Di Antara Sunyi
Di Antara Sunyi
Bab 1: Sepi yang Tak Bernama
Namanya Raka. Lelaki berusia tiga puluh dua tahun yang hidupnya tak lebih ramai dari deru jam dinding di apartemennya. Setiap pagi ia bangun dengan alarm yang sama, menyeduh kopi instan yang sama, dan memandangi jendela yang sama—yang hanya menampilkan gedung apartemen di seberang.
Tak ada sapaan selamat pagi, tak ada suara langkah kaki lain di lorong kecil yang ia sebut rumah. Ia tinggal sendiri, sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu dan ayahnya lebih dulu pergi tanpa kabar saat ia masih remaja. Adik satu-satunya pindah ke luar negeri bersama suaminya. Sejak itu, Raka hanya ditemani sunyi.
Di kantor, ia dikenal sebagai pegawai yang rajin, tapi bukan teman yang menyenangkan. Ia bukan pendiam karena pemalu, tapi karena sudah terlalu lama tak punya siapa-siapa untuk diajak bicara dari hati ke hati. Ia bukan tak ingin berteman—ia hanya tak tahu harus mulai dari mana.
Saat rekan-rekannya makan siang sambil bercanda, ia memilih duduk di pojok pantry, membuka bekal sederhana yang ia siapkan sendiri. Ia menatap mereka, kadang ingin bergabung, tapi lidahnya kelu. Dunia ramai terasa terlalu jauh.
Malam adalah bagian paling sepi dari harinya. Ia sering menyalakan TV hanya untuk mendengar suara. Kadang ia berpura-pura menelepon seseorang, hanya agar petugas apartemen yang lewat mengira ia punya teman. Kadang, ia berbicara pada dirinya sendiri, menertawakan lelucon yang tak lucu, hanya agar hatinya tak hancur sepenuhnya.
Namun, pada suatu malam yang biasa, ketika hujan rintik membasahi jendela apartemennya, Raka mendapat surat. Bukan tagihan, bukan brosur diskon minimarket. Tapi sepucuk surat, dengan tulisan tangan di atas kertas berwarna krem:
"Untuk seseorang yang mungkin kesepian,
Aku tinggal di unit 308. Dan kadang aku juga merasa sangat sunyi. Kalau kau merasa yang sama, mungkin kita bisa saling berbagi diam bersama."
Tangannya gemetar saat membaca. Untuk pertama kalinya, dunia terasa sedikit bergeser dari poros kesepiannya.
Bab 2: Unit 308
Raka menatap amplop itu lama, bahkan setelah membacanya berkali-kali. Rasanya seperti menerima pesan dari semesta, sesuatu yang selama ini ia tunggu tanpa sadar. Surat itu tak ditandatangani, hanya menyebutkan unit 308. Ia tinggal di 306, artinya... hanya dua pintu dari tempatnya berdiri.
Ia berjalan bolak-balik di ruang sempit apartemennya, mencoba menyusun kata-kata, menyusun keberanian. Bagaimana jika ini hanya lelucon? Bagaimana jika ia mengetuk dan orangnya tak pernah benar-benar ada?
Namun rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya.
Pukul delapan malam, dengan jaket tipis dan surat itu tergenggam erat, Raka melangkah keluar. Lorong lengang, hanya lampu temaram yang menemani. Ia berdiri di depan pintu 308, menelan ludah, lalu mengetuk pelan.
Tak ada suara.
Ia hampir berbalik ketika gagang pintu berputar. Seorang perempuan muda muncul dari balik pintu. Rambutnya dikepang longgar, matanya sayu, tapi ada kehangatan yang tak bisa disembunyikan.
“Raka, ya?” tanyanya lembut.
Ia terpaku. “Iya... Kau yang...?”
Perempuan itu mengangguk. “Namaku Nara. Maaf kalau suratku tiba-tiba... Tapi aku pikir, mungkin aku bukan satu-satunya yang merasa sendiri di tempat ini.”
Raka mengangguk pelan. “Terima kasih... sudah menulis surat itu.”
Diam menyelimuti mereka sejenak. Tapi anehnya, bukan diam yang canggung. Seperti dua orang yang saling mengerti tanpa harus bicara banyak.
