Cinta di Waktu yang Salah

 Cinta di Waktu yang Salah




Bab 1: Pertemuan yang Tak Direncanakan

Langit sore itu muram, seolah tahu ada perasaan yang menggantung di antara dua jiwa yang belum benar-benar selesai. Hujan rintik-rintik turun perlahan, membasahi jalanan Jakarta yang penuh hiruk pikuk. Di salah satu halte tua, seorang pria berdiri sendirian. Jaket kulit hitam yang dikenakannya telah basah oleh gerimis, dan napasnya tampak mengepul karena udara dingin.

Namanya Aksara. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata yang menyimpan kelelahan panjang. Ia baru saja kembali dari Eropa setelah tujuh tahun merantau dan mengejar karier yang telah lama ia impikan. Tapi tak ada yang bisa mempersiapkannya untuk pertemuan ini.

Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang perempuan berhenti di sisi halte, membuka payung biru muda yang sudah setengah rusak oleh angin. Rambut hitamnya basah, menempel di pipi. Ia terlihat ragu saat menatap pria di sampingnya.

“Aksara?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar di antara suara hujan.

Pria itu menoleh cepat. Matanya membelalak. “Laras?”

Sejenak, waktu seakan berhenti. Hujan, kendaraan, bahkan detak jantung seolah memudar menjadi latar yang jauh. Hanya ada mereka berdua. Dua orang yang pernah saling mencintai begitu dalam, tapi harus menyerah pada keadaan.

Mereka tersenyum, kikuk namun hangat. Tawa kecil mengisi udara di antara mereka, membelah kebekuan tujuh tahun yang lalu.

Bab 2: Kenangan yang Tak Pernah Mati

Laras menatap cangkir teh di hadapannya, sementara Aksara menyeruput kopi hitam yang mulai mendingin. Café kecil di sudut kota itu tak banyak berubah sejak dulu, hanya beberapa kursi yang kini berganti model. Wangi kopi dan suara hujan menjadi latar dari percakapan yang sudah terlalu lama tertunda.

"Dulu... aku kira kita akan menikah," ucap Laras, suaranya pelan namun penuh arti.

Aksara tak langsung menjawab. Ia menatap Laras lama, seolah mencoba memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar nyata. Bukan bayangan dari masa lalu.

"Aku juga mengira begitu," katanya akhirnya. "Tapi hidup tidak selalu seperti yang kita rencanakan."

Mereka adalah pasangan yang pernah begitu kuat—selalu bersama di setiap ujian kuliah, proyek akhir, hingga mimpi-mimpi besar tentang masa depan. Tapi semua itu runtuh saat ayah Laras jatuh sakit mendadak. Laras harus pulang ke kampung halamannya di Temanggung, mengambil alih usaha keluarga.

Sementara itu, Aksara mendapat beasiswa ke Eropa. Ia sempat ingin menunda keberangkatan, tapi Laras menolaknya.

"Kamu harus pergi," kata Laras waktu itu. "Mimpimu lebih besar dari aku."

Mereka berpisah tanpa janji. Hanya saling mendoakan dari kejauhan, hingga akhirnya waktu memisahkan mereka lebih jauh dari yang pernah mereka bayangkan.

Kini, Laras mengenakan cincin tipis di jari manisnya. Sebuah pertanda bahwa ada kisah lain yang ia pilih. Aksara memperhatikannya dengan mata redup, lalu mengalihkan pandangan.

"Kamu bahagia?" tanyanya, nyaris tak terdengar.

Laras menghela napas. "Bahagia itu... bukan soal tawa setiap hari, tapi soal menerima. Aku belajar menerima apa pun yang diberikan hidup."

Aksara hanya mengangguk. Dalam diam, ia merasa ada yang mengganjal. Bukan cemburu, bukan amarah. Tapi kehilangan yang tak selesai.

Di luar, hujan masih turun. Tapi di dalam hati mereka, badai tujuh tahun lalu baru saja kembali mengetuk pintu.

Bab 3: Waktu yang Salah

Dua minggu setelah pertemuan tak terduga itu, Aksara mendapati dirinya masih terjaga di tengah malam, menatap langit-langit kamarnya yang kosong. Hujan yang terus mengguyur Jakarta menambah kesunyian malam itu, namun tidak mampu menenangkan pikirannya. Ia bisa merasakan setiap detak jantungnya, seolah suara itu semakin keras, semakin terasa, dan semakin menyakitkan.

Setiap kali ia menutup matanya, wajah Laras muncul dalam bayangannya. Wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini ada di depan matanya—tapi bukan untuk menjadi miliknya. Laras telah berubah, telah hidup dengan dunia yang jauh berbeda.

