LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part III )

  PART III :  LANGIT TAK PERNAH BERTANYA 




Bab 21: Hati yang Belajar Percaya

Malam telah larut ketika Awan berdiri di depan kaca apartemennya. Lampu-lampu kota berkelip dari kejauhan, menciptakan pantulan yang samar di permukaan jendela. Tapi pikirannya tak berada di sana. Ia sedang mengingat masa-masa yang selama ini ia pendam sendiri.

Keyla sudah mulai pulih. Ia sudah mulai bisa tertawa lagi, dan senyum di wajahnya tak lagi sekadar tameng. Tapi Awan tahu, perjalanannya sendiri belum selesai. Selama ini ia selalu menjadi bahu bagi orang lain. Ia lupa bahwa dirinya pun punya luka yang tak pernah benar-benar ia sentuh.

Pagi harinya, mereka bertemu di taman kota. Keyla duduk di bangku yang biasa mereka tempati, melambaikan tangan dengan senyum tulus. Awan duduk di sampingnya, tapi hari itu ia terlihat sedikit berbeda—diam dan gelisah.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Keyla, menoleh dengan pandang penuh perhatian.

Awan mengangguk pelan, lalu menghembuskan napas panjang. “Key, boleh aku jujur tentang sesuatu?”

Keyla langsung fokus. “Tentu.”

“Aku... belum pernah benar-benar mempercayai siapa pun sepenuhnya sebelumnya. Bahkan diriku sendiri. Aku terbiasa menyimpan semuanya sendiri karena… aku takut dianggap lemah. Takut kalau orang-orang yang aku percaya, pergi.”

Keyla terdiam. Suaranya lembut saat ia berkata, “Termasuk aku?”

Awan menatapnya dengan mata sendu. “Termasuk kamu.”

Hening sejenak. Angin sore mengusap pelan rambut mereka.

Keyla lalu tersenyum. Bukan senyum pahit, tapi senyum yang memahami. “Aku juga pernah merasa seperti itu, Wan. Tapi cinta yang kita punya bukan tentang siapa yang lebih kuat atau lebih bisa menyembunyikan luka. Cinta itu… tempat paling aman untuk jujur.”

Awan menunduk. “Aku takut kehilangan kamu kalau kamu tahu semua sisi burukku.”

Keyla menggenggam tangannya. “Luka kamu bukan alasan aku pergi. Justru karena kamu berani menunjukkan sisi rapuhmu, aku makin ingin tetap tinggal.”

Awan terdiam. Lalu perlahan, ia mulai bercerita—tentang masa lalunya, tentang ayahnya yang dingin dan ibu yang selalu pura-pura baik-baik saja. Tentang bagaimana ia tumbuh dengan pikiran bahwa tidak ada yang benar-benar bisa diandalkan. Ia bercerita tentang malam-malam sepi yang dihabiskan dengan ketakutan tanpa nama, dan bagaimana ia belajar menyembunyikan semuanya di balik senyum tipis dan sikap tenang.

Keyla mendengarkan. Tak menyela, tak menghakimi. Ia hanya menjadi ruang yang Awan butuhkan—tempat untuk melepas semua beban yang selama ini ia simpan sendiri.

Saat cerita itu berakhir, Keyla menatapnya dan berkata dengan suara lembut:

“Terima kasih karena sudah memilih percaya padaku. Percaya itu bukan soal berani atau tidak, tapi soal siapa yang kamu rasa pantas menerima hatimu. Dan aku bersyukur kamu memilih aku.”

Awan mengangguk pelan, matanya berkaca. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa ringan. Tidak karena semua masalah selesai, tapi karena akhirnya ia membiarkan seseorang masuk—bukan hanya ke hidupnya, tapi ke bagian terdalam dari hatinya.

Malam itu, mereka berjalan pulang bergandengan tangan. Langit malam terbuka luas, tanpa awan, penuh bintang. Dan di antara kelap-kelip cahaya itu, dua hati belajar mempercayai cinta dengan cara paling tulus—dengan luka, dengan ketakutan, tapi juga dengan keberanian untuk tetap tinggal.