Nara tersenyum kecil. “Mau masuk? Aku buat teh.”
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Raka berkata, “Boleh.”
Bab 3: Dua Cangkir dan Sebuah Cerita
Apartemen Nara terasa hangat. Bukan karena ukuran atau furniturnya, tapi karena aromanya: kayu manis, teh hangat, dan sedikit wewangian lavender. Dindingnya dipenuhi lukisan kecil, foto-foto hitam-putih, dan tumpukan buku di sudut-sudut ruangan.
“Kau pelukis?” tanya Raka, memandangi salah satu kanvas setengah jadi.
“Bukan. Hanya suka mencoret-coret kalau malam terlalu sunyi,” jawab Nara sambil menuang teh. “Dulu aku kerja di agensi desain. Tapi sekarang... lebih banyak di rumah.”
Raka tak bertanya lebih jauh. Ia hanya mendengarkan. Dan Nara bercerita, seperti seseorang yang telah lama menahan beban di dada.
Tentang kehilangan ibunya setahun lalu. Tentang tunangannya yang pergi dan tak kembali. Tentang malam-malam panjang ketika ia tak tahu harus bicara pada siapa.
“Kadang aku menulis surat dan menyelipkannya ke beberapa pintu,” akunya sambil tertawa kecil. “Baru kali ini ada yang membalas.”
Raka tertunduk. “Aku tidak tahu harus balas apa. Tapi... aku datang.”
“Itu sudah lebih dari cukup.”
Malam itu mereka menghabiskan waktu tanpa sadar. Dua cangkir teh berubah jadi empat. Cerita berganti dari sedih ke lucu, dari ragu ke nyaman. Untuk pertama kalinya, Raka merasa ruangan yang ia masuki tak membuatnya ingin pulang cepat.
Dan ketika ia pulang ke unit 306 malam itu, ia tahu: kesepian masih ada, tapi kini tak lagi mutlak
Bab 4: Dalam Hening, Ada Teman
Beberapa hari berlalu sejak Raka mengunjungi unit 308. Ia kembali pada rutinitasnya—bangun pagi, menyiapkan kopi, berangkat kerja—namun ada sesuatu yang berbeda. Sunyi yang biasanya menggantung di dinding kamarnya kini terasa lebih ringan, seolah suara Nara masih tinggal di sela-sela diamnya.
Ia tak tahu pasti apakah itu pertemanan, harapan, atau sekadar ilusi hangat di tengah musim yang dingin. Tapi yang pasti, ia jadi menanti malam.
Nara tak menulis surat lagi. Tapi Raka mulai mengetuk pintu 308 setiap dua atau tiga malam sekali. Kadang mereka hanya duduk tanpa banyak bicara, menonton film yang tak terlalu mereka perhatikan, atau saling bercerita tentang hal-hal kecil—buku favorit, lagu masa kecil, makanan yang mereka rindukan.
Pada malam yang kelima mereka bertemu, Raka membawa sekotak martabak. Bukan yang paling enak di kota, tapi cukup manis untuk dibagi.
“Ini bentuk ucapan terima kasih karena kau sudah membuatku merasa tidak sendirian,” katanya, agak gugup.
Nara tersenyum, menerima kotak itu dengan kedua tangan. “Terima kasih juga karena sudah mengetuk pintu itu kembali.”
Mereka makan di lantai, di antara bantal-bantal dan tumpukan selimut. Di tengah obrolan, hujan kembali turun, seperti pada malam pertama mereka bertemu.
“Lucu, ya,” gumam Nara, menatap jendela. “Hujan selalu datang saat kita bertemu.”
“Seolah langit tahu kita butuh suara lain selain sunyi,” jawab Raka.
Hening mengisi ruangan lagi, tapi kali ini tak ada yang terburu-buru mengisinya. Di antara suara hujan, detak jam, dan napas yang tenang, mereka tahu: ada yang mulai tumbuh di antara keheningan.
Sesuatu yang belum mereka beri nama.
