Jodoh di Tanda Tangan Terakhir ( Season 1 )
Jodoh di Tanda Tangan Terakhir
Judul: "Jodoh di Tanda Tangan Terakhir"
Genre: Romantis, Drama, Perjodohan, Slow Burn
Gaya: Web novel naratif modern dengan POV orang pertama wanita
Bab 1: Lamaran Tanpa Pilihan
Namaku Nayla Amanda Putri, 25 tahun. Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan tekstil di Bandung. Hidupku lurus-lurus saja, nyaris membosankan, sampai pagi itu datang—pagi yang mengubah segalanya.
Ayah memanggilku dengan suara berat saat aku sedang merapikan rambut di depan cermin.
“Nayla, turun sebentar. Ada yang ingin Ayah bicarakan.”
Nada suaranya tidak seperti biasa. Bahkan Ibu duduk dengan wajah tegang di ruang tamu. Dan di sebelah mereka—seorang pria paruh baya yang tidak kukenal, bersama seorang lelaki tinggi dengan jas rapi, menunduk sopan.
“Kenalkan, ini Pak Fadli dan anaknya, Rayyan,” kata Ayah. “Mereka datang untuk… melamar kamu.”
Duniaku berhenti.
“Apa?”
Aku menatap ayahku, lalu ke lelaki yang disebut Rayyan. Dia hanya tersenyum kecil, sangat sopan, terlalu tenang untuk situasi secanggung ini.
“Perjodohan?” aku mengulang, nyaris tak percaya.
Ayah menarik napas panjang. “Ini janji Ayah pada almarhum sahabat Ayah. Kami sepakat jika anak-anak kami cukup umur, mereka akan menikah. Dan Ayah tak bisa mengingkari janji itu.”
Aku bangkit dari sofa. “Ayah, kita hidup di abad 21. Aku bisa memilih sendiri—”
Rayyan tiba-tiba bicara, suaranya dalam dan mantap. “Saya tahu ini tidak mudah untuk kamu, Nayla. Tapi… saya tidak datang untuk memaksa. Saya hanya ingin mengenal kamu. Kalau setelah tiga bulan kamu tetap menolak, saya akan pergi.”
Aku menatapnya. Laki-laki itu terlalu tenang. Terlalu yakin. Entah apa yang membuatku tidak langsung menolak.
“Baik,” jawabku akhirnya. “Tiga bulan. Tapi aku tidak janji akan menikah.”
Bab 2: Calon Suami yang Terlalu Sempurna
Hari-hari berikutnya Rayyan seperti hantu elegan yang muncul di saat tak terduga. Mengantarku pulang kerja. Mengirimkan sarapan. Bahkan datang menemui ibuku hanya untuk membantu menyiram tanaman. Ibu mulai suka padanya. Ayah jelas sudah lama menganggapnya seperti anak sendiri.
Tapi aku? Masih ragu.
Rayyan terlalu rapi, terlalu tenang. Dia seperti puzzle yang susah ditebak. Tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, bahkan saat aku mengabaikannya dengan sengaja.
Hingga suatu malam, aku mendapati dia duduk sendirian di taman kompleks, matanya menatap kosong.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku, tanpa sadar mendekat.
“Kadang,” katanya pelan, “jadi orang yang 'sempurna' itu melelahkan. Tapi kalau aku jadi diri sendiri, orang-orang mulai pergi. Termasuk tunanganku yang dulu.”
Aku terdiam. Ini pertama kalinya dia jujur. Ada luka di balik tenangnya.
“Kalau begitu,” kataku, “mungkin kamu bisa berhenti berpura-pura denganku. Aku juga belum tentu akan jadi istrimu, kan?”
Dia menoleh, senyumnya kecil. “Kalau kamu jadi istri aku, kamu akan tahu siapa Rayyan yang sebenarnya.”
Bab 3: Rahasia di Balik Tanda Tangan
Tiga minggu sejak lamaran tanpa cinta itu, dan aku masih belum bisa memutuskan apakah Rayyan adalah jawaban yang dititipkan Tuhan… atau sekadar takdir yang salah alamat.
Hari ini aku dipanggil ke kantor Ayah. Jarang sekali aku datang ke sana, kecuali saat Lebaran atau ulang tahun beliau.
Saat masuk, aku kaget melihat Rayyan duduk di meja Ayah, membuka beberapa dokumen. Dia memakai kemeja putih, lengan digulung, dasi dilepas.