Aksara tahu bahwa ia datang ke Jakarta bukan untuk mencari cinta lagi. Ia sudah cukup lama berpaling dari masa lalu, menenggelamkan dirinya dalam karier dan ambisi. Namun, pertemuan itu, di halte bus yang basah, membuka sebuah luka lama yang ia kira sudah sembuh.

“Waktu yang salah,” gumamnya pada diri sendiri, mengingat kata-kata yang pernah Laras ucapkan dulu. Mereka tak bisa bersama karena waktu yang selalu melawan mereka. Setiap kali ada peluang untuk mereka bersama, selalu ada sesuatu yang lebih penting, lebih mendesak. Hingga akhirnya, semuanya terlewat begitu saja, seperti hujan yang tak bisa dihentikan.

Kini, setelah tujuh tahun berlalu, semua itu kembali menggema. Laras telah menikah dengan Rayhan, seorang pria yang ia kenal di kampung halaman. Mereka punya anak—seorang gadis kecil bernama Aira. Sebuah kehidupan yang bahagia dan sempurna di luar sana, jauh dari Aksara.

Namun, di dalam hati Aksara, ada kerinduan yang tak bisa ia jelaskan. Kerinduan akan sebuah kemungkinan yang tidak pernah terwujud.

Bab 4: Melepaskan dengan Doa

Malam itu, Aksara duduk di balkon apartemennya, memandang kota Jakarta yang berkilau dengan cahaya lampu. Hujan telah berhenti, tapi udara malam masih terasa sejuk. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Pikiran-pikiran tentang Laras, tentang masa lalu yang tak bisa terulang, semakin sulit ia tahan.

Tiga minggu berlalu sejak pertemuan mereka, dan Aksara mulai merasa ada bagian dari dirinya yang tak lagi bisa ia kontrol. Ia bertemu Laras beberapa kali, hanya untuk percakapan singkat yang selalu berakhir dengan perasaan tidak selesai. Mereka berbicara tentang keluarga, anak, dan kehidupan yang mereka jalani, tapi ada sesuatu yang lebih dalam yang tak terucapkan. Ada sesuatu yang tetap menggantung, sebuah benang merah yang menghubungkan mereka meskipun sudah begitu lama terputus.

Aksara tahu bahwa ia harus melepaskan. Melepaskan Laras, melepaskan perasaan itu, yang meski sudah terpendam bertahun-tahun, masih saja bisa membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia pahami.

Namun, seiring berjalannya waktu, Aksara menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih sulit dari sekadar melepaskan. Itu adalah menerima kenyataan bahwa hidup tak selalu seperti yang kita harapkan. Laras telah memiliki kehidupan yang baru, sebuah keluarga yang ia bangun dengan Rayhan. Mereka memiliki Aira, anak yang sangat ia cintai. Sebuah hidup yang penuh kebahagiaan dan harapan, jauh dari bayangan Aksara.

Saat malam semakin larut, Aksara meraih telepon genggamnya. Ia membuka kotak pesan, membaca kembali surat yang ditulis oleh Laras beberapa minggu lalu. Surat itu seakan menenangkan sekaligus melukai. “Aku berharap kamu bisa mengerti,” tulis Laras, “bahwa ini adalah jalan yang harus aku pilih.”

Aksara menutup mata, dan sebuah doa terucap dalam hatinya. “Semoga kamu bahagia, Laras. Semoga hidupmu penuh dengan cinta yang tidak pernah kamu duga sebelumnya.”

Ia tidak tahu apakah Laras akan pernah tahu betapa besar perasaan yang ia simpan, betapa dalam cintanya kepada perempuan itu, namun yang ia tahu sekarang adalah ia harus membiarkan semuanya pergi. Ia harus melepaskan.

Dengan langkah perlahan, Aksara berdiri, menatap Jakarta yang kini telah terlelap. Ia menyadari satu hal yang sederhana: kebahagiaan bukanlah tentang memiliki seseorang, tetapi tentang merelakan untuk memberi yang terbaik bagi mereka yang kita cintai, meskipun dari jauh.

Bab 5: Surat yang Tak Pernah Terkirim

Hari-hari berjalan lambat bagi Aksara. Meskipun dunia terus bergerak, ia merasa seperti terjebak dalam waktu yang stagnan. Pekerjaan, rutinitas, pertemuan—semuanya terasa kosong, seolah ada ruang kosong yang tak pernah bisa terisi, yang terus mengingatkannya pada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang dulu sangat berarti.

Aksara mulai kembali membuka buku-buku lama yang ia simpan di rak. Buku harian, catatan kecil yang pernah ia tulis saat kuliah. Di antara tumpukan kertas itu, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Sebuah surat yang sudah lama terkubur di balik lembaran-lembaran masa lalu.

