LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part I )
Langit Tak Pernah Bertanya
Sinopsis:
Keyla adalah perempuan biasa yang menyimpan luka terlalu dalam. Dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, ditinggalkan tanpa penjelasan, dan dikelilingi oleh dunia yang terasa semakin sunyi. Dalam keputusasaan, ia menulis surat terakhirnya kepada langit—bukan karena ingin menyalahkan siapa pun, tapi karena ingin didengar, meski hanya sekali. Tapi takdir kadang berbelok di menit terakhir. Akankah surat itu menjadi akhir, atau justru awal dari sesuatu yang baru?
Bab 1: Surat kepada Langit
Malam terasa lebih pekat dari biasanya. Kota masih bersuara, tentu saja—klakson mobil, deru motor, tawa-tawa dari warung kopi di seberang jalan apartemen. Tapi di lantai dua belas, di sebuah kamar sempit yang hanya dihuni satu perempuan dan ratusan kenangan, dunia terasa sangat sunyi.
Keyla duduk di ujung ranjang. Punggungnya membungkuk, kedua lutut didekap erat oleh tangannya yang gemetar. Napasnya pendek-pendek, seolah paru-parunya enggan bekerja sama malam ini. Mata sembab, pipi masih basah. Ia lelah. Lelah menjadi orang yang selalu ‘kuat’. Lelah menjadi orang yang ‘baik-baik saja’.
Di meja belajarnya, layar laptop masih menyala. Folder bernama “Yang Ingin Kukatakan” terbuka, memperlihatkan puluhan file dengan judul aneh: Untuk Ayah yang Diam, Kenapa Kau Pergi, Ma?, Raka, Kalau Kau Mau Jujur..., Aku, dan Dunia yang Tak Pernah Memeluk.
Keyla tak pernah punya keberanian untuk mengirim satu pun dari tulisan itu. Ia hanya menulis, lalu menyimpannya. Menulis adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang ia tahu. Tapi malam ini, rasanya seperti akhir. Seolah semuanya sudah selesai.
Tangannya mengambil ponsel dari meja. Ia membuka aplikasi catatan, dan mulai mengetik:
“Langit, jika kau bisa mendengar, jangan beri aku pagi esok hari.
Aku sudah mencoba. Bertahan. Berpura-pura. Tapi rasanya semua sia-sia.
Dunia terlalu bising untuk hatiku yang pelan.
Aku lelah terus berharap pada hal-hal yang tak pernah datang.
Maaf karena aku terlalu merasakan.
Maaf karena aku tak cukup kuat seperti yang kalian harapkan.
Dan Raka… terima kasih karena mengajariku bahwa cinta bisa membunuh dengan cara paling lembut.”
Ia menekan tombol save, lalu menaruh ponsel itu di meja. Berdiri. Melangkah perlahan ke balkon. Udara malam menyambut dingin. Dari sana, lampu-lampu kota terlihat seperti bintang yang salah tempat—berkilau tapi jauh dari indah.
Keyla memejamkan mata. Hatinya tak lagi berdebar. Ia sudah terlalu sering berada di titik ini, tapi malam ini berbeda. Tak ada air mata tersisa. Hanya kehampaan.
Langkahnya satu. Dua.
Tapi kemudian…
“Klik.”
Suara ponsel. Ia tak ingat menyambungkan apa pun.
Tiba-tiba terdengar suara. Laki-laki. Bingung.
“Halo? Siapa ini? Kok bisa masuk ke HP gue?”
Keyla mematung. Jantungnya—yang tadi terasa mati—tiba-tiba berdetak cepat.
“Halo?” Suara itu terdengar lebih jelas. “Maaf... kamu siapa? Kenapa kamu kirim pesan ini ke nomorku?”
Ia mundur satu langkah. Matanya menatap ponsel yang entah bagaimana melakukan voice call tanpa sengaja. Di layar tertulis nama asing: Awan.
Keyla tak menjawab. Tapi ia tak jadi melompat.
Suara itu… asing, tapi entah kenapa menenangkan. Seperti seseorang yang datang di menit terakhir ketika semua orang sudah pergi.
“Hei… kamu masih di sana?” tanya suara itu lagi.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Keyla menjawab. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
“Aku... seharusnya sudah tidak ada.”
Bab 2: Suara yang Tak Direncanakan
Malam masih menggantung kelabu di langit kota. Tapi di balik layar ponsel yang tak sengaja tersambung, dua jiwa asing terhubung oleh keheningan yang nyaris suci.
Keyla belum menjawab. Ia hanya berdiri diam, jemarinya gemetar, mata terpaku pada nama "Awan" yang muncul di layar. Jari-jarinya yang tadi begitu mantap menulis pesan perpisahan, kini justru bingung menekan satu tombol pun.
"Halo... kamu masih di sana?" Suara itu terdengar pelan. Tidak terburu-buru, tidak memaksa. Hanya... menunggu.
Keyla menarik napas. Rasanya paru-parunya dipaksa bekerja ulang, seperti mesin tua yang sudah lama mati. Lalu ia bicara.
Pelan. Patah-patah.
"Aku... seharusnya sudah tidak ada sekarang."
Keheningan membungkus sambungan itu selama beberapa detik. Detik yang terasa seperti selamanya.
"Tapi kamu masih di sana. Itu berarti sesuatu, bukan?"
