Hujan di Dalam Dada

 Hujan di Dalam Dada


Bab 1: Bayangan di Sudut Kamar

Langit di luar jendela mendung, tapi bukan hanya langit yang kelabu. Di dalam kamar kecil yang diterangi lampu temaram, Arka duduk memeluk lutut di pojok ruangan. Napasnya pendek-pendek, matanya menatap ke arah lantai seolah mencari jawab yang tak kunjung datang. Di kepalanya, suara-suara yang tak terdengar oleh orang lain berdengung seperti nyamuk yang tak pernah lelah.

"Apa kau sudah cukup baik hari ini?"
"Kenapa kau tidak bisa seperti mereka?"
"Semua orang akan meninggalkanmu pada akhirnya."

Hujan di luar mulai turun, menambah harmoni yang aneh dengan hujan di dalam dadanya. Setiap tetes air yang jatuh seperti gema yang mempertegas kekosongan di hatinya.

Arka tahu dia harus keluar dari kamar itu, harus melakukan sesuatu. Tapi tubuhnya berat, seolah ada tali tak kasat mata yang membelenggunya. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mengalir di pelipis. Bahkan bernapas pun rasanya seperti melawan arus sungai yang deras.

Dia mencoba mengalihkan perhatian, membuka buku di meja, tapi huruf-huruf di halaman tampak kabur. Dunia di sekelilingnya terasa jauh, seperti ada dinding kaca yang membatasi. Arka merasa seperti pengunjung yang terperangkap di dalam dirinya sendiri.

Bab 2: Pertemuan di Bawah Hujan

Di hari lain, saat hujan masih rajin menyapa kota kecil itu, Arka bertemu seseorang. Seorang gadis dengan payung hitam, berdiri di halte bus yang sepi. Namanya Lila. Senyum Lila hangat, seolah tahu cara untuk membuat dunia yang dingin terasa lebih hangat. Entah bagaimana, Lila seperti tidak merasa aneh dengan Arka yang canggung dan sering diam. Mereka berbincang, meski suara Arka kadang gemetar, Lila mendengarkan.

“Aku juga sering merasa seperti itu,” kata Lila suatu sore, saat mereka duduk bersama di taman kecil, menatap genangan air yang memantulkan langit kelabu.

Seperti hujan yang reda perlahan, dada Arka terasa sedikit lebih lega. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena ada yang memahami. Ada seseorang yang mau duduk bersamanya dalam hujan, tanpa memaksanya untuk segera berlari.

Bab 3: Langkah Kecil

Arka tahu, anxiety-nya tidak akan pergi begitu saja. Ada hari-hari di mana dia masih akan duduk di pojok kamar, merasa terjebak. Tapi kini, dia tahu dia tidak sendirian. Lila memberinya keberanian untuk mulai melangkah—meski hanya satu langkah kecil hari ini, mungkin dua langkah besok.

Di suatu pagi yang cerah, Arka berdiri di depan cermin, melihat matanya sendiri. Dia menarik napas dalam, perlahan, dan berkata pada dirinya sendiri:

"Tidak apa-apa kalau aku takut. Aku tetap akan mencoba."

Hujan di dalam dadanya masih ada, tapi kini dia belajar menari di bawahnya.

Bab 4: Gema yang Masih Ada

Malam itu, Arka terjaga. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit yang gelap. Suara detak jam dinding terdengar seperti palu yang mengetuk pikirannya, menciptakan gema yang mengganggu.

Pikiran-pikiran gelap itu datang lagi.

"Kau tidak cukup baik."
"Kau hanya beban."
"Lila pasti akan pergi suatu saat."

Arka menarik selimut sampai ke dagunya, tapi rasa dingin di dadanya tak hilang. Ia merasa terperangkap, seperti dikejar oleh bayangan yang terus membisikkan kata-kata tajam di telinganya.

Dia mencoba mengingat kata-kata Lila:

"Aku juga sering merasa seperti itu."

