Dalam Diam, Aku Menjagamu ( Part 2 )

 




Bab 18: Nyatanya Tak Selalu Manis

Sudah tiga minggu sejak Vino pindah ke Jakarta.

Hubungan mereka terasa lebih nyata sekarang. Mereka bisa bertemu kapan saja, bisa pergi makan malam tanpa harus melihat kalender, dan bisa berdebat… tanpa perlu menunggu sinyal video call yang stabil.

Tapi justru karena itu, Aira mulai menyadari satu hal: mencintai dari dekat tak semudah yang ia kira.

“Vin, kamu lupa hari ini kita janjian makan malam bareng ya?” tanya Aira lewat pesan suara.

Butuh waktu dua jam sampai akhirnya Vino membalas, “Maaf, Air. Tadi klien ribet banget. Aku bener-bener kelupaan.”

Aira menatap layar ponselnya lama. Ini sudah ketiga kalinya Vino lupa.

Dulu, saat masih LDR, setiap detik terasa berharga. Mereka menghitung hari untuk bisa bertemu. Tapi sekarang, ketika pertemuan bisa dilakukan kapan saja, perhatian justru mulai terasa berkurang.

Minggu siang, mereka duduk di warung kopi kecil dekat stasiun. Suasana tenang, tapi tidak dengan hati Aira.

“Vin, kamu berubah,” katanya pelan, tanpa emosi meledak-ledak.

“Aku sibuk, Air. Tapi bukan berarti aku berubah.”

“Bukan soal sibuk. Tapi kamu nggak hadir seperti dulu.”

Vino mengerutkan kening. “Aku udah di Jakarta, Air. Aku udah pilih tinggal di sini supaya deket sama kamu.”

“Dan aku bersyukur soal itu.” Aira menatap matanya. “Tapi kedekatan fisik nggak selalu berarti kehadiran yang utuh.”

Hening.

Vino menyandarkan punggung ke kursi, menarik napas panjang. “Jadi sekarang kamu merasa aku nggak utuh?”

Aira menggeleng. “Aku cuma takut… kita kehilangan yang dulu bikin kita kuat. Perhatian. Kepekaan. Kejujuran.”

Mereka tidak bertengkar besar hari itu. Tidak ada teriakan. Tidak ada air mata. Hanya dua orang yang saling mencintai, tapi mulai sadar bahwa cinta itu bukan cukup hanya dengan hadir. Ia harus dijaga, dipupuk, dan—yang terpenting—diprioritaskan.

Malamnya, Aira kembali menulis:

Aku tak minta waktu yang mewah,
Tapi cukupkan aku dalam sela-sela sibukmu,
Agar aku tahu, aku masih ada di hatimu.

Esok paginya, Aira menemukan secarik kertas diselipkan di sela-sela buku puisinya di tas kerja. Tulisan tangan Vino.

“Maaf, aku mulai lalai.
Tapi aku belum menyerah untuk terus belajar jadi pasangan yang kamu butuhkan, bukan cuma yang kamu inginkan.”

Aira tersenyum kecil.

Cinta ini memang tidak sempurna.
Tapi ia hidup. Bernapas. Tumbuh.

Dan kadang, cinta yang bertahan bukan karena selalu manis—
Tapi karena dua orang memilih untuk tetap tinggal, bahkan saat rasa manis itu mulai pudar.

Bab 19: Ketika Sorotan Mulai Mengarah

Suatu pagi yang biasa, Aira bangun dan mendapati notifikasi di ponselnya meledak.

Puluhan mention di media sosial, pesan masuk dari nomor-nomor tak dikenal, dan tautan-tautan artikel dari teman-temannya.

Salah satu headline yang paling banyak dibagikan:

“Aira Maheswari, Penulis Muda Fenomenal, Diduga Dekat dengan Editor Tampan dari Penerbit Laris!”

