan kesadaran penuh dan dengan batasan yang sehat.
Aira mendukungnya, meskipun di hatinya ada ketakutan. Tapi dia belajar untuk tidak mengontrol Darin, untuk percaya bahwa Darin akan menjaga dirinya.
Mereka mulai menjalani rutinitas baru: Darin yang sibuk dengan pekerjaan, Aira yang membuka kelas seni kecil di rumahnya.
Namun, ada jarak yang mulai terasa. Malam-malam yang dulu mereka habiskan bersama, sekarang sering digantikan dengan Darin yang pulang larut atau Aira yang tertidur lebih dulu di sofa.
Suatu malam, saat Darin pulang, dia menemukan Aira tertidur di sofa dengan sketsa di pangkuannya. Di sana, ada gambar mereka berdua—tersenyum di bawah pohon yang sama di taman. Darin terdiam lama. Ada sesuatu yang menusuk dadanya: rasa takut kehilangan, rasa bersalah, dan rasa sayang yang begitu besar.
Dia sadar, ini bukan hanya tentang mengejar masa depan, tapi juga tentang menjaga rumah kecil yang mereka bangun bersama.
Bab 20: Ketakutan yang Terucap
Di akhir pekan, mereka duduk di balkon apartemen, memandangi langit malam. Darin akhirnya berkata dengan jujur,
"Aira… aku takut. Aku takut kita nggak akan berhasil. Aku takut aku terlalu rusak untukmu."
Aira menatapnya, matanya berkaca-kaca. Dengan suara pelan, dia berkata,
"Darin… aku juga takut. Aku takut kamu akan pergi, takut kamu akan lelah sama aku. Tapi kita nggak bisa terus hidup dalam ketakutan."
Dia menggenggam tangan Darin erat.
"Aku nggak mau kita sempurna. Aku cuma mau kita ada buat satu sama lain. Kalau kamu jatuh, aku akan ada. Kalau aku jatuh, kamu ada."
Darin terdiam, dadanya sesak, tapi juga hangat. Untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar dilihat dan diterima.
Bab 21: Memilih Satu Sama Lain
Hari itu, Darin mengambil keputusan penting: dia berbicara dengan atasannya dan mengatakan dengan jelas bahwa dia tidak bisa bekerja dengan jam gila seperti sebelumnya. Dia memilih untuk pulang tepat waktu, untuk Aira, dan untuk dirinya sendiri.
Aira juga belajar sesuatu: dia tidak harus menjadi penyelamat semua orang. Ketika salah satu muridnya menangis karena frustasi, Aira hanya mendampingi, tanpa mencoba memperbaiki semuanya. Dia belajar bahwa menjadi teman berarti hadir, bukan menyelesaikan semua masalah.
Di malam ulang tahun Aira, Darin membawakan kue kecil dengan lilin sederhana. Di sana, di ruang tamu yang hangat, Darin berkata,
"Aku nggak janji kita nggak akan berantem, atau aku nggak akan bikin salah. Tapi aku janji… aku mau tetap ada, meski aku takut, meski aku salah."
Aira tersenyum dengan air mata di mata. Dia memeluk Darin erat dan berkata,
"Aku juga. Kita belajar bareng, ya?"
Dan malam itu, di tengah kesederhanaan, mereka memilih satu sama lain.
Bukan karena mereka sudah sembuh sepenuhnya, tapi karena mereka tahu: luka bukan alasan untuk pergi, tapi alasan untuk tetap bertahan dan tumbuh bersama.
Bab Akhir: Pulang
Musim semi tiba dengan sunyi. Bunga-bunga bermekaran di taman tempat Darin dan Aira dulu sering duduk, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Aira mendapat kabar: lukisannya terpilih untuk pameran besar di kota lain, kesempatan yang selama ini hanya ada dalam mimpinya. Ketika dia memberi tahu Darin, dia berkata,
"Ini impian aku, Darin… tapi aku takut kalau aku pergi, kita akan makin jauh."
Darin terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Aira. Dengan senyum kecil, dia berkata,
"Pergilah, Aira. Aku nggak mau jadi bayangan yang menghalangi cahaya kamu. Kita bisa cari cara."
Hari itu, mereka belajar: cinta bukan soal selalu bersama, tapi soal saling mendukung untuk tumbuh.
Aira pergi, dan Darin belajar untuk tetap berdiri di tempatnya—belajar mengelola pekerjaannya dengan sehat, belajar menulis di buku catatannya, belajar mengunjungi terapisnya tanpa merasa lemah.
Di kota lain, Aira berdiri di tengah kerumunan yang mengagumi lukisannya, tapi ada satu wajah yang dia rindukan—Darin.
Sampai suatu malam, di galeri yang sepi, Darin datang diam-diam. Dia berdiri di depan lukisan Aira: seorang gadis kecil duduk di bawah hujan, dengan seorang pemuda berdiri di sampingnya, memayunginya.
Darin mendekati Aira dan berkata,
"Kamu nggak sendirian lagi."
Aira tersenyum dengan air mata yang jatuh. Mereka berdiri di sana, dalam diam, tahu bahwa mereka sudah berjalan jauh—melewati luka, rasa takut, dan ketidaksempurnaan.
Darin menatap Aira dan berkata,
"Kamu pulang, ya?"
Aira menjawab,
"Aku selalu pulang. Ke kamu."
Dan malam itu, di galeri yang diterangi cahaya lampu lembut, dua jiwa yang dulu terluka akhirnya memilih pulang—bukan ke tempat, tapi ke hati satu sama lain.
🌿 Epilog: Bayangan yang Tak Lagi Sendiri
Bertahun-tahun kemudian, di taman kecil yang dulu sering mereka datangi, ada dua kursi kayu yang sering terisi: Darin yang membaca buku, Aira yang melukis. Kadang, mereka hanya duduk diam, saling menggenggam tangan.
Bayangan mereka masih ada, tapi kini tak lagi berjalan sendiri.
Mereka belajar: luka tak selalu sembuh sempurna, tapi cinta bisa membuatnya tak terasa terlalu berat.
Dan itu cukup.
Komentar
Posting Komentar