“Eh, kamu ngapain di sini?” tanyaku setengah panik.
Dia mengangkat wajahnya, tenang seperti biasa. “Ayah kamu minta aku bantu urus berkas ekspansi perusahaan. Aku kebetulan punya koneksi.”
“Sejak kapan kamu kerja sama Ayahku?”
“Sejak kamu mulai menghindari aku,” katanya sambil tersenyum, menatapku dari atas kacamata yang baru kusadari ia pakai. “Aku pikir, kalau kamu nggak bisa buka hati lewat cinta, mungkin aku bisa masuk lewat kerja.”
Aku menatapnya lama, setengah geli, setengah kesal.
“Kamu serius banget ya soal tiga bulan ini?”
Rayyan berdiri, mendekatiku. Wajahnya serius kali ini. “Aku memang tidak percaya cinta datang dalam sekejap. Tapi aku percaya orang bisa belajar jatuh cinta kalau diberi waktu. Dan aku ingin mencoba… dengan kamu.”
Jantungku berdetak tak tentu.
Tapi sebelum aku bisa menjawab, seseorang mengetuk pintu. Seorang wanita masuk—tinggi, elegan, dan berwajah sangat familiar.
“Aku ganggu ya?” katanya. Lalu matanya bertemu dengan Rayyan. Dan sorot itu… tidak biasa.
“Dinda?” ucap Rayyan pelan.
Wanita itu tersenyum getir. “Lama tidak bertemu, calon suamiku yang dulu.”
Aku membeku.
Rayyan juga.
Ayah masuk ke ruangan beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah seketika melihat kami bertiga dalam satu ruangan.
“Sepertinya… kita harus bicara.”
Bab 4: Mantan, Masa Lalu, dan Mimpi yang Belum Selesai
Tidak ada yang bicara setelah Ayah berkata, "Kita harus bicara."
Dinda duduk di kursi tamu, menyilangkan kaki anggun dan menatap Rayyan dengan mata yang tak bisa disembunyikan isinya: kecewa, marah, mungkin juga masih ada cinta.
Aku berdiri, kaku, memandang Rayyan yang untuk pertama kalinya terlihat benar-benar gugup.
Ayah duduk perlahan. “Nayla, ada sesuatu yang belum Ayah ceritakan.”
Napas Ayah berat. Aku tahu ekspresi itu. Ayah menyimpan sesuatu—sesuatu besar.
“Rayyan pernah hampir menikah dengan Dinda,” lanjutnya.
Aku mengerjap. “Hampir menikah?”
Rayyan menjawab dengan suara pelan, “Kami sudah tunangan. Dua tahun lalu. Tapi… aku membatalkan semuanya tiga minggu sebelum hari pernikahan.”
“Kenapa?” tanyaku, lebih pelan dari yang kupikirkan.
Dinda tersenyum sinis. “Karena dia bilang, dia tidak tahu apakah cinta cukup untuk jadi alasan menikah.”
Aku menatap Rayyan. “Itu alasanmu?”
Dia menunduk. “Iya. Aku takut. Aku tumbuh di keluarga yang retak karena pernikahan tanpa cinta. Aku tidak mau mengulang kesalahan itu.”
Dinda berdiri, nadanya lebih tajam. “Dan sekarang kamu malah datang ke sini, melamar perempuan lain lewat perjodohan? Bukankah itu justru yang kamu hindari?”
Rayyan menarik napas. “Aku belajar dari kesalahan. Mungkin dulu aku terlalu idealis. Tapi sekarang… aku percaya bahwa cinta bisa tumbuh, jika kita saling memberi ruang dan waktu. Bukan cinta instan, tapi cinta yang dibangun.”
Aku merasa ditarik ke tengah pusaran yang tidak kukenal.
Dinda berjalan ke arahku. “Kamu tahu, Nayla, Rayyan bukan laki-laki buruk. Tapi dia pecundang dalam menghadapi perasaan. Dia lari waktu aku butuh dia. Semoga kamu tidak jadi korban selanjutnya.”
Lalu ia pergi.
Ruangan itu hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Aku menatap Rayyan. “Kamu belum selesai dengan masa lalumu, kan?”
Dia menatapku dalam. “Mungkin belum. Tapi aku ingin masa depanku dimulai bersamamu.”