Aira membaca dengan bingung. Ada foto dirinya dan Rama—editor yang selama ini membimbing proses penerbitannya—sedang duduk di taman belakang kantor, tertawa sambil membahas ilustrasi sampul.

Ia langsung menghela napas. Itu cuma pertemanan. Profesional. Tapi publik lebih suka cerita yang manis dan penuh gosip.

Sore itu, Vino menjemput Aira di depan kantor penerbit. Biasanya, mereka akan makan atau pulang bareng. Tapi sore ini, suasananya dingin.

“Baru tahu kamu deket banget sama editormu,” ujar Vino datar, tanpa menatap Aira.

Aira menghela napas. “Kamu juga lihat artikel itu?”

“Lihat. Dan komentar netizen juga.”

“Vin, itu semua nggak benar. Kami cuma rekan kerja.”

Vino diam. Tapi ekspresi di wajahnya tak bisa berbohong—ia terluka.

“Aku percaya kamu, Air. Tapi… aku juga manusia. Rasanya nggak enak lihat kamu senyum selebar itu ke orang lain. Bahkan ke aku aja kadang kamu udah jarang senyum kayak gitu.”

Kata-kata itu seperti pisau kecil. Tidak dalam, tapi menusuk perlahan.

Malam itu, Aira duduk di kamarnya dengan kepala penuh beban. Ia ingin menjelaskan, tapi juga lelah menjelaskan hal-hal yang seharusnya tak perlu jadi masalah jika ada rasa saling percaya.

Namun ia tahu, ini bukan soal benar atau salah. Ini soal rasa.

Keesokan harinya, Aira memutuskan untuk bicara lebih dulu.

“Aku ngerti kamu cemburu, Vin. Tapi kamu juga harus ngerti posisiku sekarang. Dunia tulisanku mulai dilihat orang. Aku nggak bisa kontrol semuanya. Aku juga nggak bisa memilih siapa yang akan menyukai atau salah paham terhadapku.”

“Aku cuma takut kehilanganmu, Air.”

“Kalau kamu terus memelukku dengan curiga, kamu akan kehilangan aku bukan karena orang ketiga, tapi karena aku lelah.”

Vino menatap Aira. Matanya lembut, tapi nadanya serius. “Kamu benar. Maaf. Aku harus belajar lebih tenang. Dan lebih percaya.”

Aira menggenggam tangan Vino. “Dan aku juga akan lebih hati-hati. Bukan karena aku salah, tapi karena aku nggak mau kamu terluka oleh sesuatu yang seharusnya bisa aku cegah.”

Malam itu, mereka saling diam dalam pelukan. Tapi kali ini, bukan diam karena ragu, melainkan karena sedang belajar memahami.

Cinta diuji bukan hanya oleh jarak, tapi juga oleh sorotan. Oleh dunia luar yang mencoba masuk dan menggoyahkan fondasi yang mereka bangun.

Tapi selama mereka saling bicara, saling jujur, dan saling menjaga… mereka percaya, cinta ini bisa tetap tumbuh.

Bab 20: Mimpi yang Mengarah ke Arah Berbeda

Sudah hampir setahun sejak Aira dan Vino mulai membangun kisah dari dekat. Banyak hal telah mereka lalui—jarak, kecemburuan, tekanan dari luar—namun semuanya mereka hadapi dengan kepala dingin dan hati yang sama-sama belajar dewasa.

Namun kali ini, yang datang bukan sekadar tantangan.
Yang datang adalah pilihan.

“Vin, kamu serius?” tanya Aira sambil meletakkan cangkir kopinya.

Vino mengangguk. “Tawaran dari kantor pusat di Melbourne. Posisi junior consultant. Gajinya jauh lebih besar, dan bisa jadi batu loncatan untuk karierku.”

Aira terdiam. Matanya menatap Vino dengan ekspresi yang sulit dibaca. Campuran antara bangga… dan takut.

“Kalau kamu berangkat... kita LDR lagi?” bisiknya.

Vino menunduk. “Tiga tahun kontraknya.”