Keyla duduk perlahan di lantai balkon. Udara dingin menusuk kulitnya yang hanya tertutup kaos tipis. Tapi ia tak peduli. Pikirannya kacau. Ia belum tahu siapa Awan. Ia bahkan tak tahu kenapa bisa menghubungi nomor itu. Tapi suara itu...
Suara itu terdengar seperti jangkar.
"Kamu siapa?" tanyanya, akhirnya.
Awan menghela napas di seberang.
"Orang asing. Yang tiba-tiba nerima pesan bunuh diri jam dua pagi. Bisa dibilang, aku kaget. Tapi juga... penasaran."
Keyla menunduk. Pipinya panas, meski udara dingin menusuk.
"Maaf... aku nggak tahu kenapa bisa terkirim."
"Kadang hal-hal penting memang harus terjadi tanpa direncanakan," jawab Awan.
Hening lagi. Tapi bukan hening yang menghakimi. Justru, seperti dua orang duduk di kafe sepi, tak butuh kata-kata untuk merasa dimengerti.
"Kamu benar-benar mau... pergi?" suara Awan pelan, tapi tidak ragu. "Apa yang kamu rasa sekarang?"
Pertanyaan itu—sesederhana dan sejujur itu—menjadi pemantik. Tiba-tiba air mata Keyla jatuh begitu saja. Ia mengusap wajahnya cepat-cepat, seolah malu menangis di depan orang yang bahkan belum ia kenal.
"Aku capek," katanya. "Capek jadi orang yang selalu dibilang kuat. Capek jadi tempat semua orang bersandar, tapi nggak ada tempat aku bersandar balik."
Awan tak langsung membalas. Lalu ia bicara, tenang.
"Aku nggak bisa janji bisa bantu banyak. Tapi... kalau kamu izinkan, malam ini aku bisa jadi telinga. Cuma telinga."
Keyla menutup mata. Untuk pertama kalinya, ia merasa didengar. Bukan untuk dihakimi, bukan untuk dikasih nasihat kosong, tapi benar-benar didengar.
"Namaku Keyla," bisiknya.
"Hai, Keyla," jawab Awan.
"Dan kamu... siapa?"
"Awan."
"Awan..." ia mengulang pelan.
"Iya. Bukan langit. Tapi aku bisa dengerin kalau kamu mau bicara."
Dan malam itu, percakapan pertama mereka berlangsung selama hampir dua jam. Tentang luka yang belum sembuh, tentang kehilangan, tentang betapa sunyinya menjadi manusia. Tak ada tanya siapa tinggal di mana, tak ada basa-basi soal pekerjaan atau hobi.
Hanya dua orang asing yang bertemu di simpang senyap. Yang satu hendak pergi. Yang satu... datang tepat sebelum semuanya berakhir.
Dan di akhir percakapan itu, Awan mengirim pesan pendek:
"Kalau kamu masih di sana besok, aku akan kirim pesan lagi. Bukan untuk menahanmu. Tapi supaya kamu tahu, seseorang pernah ingin mendengarkan."
Keyla menatap layar ponsel yang kembali gelap.
Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia tertidur dengan air mata yang bukan berasal dari rasa putus asa—melainkan dari sesuatu yang ia bahkan belum tahu namanya. Mungkin harapan. Atau mungkin... sekadar keberadaan manusia lain yang tak bertanya, tapi tetap tinggal.
Bab 3: Lelaki Bernama Awan
Awan bukan tipe laki-laki yang suka bertanya banyak, apalagi pada orang asing. Tapi malam itu, sejak suara lirih seorang perempuan bernama Keyla menyusup ke dalam hidupnya secara tak sengaja, pikirannya tak bisa tenang.
Pagi datang perlahan. Langit Jakarta berwarna kelabu seperti biasa, nyaris tak ada bedanya dari kemarin. Tapi di dalam kamar sempitnya, Awan menatap layar laptop kosong. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Ia menulis—seharusnya. Itu pekerjaannya. Penulis lepas, kadang editor, kadang ghostwriter. Tapi sejak berbulan-bulan lalu, tulisan-tulisannya kehilangan nyawa. Ia menulis hanya untuk hidup, bukan untuk merasa hidup.
Sampai tadi malam.
Suara Keyla. Kata-katanya. Keheningan di antaranya.
Itu semua mengaduk sesuatu yang sudah lama mengendap dalam dirinya.
“Aku... seharusnya sudah tidak ada sekarang.”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari yang bisa Awan akui. Karena ia pun pernah berada di titik yang sama. Di ambang. Bedanya, saat itu tak ada suara yang datang padanya. Ia hanya... bertahan. Dengan sisa-sisa logika dan luka yang dibungkus dingin.
Awan membuka tab lama di browsernya—blog pribadinya yang sudah tak diisi sejak dua tahun lalu. Di sana, ada ratusan puisi dan catatan pendek. Sebagian tentang kehilangan, sebagian tentang dirinya sendiri yang tak pernah benar-benar pulih. Ia menggulir, lalu berhenti di satu entri berjudul: “Surat dari Orang yang Tak Jadi Mati.”
Ia membacanya lagi. Suaranya sendiri di masa lalu:
“Aku tak punya alasan untuk bertahan. Tapi waktu itu, seorang perempuan tua menepuk bahuku di halte. Ia bilang, ‘Kamu tidak terlihat baik-baik saja, tapi kamu masih punya mata yang jujur. Jangan hilang dulu.’”