Tapi itu terasa jauh malam ini, seolah suara Lila terkubur di balik kabut tebal. Air mata mengalir, diam-diam.

Di tengah keheningan, dia menulis pesan di ponselnya:
"Lila, aku tidak baik-baik saja."

Ia menatap pesan itu lama, jarinya ragu-ragu di tombol kirim.
Apakah dia akan terlihat lemah? Apakah Lila akan marah?
Dengan gemetar, ia akhirnya menekan tombol itu.
Pesan terkirim.
Lalu, hening.

Arka memejamkan mata, napasnya tidak teratur. Entah berapa lama, sampai akhirnya ponselnya berbunyi. Pesan dari Lila.

"Aku di sini untukmu, Arka. Kamu tidak sendirian."

Air mata Arka semakin deras, tapi kali ini ada sedikit kehangatan yang ikut mengalir.


Bab 5: Langkah di Tengah Hujan

Keesokan harinya, Lila mengajak Arka bertemu di taman yang sama. Hujan rintik turun lagi, seperti biasa. Mereka duduk di bangku kayu yang basah oleh sisa gerimis, payung Lila terbuka di atas mereka.

"Maaf kalau aku merepotkan," kata Arka pelan, suaranya seperti bisikan.

Lila menggeleng, memandang Arka dengan senyum lembut. "Kamu nggak merepotkan, kok. Kadang, kita semua butuh tempat untuk istirahat."

Arka menunduk, menatap jemarinya yang saling mengait gelisah. "Tapi aku capek... aku pengen berhenti ngerasa kayak gini."

Lila terdiam, lalu berkata pelan, "Aku nggak punya jawaban, Arka. Tapi aku bisa duduk di sampingmu sampai kamu kuat lagi."

Hujan masih turun. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya, Arka merasa dia bisa berdiri meski kakinya gemetar. Bersama Lila, dia mulai belajar menerima bahwa menjadi rapuh itu bukanlah dosa.

Dan di tengah hujan, Arka merasa dia bisa mencoba lagi besok.

Bab 6: Luka yang Tidak Terlihat

Langit sore itu kelabu, seperti biasa. Arka duduk di tepi kasur, menatap foto tua yang lusuh di tangannya. Sebuah foto keluarga. Ada Arka kecil, senyum canggungnya diapit oleh ayah dan ibunya yang tampak bahagia.

Tapi di balik gambar itu, ada ingatan yang menggantung seperti awan hitam di benaknya.

Suara teriakan. Bentakan keras. Piring pecah. Arka kecil yang meringkuk di sudut ruangan, menutup telinga, berharap semua itu hanya mimpi.

Dia mengingat wajah ibunya yang penuh lelah, ayahnya yang sering pulang dengan bau alkohol. Kata-kata yang menyakitkan sering dilemparkan seperti pisau. "Kamu nggak bisa apa-apa." "Kamu cuma bikin masalah."

Arka tumbuh dengan keyakinan bahwa dia salah, bahwa dia tidak cukup baik. Rasa cemas yang sekarang menjeratnya seperti rantai adalah bayangan masa lalu yang belum dia lepaskan.

Malam itu, di bawah cahaya remang, dia menangis dalam diam.

Dan keesokan paginya, dia menulis surat kecil di buku catatannya:

"Aku ingin sembuh. Aku ingin hidup, bukan hanya bertahan."


Bab 7: Di Ujung Hujan, Ada Cahaya

Arka akhirnya memutuskan untuk menceritakan masa lalunya pada Lila. Mereka duduk di bangku taman yang sama, dengan teh hangat di tangan. Hujan rintik turun perlahan, membasahi daun-daun.

"Aku nggak pernah bilang ini ke siapa pun..." Arka mulai, suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Dia bercerita tentang masa kecilnya, tentang ayah yang kasar, ibu yang pergi, dan rasa bersalah yang selalu menghantuinya. Tentang malam-malam di mana dia menangis diam-diam, tentang rasa takut yang tak kunjung hilang.