Bab 5: Luka yang Belum Sembuh
Malam itu, Raka pulang dengan hati ringan. Tapi seperti biasa, saat lampu apartemennya padam dan hanya sisa cahaya kota merayap lewat jendela, pikiran-pikirannya kembali gaduh.
Ia terbaring menatap langit-langit, mengingat tawa Nara, senyumnya, caranya menyentuh cangkir dengan dua tangan. Lalu, seperti kebiasaan lamanya, ia berbicara sendiri dalam hati:
"Kenapa ini terasa seperti harapan? Bukankah harapan selalu datang bersama kemungkinan kecewa?"
Pagi harinya, kantor kembali menelannya dalam kesibukan. Tapi pikirannya tak sepenuhnya di tempat. Rekan kerjanya mulai menyadari, Raka tersenyum lebih sering, tidak terlalu cepat pergi saat jam pulang. Tapi tak ada yang bertanya lebih jauh. Mereka terbiasa tak menyentuh hidup pribadinya.
Malamnya, ia kembali ke unit 308. Kali ini ia membawa dua buah buku puisi yang dulu disimpan di lemari, dan setangkai mawar putih yang ia beli tanpa rencana.
Tapi ketika pintu dibuka, bukan senyum yang menyambutnya. Nara berdiri dengan mata bengkak dan napas yang tersengal.
“Ada apa?” tanya Raka, khawatir.
Nara mundur satu langkah. “Maaf, Raka. Malam ini aku... aku nggak bisa bicara. Aku cuma pengin sendiri.”
Raka menunduk, menyembunyikan kekecewaan yang mulai tumbuh. Tapi ia mengangguk. “Oke. Aku mengerti.”
Ia menyerahkan bunga dan buku itu tanpa berkata apa-apa lagi, lalu berjalan kembali ke apartemennya. Pintu tertutup dengan lembut, tapi suara di kepalanya mulai berteriak.
Di dalam kamar, ia meremas bantal dan memeluknya sekuat tenaga. Ada ketakutan yang menyeruak: bahwa kebahagiaan kecil yang ia rasakan hanyalah sementara. Bahwa ia terlalu cepat berharap. Bahwa luka orang lain bisa membatalkan langkah kecilnya menuju terang.
Sementara itu, di balik pintu 308, Nara terduduk di lantai sambil memandangi bunga di tangannya. Air matanya belum berhenti mengalir. Bukan karena ia tak senang bertemu Raka. Tapi karena luka yang lama tiba-tiba terbuka kembali. Hari ini adalah hari ulang tahun mendiang ibunya—hari yang selama ini selalu ia hindari untuk diingat.
Dan ia takut. Takut merasa dekat, takut terluka lagi. Takut kehilangan sesuatu yang belum sempat ia genggam utuh.
Bab 6: Suara dari Balik Dinding
Sudah tiga hari sejak malam itu, dan Raka belum kembali ke unit 308. Ia masih bangun seperti biasa, menyalakan TV tanpa menontonnya, menulis pesan yang tak dikirim. Ia tak marah. Hanya... menahan diri.
Nara pun merasakan kekosongan yang ganjil. Ia duduk di ruang tamunya, memandangi buku puisi yang ditinggalkan Raka, membuka halaman-halaman dengan jari yang gemetar. Di sela halaman ketiga, ia menemukan secarik kertas kecil dengan tulisan tangan:
“Aku tak tahu apa yang menyakitimu,
tapi jika diam adalah caramu bertahan,_
maka aku akan menunggu di sisi sunyimu,_
tanpa meminta apa pun selain keberadaanmu.”_
Nara menangis. Bukan tangisan kehilangan, tapi kelegaan. Karena Raka mengerti bahkan tanpa penjelasan. Ia menatap dinding yang memisahkan unit 308 dan 306, dan untuk pertama kalinya merasa ingin menjembatani batas itu lagi.
Malam itu, saat hujan turun pelan, ia mengambil gelas kaca dan mengetuk pelan ke dinding dengan sendok logam kecil—tiga kali ketukan, lalu diam, lalu tiga ketukan lagi. Ia tak tahu kenapa, tapi ia berharap Raka mendengar.