Bab 5: Tumbuh di Antara Keraguan
Sejak pertemuan dengan Dinda, pikiranku tak pernah benar-benar tenang. Aku mulai mempertanyakan segalanya. Tentang perjodohan ini, tentang Rayyan, dan terutama tentang hatiku sendiri—yang mulai berdebar tanpa izin setiap kali pria itu menatapku lebih dari lima detik.
Tapi bisakah aku mencintai seseorang yang masih menyimpan masa lalu?
Hari ini, Rayyan kembali menjemputku pulang dari kantor. Aku tidak menolak, tapi juga tidak bicara banyak. Kami duduk di dalam mobil dalam diam.
Hingga tiba-tiba, dia memutar lagu.
Suaranya pelan, suara piano mengalun tenang. Lagu itu—lagu yang pernah kudengar di momen paling menyakitkan dalam hidupku.
Aku menoleh cepat. “Kamu… kenapa mutar lagu ini?”
Dia tampak bingung. “Kenapa? Ini lagu favorit aku waktu kuliah.”
Aku menghela napas. “Lagu ini… diputar waktu aku kehilangan Ibu angkatku di panti. Lagu kenangan yang selalu bikin aku merasa sepi.”
Rayyan terdiam. Dia mematikan lagu, lalu menepi di pinggir jalan.
“Nayla,” katanya perlahan. “Aku nggak tahu lagu itu bikin kamu sedih. Maaf.”
Aku menatapnya. Ada kejujuran di matanya. Ada… sesuatu yang belum pernah kutemukan di laki-laki sebelumnya.
“Kamu nggak harus selalu minta maaf,” gumamku. “Aku juga… masih belajar mengenal kamu.”
Dia menatapku, matanya menelusuri wajahku seolah mencari makna tersembunyi.
“Boleh aku tahu… kenapa kamu belum pernah cerita tentang Ibu angkatmu?”
Aku menarik napas panjang. “Karena aku takut. Takut orang menilainya salah. Takut mereka mengira aku… tidak punya keluarga yang utuh.”
Rayyan menggeleng pelan. “Aku nggak butuh kamu sempurna. Aku hanya butuh kamu jujur.”
Aku tak bisa menahan senyum tipis.
Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa ada yang tumbuh. Mungkin ini bukan cinta. Belum. Tapi benihnya mulai mengakar.
Dan justru di saat hatiku mulai terbuka, semesta kembali melemparkan kejutan.
Sesampainya di rumah, Ayah memanggilku dengan wajah tegang.
“Nayla, ada yang harus kamu tahu. Ternyata… Rayyan bukan satu-satunya yang Ayah janjikan dalam perjanjian lama itu.”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Ayah menatapku lekat-lekat. “Ada satu nama lagi. Dan dia baru kembali dari luar negeri. Besok dia ingin bertemu kamu.”
Bab 6: Pria Kedua dan Janji yang Terlupa
Aku menatap Ayah dengan alis mengernyit.
“Pria kedua? Ayah bercanda?”
Ayah menghela napas berat. “Waktu itu, Ayah dan dua sahabat Ayah sepakat… siapa pun yang punya anak perempuan, akan dijodohkan dengan anak laki-laki dari yang lain. Ayahmu ini ternyata berlebihan janji waktu muda.”
Aku hampir tertawa kalau saja situasinya tidak terasa seperti naskah drama TV pukul tujuh malam.
“Dan dia… siapa?” tanyaku waspada.
Ayah merogoh saku, mengeluarkan ponsel, lalu memperlihatkan sebuah foto.
Aku terdiam.
Laki-laki itu berdiri di sebuah bandara, dengan koper di samping dan senyum tipis.
Raka Adrian.
Aku nyaris tidak bisa bernapas.
“Dia…” suaraku tercekat, “dia teman SMA-ku.”
Lebih dari itu sebenarnya. Dia adalah cinta pertamaku. Seseorang yang dulu tidak pernah tahu perasaanku. Seseorang yang tiba-tiba menghilang setelah kelulusan tanpa pamit—katanya ikut keluarganya pindah ke Eropa.
Dan sekarang… dia kembali.
Ayah melanjutkan, “Besok dia akan datang ke rumah. Dan Nayla, Ayah tidak memaksa. Tapi Ayah ingin kamu adil. Kalau kamu memberi Rayyan waktu tiga bulan, setidaknya beri Raka waktu juga.”