Itu adalah surat yang tidak pernah ia kirimkan kepada Laras. Surat yang ia tulis tujuh tahun lalu, saat mereka terakhir kali bertemu sebelum Laras pergi pulang ke Temanggung. Saat itu, hatinya begitu rapuh, tidak tahu harus berbuat apa. Ia menulis surat itu dalam kebingungan, dalam ketakutan bahwa jika ia mengungkapkan perasaannya, semuanya akan hancur.

“Laras,” surat itu dimulai, “Kadang aku merasa waktu kita selalu terjebak di persimpangan yang tak pernah bisa kita pilih. Aku ingin berkata banyak, tapi aku takut kamu tak akan mengerti. Aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari apapun, lebih dari yang bisa aku katakan dengan kata-kata. Tapi aku juga tahu, ada bagian dari dirimu yang lebih besar dari sekedar aku.”

Aksara membaca kalimat itu berulang kali. Seolah surat itu berbicara padanya dengan suara yang lebih nyata dari sekedar tulisan. Ia tidak pernah mengirimkan surat itu. Ia tahu bahwa Laras saat itu sudah memiliki keputusan, dan ia tidak ingin menjadi penghalang dalam perjalanan hidup Laras. Tapi surat ini, yang tak pernah sampai, mengingatkannya bahwa cinta tidak selalu membutuhkan pengakuan atau balasan.

Ia meletakkan surat itu kembali di meja, lalu menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang. Apa yang akan terjadi jika ia mengirim surat ini? Apa yang akan berubah? Apakah Laras akan merasakan hal yang sama? Namun, pada akhirnya, Aksara tahu jawabannya. Apa yang ada di masa lalu adalah sesuatu yang harus ia relakan.

Namun, dalam hati yang dalam, ia masih bertanya-tanya: apakah mungkin cinta itu akan kembali? Atau apakah ia hanya mengejar bayangan dari masa lalu yang tak pernah bisa dipahami sepenuhnya?

Aksara menghela napas panjang. Mungkin ada cinta yang tak pernah bisa terwujud, dan ia harus belajar untuk menerima kenyataan itu. Tapi satu hal yang pasti: kenangan tentang Laras akan selalu ada, dan itu adalah bagian dari hidupnya yang tak akan pernah ia lupakan

Bab 6: Suami Laras

Seminggu setelah ia menemukan surat yang tidak pernah terkirim, Aksara kembali pada rutinitasnya. Ia kembali ke pekerjaan, meskipun pikirannya sering kali terhanyut dalam kenangan-kenangan lama yang terus datang tanpa permisi. Setiap kali ia berjalan di jalan yang pernah ia lewati bersama Laras, perasaan itu datang lagi—perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Hanya saja, kali ini ia merasa bahwa waktu yang terbuang tidak bisa kembali, dan ia hanya bisa melihat ke depan.

Hari itu, di sebuah café kecil yang terletak di sudut kota, Aksara bertemu dengan Rayhan, suami Laras. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, meskipun mereka saling mengenal melalui cerita-cerita yang Laras ceritakan. Aksara tahu, pasti, Rayhan adalah sosok yang berbeda, seseorang yang membawa Laras pada kehidupan yang baru—hidup yang penuh kebahagiaan bersama Aira, anak mereka.

Rayhan duduk di hadapannya dengan senyum ramah. Ia mengenakan jas hitam sederhana, penampilannya tampak elegan namun santai. Aksara merasa sedikit canggung, tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Laras memang sudah memberi tahu bahwa Rayhan ingin berbicara dengannya, tapi Aksara tak pernah benar-benar siap untuk pertemuan ini.

"Terima kasih sudah datang," Rayhan memulai percakapan. "Aku tahu ini mungkin agak aneh, tapi aku ingin bicara denganmu tentang Laras."

Aksara mengangguk. “Tentu. Ada apa?”

Rayhan menatapnya sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu bahwa kalian berdua punya masa lalu, dan aku juga tahu betapa besar cinta yang pernah kalian miliki. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku menghargai dan mencintai Laras sepenuh hati. Dan aku tidak ingin ada yang tersakiti lagi, terutama kamu.”

Aksara terdiam sejenak. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi kata-kata Rayhan. Di satu sisi, ada rasa lega mendengarnya, bahwa Rayhan tidak ingin memaksakan apa pun. Di sisi lain, ada perasaan yang campur aduk. Mengapa waktu harus memberi mereka pertemuan ini? Mengapa perasaan lama ini harus muncul lagi?

"Kenapa kamu ingin berbicara dengan saya?" tanya Aksara akhirnya, suaranya sedikit gemetar.

Rayhan tersenyum lembut. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Bahwa kamu bisa menerima kehadiranku dalam hidup Laras. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, dan aku menghormati perasaanmu. Tapi aku berharap kita bisa saling memahami."