Bab 22: Antara Ragu dan Yakin

Sejak malam itu, hubungan Keyla dan Awan terasa lebih dalam. Mereka tidak lagi sekadar dua orang yang saling menyukai, tetapi dua jiwa yang mulai saling menerima—dengan semua luka, trauma, dan ketidaksempurnaan. Namun, ketika segalanya mulai terasa stabil, kehidupan, seperti biasa, menantang mereka dengan cara lain.

Hari itu, Keyla menerima pesan dari nomor yang tak ia kenal. Isinya singkat, tapi cukup membuat jantungnya berhenti sejenak:

“Kamu tahu nggak kalau Awan pernah hampir tunangan? Tanya dia soal Aluna.”

Keyla terdiam. Nama itu asing, tapi menyisakan sensasi tidak nyaman di hatinya. Ia menatap layar ponsel lama, lalu menghapus pesan itu. Tapi rasa ingin tahu sudah terlanjur menyalakan bara di dadanya.

Malamnya, mereka bertemu seperti biasa. Awan membawa novel yang Keyla suka, dan mereka duduk di rooftop apartemen sambil berbagi cerita. Namun, kali ini Keyla tak bisa sepenuhnya menikmati kebersamaan itu.

“Awan,” ucapnya pelan, “aku mau nanya sesuatu. Tapi janji dulu kamu nggak akan menghindar.”

Awan menoleh, lalu mengangguk. “Oke. Aku janji.”

“Siapa Aluna?”

Awan terdiam. Seketika itu juga angin terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Keyla bisa melihat jelas perubahan di wajah Awan. Lelaki itu menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang gelap.

“Aluna… dia seseorang dari masa laluku. Kami dulu hampir bertunangan. Tapi semuanya berakhir bahkan sebelum cincin sempat dipesan.”

Keyla mendengarkan dengan diam. Hatinya berdebar tidak karuan.

“Kenapa berakhir?” tanyanya, lebih pelan.

Awan tersenyum kecut. “Karena dia pergi. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Hanya surat pendek yang bilang dia belum siap. Dan aku… hancur waktu itu. Makanya aku sulit percaya lagi sama siapa pun.”

Keyla menggigit bibir. Rasa cemburu, takut, dan ragu bercampur jadi satu. Ia mencoba mengendalikan dirinya, tapi suara kecil di hatinya terus bertanya: Apakah aku hanya pelarian dari luka itu?

“Aku nggak pernah tahu cerita ini sebelumnya,” bisiknya.

“Karena aku belum siap. Aku pikir… kalau aku cukup mencintaimu, masa lalu nggak akan penting lagi. Tapi ternyata aku salah. Aku seharusnya jujur sejak awal.”

Keyla berdiri, berjalan menjauh ke pinggir rooftop. Ia menatap lampu-lampu kota yang berkedip. Dalam dirinya, ada gejolak yang sulit ia jelaskan. Ia tahu Awan mencintainya. Tapi mengapa rasanya tetap sakit?

“Keyla,” Awan berdiri di belakangnya, “aku tahu aku harusnya cerita lebih dulu. Tapi kamu bukan pelarian. Kamu adalah rumah yang selama ini aku cari.”

Keyla menoleh. Matanya berkaca. “Aku ingin percaya. Tapi sekarang aku ragu… bukan cuma padamu, tapi pada diriku sendiri. Apakah aku bisa cukup untuk seseorang yang pernah disakiti sedalam itu?”

Awan maju satu langkah, menggenggam tangannya. “Kita berdua punya masa lalu yang menyakitkan, Key. Tapi masa lalu bukan tempat tinggal. Itu hanya tempat belajar. Dan aku ingin membangun masa depan bersamamu, kalau kamu masih mau berjalan bersamaku.”

Keyla menatap matanya lama. Dalam keheningan malam, di antara ragu dan yakin, ia tahu satu hal: perasaan yang tulus tetap layak diperjuangkan, meski harus berjalan sambil gemetar.

Dan malam itu, mereka tidak menemukan kepastian. Tapi mereka memilih untuk tetap tinggal, meski langkahnya masih ragu. Karena kadang, cinta bukan tentang tahu pasti akan ke mana. Tapi tentang siapa yang tetap menggenggam tanganmu saat kamu tersesat.