Di sisi lain, Raka duduk di sofa, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Ketika ketukan terdengar, ia tak langsung bereaksi. Tapi kemudian ia tersenyum. Ia meletakkan cangkir, berdiri pelan, dan membalas ketukan itu dengan pola yang sama.
Tiga kali. Diam. Tiga kali lagi.
Itu bukan kata-kata. Bukan permintaan maaf. Tapi dalam sunyi itu, mereka saling memahami: aku di sini. Aku belum pergi.
Dan di malam berikutnya, Nara meninggalkan secarik kertas di depan pintu 306:
“Aku membuat sup. Datanglah jika kau masih suka hujan dan hening.”
Tak lama kemudian, pintu unit 308 terbuka kembali, dan dua orang yang pernah hancur perlahan mulai menyusun kepingan mereka—dengan hening, dengan teh, dengan ketukan lembut dari balik dinding yang dulu hanya jadi saksi kesepian.
Bab 7: Dekat, Tapi Tak Bergegas
Sup buatan Nara malam itu tak terlalu istimewa—terlalu asin di tepi, dan sedikit gosong di dasar panci. Tapi tak ada dari mereka yang mengeluh. Di antara sendok-sendok yang beradu pelan dan senyap yang nyaman, kehangatan itu mulai tumbuh. Bukan karena makanan, tapi karena keberadaan satu sama lain.
“Maaf kalau rasanya kacau. Aku lupa menurunkan api,” ujar Nara, sedikit malu.
“Kalau semua rasa sempurna, kita nggak punya alasan untuk saling membenahi, kan?” jawab Raka, tersenyum lebar.
Nara tertawa kecil. Bukan tawa yang dibuat-buat. Raka memperhatikannya. Wajahnya tampak lebih hidup malam ini. Rambutnya yang biasanya digulung asal kini dibiarkan jatuh lepas. Ada sesuatu yang berubah—bukan dari penampilan, tapi dari caranya menatap.
Setelah makan, mereka duduk di dekat jendela, memandangi hujan yang jatuh lambat. Raka menyandarkan bahu ke bingkai, sementara Nara duduk bersila, menatap ke luar dengan mata yang sedikit sendu.
“Aku dulu takut merasa nyaman dengan seseorang,” bisik Nara. “Takut saat mulai nyaman, mereka pergi.”
Raka menoleh pelan. “Aku juga. Tapi sekarang aku pikir... mungkin takut itu nggak akan pernah benar-benar hilang. Kita cuma perlu berani berjalan bersamanya.”
Nara berpaling, menatap Raka. Tak ada yang terburu-buru. Tak ada dialog puitis. Hanya tatapan lama, dan pelan-pelan, tangan mereka bersentuhan di sela lipatan selimut. Jari menyentuh jari, ragu-ragu, tapi tak mundur.
Lalu, untuk pertama kalinya, Nara menyandarkan kepalanya ke bahu Raka.
“Aku suka cara kamu diam,” katanya pelan. “Nggak menekan. Nggak minta dijelaskan. Hanya... hadir.”
Dan Raka tahu, malam itu mereka tidak lagi hanya dua orang kesepian yang saling mengisi ruang kosong. Mereka mulai menjadi sesuatu yang lebih: dua jiwa yang, tanpa rencana, saling menemukan di antara sunyi yang dulu menakutkan.
Bab 8: Bayang-Bayang yang Mengendap
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu. Raka dan Nara mulai mengisi hari-hari satu sama lain, tidak lagi hanya lewat ketukan di dinding atau kunjungan sesekali. Kini, mereka mulai berbagi rutinitas. Sarapan sederhana di balkon, saling membawakan makanan kecil sepulang kerja, atau duduk berdampingan membaca buku dalam diam yang hangat.
Namun seperti udara musim hujan yang lembap dan berat, ada sesuatu yang mengendap di balik semua kehangatan itu.
Suatu malam, saat mereka menonton film yang sepi dialog, Nara tiba-tiba berkata, “Kamu pernah benar-benar kehilangan seseorang?”
Raka terdiam. Ia menatap layar, tapi pikirannya melayang jauh.