Aksara menunduk sejenak, mencoba mencerna kata-kata Rayhan. Apa yang seharusnya ia katakan? Apa yang seharusnya ia rasakan? Ia merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia jelaskan, antara rasa syukur bahwa Laras bahagia, dan perasaan kehilangan yang masih menyertai hatinya.

“Aku… aku hanya ingin Laras bahagia,” kata Aksara pelan. “Dan aku tahu dia bahagia denganmu, Rayhan. Itu sudah cukup untukku.”

Rayhan mengangguk. "Terima kasih. Itu berarti banyak."

Setelah percakapan itu, Aksara merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Rayhan tidak berusaha merebut apa yang sudah menjadi milik Laras, ia hanya ingin hidup bersama Laras dengan cara yang terbaik. Sementara itu, Aksara mulai menyadari bahwa mungkin inilah yang seharusnya terjadi. Mungkin ini adalah waktu yang tepat bagi Laras untuk menemukan kebahagiaannya—tanpa harus menunggu dirinya lagi.

Aksara menghirup napas dalam-dalam dan merasa seperti sebuah babak baru dalam hidupnya mulai terbuka. Mungkin ia belum sepenuhnya siap untuk melepaskan, tetapi ia tahu bahwa perjalanan hidup harus terus berlanjut.

Bab 7: Kehidupan Baru

Minggu-minggu setelah pertemuan dengan Rayhan, Aksara mulai merasakan sebuah ketenangan yang tidak pernah ia duga. Hidupnya mulai berjalan dengan ritme yang lebih stabil. Meskipun Laras tetap ada dalam pikirannya, Aksara tahu bahwa ia sudah memulai perjalanan baru. Ia mencoba lebih fokus pada pekerjaannya, bertemu dengan teman-teman, dan mengeksplorasi hobi yang selama ini ia abaikan.

Namun, kenyataan bahwa ia telah merelakan Laras tidak menghapus perasaan itu sepenuhnya. Ada kalanya, di saat-saat tertentu, perasaan itu kembali datang dengan kekuatan yang sama seperti dulu. Terutama saat ia melihat keluarga kecil Laras di media sosial atau mendengar cerita tentang mereka dari teman-temannya. Aksara merasa, di satu sisi, bahagia untuk mereka. Namun di sisi lain, ada sebersit kesedihan yang tak bisa ia hindari.

Suatu pagi, saat Aksara sedang berjalan menyusuri taman kota, ia melihat sekelompok anak kecil bermain di dekat sebuah ayunan. Salah satunya, seorang gadis kecil dengan rambut ikal yang penuh tawa, sangat mirip dengan Laras di masa kecil. Aksara berhenti sejenak, menyaksikan permainan itu dengan hati yang hangat, namun juga penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Tiba-tiba, seorang wanita datang mendekat, menarik perhatian Aksara. Itu adalah Laras. Ia tersenyum lembut saat melihat Aksara, lalu mendekat.

“Aksara…” suara Laras menyapa dengan nada penuh kehangatan, “Kamu baik-baik saja?”

Aksara tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Kamu? Bagaimana Aira?”

Laras mengangguk sambil memandang putrinya yang sedang bermain di ayunan. “Aira sangat aktif akhir-akhir ini. Dia selalu membawa kebahagiaan ke rumah. Begitu juga dengan Rayhan. Kami semua baik-baik saja.”

“Senang mendengarnya,” jawab Aksara dengan tulus. Ia menyadari bahwa ada ketulusan dalam kata-kata Laras, yang mengingatkannya bahwa meskipun mereka telah berubah, ada hal-hal yang tetap sama.

Laras duduk di bangku taman di sampingnya. “Aku tahu ini mungkin sulit untukmu. Tapi aku harap kamu tahu, Aksara, bahwa aku tak pernah melupakan apa yang kita miliki. Hanya saja, hidup kita membawa kita ke jalan yang berbeda, dan aku harus mengikuti jalanku.”

Aksara menatap Laras dalam-dalam. Ia merasakan sebuah perasaan lega, seolah beban yang ia pikul selama bertahun-tahun akhirnya bisa sedikit terangkat. “Aku mengerti, Laras. Dan aku harap kamu tahu, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Untuk kalian berdua.”

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, menyaksikan Aira bermain dengan ceria. Suasana itu begitu damai, penuh dengan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

“Aksara…” Laras melanjutkan, “Aku harap suatu saat nanti kita bisa menjadi teman lagi. Seperti dulu.”

Aksara tersenyum, merasakan kehangatan di dalam hatinya. “Aku juga berharap demikian.”

Saat Aira berlari menuju mereka, Laras berdiri untuk menyambutnya. Aksara melihat kebahagiaan itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa damai. Mungkin cinta yang mereka miliki sudah berakhir, tetapi itu bukan akhir dari semuanya. Kehidupan terus berlanjut, dan mereka berdua telah menemukan jalan mereka masing-masing.