Aira mengangguk pelan. “Kapan harus jawab?”

“Minggu depan.”

Di kamarnya malam itu, Aira duduk menatap buku puisinya yang kini telah masuk cetak ulang keempat. Ia mulai sering diundang ke berbagai acara sastra, menerima tawaran kerja sama, dan bahkan ditawari proyek penulisan novel.

Mimpinya sedang tumbuh. Di tanah ini. Di Jakarta. Di Indonesia.

Dan untuk pertama kalinya, Aira sadar bahwa mimpi mereka tidak hanya menuntut komitmen—tapi mungkin juga pengorbanan.

Beberapa hari kemudian, mereka bertemu di taman kota. Tempat pertama mereka saling jujur tentang rasa.

“Kamu mau aku pergi atau tetap di sini?” tanya Vino pelan.

Aira tak langsung menjawab. Ia menatap langit senja yang perlahan berubah jingga.

“Aku nggak bisa jadi alasan kamu menolak masa depan, Vin. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura ini nggak menyakitkan.”

Vino menggenggam tangan Aira. “Aku takut... kita akan kembali ke masa itu—penuh diam dan keraguan.”

“Kita bukan yang dulu lagi,” ucap Aira. “Kita tahu cara bicara. Kita tahu cara bertahan.”

“Jadi... kamu izinkan aku pergi?”

Aira menatap Vino lama, lalu tersenyum, meski matanya berkaca.

“Aku nggak akan pernah ‘mengizinkan’ kamu pergi. Tapi kalau itu langkah untuk mimpimu, aku akan jadi orang pertama yang mendorong kamu melangkah.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, mereka tidak mencari kepastian. Mereka tidak bicara soal ‘nanti kita gimana’ atau ‘nanti kamu balik kapan’.

Mereka hanya saling percaya,
bahwa cinta yang kuat tidak akan tumbang hanya karena jarak—
tapi justru karena keyakinan yang lemah.

Mereka berjanji, bukan untuk tetap bersama dalam bentuk fisik,
tapi untuk tetap saling menjaga hati meski berjalan di arah yang berbeda.

Karena cinta sejati tak selalu harus memaksa bersama.
Terkadang, cinta justru diuji… saat harus merelakan orang yang kita cintai tumbuh di tempat lain.

Bab 21: Antara Kesetiaan dan Kesendirian

Tiga minggu sejak Vino berangkat ke Melbourne, Aira mulai mengenal kembali rasa sepi.

Bukan sepi yang seperti dulu, ketika cintanya belum berbalas. Tapi sepi yang jauh lebih tajam—karena kini ia tahu rasanya menggenggam, dan perlahan kembali melepaskan.

Hari-harinya kini penuh dengan aktivitas. Undangan diskusi buku, podcast, wawancara majalah, dan workshop menulis. Karier Aira melonjak cepat. Ia mulai dikenal bukan hanya sebagai penulis muda, tapi juga sebagai suara generasi.

Namun di balik semua itu, ada rindu yang tidak bisa ia akui di depan umum.

Suatu siang, selepas acara diskusi, seorang pria bernama Raka menghampirinya. Ia penyiar radio yang juga menjadi moderator acara.

“Aira, kamu luar biasa tadi,” puji Raka sembari menyerahkan botol air.

“Terima kasih. Kamu juga pandai membawakan suasana.”

Mereka berbincang ringan. Aira tahu, itu cuma percakapan profesional. Tapi tatapan Raka tak bisa ia abaikan—ada ketertarikan di sana, dan Aira cukup peka untuk merasakannya.

Dalam beberapa minggu, mereka sering berada di acara yang sama. Saling menyapa, tertawa, dan kadang mengobrol lewat pesan singkat. Aira tahu batasnya, tapi tetap saja… Raka hadir di saat Vino semakin jauh.

Dan Vino… belakangan ini makin sulit dihubungi.