Bab 23: Ketika Masa Lalu Mengetuk Kembali

Hari itu hujan turun sejak pagi. Langit abu-abu, dan udara dingin seakan ikut menambah beban yang sejak semalam menghuni dada Keyla. Setelah percakapan mereka di rooftop, hatinya masih dilanda badai ragu. Awan sudah jujur. Ia tahu itu butuh keberanian. Tapi rasa was-was tetap mengendap, terutama karena satu alasan yang tak ingin ia akui: ia takut tidak cukup kuat untuk bersaing dengan hantu masa lalu.

Dan rupanya, masa lalu memang tak hanya diam dalam cerita. Ia datang mengetuk, dengan tubuh nyata dan mata yang menyimpan cerita yang belum selesai.

Keyla baru selesai menata buku-buku di kafe tempatnya bekerja paruh waktu ketika seseorang masuk. Suara pintu terbuka, denting lonceng kecil, aroma parfum lembut. Perempuan berambut panjang dengan mantel cokelat muda berdiri di depan kasir.

“Maaf,” suara lembut itu terdengar, “apakah kamu Keyla?”

Keyla menoleh, sedikit kaget. “Iya, saya. Ada yang bisa saya bantu?”

Perempuan itu tersenyum tipis. Ada sesuatu di balik senyumnya—seperti beban yang juga sedang dipikulnya.

“Aku… Aluna. Mungkin kamu sudah dengar namaku.”

Sejenak, waktu berhenti bagi Keyla.

Detak jantungnya menggema di telinga. Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap sosok di depannya, yang kini bukan hanya sekadar nama dari pesan misterius, tapi perempuan nyata yang pernah mengisi hati Awan.

“Aku boleh bicara sebentar?” tanya Aluna, suara tetap tenang.

Mereka duduk di sudut kafe. Meja kecil, dua cangkir kopi, dan dua perempuan yang sama-sama memikul luka masing-masing.

“Aku datang bukan untuk mengacaukan hubungan kalian,” kata Aluna pelan. “Tapi ada sesuatu yang harus aku jelaskan. Tentang kenapa aku pergi.”

Keyla mengangguk perlahan, meski sebagian dari dirinya ingin berlari.

“Aku meninggalkan Awan karena waktu itu aku didiagnosis mengidap penyakit autoimun. Aku takut menjadi beban. Aku takut dia melihatku hancur sedikit demi sedikit. Jadi aku memilih pergi, tanpa menjelaskan apa-apa.”

Keyla terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Kasihan? Marah? Atau justru lebih takut?

“Aku sudah menjalani perawatan di luar negeri selama dua tahun. Dan sekarang aku kembali, bukan untuk merebut Awan, tapi untuk menutup cerita yang dulu aku biarkan menggantung.”

Aluna menatap mata Keyla lekat-lekat. “Awan berubah sejak bersamamu. Dia terlihat tenang. Tapi aku tahu dia belum sepenuhnya memaafkan kepergianku. Kalau kamu benar-benar mencintainya… izinkan dia menyelesaikan itu, supaya dia bisa benar-benar mulai dari awal bersamamu. Tanpa bayang-bayangku.”

Keyla menggenggam cangkirnya lebih erat. Pertemuan ini tidak menyakitkan seperti yang ia bayangkan. Justru… ada rasa lega. Seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

“Aku nggak tahu harus bilang apa,” ujar Keyla jujur. “Tapi… terima kasih karena kamu datang dan memilih untuk jujur.”

Aluna tersenyum. “Dia laki-laki yang baik. Tolong jaga dia. Lebih baik daripada aku pernah lakukan.”

Dan dengan itu, Aluna pergi. Meninggalkan jejak yang tak lagi pahit, melainkan penutup yang dibutuhkan agar kisah lama bisa benar-benar usai.


Malamnya, Keyla menceritakan semuanya pada Awan. Tidak ada emosi yang meledak. Tidak ada air mata. Hanya dua orang yang duduk saling memandang, berbagi kebenaran yang telah terlalu lama dikubur.