Setelah beberapa menit berbicara, Laras dan Aksara berpamitan. Laras membawa Aira untuk kembali bermain, sementara Aksara berdiri di tempat itu, menatap mereka dengan hati yang penuh. Ia tahu bahwa melepaskan tidak selalu berarti kehilangan. Kadang, itu berarti memberi ruang bagi kebahagiaan orang lain, tanpa menuntut apa pun sebagai balasan.

Aksara mengangkat wajahnya ke langit yang cerah, merasakan angin yang lembut menyapu wajahnya. Hidup ini penuh dengan kejutan, dengan pertemuan dan perpisahan yang tak terduga. Tapi kini, Aksara merasa siap untuk menjalani hidupnya sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengikatnya.

Bab 8: Titik Balik

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Aksara merasa hidupnya mulai benar-benar bergerak maju. Pekerjaan di kantor semakin lancar, dan meskipun ia masih sering teringat pada Laras, ia merasa bahwa ia mulai bisa menerima kenyataan dengan lapang dada. Setiap hari adalah kesempatan baru, dan ia mulai merasakannya—kebebasan, kedamaian, dan mungkin sedikit harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Pada suatu akhir pekan, Aksara diundang oleh teman-temannya untuk menghadiri sebuah acara di sebuah restoran rooftop yang mewah. Malam itu, Jakarta tampak sangat berbeda. Kota ini terlihat lebih hidup dengan gemerlap cahaya yang menyinari setiap sudutnya. Aksara merasa sejenak larut dalam suasana. Ia mengenakan gaun malam berwarna biru gelap, senyum tipis di wajahnya, meskipun hatinya tetap terasa kosong.

Di acara itu, Aksara bertemu dengan beberapa orang baru—teman-teman dari teman-temannya yang ternyata cukup menyenangkan. Mereka mengobrol tentang banyak hal: pekerjaan, impian, bahkan kehidupan pribadi mereka. Aksara merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka, meskipun sesekali pikirannya terlempar kembali ke Laras dan masa lalu mereka.

Saat ia sedang berbicara dengan seorang wanita bernama Rani, tiba-tiba matanya tertumbuk pada seseorang di ujung ruangan. Hatinya berdebar sejenak, seolah detak jantungnya berhenti sesaat. Di sana, di sisi bar, berdiri seorang pria yang mengenakan jas hitam, rambutnya rapi, tampak tegas dan familiar.

Rayhan.

Aksara menatapnya beberapa detik, mencoba memastikan bahwa dirinya tidak salah lihat. Seolah tak ingin mengganggu suasana, ia berusaha berpaling, namun tak bisa menghilangkan rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Aksara merasa sedikit canggung. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa ia katakan? Selama ini, ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan keluarga Laras, tapi melihat Rayhan di sini, di tempat yang sama, seolah memberi pesan yang tidak terucapkan.

Tanpa sadar, langkah Aksara membawanya mendekat ke arah bar, di mana Rayhan sedang berdiri, menatap keluar jendela dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.

"Rayhan," panggil Aksara pelan, mencoba memecah keheningan.

Rayhan menoleh, dan sejenak matanya bertemu dengan mata Aksara. Ada kejutan di sana, tapi juga sesuatu yang lebih dalam, seolah mereka saling memahami tanpa perlu kata-kata. Rayhan tersenyum, meskipun senyuman itu terasa agak kaku.

"Aksara," jawab Rayhan dengan nada hangat. "Aku tak menyangka akan bertemu di sini."

"Aku juga." Aksara mengangguk, sedikit canggung. "Apa kabar?"

Rayhan mengangkat gelasnya dan menyengir. "Baik. Masih sama, hanya... lebih banyak bekerja. Laras dan Aira baik-baik saja. Kami baru saja kembali dari liburan."

Aksara merasa sedikit lega mendengar itu. "Senang mendengarnya."

Mereka berbicara sebentar tentang kehidupan mereka masing-masing, tapi percakapan itu terasa lebih ringan dari yang Aksara bayangkan. Mereka berbagi cerita tentang pekerjaan, keluarga, bahkan tentang masa depan mereka. Rayhan menunjukkan sisi dirinya yang lebih terbuka, yang tidak pernah Aksara lihat sebelumnya.

Namun, di balik percakapan yang tenang itu, ada sesuatu yang tak terucapkan. Aksara menyadari bahwa ia mungkin belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa kehidupan Laras telah berubah. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa dirinya pun sedang berubah. Mungkin bukan dari apa yang telah mereka tinggalkan, tetapi dari apa yang akan datang.

Setelah beberapa saat, percakapan mereka terhenti, dan Rayhan tersenyum lagi. "Aksara, aku ingin berterima kasih untuk segala hal yang kamu berikan untuk Laras. Aku tahu kamu banyak berkorban, dan itu tak terlupakan."