Zona waktu, kesibukan, dan lelah—semua jadi alasan. Tapi alasan tetaplah alasan. Aira mulai merasa seperti bayangan dalam hidup Vino yang kini dipenuhi tantangan barunya.

Suatu malam, Raka mengirim pesan:

“Kalau kamu capek terus jadi kuat sendiri, kamu bisa istirahat. Di sini.”

Aira membaca pesan itu sambil duduk di dekat jendela. Ponselnya tergeletak, dan angin malam mengusap wajahnya yang mulai disesaki dilema.

Ia tidak membalas pesan itu.

Sebaliknya, ia membuka percakapan terakhirnya dengan Vino—sebuah pesan suara dari seminggu lalu, yang belum sempat dibalas:

“Maaf, Air. Aku nggak sengaja ketiduran lagi habis kerja. Rasanya aku mulai kehilangan diriku di sini. Tapi yang paling aku takutin… aku juga mulai kehilangan kamu.”

Aira menutup matanya.

**

Ia tahu, kesetiaan bukan soal menolak godaan. Tapi tentang bagaimana tetap memilih, meski ada yang datang menawarkan lebih mudah.

Dan malam itu, Aira menulis lagi. Bukan untuk naskah, bukan untuk publikasi. Tapi untuk dirinya sendiri.

*Aku masih di sini, meski tidak lagi sering kau tanyai.
Aku masih menjagamu, meski kau tak sempat kembali bertanya:
“Sudah makan apa hari ini?”

Tapi sampai kapan aku kuat menjaga kita, sendirian?*

Bab ini tidak ditutup dengan keputusan. Tidak ada Raka yang didekati, tidak ada Vino yang ditinggalkan.

Hanya Aira yang mulai goyah, dan cinta yang mulai diuji… bukan oleh pengkhianatan, tapi oleh ketidakpastian dan kesendirian yang perlahan mengikis keyakinan.

Bab 22: Saat Dua Pilihan Menunggu Jawaban

Sore itu hujan turun deras di Jakarta.

Aira berdiri di depan jendela kafe, memandangi butir air yang menari-nari di balik kaca. Tangannya memegang ponsel, terbuka pada layar percakapan terakhirnya dengan Vino. Sudah dua hari tak ada kabar. Terakhir, hanya pesan singkat: “Nanti aku kabarin ya.”

Tapi “nanti” yang dimaksud Vino seperti tak kunjung tiba.

“Maaf telat,” suara Raka membuyarkan lamunannya. Pria itu datang dengan jas hujan basah dan senyum hangat, seperti biasa.

“Nggak apa-apa. Aku juga baru duduk,” jawab Aira, menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.

Mereka duduk di pojok kafe yang sepi. Minuman datang. Obrolan mengalir. Tapi Aira merasakan sesuatu yang berbeda hari ini—udara di antara mereka tidak lagi ringan seperti biasanya.

“Aira,” ucap Raka setelah jeda panjang, “aku tahu kamu sedang menjaga sesuatu. Tapi boleh nggak sekali ini aja, kamu jujur ke dirimu sendiri?”

Aira menatap mata Raka. Ia tidak menghindar, tapi juga tak memberi jawaban.

“Kalau aku datang lebih dulu dari dia, apa kamu akan memilih aku?” tanya Raka, pelan tapi pasti.

Aira terdiam. Jantungnya berdetak cepat.

“Bukan karena aku lebih baik,” lanjut Raka, “tapi karena aku ada. Di sini. Sekarang.”

Di saat yang sama, ribuan kilometer jauhnya, Vino berdiri di jembatan kayu kecil yang membelah taman kota di Melbourne. Di tangannya, ponsel dengan layar yang menunjukkan satu nama: Aira.

Ia sudah menulis banyak pesan, tapi tak satu pun terkirim.

Karena Vino mulai sadar… diam bisa lebih menyakitkan daripada kata-kata yang paling pedih sekalipun. Dan selama ini, ia telah diam terlalu lama.

Kembali ke Jakarta.

