HUJAN TERAKHIR DI BULAN MEI
Hujan Terakhir di Bulan Mei
Mini Novel
Bab 1: Pohon Flamboyan
Aira pertama kali bertemu Raka di bawah pohon flamboyan di taman kampus. Daun merah menyala berguguran, menyelimuti bangku taman yang sudah lapuk oleh waktu. Raka sedang membaca buku puisi ketika Aira duduk tak sengaja di sampingnya, mencari tempat teduh dari matahari siang.
“Aku suka puisinya Sapardi,” kata Aira, melirik halaman yang sedang dibaca Raka.
Raka tersenyum. “Kebetulan, ini puisinya Sapardi juga.”
Itu awal segalanya. Dari puisi, tawa, kopi malam, hingga pertengkaran soal hal kecil seperti arah pulang atau film yang harus ditonton. Tiga tahun berlalu seperti satu musim hujan yang panjang tapi indah. Mereka tumbuh bersama—atau setidaknya Aira mengira begitu.
Bab 2: Visa dan Janji
Raka mendapatkan beasiswa ke Jepang, untuk riset tentang teknologi lingkungan. Impiannya sejak SMA.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini dari dulu?” tanya Aira dengan suara yang ditahan agar tidak pecah.
“Aku takut. Takut kamu sedih. Atau takut aku jadi ragu kalau ngelihat kamu nangis,” jawab Raka.
Malam itu, mereka duduk diam berdua. Tak ada pelukan, tak ada air mata. Hanya suara jangkrik dan angin lembut yang menyampaikan kesedihan yang tak bisa terucap.
Aira menatap langit. “Kalau kamu pergi, kamu bakal balik kan?”
Raka tak menjawab. Hanya menggenggam tangan Aira, erat, seolah itu bisa menghentikan waktu.
Bab 3: Surat yang Tak Pernah Dibalas
Selama dua bulan pertama di Jepang, Raka masih rajin menulis. Email, surat pos, bahkan kiriman kartu pos dengan gambar bunga sakura.
Tapi setelah itu, surat-surat Aira hanya berbalas diam. Tak ada kabar. Tak ada penjelasan.
Aira menunggu di bawah pohon flamboyan. Tiga musim berlalu, dan ia tetap menunggu. Hatinya menua bersama daun yang gugur.
Lalu, pada bulan Mei keempat, Aira menerima sepucuk surat. Bukan dengan perangko Jepang, tapi dikirim tangan langsung ke rumahnya oleh seseorang yang tak dikenalnya. Di dalamnya hanya satu kalimat:
“Kalau suatu hari kita ketemu lagi, dan kamu sudah bahagia tanpa aku… jangan minta aku datang kembali.”
Tak ada nama. Tapi Aira tahu, itu tulisan tangan Raka.
Bab 4: Stasiun Tanpa Akhir
Empat hari setelah surat itu datang, Aira berdiri di stasiun. Entah kenapa, dia merasa harus ke sana.
Dan benar, Raka muncul. Berjalan dari gerbong terakhir, dengan koper kecil dan ransel yang tampak ringan. Tapi wajahnya—wajah itu membawa lelah bertahun-tahun.
Mereka bertemu pandang. Tak ada pelukan. Tak ada air mata. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, berdiri terlalu jauh untuk kembali, tapi terlalu dekat untuk saling melupakan.
“Kenapa sekarang?” bisik Aira, suaranya tenggelam dalam suara peluit kereta.
“Karena aku pengen lihat kamu untuk terakhir kali. Sebelum benar-benar pergi,” jawab Raka, sebelum berbalik dan naik kembali.
Kereta bergerak. Hujan turun. Dan Aira tahu—itu hujan terakhir di bulan Mei, dan cinta mereka sudah ikut pergi bersamanya.
Bab 5: Lupakan Aku di Musim yang Baru
Tiga bulan setelah pertemuan di stasiun, Aira menerima kabar dari universitas tempat Raka meneliti. Surat itu dikirim dari Jepang, dengan cap pos yang hampir pudar. Bukan surat cinta. Bukan permintaan maaf.
Sebuah pengumuman resmi:
Raka Pratama, peneliti tamu, ditemukan meninggal akibat kecelakaan saat melakukan survei lapangan.
Tak ada pemakaman di sini. Abu Raka disemayamkan di danau kecil tempat dia biasa meneliti, sesuai keinginannya. Ia pergi dalam sunyi, sebagaimana ia datang dalam hidup Aira dulu—perlahan, tanpa suara, tapi meninggalkan jejak.
Aira tidak menangis hari itu. Ia hanya berjalan ke taman kampus, duduk di bawah pohon flamboyan yang kini tak lagi berbunga. Di pangkuannya, sebuah buku puisi yang dulu Raka pinjamkan. Halaman terakhirnya terlipat. Di sana, tulisan tangan Raka:
“Kalau aku tidak sempat kembali, setidaknya kamu tahu:
aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Langit sore itu kembali mendung. Seperti empat tahun lalu. Seperti hati Aira, yang kini bukan patah—tapi kosong.
Dan untuk pertama kalinya, Aira tahu bahwa kehilangan sejati bukanlah ditinggalkan… tapi tidak punya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Lima tahun telah berlalu sejak surat terakhir itu datang.
Pohon flamboyan di taman kampus kini menjulang lebih tinggi, cabangnya melebar, dan bangku kayu tempat Aira biasa duduk telah diganti dengan yang baru. Namun, ia masih sering datang—bukan untuk menunggu, melainkan untuk mengenang.
Aira kini bekerja sebagai editor di penerbit kecil, membacai naskah-naskah puisi dari penulis muda. Sesekali, ia tersenyum sendiri jika menemukan kalimat yang mengingatkannya pada Raka.
Di rak buku apartemennya, ada satu ruang kecil yang tidak pernah diubah. Di sana, tersusun rapi buku-buku puisi, foto lama saat mereka duduk di taman, dan surat terakhir dari Raka, tersimpan dalam bingkai kaca.
Aira tak lagi menulis surat. Tapi setiap tahun, pada hari pertama hujan di bulan Mei, ia datang ke taman itu, duduk sebentar, dan menuliskan satu baris dalam jurnal kecilnya:
"Aku baik-baik saja, Rak. Tapi kadang, hujan masih terasa seperti kamu."
Lalu ia menutup jurnal, menatap langit, dan tersenyum tipis—karena meski cinta mereka telah usai, kenangannya tetap hidup. Dalam hujan. Dalam puisi. Dalam hati yang pernah mencintai sepenuhnya, walau tak pernah sempat memiliki.
Komentar
Posting Komentar