Aksara merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bisa bernafas dengan lega. "Aku hanya ingin melihat Laras bahagia. Dan aku tahu kamu membuatnya bahagia."

Malam itu, mereka berpisah dengan senyuman, dan Aksara kembali ke meja teman-temannya dengan perasaan yang lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ia bisa membiarkan masa lalu berjalan dengan sendirinya, dan memulai sesuatu yang baru.

Bab 9: Mencari Kebahagiaan

Malam itu, Aksara pulang dengan perasaan campur aduk. Pertemuan dengan Rayhan memberikan sebuah perspektif baru dalam hidupnya. Ia merasa seolah ada jembatan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, dan dengan bertemu Rayhan, ia bisa menatap masa lalu dengan sedikit lebih lapang. Walaupun hatinya masih terasa kosong, ada perasaan bahwa hidup ini bisa memberikan lebih banyak lagi, meskipun bukan dengan cara yang ia bayangkan.

Ke esokan harinya, Aksara memutuskan untuk mengambil cuti sejenak dari pekerjaannya. Ia merasa perlu memberi diri ruang untuk berpikir, untuk menenangkan pikiran dan meresapi segala hal yang telah terjadi selama ini. Terkadang, ia merasa seperti sedang berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa ia capai, dan mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan menilai kembali apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Aksara menghabiskan beberapa hari di luar kota, pergi ke sebuah vila yang terletak di pinggir danau. Tempat itu sepi, tenang, dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Di sana, ia duduk di beranda vila, memandang pemandangan danau yang luas, dan membiarkan angin sejuk mengusap wajahnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia temui di sini, tetapi ia tahu bahwa ia harus menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri.

Hari pertama di sana, ia hanya duduk diam, membaca beberapa buku yang sudah lama ingin ia selesaikan, dan menikmati waktu sendirian. Tidak ada gangguan, tidak ada perasaan terjebak—hanya kesendirian yang menenangkan. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak datang dari orang lain, atau dari cinta yang ia harapkan. Kebahagiaan datang dari dalam dirinya sendiri, dari keberanian untuk melepaskan dan menerima apa yang ada.

Pada malam ketiga, Aksara berjalan menyusuri tepi danau. Langit malam yang cerah menambah ketenangan suasana, dan suara gemericik air dan hembusan angin menyatu dengan irama langkah kakinya. Ia merasa seperti terhubung dengan alam, dengan dunia yang lebih besar dari segala hal yang selama ini ia pikirkan.

Di sana, di bawah cahaya rembulan yang memantul di permukaan danau, Aksara merasakan sesuatu yang langka—kedamaian dalam hatinya. Ia merasa seolah-olah beban yang selama ini ia bawa telah menguap begitu saja. Ada rasa lega yang besar, seolah ia akhirnya bisa bernapas dengan penuh.

Saat itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Aksara membuka pesan tersebut, dan matanya terfokus pada nama yang muncul di layar: Laras. Ada keheningan sejenak di dalam dirinya sebelum ia memutuskan untuk membuka pesan itu.

"Ak, aku baru saja menerima undangan untuk sebuah acara. Aku tahu ini mungkin sedikit terburu-buru, tapi aku ingin mengajakmu datang bersama Rayhan dan Aira. Kami ingin kamu tahu bahwa kamu selalu ada tempat di hati kami. Mungkin ini bisa menjadi langkah baru bagi kita semua."

Aksara terdiam sejenak, merenung. Pesan itu begitu sederhana, namun terasa sangat berarti. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang acara atau pertemuan semata. Ini adalah kesempatan untuk benar-benar mulai membuka hati, untuk menerima bahwa meskipun mereka memiliki masa lalu yang tak bisa diubah, mereka tetap bisa saling menghormati dan berbagi kebahagiaan yang ada.

Dengan hati yang penuh pertimbangan, Aksara membalas pesan itu.

"Terima kasih, Laras. Aku akan datang."


Pada hari yang ditentukan, Aksara kembali ke Jakarta. Ia merasa lebih siap untuk menghadapi pertemuan itu, meskipun ada sedikit kecemasan yang menggelayuti hatinya. Namun, ia sudah mulai mengerti satu hal: kehidupan terus bergerak, dan ia tidak bisa terus-menerus menahan diri dari perubahan.

Acara yang diadakan oleh Laras berlangsung di sebuah galeri seni, tempat yang indah dengan koleksi seni yang memukau. Suasana malam itu elegan dan penuh dengan orang-orang yang saling berbagi cerita dan tertawa. Aksara datang lebih awal, dan ketika Laras dan Rayhan tiba bersama Aira, ia merasa ada kedamaian yang mengalir di antara mereka. Mereka berbicara, tertawa, dan menikmati malam bersama, seolah tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.