Aira menarik napas panjang. “Raka… kamu laki-laki yang baik. Tapi sayangnya, aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak hadir. Dan itu bukan kesalahanmu.”

Raka menunduk. “Jadi... dia masih kamu tunggu?”

“Bukan karena aku bodoh. Tapi karena aku tahu, perasaan ini belum selesai. Dan aku nggak bisa mulai sesuatu yang baru kalau hatiku masih tertinggal di masa lalu.”

Malam itu, Aira pulang ke rumah dengan dada sesak, tapi langkah yang mantap.

Ia tahu, menolak Raka bukan keputusan yang ringan. Tapi bertahan pada seseorang yang tak lagi sepenuhnya ada… itu jauh lebih berat.

Dan tepat saat ia meletakkan tas di meja kamarnya, ponselnya berdering.

Nama itu muncul di layar.
Vino.

Dengan jari bergetar, ia menjawab. “Halo?”

Suara di seberang terdengar lelah. Tapi jelas.

“Air, aku tahu aku sudah salah. Terlalu sibuk. Terlalu diam. Tapi aku janji… ini terakhir kali aku membuatmu merasa sendiri.”

Hening sejenak. Lalu Aira bertanya, “Kenapa baru sekarang?”

Vino terisak kecil. “Karena aku baru sadar… mencintai seseorang dari jauh itu bisa egois kalau tidak dibarengi usaha untuk tetap dekat, meski dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.”

Aira tak langsung menjawab.

Lalu perlahan, ia berkata, “Aku nggak minta kamu selalu ada. Aku cuma minta… jangan lupa bahwa aku masih di sini. Menunggu. Menjaga. Tapi aku juga punya batas.”

Dan malam itu, akhirnya mereka bicara. Dengan jujur. Dengan luka. Dengan cinta yang sudah mulai retak, tapi belum sepenuhnya patah.

Mereka tidak langsung saling memaafkan. Tapi mereka sepakat untuk mencoba lagi. Kali ini, dengan saling belajar—untuk tidak hanya bertahan, tapi juga memperjuangkan dengan sadar.

Bab 23: Cinta yang Tak Lagi Sama

Sudah dua minggu sejak percakapan itu. Percakapan yang menjadi semacam titik balik bagi Aira dan Vino—bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk mencoba berjalan ke depan dengan cara baru.

Tapi kenyataan tidak selalu mengikuti harapan.

Mereka kini bicara setiap malam. Saling mengabari. Saling mengirim foto kegiatan, suara tawa, dan cerita lelah. Tapi ada jarak yang tak bisa dijembatani oleh sinyal, waktu, atau kata-kata.

Ada sesuatu yang berubah.

Suatu malam, Aira duduk di kamarnya, menatap layar laptop. Di layar, sebuah dokumen kosong menunggu untuk diisi. Tapi pikirannya melayang.

Vino baru saja menelepon. Percakapan mereka hanya berlangsung lima menit. Vino kelelahan. Sementara Aira—meski tidak mengatakannya—sedang butuh didengar.

“Kenapa sekarang obrolan kita rasanya seperti formalitas, ya?” gumam Aira sendiri.

Ia menutup laptop. Kemudian bangkit, mengambil buku puisinya. Menyobek satu halaman, dan mulai menulis dengan tangan:

Kamu bilang kita akan belajar memperbaiki,
Tapi bagaimana kalau yang rusak bukan hanya hubungan ini,
Tapi kita… yang sudah tak lagi saling mengerti?

Keesokan harinya, Aira bertemu dengan Raka secara tak sengaja di sebuah acara literasi.

“Kamu kelihatan beda, Ra,” ujar Raka, memperhatikannya.

“Beda gimana?”

“Kayak... kamu masih tersenyum, tapi bukan karena bahagia. Lebih kayak... pura-pura nggak lelah.”