Lila mendengarkan tanpa memotong, matanya hangat, tangannya sesekali menepuk pundak Arka dengan lembut.

"Arka," kata Lila akhirnya, "Kamu nggak salah. Kamu cuma anak kecil waktu itu. Kamu nggak seharusnya menanggung semua itu sendirian."

Arka terdiam. Kata-kata itu seperti tetes air yang jatuh di tanah kering, menembus lapisan keras di dalam dirinya.

Lila melanjutkan, "Aku nggak janji semua akan jadi mudah, tapi aku akan ada di sini, kalau kamu mau."

Untuk pertama kalinya, Arka merasa ada harapan. Mungkin hujan dalam dadanya tak akan hilang sepenuhnya, tapi dia belajar satu hal: dia bisa berjalan di tengah hujan itu.

Dan di antara butiran hujan yang jatuh, ada cahaya kecil yang mulai menyelinap.


Bab 8: Langkah yang Masih Gentar

Hari itu, Arka berdiri di depan kelas, menggenggam kertas presentasinya erat-erat. Tangannya gemetar, napasnya tercekat, dan dadanya terasa seperti ada ribuan jarum menekan. Semua mata tertuju padanya, meskipun sebagian besar hanya menunggu giliran berbicara.

Suara kecil di kepalanya mulai berbisik:

"Kau akan salah bicara."
"Mereka akan menertawakanmu."
"Kau tidak cukup pintar."

Arka menutup matanya sejenak, mengingat kata-kata Lila:

"Kamu nggak harus sempurna. Kamu cukup hanya dengan berani mencoba."

Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar di dadanya. Satu... dua... tiga... lalu mulai membaca, dengan suara yang sedikit bergetar.

Kata demi kata keluar, meski kadang terputus. Tangannya masih gemetar, tapi dia terus maju. Suara-suara di kepalanya masih ada, tapi dia memilih untuk tidak berhenti.

Saat presentasi selesai, dia mendengar tepuk tangan kecil dari Lila yang duduk di sudut kelas. Bukan tepuk tangan paling keras, tapi cukup untuk menghangatkan hatinya.

Arka duduk dengan napas lega. Dia sadar, dia masih takut, masih cemas, tapi dia bisa.

Hari itu, dia pulang dengan langkah kecil yang gemetar, tapi langkah itu miliknya sendiri.


Bab 9: Hujan di Ujung Malam

Malam itu, Arka berdiri di jendela kamarnya, menatap hujan yang turun deras. Ada sesuatu yang aneh—hujan yang biasanya membuatnya ingin meringkuk di pojok kamar, kali ini justru terasa... tenang.

Dia membuka jendela, membiarkan udara dingin menyapa kulitnya. Tetes air hujan menyentuh wajahnya, dan dia mengulurkan tangan ke luar, merasakan dingin itu.

Di dalam pikirannya, dia mendengar bisikan-bisikan lama, suara masa lalu, bayangan luka.

Tapi dia juga mendengar suara Lila, yang berkata:
"Kamu nggak salah."
Dan suaranya sendiri yang berkata:
"Aku ingin sembuh. Aku ingin hidup, bukan hanya bertahan."

Arka menutup matanya, membiarkan hujan membasahi wajahnya. Air mata mengalir, bercampur dengan tetes hujan.

Dia menangis, tapi kali ini bukan hanya karena sakit—juga karena lega.

Dia sadar, perjalanannya masih panjang. Masih banyak malam-malam gelap yang harus dihadapi. Tapi dia juga tahu, dia sudah mulai berjalan, meski dengan langkah kecil yang gemetar.

Dan di dalam hujan, ada suara kecil di hatinya yang berkata:

"Aku bisa. Aku akan mencoba lagi besok."