Awan menggenggam tangan Keyla. “Aku nggak akan berpaling ke masa lalu. Tapi aku memang butuh menutupnya dengan benar. Dan sekarang, aku tahu: aku nggak lagi menyesal, karena kalau dia nggak pergi… aku nggak akan pernah bertemu kamu.”

Keyla menatapnya, senyumnya hangat meski matanya masih basah. “Dan kalau kamu pergi besok pun… aku tetap akan bahagia karena pernah mencintaimu dengan seluruhku.”

Mereka berpelukan dalam diam. Tidak ada janji. Tidak ada rencana besar. Hanya kesediaan untuk tetap berjalan bersama, satu hari lagi, dan satu hari lagi setelahnya—sampai luka tak lagi menyakitkan, dan cinta tak lagi diragukan.

Bab 24: Jika Esok Tak Ada

Keyla duduk di dekat jendela kamar, memeluk lututnya. Hujan masih turun sejak malam sebelumnya, dan langit seperti tak kunjung mengizinkan matahari menampakkan dirinya. Semuanya terasa sunyi, dan di dalam dada, sebuah pertanyaan berulang kali menggema: Bagaimana jika esok tak ada?

Sejak pertemuannya dengan Aluna, Keyla menyadari sesuatu yang selama ini ia tekan—rasa takut kehilangan yang begitu dalam. Ia mulai menyadari bahwa kebersamaan dengan Awan, seindah dan setulus apa pun, tetaplah rapuh. Segalanya bisa berubah. Esok bisa lenyap. Dan cinta, sekuat apa pun, tidak selalu cukup menahan waktu.

Pagi itu, Awan datang membawakannya sarapan. Wajahnya cerah, seolah malam-malam kelam telah tertinggal di belakang. Tapi saat ia melihat Keyla duduk membisu, ia langsung tahu ada sesuatu yang tak beres.

“Aku mimpi aneh,” gumam Keyla tanpa menoleh. “Dalam mimpi itu, kamu pergi. Tapi bukan karena marah atau kecewa. Kamu… hilang. Tanpa sebab. Seolah dunia tiba-tiba memutuskan menarikmu dari hidupku.”

Awan mendekat, duduk di sampingnya. “Itu cuma mimpi, Key.”

“Tapi gimana kalau itu lebih dari mimpi? Gimana kalau suatu hari, entah karena kecelakaan, penyakit, atau bahkan cuma takdir… aku benar-benar kehilangan kamu?” Suaranya bergetar.

Awan terdiam. Tangannya meraih tangan Keyla, menggenggamnya erat.

“Aku nggak bisa janji kita akan selalu bersama, Key. Aku nggak bisa janji aku nggak akan pergi lebih dulu. Tapi yang bisa aku janjiin… selama aku masih di sini, aku akan mencintaimu sehabis-habisnya. Hari ini. Dan setiap hari yang aku punya.”

Keyla menoleh, menatap matanya yang teduh. “Aku cuma takut. Karena kamu satu-satunya orang yang aku izinkan masuk sampai sejauh ini. Dan kehilangan kamu… rasanya seperti kehilangan diriku sendiri.”

Awan memeluknya erat. “Kalau esok nggak ada, maka hari ini… kita hidup seribu kali lebih kuat.”

Mereka menghabiskan hari itu bersama—tanpa rencana besar, tanpa jalan-jalan romantis. Mereka hanya duduk bersama, menonton film lama, memasak makan siang sederhana, dan saling menggenggam dalam diam. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, cinta mereka terasa paling nyata.

Menjelang malam, Keyla menulis di jurnalnya:

"Hari ini aku tidak tahu apakah esok akan datang. Tapi jika tidak, setidaknya aku pernah mencintai seseorang dengan seluruh hatiku, dan pernah dicintai dengan cara paling jujur. Dan mungkin, itu sudah cukup."

Bab 25: Dalam Peluk yang Tak Abadi

Sore itu langit berwarna kelabu pucat. Awan berjalan cepat dari tempat parkir menuju klinik. Tangannya menggenggam hasil pemeriksaan yang baru saja ia ambil. Di luar, ia tampak tenang. Tapi di dalam, ada badai yang tak berhenti menghantam.

Dokter tadi mengucapkan kalimat-kalimat dengan suara lembut namun menusuk. “Kita harus periksa lebih lanjut, kemungkinan ini bukan hanya kelelahan biasa.” Kata-kata itu berulang di kepala Awan seperti gema di lorong gelap.

Ia tak langsung memberitahu Keyla.

Baginya, rasa sakit adalah hal yang biasa ia tanggung sendiri. Tapi sejak bersama Keyla, segalanya berubah. Ia tahu, cepat atau lambat, kebenaran harus diucapkan. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin… memeluk Keyla.


Keyla sedang membaca di ruang tamu ketika Awan datang. Wajahnya terlihat lelah, dan senyumnya tak semurni biasanya. Tapi ia tetap memeluknya dari belakang, meletakkan dagunya di bahu Keyla.

“Capek banget hari ini?” tanya Keyla pelan.

Awan hanya mengangguk.

“Kamu nggak harus pura-pura kuat terus, Wan.”

Kalimat itu menusuk Awan lebih dalam dari yang bisa ia jelaskan. Tapi ia hanya memejamkan mata dan menjawab, “Aku tahu.”

Malam itu, mereka berbaring berdampingan tanpa banyak kata. Hanya suara detak jam dan napas yang naik-turun perlahan. Di tengah keheningan, Awan akhirnya bicara.

“Kalau suatu hari nanti aku sakit… kamu bakal tetap tinggal?”

Keyla menoleh, mengernyit. “Kenapa kamu tanya begitu?”

“Jawab aja.”

Keyla menghela napas. “Aku nggak cuma mencintai kamu ketika kamu kuat. Aku mencintaimu sebagai manusia. Dengan segala rapuhnya. Jadi, iya. Aku akan tinggal. Bahkan kalau kamu sendiri ingin menyerah, aku akan tetap tinggal.”

Awan menelan ludah. Ia ingin menangis, tapi yang keluar hanya senyum kecil yang getir.

“Terima kasih,” bisiknya.

Dan malam itu, mereka saling memeluk. Tapi untuk pertama kalinya sejak bersama, Awan merasa pelukan itu tidak lagi abadi. Bukan karena cinta mereka pudar, tapi karena waktu seakan menandai bahwa sesuatu akan berubah. Bahwa akan tiba hari di mana pelukan itu mungkin tak bisa lagi diulang.

Namun, malam itu juga Awan sadar: ia tak bisa melawan takdir. Tapi ia bisa memilih. Dan ia memilih mencintai Keyla setiap hari seolah itu hari terakhirnya.

Bab 26: Surat yang Belum Selesai

Hujan turun deras sejak pagi. Keyla menatap ke luar jendela apartemen dengan secangkir teh di tangan, pikirannya penuh tanda tanya. Beberapa hari terakhir, Awan berubah. Ia masih hadir, masih tersenyum, masih memeluknya dengan hangat—tapi ada jarak yang perlahan tumbuh di matanya. Seperti ia sedang menyembunyikan badai, dan Keyla hanya bisa menunggu petir menyambar.

Hari itu, Awan bilang ingin ke kantor lebih pagi. Tapi Keyla tahu, kantor bukan tujuannya. Ia melihat Awan memasukkan sebuah amplop ke dalam tasnya—bersampul biru tua, disegel rapi. Seperti surat.

Dan Keyla, yang selama ini percaya pada ruang pribadi, hari itu merasakan naluri yang berbeda. Ia takut. Ada rasa cemas yang tak bisa dijelaskan. Ia tak tahu apakah itu pelanggaran atau pertahanan diri, tapi saat Awan lupa membawa buku catatannya dan memintanya mengantarkannya ke tempat kerja, Keyla menemukan sebuah draft surat terselip di sela-sela halaman buku tersebut. Tulisannya belum selesai. Tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat.

Keyla…
Kalau kamu baca ini, berarti aku sedang berusaha menerima kenyataan. Mungkin aku belum cukup kuat bilang langsung ke kamu. Tapi aku merasa tubuhku mulai menyimpan sesuatu yang asing. Dan hari-hari ini, aku tahu, aku harus bersiap. Bukan karena aku ingin menyerah, tapi karena aku takut kamu terluka karena aku diam.

Keyla berhenti membaca. Tangannya gemetar. Ada sisa-sisa tinta yang belum dikeringkan sepenuhnya. Surat itu belum rampung. Tapi kata-katanya sudah cukup merobek hatinya.

Awan… sakit?


Malamnya, Keyla tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap wajah Awan lebih lama. Merekam setiap detail, setiap garis halus di ujung matanya, setiap gerakan kecil yang selama ini tak terlalu ia perhatikan. Dan ketika Awan tertidur, ia membelai rambutnya perlahan.

“Jangan sembunyikan aku dari rasa sakitmu,” bisik Keyla lirih, meski ia tahu Awan tak mendengarnya.

Di sudut meja, amplop biru itu masih belum diserahkan. Tapi kini Keyla tahu. Sesuatu sedang menunggu di ujung jalan, dan mereka tak punya banyak waktu untuk pura-pura segalanya baik-baik saja.


Keesokan paginya, Keyla membuat sarapan. Lengkap. Telur mata sapi, roti panggang, buah potong, bahkan kopi favorit Awan yang biasanya hanya ia buat di akhir pekan. Ketika Awan keluar kamar dan mencium aroma itu, ia tersenyum kecil.

“Tumben banget?”

Keyla menoleh dan menjawab dengan nada biasa. “Nggak ada salahnya sesekali bikin hari jadi lebih manis, kan?”

Tapi Awan tahu. Ada sesuatu di balik senyum itu. Dan saat ia duduk di meja makan, ia melihat sebuah kertas terselip di bawah gelasnya. Tulisannya kecil:

Kalau kamu nggak bisa cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi jangan pergi sendirian. Aku di sini. Aku selalu di sini.

Awan menatap Keyla lama, dan untuk pertama kalinya sejak lama, matanya berkaca-kaca.

“Aku takut,” bisiknya akhirnya.

Keyla berdiri, memeluknya dari belakang, seperti ia sering lakukan.

“Aku juga. Tapi lebih takut lagi kalau kamu memilih diam.”

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, mereka membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.

Bab 27: Diagnosis

Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamar, menerangi ruang yang terasa berat oleh keheningan. Awan duduk di tepi ranjang, memegang selembar kertas berisi hasil pemeriksaan medis yang baru saja ia terima. Tangannya sedikit gemetar, meskipun ia berusaha menampakkan ketenangan.

Keyla masuk perlahan, matanya penuh tanya. Ia duduk di samping Awan dan menggenggam tangannya dengan erat, memberikan kekuatan tanpa kata.

“Ini hasilnya,” ucap Awan akhirnya, suaranya berat tapi tegas. “Aku terkena penyakit kronis. Kondisinya cukup serius, tapi dokter bilang masih ada harapan kalau aku mau jalani pengobatan dengan serius.”

Keyla menelan ludah, mencoba menyerap setiap kata yang keluar dari mulut Awan. Ia merasa dunia berputar lebih cepat, dan sesak itu perlahan mulai merangsek ke dadanya.

“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Awan, menatap mata Keyla. “Aku nggak mau kamu merasa beban. Aku cuma ingin jujur, supaya kita bisa hadapi semuanya bersama.”

Air mata mengalir perlahan di pipi Keyla. Ia menggenggam tangan Awan lebih erat, seolah ingin memastikan lelaki di sisinya benar-benar nyata.

“Kita sudah melewati banyak hal, Awan. Ini bukan yang terakhir. Aku akan tetap di sini. Bersamamu,” katanya dengan suara bergetar.

Mereka berpelukan dalam keheningan. Dalam pelukan itu ada harapan, ketakutan, dan janji yang tak terucap. Mereka tahu jalan ke depan akan berat, tapi setidaknya kini mereka menghadapi kenyataan bersama—bukan sendirian.


Hari-hari berikutnya diwarnai dengan jadwal rumah sakit, obat-obatan, dan harapan yang terus dijaga. Awan berjuang tidak hanya melawan penyakitnya, tapi juga keraguan dalam dirinya sendiri. Keyla menjadi penopang terkuatnya, kadang dengan hanya hadir di sampingnya, kadang dengan kata-kata sederhana yang menyembuhkan.

