Di Balik Meja Rapat
Di Balik Meja Rapat
Sinopsis: Di sebuah perusahaan media besar di Jakarta, dua jiwa bertemu dalam situasi yang tak seharusnya: Nayla, pegawai baru yang idealis dan tulus, dan Raka, atasan langsungnya yang telah berkeluarga. Dalam tekanan profesional dan godaan emosional, mereka berusaha menahan perasaan yang tumbuh perlahan namun pasti. Sampai akhirnya, rahasia mereka terancam terbongkar.
BAB 1: Hari Pertama
Langit Jakarta siang itu mendung, seolah mencerminkan isi kepala Nayla yang dipenuhi rasa cemas. Ia menatap gedung pencakar langit tempatnya akan memulai pekerjaan baru. CV-nya akhirnya dilirik oleh sebuah perusahaan media terkemuka, dan kini ia resmi menjadi bagian dari tim kreatif.
"Selamat datang, Nayla."
Suara itu berat, tenang, dan datang dari seorang pria yang berdiri di ambang pintu ruang rapat.
"Raka Putra. Aku manajer divisi ini," ujarnya sambil menjabat tangannya.
Tatapan mata mereka bertemu sesaat. Hanya sesaat, tapi cukup untuk memantik sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
BAB 2: Senyum di Balik Tegas
Hari-hari pertama Nayla diisi dengan kerja keras. Ia cepat belajar, cepat paham ritme kerja, dan cepat dikenal sebagai staf yang cekatan. Tapi ada satu hal yang selalu membuatnya gugup: setiap kali harus presentasi di depan Raka.
"Jangan takut salah. Aku lebih suka ide mentah yang jujur daripada yang sempurna tapi palsu," kata Raka suatu hari, setelah presentasi Nayla sempat macet.
Kalimat itu menempel dalam benak Nayla lebih lama dari yang seharusnya.
BAB 3: Pertemuan Kedua yang Tak Resmi
Pulang lembur suatu malam, Nayla tak sengaja bertemu Raka di kafe dekat kantor. Ia duduk sendirian, membaca dokumen.
"Capek ya, Kak?" Nayla menyapanya.
Yang seharusnya hanya basa-basi berubah menjadi obrolan panjang. Tentang kerjaan. Tentang dunia. Tentang hidup. Tentang rasa sepi yang tak bisa diceritakan ke siapa pun.
BAB 4: Rasa yang Tumbuh di Tempat yang Salah
Waktu berjalan, kedekatan itu makin terasa. Mulai dari chat tentang pekerjaan, lalu diselingi canda-canda ringan. Raka mulai mencari-cari alasan untuk bicara dengan Nayla. Nayla pun mulai menanti notifikasi pesan dari Raka.
Suatu malam, setelah sebuah proyek sukses, mereka merayakan dengan tim. Tapi saat semua pulang, hanya mereka berdua yang tersisa. Dalam diam, di bawah cahaya remang pantry kantor, Raka berkata pelan:
"Aku tahu ini salah. Tapi aku nggak bisa bohong... aku merasa nyaman sama kamu."
Nayla tak menjawab. Tapi tatapannya cukup menjadi jawaban.
BAB 5: Istri yang Tak Pernah Disebut
Nayla tahu Raka sudah menikah. Tapi sejauh apapun ia mencoba menjaga jarak, hati kadang tidak bisa diajak kompromi. Raka jarang menyebut istrinya. Nayla pun tak pernah bertanya.
Tapi suatu hari, Nayla melihat sebuah foto keluarga di meja Raka—seorang wanita dengan anak kecil. Senyumnya manis. Saat itu juga, Nayla merasa seperti orang ketiga.
"Kamu nggak cerita kalau kamu punya anak," ucap Nayla sore itu.
Raka hanya diam. Matanya sayu. "Aku nggak pernah bangga sama caraku menjalani rumah tangga."
BAB 6: Titik Jatuh
Kabar mulai berembus di kantor. Rekan kerja mulai berbisik. Nayla merasa tertekan. Raka mencoba menenangkan, tapi justru makin memperkeruh suasana.
Suatu hari, sebuah email anonim dikirim ke HR. Foto mereka berdua di parkiran kantor. Terlihat terlalu dekat. Terlalu pribadi.
BAB 7: Pilihan yang Menyakitkan
Nayla dipanggil atasan. Ia diminta menjelaskan kedekatannya dengan Raka. Meski tak ada bukti pasti, tekanan itu cukup membuat Nayla hancur. Ia keluar dari ruangan dengan mata merah.
Raka menemuinya di lobi. "Kita bisa jelasin ke mereka, Nayla. Aku akan bicara."
Tapi Nayla hanya menggeleng. "Aku memilih pergi, Kak. Aku masih ingin bisa menatap cermin dan mengenali diriku sendiri."
BAB 8: Kepergian
Nayla mengajukan resign seminggu kemudian. Tak ada perpisahan resmi, tak ada pesta kecil. Hanya surat pendek dan senyum pahit.
Raka berdiri di jendela lantai 12, menatap Jakarta yang riuh. Tapi yang ia pikirkan hanyalah Nayla, dan semua 'seandainya' yang tak akan pernah jadi nyata.
BAB 9: Setelah Semua Reda
Berbulan-bulan kemudian, Nayla mulai bekerja di agensi baru. Luka itu masih ada, tapi ia belajar berjalan kembali. Ia menulis di blog, kadang menulis fiksi—tentang cinta yang datang di waktu yang salah.
Sementara Raka, tetap di kantor lama. Tapi kini, ia lebih sering diam. Lebih sering menatap kosong. Karena satu-satunya cinta yang membuatnya merasa hidup, justru adalah cinta yang harus ia lepaskan.
EPILOG
Dua tahun kemudian.
Jakarta masih riuh. Tapi di tengah keramaian itu, sebuah pertemuan tak terduga terjadi di pameran buku.
Nayla, kini seorang penulis lepas, tengah mempromosikan novel perdananya. Judulnya: "Dalam Diam, Aku Pernah Mencintaimu".
Di antara pengunjung, seorang pria berdiri menatap sampul buku itu. Matanya tak asing.
"Raka," ucap Nayla pelan.
Raka tersenyum, tampak lebih tua, lebih letih. Tapi matanya masih menyimpan rasa yang sama.
"Kamu menulis kisah kita?"
"Bukan kisah kita. Tapi kisah seseorang yang pernah belajar mencintai dan melepaskan di waktu yang sama."
Mereka tidak saling memeluk. Tidak saling menyentuh. Tapi tatapan itu cukup. Bahwa meski tak bersama, mereka pernah berarti.
Dan itu cukup.
Komentar
Posting Komentar