Bab 10: Luka yang Butuh Waktu

Arka duduk di ruang konseling kampus untuk pertama kalinya. Ruangan itu sederhana—dinding putih, rak buku kecil, dan sofa empuk. Di depannya, ada seorang perempuan paruh baya bernama Bu Rina, seorang konselor yang terlihat tenang dan hangat.

Tangannya gemetar di pangkuan. Rasanya seperti duduk di bawah sorotan lampu, meski hanya ada mereka berdua di ruangan itu.

"Apa yang kamu rasakan sekarang, Arka?" tanya Bu Rina dengan lembut.

Arka menunduk. Pikirannya berkecamuk—bingung, takut, ingin lari. Tapi dia ingat langkah-langkah kecil yang sudah dia tempuh. Lila bilang, "Kamu nggak harus langsung sembuh. Satu langkah kecil pun nggak apa-apa."

Akhirnya, dengan suara pelan, dia berkata, "Saya... capek, Bu. Capek banget. Kadang rasanya... nggak ada gunanya saya di sini."

Mata Bu Rina melembut. "Rasa itu berat, ya?"

Arka mengangguk. Air matanya menetes tanpa dia sadari.

Hari itu, mereka tidak bicara banyak. Tapi bagi Arka, duduk di sana dan mengakui perasaannya adalah langkah pertama yang besar. Langkah yang dia kira tidak akan bisa dia ambil.


Bab 11: Mencari Diri di Tengah Luka

Beberapa minggu kemudian, Arka mulai rutin datang ke sesi konseling. Perlahan, dia belajar mengenali pikirannya sendiri—bahwa suara di kepalanya bukanlah kebenaran mutlak. Bahwa dia bukan kegagalan hanya karena masa lalunya kelam.

Tapi tentu saja, prosesnya tidak mulus. Ada hari-hari di mana Arka kembali terpuruk, terjaga sampai larut malam dengan dada sesak dan kepala penuh kecemasan. Ada hari-hari di mana dia merasa semua usahanya sia-sia.

Suatu malam, dia mengirim pesan ke Lila:

"Aku capek. Aku pengen berhenti."

Beberapa menit kemudian, Lila menelepon. Suaranya lembut, namun tegas:
"Arka, dengerin aku. Kamu udah berjuang sejauh ini. Aku tahu rasanya berat. Aku nggak bisa janji semuanya akan baik-baik aja besok, tapi aku janji... aku nggak akan ninggalin kamu."

Arka menangis malam itu. Bukan hanya karena lelah, tapi juga karena rasa hangat yang muncul di dalam dada—rasa yang berkata, "Aku nggak sendirian."

Bab 12: Cahaya Kecil di Tengah Gelap

Hari itu, Arka berdiri di depan pintu ruangan bertuliskan "Support Group Mahasiswa: Ruang Cerita dan Pulih". Tangannya berkeringat, napasnya pendek. Dia hampir berbalik, hampir membiarkan ketakutan menelan langkah kecil yang sudah dia ambil.

Tapi suara Lila terngiang di kepalanya,
"Kamu nggak harus sempurna. Kamu cukup hanya dengan berani mencoba."

Dengan sisa keberanian yang tipis, Arka membuka pintu dan masuk.

Ruangan itu sederhana, dengan kursi-kursi yang disusun melingkar. Di sana, ada beberapa wajah asing, duduk dalam keheningan canggung yang terasa seperti langit mendung sebelum hujan. Salah satu dari mereka, seorang pria kurus berkacamata dengan senyum ramah, menyapa,
"Halo. Aku Dika. Duduk aja, ya."

Arka duduk, tubuhnya kaku, matanya menunduk.

Sesi dimulai. Satu per satu, orang-orang mulai berbagi. Tentang kecemasan, tentang luka masa lalu, tentang perasaan hampa. Ada tawa kecil, ada tangis, ada keheningan yang berat tapi hangat.