“Pernah,” jawabnya akhirnya. “Adikku. Dia meninggal waktu aku masih SMA. Kecelakaan. Sejak itu aku... susah bicara sama siapa pun. Aku pikir, kalau aku diam, mungkin aku bisa menghindari rasa sakit yang sama.”
Nara menoleh padanya, wajahnya melembut.
“Aku kehilangan ibuku dua tahun lalu,” katanya. “Dan pacarku pergi setelah itu. Katanya aku terlalu tertutup. Terlalu hancur untuk dicintai.”
Keduanya terdiam. Tak ada kata-kata penghiburan. Tak ada janji bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun malam itu, mereka tidak tidur di kamar masing-masing.
Mereka tertidur di sofa, bersandar satu sama lain, saling menggenggam tangan seperti dua anak kecil yang takut kehilangan. Bukan karena dorongan romansa yang bergairah, tapi karena rasa aman yang perlahan mereka temukan—yang mulai tumbuh di tengah trauma, bukan di atas puing yang disembunyikan.
Pagi harinya, ketika Raka bangun lebih dulu, ia menatap wajah Nara yang tertidur. Di sana ada sisa air mata yang mengering, tapi juga ketenangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ia tahu, perjalanan mereka masih panjang. Akan ada malam-malam ketika luka lama kembali mengetuk. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Raka tidak takut menghadapi itu bersama seseorang.
Dan ia pun membisikkan kata yang belum berani ia ucapkan sebelumnya, hanya untuk dirinya sendiri:
"Tolong jangan pergi."
Bab 9: Yang Datang dari Masa Lalu
Hari itu hujan turun sejak pagi, tapi bukan hujan yang tenang. Angin menderu, langit kelabu. Kota seperti ditutup kabut tipis yang membuat segalanya terasa jauh dan lambat.
Raka baru pulang dari toko buku saat ia melihat sosok asing berdiri di depan pintu unit 308. Seorang pria—tinggi, bersweater abu-abu, dengan rambut basah dan wajah lelah.
Ketika Nara membuka pintu, ia terdiam. Raka yang berdiri beberapa langkah dari mereka menyadari keheningan yang berbeda. Bukan canggung. Tapi genting.
“Nara,” sapa pria itu, pelan.
Nara menatapnya, gemetar. “Kenapa kamu di sini, Adwin?”
Raka merasa namanya familiar. Lalu ia ingat—Adwin, nama yang pernah disebut Nara sekilas malam itu, lelaki yang pergi setelah ibunya meninggal.
“Aku... dengar kamu tinggal di sini. Aku hanya... pengin minta maaf,” lanjut Adwin. “Dan kalau bisa, menebus semuanya.”
Nara menunduk. Tangannya menggenggam kusen pintu seolah ingin berdiri lebih kuat. Raka menahan langkahnya, ingin memberi ruang, tapi dadanya terasa sesak. Ada sesuatu di tatapan Nara—campuran marah, takut, dan luka yang belum sembuh.
“Aku baik-baik saja sekarang,” jawab Nara pelan. “Aku sudah menemukan caraku berdiri lagi. Tapi itu bukan karena kamu, Win. Itu karena aku... dan seseorang yang tak menyerah menemaniku dalam diam.”
Adwin terlihat terpukul, tapi mengangguk. Ia menatap Raka sekilas—tatapan pengakuan, atau mungkin pengunduran diri. Lalu ia melangkah pergi, langkahnya tenggelam di bawah hujan yang belum juga berhenti.
Setelah pintu tertutup, Nara berdiri diam, napasnya berat. Raka mendekat, ragu.
“Kamu nggak harus menjelaskan apa-apa,” katanya.
Tapi Nara justru menoleh dan memeluknya erat. “Aku cuma takut kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar mau tinggal.”
Raka membalas pelukannya, lebih erat. “Aku nggak ke mana-mana. Bahkan waktu kamu nggak bicara, aku tetap di sini.”
Malam itu mereka tak menyalakan TV, tak membaca buku. Hanya duduk di lantai, saling bersandar, mendengarkan hujan yang mulai melambat.
Masa lalu mungkin belum sepenuhnya tertutup. Tapi masa depan sudah mulai mengetuk—dan untuk pertama kalinya, mereka membukakan pintu bersama.