“Itu aneh. Tapi cukup. Malam itu aku pulang. Dan entah kenapa, hidup tetap berjalan.”
Awan menutup tab itu. Lalu membuka aplikasi perpesanan. Ia menatap nama "Keyla" yang tersimpan hanya sebagai nomor acak. Tapi ia ingat suaranya. Ia ingat napasnya yang patah-patah. Ia ingat kesedihan yang begitu nyata meski tak melihat wajahnya.
"Apakah aku terlalu mencampuri?" pikirnya.
Tapi sebelum ia sempat meragu lebih jauh, jarinya sudah menulis pesan:
Pagi. Semalam... makasih udah ngobrol. Aku nggak tahu seberapa gelap malam kamu, tapi aku harap kamu bangun pagi ini dan tetap di sana. Aku cuma pengin kamu tahu, aku masih di sini kalau kamu butuh suara buat dengerin, bukan ngehakimi.
Pesan terkirim. Ceklis dua. Belum dibaca.
Awan menaruh ponsel, lalu berjalan ke dapur kecilnya. Ia menyeduh kopi hitam, pahit, seperti biasa. Tapi pagi ini, pahit itu terasa sedikit... berbeda. Bukan karena rasanya berubah, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai bergetar lagi—perasaan yang lama tak muncul: peduli.
Di sela pagi yang sibuk dan pekerjaan yang menumpuk, pikirannya tetap kembali ke satu suara: Keyla.
Dan ia tak tahu, di tempat lain, di kamar berbeda, seseorang sedang membaca pesannya sambil menahan air mata.
Sementara itu, di kamar Keyla...
Keyla membuka matanya. Terasa berat, seperti setelah menangis terlalu lama. Matanya bengkak, kepala sedikit pusing. Tapi anehnya... ia masih ada. Masih bernapas. Masih hidup.
Ia bangun perlahan, membuka tirai jendela. Cahaya samar menyusup masuk, menyinari debu yang menari pelan di udara. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia membuka ponsel bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mencari seseorang.
Satu pesan masuk.
Dari Awan.
Keyla membaca perlahan, lalu membacanya lagi. Air mata kembali menggenang. Tapi kali ini, bukan karena kesedihan. Bukan karena putus asa. Melainkan karena harapan yang begitu kecil, tapi terasa nyata.
"Aku masih di sini..." bisiknya, membalas pesan itu. "Makasih karena kamu juga masih ada."
Bab 4: Aku Masih Bernapas
Hari itu berjalan pelan, seolah waktu pun ikut menyesuaikan ritmenya dengan langkah Keyla yang lambat. Ia belum keluar kamar. Masih memakai kaus yang sama sejak malam sebelumnya. Tapi ada satu hal yang berbeda pagi ini.
Ia masih ada.
Bukan karena dipaksa. Bukan karena kewajiban. Tapi karena sesuatu dalam dirinya—sekecil bisikan—berkata: tunggu sebentar lagi.
Keyla menatap pantulan dirinya di cermin kecil di atas meja rias. Wajahnya terlihat seperti orang asing: rambut berantakan, mata bengkak, kulit pucat. Tapi ada satu hal yang membuat ia tetap menatap: matanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, matanya tidak kosong. Ada sisa air mata. Ada hidup. Ada... sedikit cahaya.
Ia menyentuh dadanya. Napas masih naik turun. Jantung masih berdetak. Dan itu cukup untuk menyebut dirinya: masih bernapas.
Sambil duduk bersila di lantai, Keyla membuka kembali pesan dari Awan.
“Aku cuma pengin kamu tahu, aku masih di sini kalau kamu butuh suara buat dengerin, bukan ngehakimi.”
Pesan itu belum ia balas sepenuhnya. Hanya satu kalimat pendek tadi pagi. Tapi kini, dengan tangan lebih tenang, ia mulai mengetik:
“Awan... semalam aku benar-benar udah nyerah. Rasanya kayak semua orang jalan cepat dan aku tertinggal sendiri. Tapi waktu kamu ngomong, rasanya kayak dunia berhenti sebentar. Aku jadi pengin bertahan satu hari lagi. Mungkin cuma karena penasaran: apa kamu beneran nyata?”
Dikirim.
Beberapa menit kemudian, balasan datang.
“Aku nyata. Dan sekarang aku senyum sendiri baca pesan kamu. Aneh ya? Kita nggak saling kenal, tapi bisa merasa dekat cuma karena saling dengerin.”
Keyla tersenyum kecil. Rasanya asing di wajahnya—tersenyum karena seseorang, bukan karena harus. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, ponsel masih di genggaman, dan mulai mengetik lagi.
“Mau denger sedikit cerita? Tentang kenapa aku pengin pergi?”
Balasan datang cepat.
“Mau banget. Aku janji nggak akan bilang ‘sabar’ atau ‘kamu harus kuat’. Aku cuma dengerin.”
Keyla terdiam sejenak. Jemarinya mulai menari, mengalirkan isi kepalanya yang selama ini ia simpan rapat-rapat dari siapa pun.
“Semuanya mulai waktu Mama ninggalin aku dan Ayah tanpa pamit. Aku masih 11 tahun waktu itu. Ayah berubah. Dingin, diam, seolah aku cuma beban. Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta itu cuma mitos. Sampai aku ketemu Raka.”