Saat giliran Arka tiba, dia hampir membeku. Suaranya tercekat di tenggorokan.

Tapi kemudian, dia menarik napas, gemetar, dan berkata:
"Halo... aku Arka. Aku... aku juga sering merasa kayak kalian. Kayak ada hujan di dalam dada... dan kadang, aku cuma pengen semua ini berhenti."

Suara itu kecil, tapi cukup untuk membuat matanya basah.

Dan di ruangan itu, tak ada yang menertawakan. Tak ada yang menghakimi. Hanya tatapan penuh pengertian, dan bisikan:
"Kamu nggak sendiri, Arka."

Hari itu, Arka pulang dengan langkah pelan, tapi dadanya sedikit lebih ringan. Hujan masih turun, tapi dia mulai belajar berjalan di bawahnya.


Bab 13: Hujan di Dada Lila

Beberapa hari kemudian, Lila menghilang. Pesannya tak dibalas, teleponnya tak diangkat. Arka mulai gelisah, pikirannya dipenuhi kecemasan:
"Apakah aku salah bicara? Apakah aku membuatnya marah?"

Setelah tiga hari, akhirnya Lila muncul, duduk di taman yang biasa mereka datangi. Wajahnya pucat, matanya sembab.

"Aku minta maaf," ucap Lila, suaranya serak.

Arka duduk di sampingnya, diam, menunggu.

Lila mulai bercerita, pelan-pelan, tentang lukanya sendiri. Tentang bagaimana dia juga pernah merasa sendirian, tentang beban keluarga yang dia pendam sejak kecil. Tentang rasa takutnya—takut menjadi beban bagi Arka, takut terlihat lemah, takut kehilangan.

Arka mendengarkan, matanya berkaca-kaca.

Hari itu, mereka duduk berdua dalam diam, saling menggenggam tangan. Dua jiwa yang sama-sama terluka, sama-sama basah oleh hujan, tapi memilih tetap bertahan.

Dan Arka belajar satu hal:
Kadang, orang yang terlihat paling kuat pun menyimpan hujan di dadanya.

Bab 14: Pelukan di Tengah Luka

Hari itu, Arka berdiri di depan pintu rumah yang sudah lama tak dia masuki. Tangannya gemetar, keringat dingin membasahi telapak. Di dalam, ada sosok yang selama ini hanya muncul di mimpinya—ayah. Lelaki yang dulu sering berteriak, yang kata-katanya seperti pisau, yang menjadi bayangan hitam dalam hidup Arka.

Lila ada di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
"Kalau kamu nggak siap, nggak apa-apa kok," bisiknya lembut.

Arka menggeleng pelan.
"Aku harus coba. Walau aku takut."

Dengan napas berat, Arka mengetuk pintu.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Di baliknya, ayah Arka berdiri. Usianya terlihat lebih tua, rambutnya mulai memutih, dan wajahnya—entah bagaimana—terlihat lelah.

Arka menatap mata ayahnya. Ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya kelu.

Sampai akhirnya, dengan suara serak, dia berkata:
"Aku... aku datang bukan untuk marah. Aku cuma... pengen bilang aku capek, Yah. Aku... aku pengen berhenti nyalahin diri sendiri."

Ayah Arka terdiam. Mata tuanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, dia terlihat rapuh, bukan seperti sosok yang dulu Arka takuti.

Dan tanpa kata-kata panjang, ayahnya menarik Arka ke dalam pelukan. Tubuh Arka kaku, bingung. Tapi perlahan, air matanya tumpah, dan dia membiarkan dirinya menangis dalam dekapan itu.

Di dalam pelukan itu, Arka belajar satu hal:
Kadang, luka lama tak benar-benar sembuh. Tapi kita bisa belajar memeluknya, agar ia tak lagi menyakiti setiap langkah kita.


Bab 15: Bersama di Tengah Hujan

Hari-hari berlalu. Arka kembali ke rutinitasnya, menghadiri kelompok support, menulis di jurnalnya, dan sesekali tertawa bersama Lila.