Aira menunduk. Tidak bisa menyangkal. Ia memang lelah. Tapi bukan hanya karena Vino—melainkan karena dirinya sendiri yang terus mencoba meyakini bahwa cinta itu cukup, padahal realitanya: cinta butuh lebih dari sekadar niat baik.

Malam itu, Vino mengirim pesan suara.

“Air... aku tahu kita sama-sama berjuang. Tapi aku mulai takut... kita berjuang untuk versi cinta yang sudah tidak sama lagi.”

Aira mendengarnya berkali-kali. Dan di akhir pesan, Vino berkata pelan:

“Kalau suatu saat kamu lelah dan memilih berhenti, aku nggak akan menyalahkan kamu. Aku cuma ingin kamu tahu, aku mencoba. Dengan segala yang aku punya.”

Dan untuk pertama kalinya, Aira tidak langsung membalas.
Ia hanya duduk di sana, menatap langit malam dari jendela kamarnya.

Ada cinta yang masih bertahan.
Tapi ada juga luka yang pelan-pelan tumbuh,
mengikis harapan, mengaburkan arah.

Ia bertanya dalam hati:

Apakah kita masih bisa mencintai tanpa merasa saling terpenjara?
Atau sebenarnya… cinta ini memang sudah sampai pada batasnya?

Bab ini ditutup dengan Aira menatap pantulan dirinya di jendela, bertanya dalam diam:

"Cinta yang dipertahankan terus-menerus… masihkah cinta itu, atau hanya ketakutan untuk kehilangan?"

Bab 24: Bukan Karena Tak Cinta, Tapi Karena Harus Pergi

Hari itu, langit Jakarta cerah. Tapi hati Aira justru mendung.

Ia duduk di sebuah kafe kecil yang sering ia kunjungi bersama Vino dulu, ketika hubungan mereka masih diisi tawa dan impian bersama. Di hadapannya ada secangkir kopi, tapi sudah dingin sebelum disentuh.

Tangannya menggenggam sebuah surat—bukan diketik, tapi ditulis tangan, dengan goresan yang sedikit bergetar.

Untuk Vino, yang pernah jadi rumah:

Mungkin kamu akan marah, atau kecewa. Tapi aku menulis ini bukan karena aku menyerah. Justru karena aku sudah mencoba terlalu keras untuk tetap bertahan.

Aku mencintaimu. Itu tidak pernah berubah. Tapi aku mulai sadar, cinta tidak bisa hidup hanya dengan keyakinan satu orang.

Kita telah mencoba. Kita bicara, kita saling memaafkan, saling menguatkan. Tapi pada akhirnya, aku tetap merasa sendiri… bahkan saat kamu di ujung telepon.

Cinta seharusnya jadi tempat pulang, bukan tempat bertahan dengan luka yang kita simpan sendiri.

Dan aku lelah terus menguatkan diri, ketika aku tahu kamu pun mulai kehilangan arah untuk kembali.

Jadi hari ini, aku memilih pergi.
Bukan karena aku tidak cinta,
Tapi karena aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.

Jaga dirimu, Vin.
Jika suatu hari kita bertemu lagi…
aku harap kita sudah jadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.
Tanpa luka yang belum sembuh,
tanpa rasa bersalah yang tertinggal.

—Aira.

Aira menatap surat itu lama. Lalu memasukkannya ke dalam amplop, dan menulis alamat pengiriman. Ia tidak tahu kapan Vino akan menerimanya, atau apakah dia akan membacanya langsung.

Tapi ia yakin, ini adalah cara yang paling jujur untuk pamit.

Hari-hari setelah itu berjalan lambat. Aira kembali menulis, tapi kali ini untuk menyembuhkan, bukan untuk menyampaikan rasa. Ia tidak membenci Vino. Tidak akan pernah. Tapi ada saatnya, seseorang harus sadar kapan cinta sudah berubah menjadi beban yang tak lagi saling ditanggung.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aira tidur tanpa menggenggam ponselnya.