Aksara merasakan sesuatu yang luar biasa. Ia tidak lagi merasa terjebak di masa lalu. Ia bisa berbagi kebahagiaan, meskipun tidak lagi bersama Laras seperti dulu. Mereka telah menemukan jalannya masing-masing, dan itu tidak membuat mereka lebih sedikit berarti bagi satu sama lain. Mungkin cinta mereka sudah berubah, tapi persahabatan dan saling pengertian tetap ada.

Malam itu berakhir dengan senyum yang tulus, dan Aksara menyadari bahwa ia tidak perlu lagi mencari kebahagiaan di tempat lain. Kebahagiaan itu ada di dalam dirinya sendiri, di dalam kemampuan untuk melepaskan dan membuka hati.

Bab 10: Menemukan Diri

Setelah acara itu, Aksara merasakan perubahan yang lebih besar dalam dirinya. Rasanya seperti sebuah babak baru telah dimulai dalam hidupnya. Ketika ia kembali ke rutinitas sehari-hari, ia tidak lagi merasa terperangkap dalam kenangan masa lalu. Meski kadang bayangan Laras dan Rayhan muncul, itu tidak lagi menguasai pikirannya. Aksara mulai merasakan kedamaian yang lebih dalam, sebuah penerimaan yang membuat hatinya lebih ringan.

Di tempat kerjanya, Aksara mulai mengambil inisiatif untuk memimpin proyek-proyek besar yang selama ini ia tangani dengan hati-hati. Ia merasa diberdayakan oleh kebebasan yang ia rasakan—bebas dari bayang-bayang masa lalu, bebas dari perasaan yang menghimpitnya. Ia bahkan mulai merasa lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang-orang baru. Seiring berjalannya waktu, ia menemukan bahwa ia sebenarnya menikmati kebebasannya. Tidak lagi dibayangi oleh harapan yang tidak terucapkan atau perasaan yang tertahan.

Pada suatu sore yang cerah, saat Aksara sedang duduk di taman kantor, ponselnya berdering. Itu adalah panggilan dari Laras. Aksara sempat ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya.

“Halo, Aksara!” suara Laras terdengar ceria. “Aku ingin memberitahumu sesuatu.”

“Ada apa, Laras?” Aksara merasa sedikit penasaran. Sudah beberapa waktu sejak mereka terakhir kali berbicara.

“Rayhan dan aku... kami berpikir untuk membuka usaha bersama. Suatu proyek kecil yang bisa kami jalani di waktu luang. Dan kami ingin mengundangmu untuk bergabung.” Laras terdengar antusias. “Kami tahu ini mungkin gila, tapi aku pikir ini bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bagaimana menurutmu?”

Aksara terdiam sejenak. Tawaran itu membuatnya terkejut, tetapi juga merasa tersentuh. Ia tidak pernah menyangka bahwa hubungan mereka akan berkembang ke titik di mana mereka bisa bekerja sama, berbagi mimpi.

“Wah, itu menarik sekali, Laras,” jawab Aksara akhirnya. “Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi, aku akan mempertimbangkan untuk bergabung, itu pasti.”

Laras tertawa kecil. “Jangan khawatir. Ini bukan tentang pekerjaan besar-besaran, hanya sesuatu yang bisa kita nikmati bersama. Dan tentu saja, kami ingin kamu ada di sana.”

Aksara mengangguk meskipun Laras tidak bisa melihatnya. Meskipun itu bukan rencana yang ia pikirkan sebelumnya, ada sesuatu yang menyentuh hatinya tentang tawaran itu. Mungkin ini adalah cara baru bagi mereka untuk mempererat ikatan yang pernah ada, bukan dalam bentuk hubungan yang penuh dengan harapan, tetapi dalam bentuk persahabatan yang tulus dan saling menghargai.

Setelah percakapan itu, Aksara merasa sedikit tertekan, tetapi juga lebih ringan. Ia tahu, meskipun ini bukan jalan yang mudah, inilah langkah yang harus ia ambil untuk melangkah lebih jauh lagi. Ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang baru, tanpa terjebak dalam perasaan yang tidak perlu.

Beberapa minggu kemudian, Aksara akhirnya bergabung dalam usaha kecil yang dirintis oleh Laras dan Rayhan. Proyek ini, yang awalnya dimulai sebagai hobi dan kesenangan pribadi mereka, kini berkembang menjadi sebuah bisnis kecil yang cukup sukses. Mereka bekerja bersama dengan penuh semangat, berusaha membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik. Aksara merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan dunia luar, dan lebih menerima siapa dirinya.