Aku tidak bisa tidur malam itu.
Kupandangi siluet pohon dari jendela kamarku, memeluk bantal, mengingat senyum Raka… dan tatapan Rayyan sore tadi.
Hati manusia memang rumit.
Esoknya, saat bel rumah berbunyi, aku turun dengan langkah ragu. Pintu dibuka oleh Ibu, dan di ambang pintu berdiri seorang pria dengan coat abu-abu dan koper kecil di tangan.
“Nayla…” katanya pelan, suara yang dalam tapi familiar. “Akhirnya ketemu lagi, ya.”
Aku membeku.
Dia masih sama. Tapi juga berbeda.
Lelaki yang dulu hanya bisa kupandangi diam-diam dari jauh, kini berdiri di depan pintu… dengan senyum yang kini bukan lagi untuk siapa-siapa—tapi mungkin, untukku.
Dan di belakangku, langkah kaki terdengar mendekat.
Rayyan.
Untuk pertama kalinya, dua laki-laki yang mewakili dua masa dalam hidupku berdiri di ruangan yang sama.
Aku di tengah.
Di antara cinta yang mulai tumbuh… dan cinta yang tak pernah selesai.
Bab 7: Antara Yang Datang dan Yang Kembali
Rayyan berdiri di ambang ruang tamu, diam. Matanya tajam menatap pria yang baru saja masuk, seolah sedang menimbang, menilai, atau mungkin… bersiap untuk berperang.
Raka, di sisi lain, tetap tenang. Dia tersenyum, meskipun jelas melihat ketegangan di udara.
"Rayyan, ya? Aku sudah dengar tentang kamu dari Om Fadli," katanya sambil menjulurkan tangan.
Rayyan menjabat tangannya, singkat, kuat, dan nyaris tanpa ekspresi.
"Dan kamu Raka… sahabat lama Nayla?"
Aku berdiri di antara mereka, seperti penjaga gawang di final piala dunia.
“Kalau kalian mau adu fisik, silakan tunggu aku siap popcorn,” kataku, mencoba meredakan suasana.
Rayyan tersenyum tipis. Raka terkekeh. Setidaknya, mereka tidak langsung saling lempar kursi.
Hari-hari setelah itu seperti menonton dua dunia yang bertabrakan.
Rayyan tetap seperti biasanya: tenang, terjadwal, penuh rencana. Dia membawaku ke pameran seni, membantuku menyiapkan proposal kerja, bahkan mulai mendekat pada ibuku lebih dari sekadar basa-basi.
Sementara Raka… seperti badai.
Spontan, hangat, dan… terlalu mengenal versi lamaku yang bahkan sudah kulupakan.
“Masih suka dengerin The Fray?” tanyanya saat kami duduk di kedai kopi tua yang dulu sering kami lewati di SMA.
Aku tersenyum. “Kamu masih ingat itu?”
“Aku ingat semua tentang kamu,” katanya pelan.
Hati ini goyah. Aku benci mengakuinya, tapi Raka membangkitkan sesuatu yang sudah lama mati. Kenangan yang tidak pernah sempat tumbuh jadi kenyataan.
Dan saat aku pikir aku bisa menyembunyikan dilema ini, Rayyan datang malam itu.
Ia berdiri di depan rumah, membawa sesuatu dalam kotak hitam kecil.
“Aku tahu waktunya belum selesai,” katanya lirih. “Tapi aku tidak bisa berpura-pura. Nayla, aku jatuh cinta padamu. Bukan karena janji, bukan karena perjodohan. Tapi karena kamu… yang hari demi hari menunjukkan luka, tawa, dan keberanian.”
Aku terdiam.
Lalu, ia membuka kotak kecil itu.
Bukan cincin.
Tapi...
Surat perjanjian.
"Ini salinan janji Ayah kita dulu. Aku akan membatalkan semuanya, kalau itu membuatmu bebas memilih. Aku mencintaimu cukup untuk melepaskanmu.”
Hatiku seperti diremas.
Rayyan… ingin aku memilih, dengan bebas.
Sementara Raka—besok mengajakku bertemu di tempat kenangan kami dulu. Katanya, ia ingin menunjukkan sesuatu.
Aku berdiri di ambang dua pintu.
Satu menuju masa depan yang mapan, hangat, dan sabar.
Satu lagi, menuju masa lalu yang belum sempat menjadi apa-apa… tapi kini hadir kembali dengan kemungkinan.