Bab 10: Titik Patah, Titik Pilih
Beberapa hari setelah kehadiran Adwin, Nara menjadi lebih pendiam. Bukan seperti dulu, bukan kesepian. Tapi ada yang ia simpan lagi—dan Raka merasakannya.
Malam itu, langit cerah untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. Kota terlihat berbeda tanpa tirai hujan. Raka mengajak Nara naik ke atap, tempat yang dulu sering ia kunjungi sendiri saat kesepian terlalu berat.
Mereka duduk berdampingan, menatap lampu-lampu kota yang berkelip.
“Kamu berubah beberapa hari ini,” kata Raka, pelan.
Nara menunduk. “Adwin menghubungi lagi. Dia minta ketemu, satu kali saja. Katanya, ingin menutup semuanya dengan baik.”
Raka menahan napas. Tak ada rasa cemburu. Tapi ada ketakutan yang asing: takut kehilangan, bukan karena ditinggal, tapi karena seseorang tak tahu apa yang sebenarnya ia punya.
“Aku nggak akan melarang,” kata Raka akhirnya. “Tapi kalau kamu masih menyisakan ruang buat dia, jangan kasih aku harapan. Aku nggak ingin jadi tempat singgah sementara.”
Nara menoleh, dan di matanya ada air yang belum jatuh. “Kamu pikir aku belum selesai dengan masa lalu?”
“Aku nggak tahu,” jawab Raka jujur. “Tapi kalau kamu harus memilih, jangan karena kamu kasihan padaku. Pilih karena kamu benar-benar ingin tetap tinggal.”
Hening menggantung. Lama.
Lalu Nara berdiri, mengusap air matanya yang akhirnya jatuh. “Aku akan pergi ketemu dia besok. Bukan untuk kembali. Tapi untuk menutup pintu itu, benar-benar. Setelah itu, kalau kamu masih di sini... aku akan pulang. Ke kamu.”
Dan ia pun pergi malam itu—meninggalkan Raka sendiri di atap, dengan dada sesak yang tak bisa ia atasi.
Malam itu jadi malam terpanjang dalam hidup Raka. Ia tak tidur. Ia hanya menunggu.
Esoknya, langit mendung lagi, tapi tak hujan. Raka duduk di dekat jendela, menatap pintu unit 308. Pagi berlalu. Siang melewati. Sore menyentuh malam. Tapi Nara belum kembali.
Ketika jam menunjukkan pukul 9 malam, Raka berdiri. Ia merasa dadanya mulai retak. Mungkin dia memilih kembali. Mungkin aku hanya persinggahan, seperti yang paling kutakutkan.
Lalu, saat ia hendak mematikan lampu dan menyerah pada sepi yang lama, terdengar tiga ketukan di pintu.
Tiga. Diam. Tiga lagi.
Raka tertegun. Ia melangkah cepat, membuka pintu.
Nara berdiri di sana, mata merah, tubuh sedikit menggigil. Tapi kali ini, senyumnya tak ragu.
“Aku pulang,” katanya, nyaris berbisik. “Kalau kamu masih ingin aku tinggal.”
Raka menariknya ke dalam pelukan, begitu erat seakan ia tak akan pernah melepasnya lagi.
Dan dalam diam itu, mereka tahu: ini bukan lagi tentang melarikan diri dari kesepian. Ini adalah tentang memilih satu sama lain—meski dengan luka, meski dengan ketakutan, meski dengan ketidaksempurnaan.
Bab 11: Ketika Sunyi Tak Lagi Menakutkan
Sudah tiga bulan sejak malam itu. Sejak ketukan yang datang dengan ragu berubah menjadi langkah yang tetap. Sejak dua orang yang hancur di tempat terpisah memutuskan untuk sembuh bersama.
Nara kini tak lagi hanya penghuni unit 308. Ia adalah suara tawa di dapur kecil milik Raka, tangan yang membuat teh hangat saat malam turun, dan peluk yang setia menenangkan gelisah yang datang tiba-tiba.