Di luar pekerjaan, Aksara juga mulai membuka hatinya untuk hal-hal lain. Ia bertemu dengan seseorang, seorang pria yang sederhana, yang memperkenalkan dirinya sebagai Arvin. Meskipun mereka baru saja saling mengenal, ada sesuatu dalam diri Arvin yang membuat Aksara merasa nyaman. Mereka berbicara banyak tentang hidup, tentang mimpi, dan tentang masa depan. Aksara merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa kembali jatuh cinta. Tetapi kali ini, ia tidak terburu-buru. Ia tahu bahwa ia harus membangun kembali dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum memberikan hatinya sepenuhnya kepada orang lain.

Hidup Aksara berubah, sedikit demi sedikit, menjadi lebih baik. Tidak ada lagi rasa kekosongan atau penyesalan yang menghantuinya. Ia merasa bahwa segala sesuatu telah berjalan seperti yang seharusnya. Meski tidak dengan cara yang ia harapkan sebelumnya, Aksara menemukan kebahagiaan dalam perjalanan hidup yang penuh dengan perubahan dan penyesuaian.

Pada suatu malam, saat Aksara duduk di beranda rumahnya, menatap langit yang penuh bintang, ia tersenyum pada dirinya sendiri. Semua yang terjadi telah membentuknya menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih tahu apa yang ia inginkan. Dan mungkin, kebahagiaan itu sudah ada di hadapannya—dalam bentuk yang berbeda, dalam waktu yang tepat.

Ia tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: Aksara kini siap untuk menulis bab baru dalam hidupnya, tanpa rasa takut.

Epilog: Memulai Langkah Baru

Beberapa tahun telah berlalu sejak Aksara memutuskan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Kehidupan yang penuh dengan kebingungan, keraguan, dan perasaan yang terluka kini telah digantikan dengan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Ia bukan lagi wanita yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, tetapi seseorang yang telah menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Proyek kecil yang dimulai dengan Laras dan Rayhan kini telah berkembang menjadi bisnis yang sukses. Mereka bekerja bersama dengan penuh semangat, menjalani hari-hari dengan tujuan yang jelas dan persahabatan yang tulus. Meskipun hubungan mereka tidak lagi seperti dulu, Aksara merasa lebih terhubung dengan mereka dalam cara yang baru—bukan lagi sebagai pasangan yang saling mencintai, tetapi sebagai teman yang saling menghargai dan mendukung.

Aksara juga menemukan dirinya kembali. Ia menemukan kebahagiaan dalam kesendirian, dalam hal-hal kecil yang sering kali terlewatkan oleh banyak orang. Ia meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, mengejar impian yang selama ini ia pendam, dan membangun hubungan baru yang sehat. Arvin, pria yang pernah datang ke dalam hidupnya, kini menjadi seseorang yang spesial—bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar memahami siapa dirinya.

Namun, yang paling penting bagi Aksara adalah kenyataan bahwa ia kini tahu apa yang ia inginkan dari hidup ini. Cinta bukan lagi satu-satunya tujuan, melainkan perjalanan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ia telah belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari orang lain atau keadaan, tetapi dari cara kita memandang dunia dan menerima diri kita sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Di suatu sore yang cerah, Aksara duduk di taman yang sama di mana ia pernah menemukan kedamaian beberapa tahun yang lalu. Ia menatap langit yang berwarna keemasan, menyaksikan daun-daun yang berguguran dengan perlahan. Aksara tersenyum, menyadari bahwa hidupnya kini penuh dengan makna yang lebih dalam. Ia merasa bebas, bukan karena ia meninggalkan masa lalu, tetapi karena ia akhirnya bisa menerimanya—sebagai bagian dari perjalanan yang membentuk siapa dirinya sekarang.

Aksara menutup matanya sejenak, membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia merasa siap untuk melangkah lebih jauh lagi. Tak ada lagi yang mengikatnya pada kenangan atau perasaan yang belum selesai. Hidupnya telah membawanya ke tempat yang seharusnya, dan kini ia tahu bahwa setiap langkah yang diambil adalah bagian dari cerita yang lebih besar.

Dengan senyuman di bibir, Aksara berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan taman itu dengan hati yang penuh harapan untuk masa depan yang lebih cerah.

Karena hidup, pada akhirnya, adalah tentang berani memulai langkah baru, meskipun terkadang kita tidak tahu persis ke mana langkah itu akan membawa kita. Tetapi, Aksara kini tahu satu hal: tidak peduli seberapa sulit atau rumit perjalanan itu, kita selalu punya kesempatan untuk menemukan kebahagiaan—dalam diri kita sendiri, di tengah semua ketidakpastian yang ada.

Dan bagi Aksara, itu sudah cukup.


Dengan demikian, kisah ini berakhir dengan Aksara yang telah menemukan kedamaian dan kebahagiaannya sendiri. Kehidupan terus berjalan, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk meraih impian dan mencintai diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta yang Tak Tersentuh

Di Balik Meja Rapat