Dan aku tahu, pada akhirnya… aku harus memilih.
Bab 8: Di Antara Dua Nama, Aku Menulis Namaku Sendiri
Malam itu, aku duduk di balkon, sendirian. Angin menyapu rambutku perlahan, membawa aroma tanah basah dari hujan sore tadi. Di tangan, kutatap dua benda yang telah mengubah hidupku beberapa minggu terakhir:
— Sebuah surat perjanjian dari Rayyan, berisi kebebasanku.
— Dan sebuah tiket kecil dari Raka, dengan catatan tangan: "Untuk kenangan yang belum selesai. Temui aku besok, tempat biasa."
Aku menatap langit, mencari jawaban seperti seorang anak mencari bentuk di antara bintang. Tapi tidak ada bintang malam itu. Hanya langit abu-abu dan jantung yang terlalu ramai untuk bisa diam.
Pagi pun datang.
Aku berdiri di depan sebuah taman tua di dekat sekolah lamaku. Tempat biasa kami duduk sepulang kelas tambahan, membeli es teh manis dari gerobak pak Kumis, lalu mendebat film siapa yang lebih bagus: Inception atau 500 Days of Summer.
Raka sudah di sana.
Dia berdiri di bawah pohon beringin, tangan di saku, tatapannya hangat. Masih seperti dulu. Tapi sekarang ada tambahan ketegangan di antara kami. Bukan ketakutan, tapi penantian.
“Aku tahu ini gila,” katanya saat aku tiba. “Tiba-tiba datang, bawa-bawa perjanjian orang tua, berharap kamu masih sama kayak dulu.”
Aku menunduk. “Aku nggak sama, Raka. Kita berdua udah banyak berubah.”
Dia mengangguk. “Iya. Tapi rasa itu… belum berubah. Setidaknya buatku.”
Aku menelan ludah.
Raka melangkah mendekat. “Aku tahu kamu dekat dengan Rayyan sekarang. Tapi aku juga tahu, kamu belum sepenuhnya memilih. Jadi… aku nggak akan memaksamu mencintaiku. Aku cuma minta satu hal.”
Dia menyodorkan buku kecil—buku sketsa yang dulu pernah kubuat saat SMA. Ternyata dia masih menyimpannya.
“Lihat halaman terakhir,” katanya.
Kupeluk buku itu, membuka halaman demi halaman… hingga sampai di ujungnya.
Sebuah gambar yang pernah kubuat setengah jadi. Wajah seorang laki-laki… dan tulisan kecil di bawahnya:
"Kalau aku bisa memilih, aku ingin mencintai dia yang membuatku lupa caranya takut."
Tanganku gemetar.
“Aku ingin kamu memilih, Nayla. Tapi pilih karena kamu ingin, bukan karena janji siapa pun. Bahkan bukan karena aku atau Rayyan.”
Dia pergi setelah itu, tanpa kata pamit. Seolah percaya bahwa jawabanku tidak perlu diberi hari ini.
Malamnya, aku memandang surat Rayyan sekali lagi. Kutatap nama-nama dalam perjanjian itu.
Rayyan.
Raka.
Nayla.
Dan tiba-tiba aku sadar… selama ini aku terjebak di antara nama mereka, tapi lupa mencari diriku sendiri.
Besoknya, aku memanggil mereka berdua.
Di sebuah kafe kecil di ujung kota, aku duduk di meja panjang dengan Rayyan di kiri dan Raka di kanan.
Aku tersenyum kecil.
“Terima kasih, kalian berdua, karena sudah membuatku merasa begitu berharga hingga harus diperjuangkan. Tapi hari ini… aku memilih untuk tidak memilih kalian.”
Rayyan menatapku, diam, tapi tenang.
Raka mengangguk, meskipun matanya sendu.
“Aku belum selesai mencintai diriku sendiri,” lanjutku. “Dan kalau nanti aku mencintai lagi… aku ingin itu bukan karena masa lalu, atau perjanjian siapa pun. Tapi karena aku, akhirnya tahu apa yang aku butuhkan.”
Dan untuk pertama kalinya, aku melangkah keluar ruangan itu tanpa beban.
Tanpa Rayyan.
Tanpa Raka.
Tapi dengan kepala tegak dan hati yang mulai utuh kembali.
Komentar
Posting Komentar