Luka itu masih ada. Rasa cemas masih kadang menghampiri. Tapi ada sesuatu yang berubah.

Arka mulai menerima bahwa hidup tak harus selalu cerah. Ada hari-hari gelap, ada hujan yang turun deras. Tapi selama dia punya tempat untuk pulang—entah itu Lila, support group, atau sekadar dirinya sendiri yang belajar berdamai—dia bisa terus berjalan.

Suatu sore, Arka dan Lila duduk di taman, menatap langit yang mendung. Hujan rintik mulai turun.

"Aku masih takut," kata Arka pelan.

Lila tersenyum, menatapnya dengan hangat. "Aku juga."

Mereka tertawa kecil, saling menggenggam tangan.

Dan di bawah hujan itu, Arka merasa sesuatu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya: rasa syukur, meski hanya sebatas langkah kecil.

Bab 16: Jarak yang Tak Terucap

Arka duduk di bangku stasiun, menggenggam tiket kereta dengan tangan yang dingin. Di sampingnya, Lila mencoba tersenyum, tapi matanya basah.

"Jangan lupa makan, ya," kata Lila, suaranya bergetar.

Arka mengangguk pelan. Ada begitu banyak yang ingin dia katakan—tentang rasa takutnya, tentang betapa dia merasa belum siap, tentang betapa dia ingin Lila ikut bersamanya ke kota baru. Tapi kata-kata itu macet di tenggorokan.

"Kalau kamu kangen, bilang. Kalau kamu capek, cerita. Jangan simpan sendiri, ya," tambah Lila, mencoba menghapus air matanya yang jatuh.

Arka hanya bisa berkata, "Kamu juga, ya."

Mereka berpelukan, erat, seakan dunia di sekeliling mereka menghilang. Di dalam dada Arka, ada rasa lega karena dia mencoba langkah baru, tapi juga rasa sakit yang menggerogoti karena harus meninggalkan Lila di belakang.

Saat kereta bergerak perlahan, Arka menatap wajah Lila yang semakin kecil, lalu hilang ditelan jarak.

Dan di kursi yang dingin itu, dia belajar satu hal:
Kadang, langkah untuk tumbuh berarti harus meninggalkan yang kita cintai, meskipun itu bukan berarti berhenti mencintai.


Bab 17: Sepi yang Berbicara

Hari-hari di kota baru terasa asing. Arka sibuk dengan pekerjaan magangnya—deadline, target, atasan yang keras. Tapi di sela kesibukan itu, ada ruang kosong yang terus menghantui. Malam-malamnya terasa dingin, kamar kontrakannya sunyi, dan di layar ponsel, nama Lila terpampang, tapi Arka ragu untuk menekan tombol "panggil".

Di lain kota, Lila duduk di kamar, memandangi foto mereka berdua. Senyum Arka di foto itu seperti cahaya kecil yang menghangatkan, tapi juga mengiris dada.

Mereka masih saling mengirim pesan, tapi ada jeda yang semakin lebar. Kata-kata mereka semakin singkat, basa-basi, seolah-olah mencoba menutup luka yang terus melebar.

Sampai suatu malam, Arka mengetik pesan panjang:

"Aku nggak tahu kita ini apa sekarang. Aku sayang kamu, tapi aku juga bingung. Aku capek. Aku takut aku nggak cukup buat kamu."

Pesan itu tak pernah terkirim. Arka menghapusnya, menatap layar yang gelap, lalu terdiam dalam keheningan.

Lila di sisi lain juga menulis pesan:

"Aku rindu. Aku takut kamu akan pergi beneran."

Tapi pesan itu juga mengendap di draft, tak pernah terkirim.

Di malam yang berbeda, di dua kota yang berbeda, mereka sama-sama duduk dalam sepi, masing-masing bertanya:
"Apakah kita masih bisa saling bertahan, atau kita harus belajar saling melepaskan?"