Awan membaca kalimat itu sambil menahan napas. Nama lelaki lain tak membuatnya cemburu—mereka bahkan belum siapa-siapa. Tapi ia tahu, dari cara Keyla menulisnya, nama itu membawa luka.
“Raka beda. Dia bikin aku percaya bahwa aku pantas dicintai. Tapi ternyata dia juga pergi. Pelan, tanpa penjelasan, tanpa alasan. Ternyata aku cuma pelarian buat dia. Pelarian dari kekasihnya yang lebih sempurna dariku. Dari situ, aku kayak kehilangan semua dinding yang susah payah kubangun.”
Awan menunggu sejenak, memastikan Keyla selesai menulis.
“Sampai akhirnya aku nulis surat ke langit. Dan entah kenapa, malah terkirim ke kamu.”
Ia membalas, hati-hati:
“Mungkin langit nggak jawab. Tapi ia titip surat itu ke orang yang kebetulan masih bisa baca.”
“Kamu ngerasa tersesat, Keyla. Tapi bahkan orang tersesat pun kadang cuma butuh peta, atau lampu kecil di kejauhan. Malam itu kamu hampir pergi, tapi sekarang kamu di sini. Masih bisa cerita. Itu berarti sesuatu.”
Keyla membacanya berkali-kali. Ia merasa suara Awan bukan cuma didengar lewat teks, tapi seolah menyelinap ke dalam ruang kosong di hatinya—mengisi dengan sesuatu yang belum ia tahu namanya.
Hari itu, mereka tak saling telepon. Tak bertukar foto. Tak bicara soal masa depan. Tapi mereka terus berbagi pesan—tentang hal-hal yang tak bisa dibicarakan dengan siapa pun. Dan setiap pesan yang masuk, menjadi pengingat bagi Keyla:
Ia masih ada.
Ia masih bernapas.
Dan mungkin, untuk hari ini... itu cukup.
Bab 5: Yang Belum Pernah Kuceritakan
Senja datang seperti biasa: lambat, diam, dan menyisakan warna jingga yang menenangkan. Di antara kebisingan kota yang tak pernah tidur, Keyla duduk di dekat jendela kamarnya yang kecil. Di tangannya, ponsel menyala—menunggu balasan, menunggu suara dari satu-satunya orang yang akhir-akhir ini terasa nyata: Awan.
Sudah tiga hari sejak malam itu. Tiga malam sejak suara asing masuk ke dalam hidupnya seperti kebetulan yang terlalu tepat untuk disebut kebetulan. Dan selama tiga hari itu pula, ia merasa... tidak sendirian.
Sore ini, Awan mengirim pesan lebih dulu.
“Kamu pernah ngerasa pengin cerita sesuatu, tapi nggak tahu ke siapa? Bahkan ke teman sendiri pun rasanya aneh.”
Keyla membaca pelan. Ada jeda sebelum ia membalas. Lalu ia menulis:
“Setiap hari.”
Awan langsung membalas.
“Mau cerita malam ini? Tapi bukan tentang kesedihanmu. Aku pengin tahu tentang hal yang belum pernah kamu ceritakan ke siapa pun. Bahkan yang kecil sekalipun.”
Keyla tersenyum. Ada sesuatu yang hangat merambat dalam dadanya. Mungkin karena ini pertama kalinya seseorang ingin tahu tentang dirinya, bukan hanya luka yang dibawanya.
Ia mengetik:
“Oke. Tapi kamu juga harus cerita satu hal yang nggak pernah kamu bilang ke siapa pun.”
“Deal,” balas Awan cepat. “Kamu duluan.”
Keyla menatap langit di luar jendela, yang perlahan kehilangan warna. Lalu mulai menulis, pelan tapi pasti:
“Aku suka hujan karena waktu kecil, setiap hujan turun, Mama akan peluk aku dan bilang: ‘Hujan itu air mata langit yang rindu sama bumi. Tapi mereka nggak bisa ketemu.’ Sejak Mama pergi, aku selalu nangis diam-diam waktu hujan. Karena aku ngerasa langit ngerti rasaku.”
Ia menekan kirim, lalu mengusap matanya yang mulai basah. Balasan dari Awan datang beberapa menit kemudian.
“Keyla... itu hal paling jujur dan paling indah yang pernah aku baca.”
Lalu satu pesan lagi masuk.
“Sekarang giliranku.”
“Waktu aku kecil, aku pernah punya mimpi jadi penyiar radio. Aku suka bicara, suka cerita, suka dengerin orang. Tapi ayahku bilang itu bukan pekerjaan sungguhan. Dia paksa aku ambil jurusan teknik. Aku nurut. Tapi sejak itu, aku berhenti mimpi.”
Keyla membaca dalam diam. Tiba-tiba ia merasa mengenal Awan lebih dari sekadar suara dan teks. Ia bisa membayangkan anak kecil yang duduk di depan radio, membayangkan jadi suara yang menghibur orang lain—dan bagaimana mimpi itu dirampas oleh kenyataan.
Ia membalas:
“Mungkin kita sama ya. Kita tumbuh sambil kehilangan bagian dari diri sendiri.”
“Iya,” jawab Awan. “Tapi mungkin, saat dua orang yang kehilangan itu ketemu... mereka bisa bantu saling nemuin bagian yang hilang.”
Malam merambat pelan. Di luar, hujan turun. Tidak deras, hanya rintik-rintik halus yang membasahi kaca jendela. Keyla membuka sedikit jendela, membiarkan udara dingin masuk ke dalam ruang sempitnya. Ia menutup mata, mendengarkan suara hujan, dan membayangkan Awan sedang duduk di tempat lain, melakukan hal yang sama.
*“Kamu tahu?” tulis Keyla.
*“Apa?”
“Aku nggak tahu wajah kamu. Tapi aku rasa aku tahu hatimu.”
Jawaban Awan datang beberapa menit kemudian, dan itu adalah satu kalimat yang membuat Keyla meneteskan air mata, lagi.
“Mungkin itu yang paling penting buat didengar sebelum saling melihat.”
Dan malam itu, di antara dua ruang berbeda, dua orang yang sama-sama hancur perlahan saling membangun kembali—dengan kata-kata, dengan keberadaan yang tak diharuskan, dan dengan keberanian untuk menceritakan hal-hal yang belum pernah terucap sebelumnya.
Bab 6: Suara di Balik Tengah Malam
Jam menunjukkan pukul 00.47.
Sebuah waktu ketika sebagian besar manusia sudah terlelap, tenggelam dalam mimpi, atau setidaknya menutup mata untuk melupakan hari. Tapi tidak untuk Keyla. Malam selalu menjadi waktu paling bising baginya—bukan karena suara, tapi karena pikiran.
Ia berbaring di ranjang, lampu dimatikan, hanya ditemani cahaya samar dari layar ponsel. Di layar itu, sebuah nama sederhana terpampang: Awan.
Beberapa detik kemudian, dering masuk. Panggilan suara.
Keyla diam sesaat. Ia ragu. Tapi kemudian, perlahan, jempolnya menggeser tombol hijau.
Dan untuk pertama kalinya, suara itu tak lagi terikat dalam huruf—melainkan nyata.
"Halo..." suara Awan terdengar rendah, serak seperti baru bangun tidur, tapi juga hangat. Nyata.
Keyla menelan ludah sebelum menjawab.
"Kamu nelpon..."
"Iya," jawab Awan pelan. "Aku nggak bisa tidur. Kepikiran sesuatu. Dan biasanya aku simpan sendiri. Tapi sekarang... aku pengin ada yang dengerin."
Keyla terdiam. Hanya suara napasnya yang terdengar.
"Kamu masih pengin dengerin aku malam-malam begini?" tanya Awan ragu.
"Aku malah nunggu kamu nelpon dari tadi," ucap Keyla jujur, suaranya nyaris berbisik.
Sejenak tidak ada yang berbicara. Tapi itu bukan keheningan yang canggung—itu adalah jeda yang nyaman, semacam ruang di mana dua orang tak butuh banyak kata untuk saling merasa.
Awan kemudian mulai bercerita. Bukan tentang luka besar atau trauma masa lalu, melainkan hal-hal kecil yang tak pernah ia bagi ke siapa pun.
Tentang bagaimana ia suka duduk di balkon sambil mendengarkan suara angin.
Tentang betapa ia merasa bersalah setiap kali menolak ajakan teman karena merasa terlalu lelah untuk bersosialisasi.
Tentang betapa takutnya ia pada kesepian, meski ia sendiri yang selalu memilih untuk menyendiri.
Dan Keyla, di sisi lain ponsel, mendengarkan. Tanpa memotong. Tanpa menghakimi.
Sampai akhirnya Awan bertanya pelan, "Kalau kamu sendiri... apa yang kamu pikirin kalau tengah malam kayak gini?"
Keyla menarik napas. Lama. Lalu menjawab, "Aku... biasanya ngebayangin dunia tanpa aku. Siapa aja yang bakal kehilangan? Jawabannya selalu sama: mungkin nggak ada."
Awan tak langsung merespons. Tapi detik berikutnya, ia berkata, "Aku akan kehilangan. Sekarang, kalau kamu nggak ada... mungkin aku nggak akan bisa cerita kayak gini ke siapa pun."
Kata-kata itu sederhana. Tapi terasa menembus jantung Keyla.
Karena selama ini, ia selalu merasa keberadaannya tak pernah cukup penting. Tapi kini, ada satu orang yang mengaku akan kehilangan jika ia pergi.
Dan itu... berarti banyak.
"Awan..." suara Keyla nyaris pecah. "Terima kasih ya... udah ada di sini. Udah bikin malam-malamku nggak cuma tentang luka."
Awan menjawab lirih, "Aku juga makasih. Karena di tengah gelap, kamu bawa sedikit cahaya."
Waktu terus berjalan. Detik-detik berganti. Dan mereka tetap terhubung, tanpa tahu kapan harus menutup telepon. Tidak ada yang ingin lebih dulu memutus. Seolah suara satu sama lain menjadi jangkar yang menjaga mereka tetap waras malam ini.
Dan untuk pertama kalinya, Keyla tidak takut pada malam.
Karena di balik tengah malam itu, ada suara yang membuatnya merasa...
Ia tidak sendiri.
Bab 7: Seandainya Kita Bertemu
Pagi itu, matahari muncul malu-malu. Tidak cerah, tapi tidak juga muram. Seperti suasana hati Keyla. Ia duduk di tepi tempat tidur, membiarkan cahaya samar masuk lewat tirai yang setengah terbuka.
Tadi malam, ia dan Awan berbicara sampai hampir pukul tiga. Mereka tidak membahas cinta, tidak juga masa depan. Tapi Keyla merasa... lebih terhubung daripada dengan siapa pun yang pernah ia temui secara fisik.
Di tangannya, ponsel kembali menyala. Notifikasi masuk dari Awan.
“Kamu tahu nggak... kalau kita tinggal di kota yang sama, mungkin sekarang aku udah nunggu kamu di kafe kecil pinggir jalan. Bawa dua cangkir kopi dan nanyain kabarmu langsung, bukan lewat teks.”
Keyla tersenyum, lalu membalas:
“Seandainya ya…”
“Iya. Seandainya.”
Ia membaca ulang kata itu: seandainya.
Kata yang begitu sederhana, tapi penuh ketidakpastian. Sebuah kemungkinan yang hanya hidup di kepala, bukan kenyataan. Tapi kenapa, ya, rasanya seandainya bersama Awan justru terasa lebih nyata dibanding semua hubungan yang pernah ia jalani?
Hari itu Keyla memberanikan diri keluar. Ia mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans favoritnya. Langkahnya masih pelan, tapi ada arah. Ia pergi ke taman dekat apartemen, duduk di bangku yang menghadap kolam kecil. Di sekelilingnya, anak-anak bermain, orang tua berjalan pelan, dan beberapa pasangan menikmati pagi. Tapi Keyla hanya sibuk dengan ponselnya.
Ia mengetik pesan baru.
“Kalau kita ketemu… kamu kira kita bakal bisa ngobrol kayak sekarang?”
Balasan datang setelah beberapa menit.
“Mungkin enggak. Mungkin kita akan canggung. Atau saling salah tebak. Aku mungkin akan bingung harus bilang apa. Tapi satu hal yang pasti: aku pengin lihat mata kamu waktu kamu cerita.”
Keyla membacanya sambil mengusap rambut yang tertiup angin. Ia menatap air kolam yang berkilau terkena cahaya matahari, dan dalam diam, ia membayangkan seseorang duduk di sampingnya. Bukan orang asing. Tapi Awan.
Wajahnya belum ia tahu. Tapi suara dan kehadirannya... sudah lebih dari cukup.
Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali bergetar.
“Aku pernah ngebayangin ketemu kamu di dunia nyata. Tapi bukan kayak orang pacaran. Bukan juga kayak sahabat lama. Tapi kayak dua orang yang pernah selamatin satu sama lain, tanpa sengaja.”
Keyla menahan napas.
“Kamu pernah nyelametin aku, Wan.”
“Kamu juga, Key.”
Dan untuk pertama kalinya, nama itu terasa begitu hangat diucapkan.
Keyla mengangkat kepala, menatap langit yang biru samar. Ia tahu Awan ada entah di mana, mungkin jauh, mungkin hanya satu kota. Tapi keberadaannya sudah terasa begitu dekat, seperti nafas yang menenangkan di antara kebisingan pikirannya sendiri.
Di hari itu, untuk pertama kalinya Keyla menyimpan nomor seseorang bukan karena formalitas, bukan karena basa-basi, tapi karena rasa yang ia peluk diam-diam: rasa bahwa mungkin, di dunia ini, ada satu orang yang benar-benar mengerti tanpa harus bertemu.
Dan ia menulis satu kalimat terakhir hari itu, yang tidak ia kirim, tapi disimpan dalam catatan ponselnya:
“Seandainya kita bertemu, aku nggak akan tanya kamu cinta aku atau nggak. Aku cuma pengin bilang: terima kasih karena pernah hadir, waktu aku paling ingin menghilang.”
Bab 8: Surat yang Tidak Pernah Kukirim
Malam itu, kamar Keyla gelap, hanya diterangi cahaya redup dari layar laptop yang terbuka di mejanya. Di hadapannya, sebuah dokumen kosong menanti kata-kata yang susah keluar dari mulut tapi bisa mengalir lewat tulisan. Sebuah surat—surat yang sudah lama ingin ia tulis, tapi selalu terhenti di tenggorokannya.
Tangan Keyla mulai mengetik, pelan dan berhati-hati, seperti mengukir setiap kata agar tak terluka lagi saat dibaca.
“Untuk diriku yang dulu, yang pernah merasa sendiri dan tak berharga…”
Waktu berlalu tanpa terasa. Surat itu panjang, penuh isi hati yang selama ini terkubur dalam diam. Tentang luka yang tidak kunjung sembuh, tentang rasa kehilangan yang terus menghantui, dan tentang harapan kecil yang mulai tumbuh meski tertutup rasa takut.
Dalam surat itu, Keyla juga menulis tentang Awan—tentang bagaimana kehadirannya di tengah kegelapan menjadi alasan untuk bertahan. Tapi yang paling penting, surat itu adalah pengakuan bahwa meskipun belum siap untuk melepas semua rasa sakit, ia mulai menerima bahwa hidup harus tetap berjalan.
Saat ia hendak menutup dokumen, pesan masuk di ponselnya. Dari Awan.
“Aku juga menulis sesuatu. Tapi aku belum berani kirim.”
Keyla membalas cepat.
“Apa yang kamu tulis?”
Beberapa menit kemudian, Awan mengirim sebuah pesan panjang yang berisi kalimat-kalimat tentang ketakutan, harapan, dan keinginan untuk menemukan kembali mimpi yang pernah hilang. Tentang bagaimana ia takut ditinggalkan lagi, tapi juga ingin percaya bahwa ada orang yang mau bertahan bersamanya.
Keyla membaca pesan itu berulang kali, seolah setiap kata adalah pelukan hangat yang selama ini ia rindukan.
Mereka berdua, tanpa bertemu langsung, saling menguatkan lewat kata-kata yang dulu terasa mustahil untuk diungkapkan.
Tapi ada satu hal yang tetap menggantung di hati Keyla.
“Aku ingin sekali bertemu kamu suatu hari nanti. Tapi aku takut...”
“Takut apa?”
“Takut kalau pertemuan itu malah membuat semua yang kita rasakan jadi berbeda. Takut kalau aku kehilangan kamu, bukan cuma di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.”
Awan menjawab dengan tulus.
“Kalau itu terjadi, aku janji aku akan tetap di sini. Nggak peduli dunia bilang apa. Karena aku percaya... hubungan yang dibuat dari luka juga bisa tumbuh jadi sesuatu yang indah.”
Keyla menatap layar. Air mata jatuh perlahan di pipinya. Surat yang tak pernah ia kirim akhirnya menemukan jalan, meski bukan melalui tinta dan kertas, tapi lewat hati dan kata yang mengalir dari dua jiwa yang saling merangkul.
Malam itu, Keyla menyadari sesuatu:
Kadang, keberanian terbesar bukanlah melangkah maju sendirian, tapi membuka hati pada orang lain—meskipun itu berarti mempercayai lagi setelah sakit.
Bab 8: Surat yang Tidak Pernah Kukirim
Malam itu, kamar Keyla gelap, hanya diterangi cahaya redup dari layar laptop yang terbuka di mejanya. Di hadapannya, sebuah dokumen kosong menanti kata-kata yang susah keluar dari mulut tapi bisa mengalir lewat tulisan. Sebuah surat—surat yang sudah lama ingin ia tulis, tapi selalu terhenti di tenggorokannya.
Tangan Keyla mulai mengetik, pelan dan berhati-hati, seperti mengukir setiap kata agar tak terluka lagi saat dibaca.
“Untuk diriku yang dulu, yang pernah merasa sendiri dan tak berharga…”
Waktu berlalu tanpa terasa. Surat itu panjang, penuh isi hati yang selama ini terkubur dalam diam. Tentang luka yang tidak kunjung sembuh, tentang rasa kehilangan yang terus menghantui, dan tentang harapan kecil yang mulai tumbuh meski tertutup rasa takut.
Dalam surat itu, Keyla juga menulis tentang Awan—tentang bagaimana kehadirannya di tengah kegelapan menjadi alasan untuk bertahan. Tapi yang paling penting, surat itu adalah pengakuan bahwa meskipun belum siap untuk melepas semua rasa sakit, ia mulai menerima bahwa hidup harus tetap berjalan.
Saat ia hendak menutup dokumen, pesan masuk di ponselnya. Dari Awan.
“Aku juga menulis sesuatu. Tapi aku belum berani kirim.”
Keyla membalas cepat.
“Apa yang kamu tulis?”
Beberapa menit kemudian, Awan mengirim sebuah pesan panjang yang berisi kalimat-kalimat tentang ketakutan, harapan, dan keinginan untuk menemukan kembali mimpi yang pernah hilang. Tentang bagaimana ia takut ditinggalkan lagi, tapi juga ingin percaya bahwa ada orang yang mau bertahan bersamanya.
Keyla membaca pesan itu berulang kali, seolah setiap kata adalah pelukan hangat yang selama ini ia rindukan.
Mereka berdua, tanpa bertemu langsung, saling menguatkan lewat kata-kata yang dulu terasa mustahil untuk diungkapkan.
Tapi ada satu hal yang tetap menggantung di hati Keyla.
“Aku ingin sekali bertemu kamu suatu hari nanti. Tapi aku takut...”
“Takut apa?”
“Takut kalau pertemuan itu malah membuat semua yang kita rasakan jadi berbeda. Takut kalau aku kehilangan kamu, bukan cuma di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.”
Awan menjawab dengan tulus.
“Kalau itu terjadi, aku janji aku akan tetap di sini. Nggak peduli dunia bilang apa. Karena aku percaya... hubungan yang dibuat dari luka juga bisa tumbuh jadi sesuatu yang indah.”
Keyla menatap layar. Air mata jatuh perlahan di pipinya. Surat yang tak pernah ia kirim akhirnya menemukan jalan, meski bukan melalui tinta dan kertas, tapi lewat hati dan kata yang mengalir dari dua jiwa yang saling merangkul.
Malam itu, Keyla menyadari sesuatu:
Kadang, keberanian terbesar bukanlah melangkah maju sendirian, tapi membuka hati pada orang lain—meskipun itu berarti mempercayai lagi setelah sakit.
Bab 9: Harapan yang Tersisa
Hari-hari setelah malam penuh pengakuan itu berjalan pelan, namun terasa berbeda bagi Keyla. Ada sesuatu yang berubah—sebuah celah kecil dalam tembok yang selama ini ia bangun rapat-rapat di sekeliling hatinya. Celah itu bukan retakan yang membuatnya rapuh, melainkan pintu kecil yang mulai membuka jalan bagi harapan.