Tidak menunggu pesan.
Tidak berharap suara.
Hanya dirinya sendiri,
dan kelegaan yang pelan-pelan datang sebagai teman.

Di Melbourne, Vino menerima surat itu seminggu kemudian.

Ia membacanya di tepi danau, di tempat biasa ia menenangkan diri dari hiruk pikuk pekerjaan. Tangannya menggenggam amplop yang kini kusut, matanya berkaca.

Ia tahu, Aira tidak pernah benar-benar pergi.

Dia hanya kembali ke dirinya sendiri—tempat yang seharusnya tidak pernah ia abaikan.

Cinta yang sejati tidak selalu berakhir dengan bersama.
Kadang, cinta sejati justru tahu kapan harus melepaskan…
agar keduanya bisa tumbuh tanpa saling menyakiti.

Bab 25 (Epilog): Jika Kita Bertemu Lagi

Tiga tahun telah berlalu.

Aira kini tinggal di Yogyakarta, kota yang dulu hanya ia kunjungi untuk riset tulisan. Kini, kota itu menjadi tempat ia menata ulang hidup—lebih tenang, lebih dekat dengan dirinya sendiri.

Bukunya menjadi best seller. Ia dikenal sebagai penulis yang tidak hanya merangkai kata, tapi juga menyembuhkan luka orang-orang lewat cerita. Ia menjalani harinya dengan damai. Bukan karena sudah tak terluka, tapi karena ia sudah berdamai dengan rasa yang dulu menyakitkan.

Sementara itu, Vino kembali ke Jakarta. Proyek internasionalnya telah selesai. Ia pulang sebagai orang yang berbeda—lebih tenang, lebih dewasa, dan dengan hati yang pernah hancur namun tak lagi getir.

Ia berjalan di trotoar sebuah pameran sastra, tak sengaja menemukan poster dengan nama yang sangat ia kenal:

“Diskusi Buku: Dalam Diam, Aku Menjagamu” — oleh Aira Ramadhani.

Hatinya terdiam sejenak. Ia melangkah masuk.

Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi hangat. Aira duduk di depan ruangan, mengenakan blus putih sederhana. Matanya tenang, senyumnya tulus. Ia sedang menjawab pertanyaan dari peserta ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di belakang ruangan.

Waktu seakan berhenti.

Vino berdiri di sana. Sama seperti dulu—tapi tidak lagi membawa keraguan. Hanya senyuman, dan tatapan yang dalam.

Aira tersenyum. Ia tetap melanjutkan diskusi, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi hatinya tahu, semesta baru saja mempertemukan dua jiwa yang pernah saling menjaga… dalam diam.

Setelah acara selesai, mereka berdiri berhadapan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun.

“Vin.”

“Air.”

Tak ada pelukan. Tak ada air mata. Hanya tatapan yang jujur, dan perasaan yang kini telah matang.

“Kamu kelihatan bahagia,” kata Vino pelan.

“Kamu juga,” jawab Aira.

Hening sejenak, lalu Aira menambahkan, “Akhirnya kita sampai di titik ini ya… sebagai dua orang yang dulu saling mencinta, dan sekarang... saling ikhlas.”

Vino mengangguk. “Aku selalu berharap, kalau suatu hari kita bertemu lagi, kita sudah utuh sebagai diri kita sendiri.”

Aira tersenyum. “Dan semesta mengabulkannya.”

Mereka berjalan keluar bersama, berbincang seperti dua sahabat lama. Tidak ada janji baru. Tidak ada permintaan untuk kembali.

Hanya dua hati yang kini telah sembuh,
bertemu lagi di waktu yang tepat—
bukan untuk mengulang,
tapi untuk mengucap terima kasih.

Untuk cinta yang pernah dijaga dalam diam.
Untuk luka yang pernah tumbuh di dalamnya.
Dan untuk keberanian… yang akhirnya memilih merelakan.


TAMAT

Terima kasih telah mengikuti kisah Dalam Diam, Aku Menjagamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh