LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part II )
PART II : LANGIT TAK PERNAH BERTANYA
Bab 11: Awal yang Baru
Pertemuan di kafe kecil itu menjadi titik balik bagi Keyla dan Awan. Bukan hanya karena mereka akhirnya bertatap muka, tapi karena saat itu, Keyla merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama: ketenangan.
Setelah beberapa cangkir kopi dan percakapan ringan, suasana mulai terasa hangat. Mereka berbagi cerita yang lebih dalam—tentang masa lalu, ketakutan, dan harapan yang selama ini tersembunyi di balik dinding hati masing-masing.
Awan bercerita bagaimana kesepian yang ia rasakan dulu bukan hanya soal sendiri, tapi tentang merasa tidak dimengerti. Keyla pun membuka tentang rasa sakitnya yang selama ini membuatnya ingin menghilang dari dunia.
Namun yang paling mengejutkan adalah ketika mereka menyadari bahwa, selama ini, rasa sakit itu ternyata yang membawa mereka saling menemukan.
"Kita mungkin dulu terluka," kata Keyla pelan, "tapi aku rasa itu bukan akhir. Mungkin justru awal."
Awan mengangguk, senyum kecilnya mengembang.
"Awal yang baru, dengan harapan yang sama."
Hari itu, mereka sepakat untuk tidak terburu-buru. Tidak perlu janji-janji besar atau kata-kata manis yang berlebihan. Cukup dua orang yang mau belajar perlahan, saling menguatkan satu sama lain.
Setiap detik yang mereka lalui menjadi pelajaran—tentang kesabaran, tentang memberi ruang, dan terutama tentang percaya lagi pada hati yang pernah patah.
Keyla pulang dengan perasaan campur aduk, tapi yang paling dominan adalah harapan. Harapan bahwa mungkin, kali ini, ia bisa bangun dari luka tanpa harus takut jatuh lagi.
Malamnya, sebelum tidur, Keyla menulis di jurnalnya:
“Awal yang baru bukan tentang sempurna, tapi tentang berani memulai lagi. Dengan siapa pun, dan di mana pun. Aku siap.”
Dan di tempat yang jauh, Awan juga menulis kalimat yang sama di buku catatannya.
Sebuah awal baru, dimulai dari dua hati yang pernah terluka, tapi kini berani berdansa dengan cahaya harapan.
Bab 12: Menyulam Mimpi Bersama
Waktu berjalan perlahan, seperti benang halus yang terus disulam dengan penuh ketelitian oleh kedua tangan yang ingin membentuk sebuah kain indah. Begitulah rasanya perjalanan Keyla dan Awan setelah pertemuan itu—setiap hari menjadi kesempatan baru untuk saling mengenal, memahami, dan membangun mimpi bersama.
Mereka tidak terburu-buru. Tidak ada janji manis yang terlalu cepat, tidak ada kata-kata berlebihan yang membuat hati terasa berat. Hanya kehangatan yang lahir dari kebersamaan, dari percakapan sederhana yang terus mereka rajut lewat pesan dan pertemuan.
Di suatu sore yang hangat, Keyla dan Awan duduk di taman kota, di bawah pohon rindang yang daunnya menari diterpa angin. Mereka membicarakan impian masing-masing—bukan impian yang besar dan muluk, tapi yang sederhana dan nyata.
Keyla bercerita tentang keinginannya membuka sebuah kafe kecil yang menjadi tempat nyaman bagi orang-orang yang merasa kesepian. Sebuah ruang di mana kopi dan cerita bisa menyembuhkan hati yang terluka.
Awan, dengan senyum tulus, mengakui ia selalu ingin menulis buku—cerita tentang orang-orang yang menemukan cahaya dalam kegelapan. Dan ia berharap suatu saat bisa mengajak Keyla menjadi bagian dari kisah itu.
Mereka tertawa bersama, merasakan hangatnya harapan yang terbit dari mimpi-mimpi itu. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi, tapi mereka yakin bahwa selama saling menyulam mimpi bersama, langkah itu akan terasa ringan.
Hari-hari pun berlalu dengan penuh warna. Kadang ada kekhawatiran, tapi itu wajar. Yang terpenting adalah mereka selalu memilih untuk berbagi, tidak menyimpan beban sendiri.
Keyla menulis lagi di jurnalnya, kali ini dengan tangan yang lebih mantap:
“Mimpi itu seperti benang yang kita sulam bersama. Kadang kusut, kadang putus, tapi selama kita mau terus merajut, hasilnya pasti indah.”
Dan Awan, di tempat lain, menulis di buku catatannya:
“Mimpi kita bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk saling menguatkan. Untuk belajar bahwa meskipun pernah terluka, kita masih bisa percaya dan berharap.”
Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, mereka menemukan satu hal pasti: kekuatan untuk menyulam mimpi bersama, dengan hati yang sudah mulai pulih dan terbuka.
Bab 13: Menantang Gelap Bersama
Malam itu langit tampak gelap, awan pekat menutupi bintang dan bulan. Suasana di luar sama seperti perasaan Keyla—kadang gelap, penuh ketidakpastian, dan terkadang menakutkan. Namun di dalam dirinya, ada keberanian yang mulai tumbuh, keberanian untuk menantang gelap itu bersama Awan.
Beberapa minggu terakhir tak selalu mudah. Kadang Keyla merasa ragu, bayangan masa lalu yang suram kembali menghantui. Ada saat-saat ia ingin mundur, kembali ke zona nyaman kesendirian yang meski menyakitkan, tapi terasa aman.
Namun, saat itulah Awan hadir. Dengan kata-kata yang lembut dan kehadiran yang tulus, ia mengingatkan Keyla bahwa gelap bukanlah akhir. Bahwa mereka tidak harus menghadapi ketakutan itu sendiri.
Suatu malam, saat hujan turun pelan dan angin berdesir, Keyla mengirim pesan kepada Awan:
“Aku takut, Wan. Aku takut gelap itu akan menguasai lagi.”
Balasan Awan datang cepat:
“Aku juga takut, Key. Tapi aku janji, kita akan hadapi gelap itu bersama. Tidak sendiri.”
Mereka pun sepakat bertemu di sebuah taman kota yang biasanya sepi saat hujan. Keyla tiba lebih dulu, mengenakan jaket tebal dan membawa payung. Beberapa menit kemudian, Awan muncul dengan wajah basah oleh tetesan hujan, tapi matanya penuh semangat.
Mereka berjalan bersama di bawah hujan ringan, tanpa kata-kata panjang. Hanya kebersamaan yang terasa menguatkan.
Di bawah rintik hujan yang menyejukkan, Keyla mengangkat wajahnya, menatap Awan.
“Terima kasih sudah jadi cahaya saat aku hampir tenggelam dalam gelap.”
Awan menggenggam tangannya erat.
“Kita bukan hanya menantang gelap, tapi juga menaklukannya bersama.”
Malam itu, mereka belajar bahwa kekuatan sejati bukanlah ketiadaan rasa takut, tapi keberanian untuk terus melangkah walaupun takut. Bahwa dalam gelap sekalipun, ada cahaya yang bisa mereka temukan selama mereka bersama.
Langit yang tadi kelam akhirnya sedikit demi sedikit memperlihatkan bintang-bintang yang malu-malu muncul.
Keyla dan Awan tersenyum, percaya bahwa apapun yang terjadi, mereka akan selalu menemukan cahaya itu—bersama.
Bab 14: Cinta yang Tak Terucap
Malam itu, suasana di kafe tempat Keyla dan Awan biasa bertemu terasa lebih hening dari biasanya. Lampu temaram, aroma kopi yang familiar, dan suara hujan yang mulai turun perlahan di luar jendela menciptakan atmosfer yang pas untuk membuka hati.
Mereka duduk berhadapan, memandang secangkir kopi masing-masing tanpa banyak bicara. Ada getar halus di udara, seolah ada sesuatu yang belum terucap tapi sangat ingin disampaikan.
Keyla menunduk, jari-jarinya main-main dengan gelas kopi. Ia tahu perasaannya sudah jauh melampaui sekadar teman, tapi kata-kata itu sulit keluar, terjebak di antara takut dan ragu.
Awan memecah keheningan dengan suara lembut, “Keyla… aku sudah lama ingin bilang sesuatu.”
Keyla menatapnya, jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku juga,” jawabnya pelan, mencoba menenangkan diri.
“Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Awan menarik napas panjang, “tapi aku rasa, aku jatuh cinta padamu. Bukan cuma karena kamu teman yang mengerti, tapi lebih dari itu. Aku takut kehilangan kamu, bukan karena kamu hanya teman, tapi karena kamu lebih dari itu bagiku.”
Mata Keyla berkaca-kaca, ia merasakan campuran bahagia dan takut. “Aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku takut jika aku mengatakannya, semuanya bisa berubah. Aku nggak mau kehilangan kamu, Wan.”
Awan menggenggam tangan Keyla erat, “Aku janji, aku nggak akan pergi. Aku mau kita jalani ini pelan-pelan, tanpa tekanan.”
Mereka saling tersenyum, hati yang selama ini dipenuhi luka mulai terbuka sedikit demi sedikit. Cinta yang tak terucap akhirnya menemukan jalannya.
Di balik hujan yang turun perlahan, di antara aroma kopi dan suara dunia yang perlahan memudar, dua hati yang dulu rapuh kini berani berharap dan membuka diri pada cinta.
Malam itu menjadi awal baru, bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai seseorang yang saling mencintai dengan penuh kehangatan dan keberanian.
Bab 15: Jejak Masa Lalu
Setelah pengakuan cinta yang menghangatkan hati, Keyla dan Awan mulai merangkai hari-hari mereka dengan penuh harapan. Namun, seperti benang yang tak selalu lurus, masa lalu yang belum sepenuhnya terurai mulai muncul ke permukaan, menuntut perhatian dan penyelesaian.
Suatu pagi yang cerah, Keyla menerima sebuah panggilan telepon dari nomor yang tak dikenal. Suaranya di ujung sana membuat napasnya sesak.
"Keyla, ini Dinda. Kita perlu bicara," suara itu bergetar, membawa beban yang tak terucapkan.
Dinda adalah sahabat lama Keyla yang lama menghilang tanpa kabar setelah sebuah peristiwa kelam yang membuat Keyla memilih menjauh dari banyak orang.
Rasa penasaran dan kecemasan mendorong Keyla untuk bertemu Dinda di sebuah taman kota. Ketika mereka bertatap muka, Dinda tak kuasa menahan air mata.
"Aku minta maaf, Key. Semua yang terjadi dulu... aku masih belum bisa melupakannya," katanya lirih.
Keyla merasakan luka lama kembali terbuka, tapi kali ini ia berdiri tegak, berbeda dari dulu yang memilih lari.
"Aku juga belum benar-benar selesai, Din," jawab Keyla, suaranya tegas namun lembut. "Tapi aku ingin kita selesaikan ini bersama, bukan dengan menghindar."
Percakapan itu membuka pintu untuk penyembuhan. Dinda mengungkapkan sisi lain dari masa lalu yang selama ini tersembunyi, mengurai benang kusut yang pernah membuat Keyla terpuruk.
Di saat yang sama, Keyla merasa hadirnya Awan menjadi kekuatan yang membantunya berdiri dan menghadapi bayang-bayang masa lalu. Dengan dukungan Awan, ia mulai menyadari bahwa masa lalu bukan musuh yang harus ditakuti, tapi bagian dari perjalanan yang membentuk dirinya.
Malam harinya, Keyla menulis di jurnalnya:
"Jejak masa lalu tak selalu menjadi beban, tapi pelajaran yang menguatkan. Aku siap menatap masa depan, dengan semua luka dan harapannya."
Di sudut lain kota, Awan membaca pesan Keyla yang sederhana namun penuh makna itu, dan tersenyum. Ia tahu, perjalanan mereka belum selesai, tapi bersama mereka siap menghadapi apa pun.
Bab 16: Menggenggam Masa Depan
Hari-hari berlalu dengan ritme yang lebih ringan dan penuh warna bagi Keyla dan Awan. Setelah menghadapi bayang-bayang masa lalu, keduanya mulai menyadari bahwa masa depan bukan sekadar impian yang jauh, tetapi sesuatu yang bisa mereka raih bersama—dengan keberanian dan keyakinan.
Suatu pagi, Keyla duduk di depan jendela apartemennya, memandang langit cerah yang terbentang luas. Di tangannya ada secangkir teh hangat, tapi pikirannya melayang pada semua perjalanan yang telah dilewati.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan dari Awan muncul:
“Hari ini aku ada waktu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Aku ingin kita merayakan setiap langkah kecil yang sudah kita capai.”
Keyla tersenyum. Ia tahu, ini bukan sekadar jalan-jalan biasa. Ini adalah undangan untuk merayakan harapan, untuk menggenggam masa depan yang kini terasa lebih nyata.
Mereka bertemu di taman kota, di bawah pohon besar yang mulai bersemi kembali setelah musim dingin panjang. Suasana hangat, penuh kicau burung dan sinar mentari yang lembut.
Awan memegang tangan Keyla erat, menatap matanya dengan penuh arti.
“Aku tahu perjalanan kita belum sempurna. Masih ada tantangan dan ketidakpastian di depan. Tapi aku yakin, selama kita bersama, kita bisa melewati semuanya.”
Keyla menggenggam tangannya lebih kuat. “Aku juga percaya itu. Kita sudah melewati banyak hal—luka, ketakutan, dan keraguan. Sekarang saatnya kita berani memandang ke depan.”
Mereka berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak yang berliku, layaknya perjalanan hidup yang tak selalu mulus, tapi penuh makna.
Di tengah perjalanan, Awan berhenti dan mengambil sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. Keyla menatap penuh penasaran.
“Aku bukan tipe orang yang suka merayakan hal besar dengan cara mewah,” kata Awan sambil tersenyum, “tapi aku ingin kamu tahu, kamu adalah bagian terpenting dari masa depanku.”
Ia membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk bintang.
“Ini untuk kamu, agar kamu selalu ingat—bahwa di tengah gelap sekalipun, ada cahaya yang bisa kita genggam bersama.”
Mata Keyla berkaca-kaca, hatinya penuh haru. Ia merasakan hangatnya harapan yang tumbuh kuat di dada.
Dengan suara bergetar, ia berkata, “Terima kasih, Wan. Aku akan menggenggam harapan ini, dan masa depan yang kita bangun bersama.”
Mereka saling tersenyum, dua hati yang kini bukan hanya bertahan, tapi siap untuk melangkah lebih jauh bersama.
Bab 17: Janji yang Terpatri
Musim semi mulai berganti ke musim panas. Pohon-pohon di taman kota kini sepenuhnya berdaun, dan bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna cerah. Seperti itulah suasana hati Keyla dan Awan—mekar, hangat, dan hidup.
Namun kebahagiaan mereka tidak serta-merta menghapus keraguan yang kadang muncul dalam senyap.
Suatu sore, Awan mengajak Keyla ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya: bukit kecil di pinggiran kota. Dari atas sana, kota terlihat kecil, lampu-lampunya mulai menyala seiring matahari yang perlahan tenggelam.
Mereka duduk berdampingan, angin sore membelai rambut dan pipi mereka. Sejenak, tidak ada yang bicara. Hanya suara alam dan detak jantung yang terasa makin kuat.
“Keyla,” suara Awan memecah senyap, “kadang aku masih takut.”
Keyla menoleh. “Takut soal apa?”
Awan menatap cakrawala. “Takut kalau semuanya ini cuma sementara. Takut kalau kamu akan pergi, atau aku mengecewakanmu.”
Keyla menggenggam tangannya. “Kita semua pernah takut. Tapi kita juga pernah terluka dan tetap bertahan. Itu artinya, kita cukup kuat untuk menjaga apa yang kita punya sekarang.”
Awan menarik napas dalam. Lalu, ia berdiri, mengambil sesuatu dari tasnya—buku kecil lusuh yang selalu ia bawa.
Ia membuka halaman pertama dan menuliskan sesuatu dengan pensil.
“Janji untuk tetap tinggal, bahkan saat gelap kembali datang.”
Kemudian ia menyerahkan pensil itu pada Keyla. Dengan senyum kecil, Keyla menulis di bawahnya:
“Janji untuk tidak menyerah, bahkan ketika rasa sakit datang lagi.”
Mereka saling menatap, dan dalam diam, janji-janji itu tertanam lebih dalam dari sekadar kata-kata.
Itu bukan janji tentang kebahagiaan selamanya, tapi janji untuk tetap berusaha, tetap tinggal, tetap memperjuangkan. Karena mereka tahu, cinta bukan tentang akhir yang sempurna, tapi tentang memilih seseorang setiap hari, meskipun dunia tidak selalu bersahabat.
Malam itu, di bawah langit yang perlahan dipenuhi bintang, dua jiwa menyatu dalam ketenangan. Janji yang terpatri bukan hanya dalam buku lusuh itu, tapi di hati yang telah melewati badai dan tetap memilih untuk bersama.
Bab 18: Saat Semua Ujian Datang
Cinta bukan sekadar perasaan yang menghangatkan hati. Ia juga ujian. Dan bagi Keyla dan Awan, ujian itu datang bukan dalam bentuk perdebatan atau kecemburuan, melainkan dari sesuatu yang tak mereka duga: kenyataan hidup yang tak bisa mereka hindari.
Hari itu, hujan turun deras sejak pagi. Langit kelabu seperti menggambarkan suasana hati Keyla saat menerima pesan dari rumah sakit: ibunya kembali masuk ruang perawatan intensif.
Dengan tubuh gemetar, ia meninggalkan kafe tempat biasa mereka bertemu. Awan yang baru saja tiba mendapati kursi Keyla kosong dan secangkir kopi yang masih hangat.
Ponselnya bergetar.
“Wan, ibuku di rumah sakit. Aku harus ke sana sekarang. Maaf aku nggak sempat nunggu.”
Awan langsung menyusul ke rumah sakit tanpa berpikir dua kali. Saat tiba, ia menemukan Keyla duduk di luar ruang ICU, wajahnya pucat, matanya kosong. Ia tak menangis, tapi jelas luka lama kembali menganga.
“Key,” Awan memanggil pelan sambil duduk di sampingnya. “Aku di sini.”
Keyla menoleh, dan akhirnya tangisnya pecah. Ia menunduk, bersandar di bahu Awan tanpa kata.
“Aku nggak siap kalau harus kehilangan dia,” lirihnya. “Setelah semua yang kami lewati, aku baru bisa benar-benar dekat lagi dengannya… dan sekarang dia terbaring seperti ini.”
Awan menggenggam tangannya. Ia tahu tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, tapi kehadirannya adalah bentuk cinta yang paling nyata saat itu.
Beberapa hari berlalu dengan waktu yang terasa lambat. Keyla hampir tak tidur. Ia merawat ibunya, bolak-balik rumah sakit, dan menolak semua tawaran Awan untuk membantunya secara langsung.
Suatu malam, mereka bertengkar.
“Wan, aku minta kamu jangan datang terus. Aku butuh waktu sendiri,” kata Keyla lelah, matanya sembab.
“Bukan aku nggak percaya kamu kuat, Key. Tapi kamu nggak harus hadapi semuanya sendiri!” balas Awan, suaranya tertahan marah dan sedih sekaligus.
“Aku cuma nggak mau kamu terbebani…”
“Dan aku nggak mau kehilangan kamu karena kamu terlalu banyak menanggung beban sendiri!” teriak Awan, sebelum akhirnya diam dan menatapnya penuh luka.
Keheningan itu mengiris. Dua hati yang saling mencinta, kini sama-sama terluka oleh kekhawatiran dan cinta yang tak terungkap dengan baik.
Tapi malam itu juga mereka belajar satu hal penting: cinta tak hanya diuji oleh hadirnya masalah, tapi oleh kesiapan untuk tetap bertahan saat semua terasa terlalu berat.
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu Keyla perlahan membaik. Dan saat ia kembali duduk di taman tempat mereka biasa bertemu, Keyla menatap Awan dengan mata yang lebih tenang.
“Aku belajar sesuatu dari semua ini,” katanya. “Bahwa cinta bukan tentang menyelesaikan semuanya sendiri, tapi tentang saling berbagi kekuatan… bahkan saat kita merasa rapuh.”
Awan tersenyum kecil. “Aku akan tetap di sini, Key. Bahkan ketika kamu menolak, bahkan ketika kamu ingin sendiri. Aku akan selalu ada di sekitarmu.”
Dan untuk pertama kalinya sejak semua badai itu datang, Keyla merasakan pelukan yang bukan hanya menguatkan, tapi juga mengajarkan: bahwa saat semua ujian datang, cinta mereka tak runtuh—melainkan tumbuh lebih dewasa.
Bab 19: Luka yang Belum Sembuh
Keyla duduk sendirian di kamarnya. Lampu redup, tirai belum dibuka sejak pagi. Meski ibunya sudah pulih dan diperbolehkan pulang, perasaan lega itu tidak benar-benar hadir utuh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang masih terasa kosong. Seperti ada luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali.
Ia membuka laci kecil di samping tempat tidurnya, menarik keluar sebuah kotak berisi surat-surat yang sudah bertahun-tahun tak disentuh. Surat-surat dari ayahnya.
Satu demi satu, ia baca ulang. Setiap hurufnya terasa seperti suara dari masa lalu—masa yang pernah ia kubur dalam-dalam. Masa saat ia masih percaya bahwa cinta dari orang tua akan selalu abadi.
Tapi semuanya berubah sejak malam itu. Malam ketika ayahnya pergi tanpa penjelasan. Meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Ibunya tak pernah mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi. Dan Keyla, terlalu kecil saat itu untuk memahami pengkhianatan yang menyakitkan.
Tangannya gemetar saat membuka surat terakhir—yang ditulis tepat seminggu sebelum ayahnya menghilang. Isinya pendek, tapi cukup membuat air matanya jatuh:
"Untuk Keyla… maafkan ayah kalau nanti kamu kecewa. Tapi semua ini ayah lakukan karena mencintaimu. Semoga suatu hari kamu bisa mengerti. — Ayah."
Keyla meremas surat itu. Bukan karena marah. Tapi karena semua emosi bercampur menjadi satu: rindu, benci, kecewa, dan harapan yang diam-diam belum mati.
Sore harinya, Awan datang membawa makanan favorit mereka—sate taichan dan es jeruk. Tapi begitu masuk ke kamar, ia langsung tahu ada yang berubah.
Keyla memeluknya tanpa berkata sepatah kata pun. Pelukan itu dingin, seperti butuh tempat bernaung.
“Kenapa, Key?” bisik Awan.
Keyla mengangkat kepalanya, matanya merah. “Aku belum selesai berdamai dengan masa laluku. Selama ini aku pikir, kalau aku cukup kuat, semua luka akan sembuh sendiri. Tapi ternyata… aku cuma pandai menyembunyikannya.”
Awan tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengelus punggung Keyla, membiarkannya menangis sampai tak ada lagi air mata yang tersisa.
Malam itu mereka duduk berdua di balkon, menyaksikan bintang-bintang di langit. Hening, tapi penuh makna.
“Key,” ujar Awan, pelan. “Aku tahu kamu mungkin nggak akan pernah sepenuhnya pulih dari semua luka itu. Tapi kamu nggak sendiri. Dan kamu nggak harus berpura-pura bahagia demi kelihatan kuat. Aku di sini… bukan untuk menyembuhkanmu, tapi untuk berjalan bersamamu, bahkan dengan luka yang belum sembuh.”
Dan di tengah sunyi malam, Keyla akhirnya membiarkan dirinya utuh—dengan luka, dengan trauma, dengan air mata. Karena ia tahu, selama Awan di sisinya, ia tak harus sempurna untuk layak dicintai.
Bab 20: Memaafkan yang Tak Pernah Kembali
Langit sore itu redup, seperti memantulkan isi hati Keyla yang kembali dibalut rasa tak pasti. Sudah seminggu sejak ia membaca surat terakhir dari ayahnya. Sejak itu, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Ada bagian dalam dirinya yang ingin mencari tahu, tapi juga bagian lain yang takut membuka luka yang lebih dalam.
Di sebuah kafe kecil yang tenang, Keyla duduk sendirian. Di tangannya ada secarik kertas—alamat yang ia dapat dari seorang kerabat jauh. Katanya, itu tempat terakhir ayahnya terlihat sebelum benar-benar menghilang.
Ia belum pernah datang ke sana. Tapi hari ini, ia merasa waktunya sudah tiba.
"Aku harus menyelesaikan ini, Wan," ucapnya di telepon. "Aku nggak mau terus hidup dengan rasa tanya yang nggak pernah terjawab."
Awan tidak mencegah. Ia hanya berkata, “Aku akan menunggumu di titik terakhir. Pulanglah setelah kamu selesai berdamai, ya?”
Tempat itu hanyalah rumah tua di pinggiran kota. Dindingnya berlumut, pagar besinya berkarat. Tapi dari jendela, tampak seorang lelaki tua sedang menyiram tanaman. Keyla berdiri beberapa saat, menatap sosok yang ia kenal hanya dari kenangan masa kecil.
Ayahnya.
Lelaki itu menoleh, dan untuk sesaat waktu seperti berhenti.
“Keyla…?” suaranya parau, nyaris tak percaya.
Keyla tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah pelan, mendekat, dan berdiri di depan lelaki yang pernah menjadi pusat dunianya.
“Aku nggak datang untuk marah,” ucap Keyla akhirnya. “Aku cuma… mau tanya kenapa.”
Ayahnya menghela napas panjang. “Karena waktu itu, aku merasa dunia terlalu berat. Aku gagal jadi suami. Gagal jadi ayah. Dan aku… memilih pergi karena aku pikir kalian akan lebih baik tanpaku.”
Keyla menahan napas, dadanya sesak. “Kami nggak butuh ayah yang sempurna. Kami cuma butuh ayah yang tetap tinggal.”
Lelaki itu menangis. Tangan tuanya gemetar. Tapi Keyla tidak datang untuk menyakiti. Ia sudah cukup lelah membenci.
“Aku nggak datang buat mengungkit semuanya,” lanjutnya pelan. “Aku datang… buat memaafkan. Meskipun ayah nggak pernah kembali.”
Tangis ayahnya pecah. Keyla memeluknya, pelan. Bukan karena luka itu sudah sembuh. Tapi karena ia tak mau lagi membiarkan luka itu membusuk dalam diam.
Beberapa jam kemudian, Keyla kembali ke kota. Awan menunggunya di halte bus, seperti yang ia janjikan.
“Gimana?” tanyanya lembut.
Keyla mengangguk kecil. “Aku nggak tahu apakah ini akhir dari semua sakitnya. Tapi aku tahu… aku bisa hidup lebih ringan sekarang.”
Mereka berjalan berdampingan, dan Keyla menggenggam tangan Awan.
“Memaafkan itu bukan berarti melupakan, Wan. Tapi menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah, dan kita tetap memilih untuk tidak hancur karenanya.”
Awan menatapnya penuh bangga. “Kamu hebat, Key. Bukan karena kamu kuat, tapi karena kamu berani.”
Malam itu, mereka duduk di atas jembatan kecil, menatap sungai yang mengalir tenang. Dan seperti sungai itu, Keyla membiarkan kenangan masa lalunya terus mengalir. Tidak lagi ia genggam, tidak lagi ia lawan. Hanya dilepas—dengan ikhlas.
Komentar
Posting Komentar