Raka pun bukan lagi lelaki yang bicara lewat tembok. Ia mulai menulis lagi—bukan jurnal suram seperti dulu, tapi catatan ringan tentang hari-hari kecil bersama Nara. Ia bahkan menulis puisi, meski diam-diam, dan menyembunyikannya di sela-sela buku agar Nara menemukannya seperti kejutan.
Mereka tidak berubah menjadi sempurna. Masih ada hari ketika Nara tiba-tiba menangis karena mimpi tentang ibunya. Atau ketika Raka merasa tenggelam dalam kenangan adiknya. Tapi mereka tak lagi sendiri. Dan itu membuat segalanya berbeda.
Suatu pagi, saat cahaya matahari menembus tirai, Nara membelai rambut Raka yang masih terpejam dan berbisik, “Kamu tahu? Dulu aku pikir cinta itu sesuatu yang besar dan megah. Tapi ternyata, kadang cinta cuma tentang seseorang yang tetap ada, bahkan ketika kamu nggak bisa bicara.”
Raka membuka matanya dan tersenyum. “Dan tentang seseorang yang tahu kapan harus diam, kapan harus memeluk.”
Hari itu, mereka pergi ke taman di luar kota. Membawa bekal, buku, dan kamera tua milik Nara. Mereka mengambil foto satu sama lain—tanpa pose berlebihan, hanya senyum kecil, tawa lepas, dan tatapan panjang.
Sore harinya, saat matahari mulai turun perlahan, Nara bertanya, “Kalau suatu hari aku hancur lagi, apa kamu akan tetap tinggal?”
Raka menatapnya lama, menggenggam tangannya erat. “Aku akan tinggal. Karena cinta bukan hanya tentang menunggu versi terbaik dari seseorang. Tapi tentang mau berjalan bersamanya, bahkan dalam versi paling rapuhnya.”
Nara mengangguk, menatap langit jingga.
Dan di detik itu, mereka berdua tahu: sunyi masih ada, sesekali mungkin akan datang. Tapi kini, sunyi tak lagi menakutkan.
Karena di tengah-tengahnya, mereka telah saling menemukan.
Epilog: Setiap Langkah Adalah Rumah
Waktu berjalan dengan lambat, seperti angin musim gugur yang menyentuh daun-daun yang jatuh satu per satu. Setiap hari mereka berbagi lebih banyak hal, tak hanya kata-kata atau tawa, tapi ruang, harapan, dan kesunyian yang kini terasa lebih nyaman.
Nara dan Raka memulai rutinitas baru mereka, penuh dengan momen-momen kecil yang mereka pelihara. Pagi yang dimulai dengan secangkir kopi di balkon, lalu berjalan di sekitar taman kota, berbicara tentang apa saja—tentang buku yang baru mereka baca, tentang kenangan yang kadang masih terasa menyakitkan, tapi lebih sering menjadi pelajaran. Mereka tidak lagi mencari alasan untuk merasa utuh. Karena mereka sudah tahu: tidak ada yang utuh sepenuhnya, dan itu bukanlah hal yang perlu diperbaiki.
Mereka belajar, bersama-sama, bahwa cinta bukan tentang memiliki segalanya. Cinta adalah tentang menjadi cukup, menerima ketidaksempurnaan, dan tahu kapan harus saling memberi ruang, saling memahami.
Di suatu sore yang cerah, saat mereka duduk di tepi jendela yang menghadap ke jalanan yang sibuk, Raka menggenggam tangan Nara dan berkata, “Aku dulu sering merasa kesepian, Nara. Tapi sekarang, setiap kali aku bangun, aku merasa seperti pulang.”
Nara menoleh padanya, dengan senyum yang hangat. “Kita memang tidak pernah bisa menghindari kesepian, Raka. Tapi mungkin kita bisa membuatnya lebih ringan dengan saling ada.”
Dan begitu, hidup mereka berjalan. Tidak sempurna, tapi penuh arti.
Di antara sunyi, mereka menemukan suara yang mengisi ruang kosong mereka—suara satu sama lain. Dan itu lebih dari cukup.
cerita mereka berakhir dengan kedamaian dan harapan, menutup perjalanan mereka menuju pemulihan dan kebersamaan
Komentar
Posting Komentar