Keyla duduk di bangku taman favoritnya, tempat yang dulu selalu ia hindari karena penuh kenangan yang terlalu pahit. Kini, dengan ponsel di tangan, ia menunggu pesan dari Awan. Meskipun mereka belum pernah bertemu, keberadaan Awan seperti menjadi bagian dari nafasnya sehari-hari.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk.
“Hari ini aku kirimkan sesuatu untukmu.”
Pesan itu sederhana, tapi di dalamnya tersimpan sesuatu yang membuat hati Keyla berdebar. Tidak lama kemudian, sebuah tautan muncul. Keyla membuka dengan penasaran.
Ternyata, itu adalah rekaman suara. Suara Awan, membacakan sebuah puisi yang ia tulis sendiri.
“Di antara gelap dan terang,
aku menemukan kamu,
seperti bintang kecil yang tak pernah padam,
meski terkadang tersembunyi di balik awan.”
Keyla mendengarkan berulang kali, setiap kata terasa seperti pelukan lembut yang merangkul seluruh kepedihan yang selama ini ia simpan sendiri.
Namun, di balik kehangatan itu, ada rasa takut yang mulai tumbuh lagi. Takut jika suatu saat nanti Awan menghilang, seperti orang-orang lain yang pernah pergi dari hidupnya. Takut harapan yang baru tumbuh ini kembali hancur.
Dalam hati kecilnya, Keyla bertanya,
“Apa aku cukup kuat untuk berharap lagi? Apa aku siap menghadapi kemungkinan kehilangan lagi?”
Ia menatap langit biru yang mulai berawan, seolah mencari jawaban dari sana.
Pesan masuk lagi.
“Aku tahu ini sulit. Aku juga takut. Tapi aku percaya, selama kita masih punya harapan, kita belum benar-benar kehilangan apa-apa.”
Keyla tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bukan hanya sekedar bertahan, tapi mulai hidup.
Hari itu, di antara keramaian kota yang tak pernah berhenti, Keyla belajar bahwa harapan—meski kecil dan rapuh—adalah api yang mampu menghangatkan hati yang paling dingin sekalipun.
Bab 10: Menemukan Cahaya
Langit sore berwarna lembayung saat Keyla keluar dari apartemennya. Angin ringan mengibaskan rambutnya, membelai wajahnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda lelah sekaligus harapan. Sudah beberapa minggu sejak malam-malam panjang yang penuh kata-kata jujur bersama Awan, dan meski mereka belum pernah bertemu, hubungan itu telah menanamkan sesuatu yang baru di dalam hatinya.
Hari ini, Keyla memutuskan untuk tidak hanya menunggu. Ia ingin menemukan cahaya kecil itu—cahaya yang selama ini redup, tapi tak pernah benar-benar padam.
Dengan ponsel di tangan, ia berjalan menuju kafe kecil yang pernah Awan ceritakan beberapa kali. Sebuah tempat sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke jalan dan aroma kopi yang hangat menyelimuti udara. Keyla tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu satu hal: ia harus berani melangkah.
Sesampainya di kafe, Keyla memilih meja dekat jendela. Ia memesan secangkir kopi hitam dan membuka pesan Awan. Ada pesan baru:
“Kalau kamu ada di sana, aku pengin bilang... terima kasih. Karena kamu sudah buat aku percaya lagi, walau sedikit.”
Hati Keyla berdebar. Ia membalas:
“Aku juga mau bilang... aku mulai bisa lihat cahaya lagi. Terima kasih sudah ada.”
Sambil menunggu, Keyla menatap keluar jendela. Orang-orang berlalu-lalang, hidup dengan caranya masing-masing. Tapi ia tahu, di antara semuanya, ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Sebuah keberanian yang baru.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Awan mengirim lokasi—kafe yang sama. Keyla menatap pesan itu dengan mata membelalak, jantungnya berdegup kencang. Apa ini artinya?
Ia membaca pesan berikutnya:
“Aku sudah sampai. Kalau kamu mau, kita bisa duduk bareng.”
Keyla mengangkat kepala, menatap pintu kafe yang baru saja terbuka. Sesosok pria masuk, membawa senyum yang hangat tapi sedikit gugup.
Mata mereka bertemu.
Detik itu, dunia seolah berhenti. Semua keraguan, takut, dan luka yang selama ini menghantui Keyla, mendadak terasa ringan. Karena di hadapannya ada seseorang yang selama ini hanya bisa ia dengar suaranya, tapi kini bisa ia lihat nyata.
Awan melangkah mendekat, duduk di hadapan Keyla. Tidak perlu banyak kata, karena sesungguhnya, pertemuan ini bukan tentang janji atau masa depan. Ini tentang dua jiwa yang menemukan cahaya satu sama lain di tengah gelap.
Keyla tersenyum pelan, berkata dengan suara yang penuh makna:
“Terima kasih sudah menunggu aku menemukan keberanian.”
Awan membalas dengan senyum hangat:
“Aku juga berterima kasih karena kamu sudah percaya aku.”
Di kafe kecil itu, di bawah lampu temaram dan suara musik lembut, dua hati yang pernah terluka mulai merangkai kisah baru. Kisah tentang harapan, keberanian, dan cinta yang tak perlu terburu-buru, tapi tumbuh perlahan—seperti cahaya yang muncul setelah malam yang paling gelap.
BERSAMBUNG ...
Part II akan di upload besok ya :)
Komentar
Posting Komentar