Bab 18: Pertemuan yang Terlambat

Hari itu, Arka kembali ke kota asalnya. Langit mendung, hujan turun pelan-pelan, seperti mengerti isi hatinya. Dia berjalan menuju taman kecil tempat dulu sering duduk bersama Lila.

Di sana, Lila sudah menunggu. Wajahnya lelah, matanya sayu, tapi senyumnya tetap hangat.

“Hai,” sapa Lila, suaranya pelan.

“Hai,” balas Arka. Mereka duduk dalam diam, hanya ditemani suara hujan yang jatuh di dedaunan.

Arka menarik napas, suaranya nyaris patah.
“Lila, aku… aku minta maaf. Aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku… aku ngerasa gagal.”

Lila menatapnya, matanya berkaca-kaca.
“Kamu nggak gagal, Arka. Kita berdua cuma... terluka.”

Lama mereka diam. Sampai akhirnya Lila berkata, suaranya nyaris bisikan,
“Mungkin kita harus belajar melepaskan. Bukan karena kita nggak saling sayang, tapi karena kadang, cinta aja nggak cukup.”

Kalimat itu menghantam Arka seperti petir. Dia ingin berteriak, ingin memohon, tapi hatinya tahu—Lila benar. Mereka sudah terlalu lelah berjuang dengan luka masing-masing.

Dan di bawah hujan yang sama, mereka berdua menangis. Tidak lagi sebagai pasangan, tapi sebagai dua jiwa yang saling mendoakan dari kejauhan.


Bab 19: Hujan yang Membasuh

Hari-hari setelah perpisahan itu berat. Arka kembali ke rutinitasnya dengan hati kosong. Tapi dia belajar menerima, pelan-pelan, bahwa tidak semua yang indah harus dimiliki selamanya.

Lila juga melanjutkan hidupnya. Dia menulis surat untuk Arka—bukan untuk dikirim, tapi untuk dirinya sendiri.
"Terima kasih sudah pernah jadi rumah. Aku akan selalu mengingatmu, tapi aku juga harus belajar mencintai diriku sendiri."

Arka pun menulis di jurnalnya,
"Aku nggak sempurna. Aku sering jatuh. Tapi aku masih di sini. Masih bernapas. Dan itu sudah cukup."


Bab 20: Setelah Hujan Reda

Setahun kemudian, Arka duduk di kafe kecil, membuka laptopnya. Di layar, ada draft novel dengan judul:
"Hujan di Dalam Dada".

Dia menulis bukan lagi untuk lari dari rasa sakit, tapi untuk merangkulnya. Untuk menceritakan pada dunia, bahwa kita semua pernah merasa hancur, tapi kita bisa bertahan.

Lila? Dia membuka kelas seni kecil di kota lain, mengajar anak-anak melukis. Senyumnya tulus, matanya masih berkaca-kaca saat mendengar lagu-lagu yang dulu mereka dengar bersama, tapi dia tahu—dia baik-baik saja.

Arka dan Lila tak lagi bersama. Tapi mereka tetap saling mendoakan, dari jauh.

Dan seperti hujan yang reda, luka mereka tak sepenuhnya hilang, tapi cukup untuk mereka berjalan lagi, menapaki hidup dengan langkah baru.


Epilog: Untukmu yang Pernah Terluka

Jika kamu sedang membaca ini, mungkin kamu juga sedang merasa lelah. Mungkin kamu juga pernah merasa hancur, tak berarti, atau hilang arah.

Tapi ketahuilah, kamu nggak sendiri. Luka itu mungkin nggak akan hilang sepenuhnya, tapi kamu bisa belajar menari di bawah hujan. Kamu bisa belajar mencintai dirimu sendiri.

Dan itu... sudah cukup.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta yang Tak Tersentuh

Di Balik Meja Rapat

Cinta di Waktu yang Salah