Mereka belajar menghargai waktu, setiap detik yang mereka punya. Tidak lagi menunggu esok, tapi menjalani hari ini dengan sepenuh hati.

Meski tak mudah, mereka percaya bahwa cinta bukan hanya tentang bertahan dalam keadaan baik. Tapi juga bagaimana tetap saling menguatkan saat dunia terasa runtuh.

Bab 28: Hari Baru

Mentari pagi menyelinap pelan lewat celah tirai kamar, menghangatkan ruangan yang semalam penuh kegelisahan. Keyla membuka matanya perlahan, menarik nafas panjang dan menatap langit-langit dengan tatapan kosong sejenak. Hari ini adalah hari baru, namun rasanya beban kemarin masih membayang di dadanya.

Di sisi ranjang, Awan masih terlelap, napasnya yang teratur memberikan sedikit ketenangan. Keyla meraih tangan lelaki itu, menggenggamnya erat seolah ingin menyalurkan kekuatan.

“Ini bukan akhir,” bisiknya lembut. “Kita akan jalani bersama, satu langkah demi satu langkah.”

Keyla bangun dan mulai menyiapkan sarapan. Hari-hari seperti ini harus diisi dengan kebiasaan sederhana, supaya mereka tak tenggelam dalam kekhawatiran. Ia ingin menjadi cahaya kecil yang mampu menerangi masa depan mereka yang penuh ketidakpastian.

Ketika Awan akhirnya bangun, ia melihat Keyla tersenyum padanya, senyum yang tidak sempurna, tapi nyata—penuh keberanian dan cinta.

“Mau ikut aku ke dokter hari ini?” tanya Keyla, suara penuh semangat.

Awan mengangguk, walau ada bayang-bayang rasa takut di matanya.

Di perjalanan menuju rumah sakit, mereka berbagi cerita ringan. Keyla berusaha memecah keheningan dengan cerita kecil tentang masa kecilnya, sementara Awan sesekali tersenyum mendengarnya.

Sesampainya di ruang tunggu, mereka duduk berdampingan, saling menggenggam tangan. Keyla tahu, di balik ketenangan Awan, ada pertempuran batin yang tak terlihat.

Dokter datang membawa kabar baru tentang jadwal terapi dan pengobatan lanjutan. Meskipun penuh tantangan, ada secercah harapan yang muncul dari setiap langkah medis yang akan mereka jalani.

Sepulangnya, mereka duduk di balkon apartemen, menikmati senja yang perlahan meredup.

“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti,” kata Awan lirih. “Tapi aku tahu… aku nggak mau melewati semuanya tanpa kamu.”

Keyla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Wan. Tapi aku janji, aku akan tetap di sini. Dalam keadaan apapun.”

Mereka berpelukan, menatap langit yang mulai gelap. Di tengah ketidakpastian itu, cinta mereka menjadi jangkar yang menguatkan.

Hari baru telah dimulai, dan bersama, mereka siap melangkah.

Bab 29: Ujian Pertama

Pagi itu, aroma antiseptik memenuhi ruang klinik kecil tempat Awan menjalani sesi kemoterapi pertamanya. Suasana dingin dan steril terasa asing, jauh dari kehangatan rumah yang selama ini menjadi pelabuhan mereka. Keyla duduk di kursi sebelahnya, menggenggam tangan Awan erat, berusaha menyalurkan keberanian yang kadang sulit muncul di dalam dirinya sendiri.

Awan menatap jarum infus yang terpasang di lengannya dengan campuran ketakutan dan tekad. “Aku nggak tahu ini bakal sakit kayak gimana,” ujarnya pelan.

Keyla tersenyum lembut. “Aku di sini. Kita jalani sama-sama. Kamu nggak sendirian.”

Sesi pertama itu berjalan lebih berat dari yang mereka bayangkan. Efek samping mulai terasa—mual, lemas, dan rasa tidak nyaman yang merayap perlahan dalam tubuh Awan. Keyla ikut merasakan beratnya, menahan air mata saat melihat lelaki yang ia cintai bergumul dengan rasa sakit yang tak kasat mata.

Malamnya, Awan duduk di balkon, menatap langit yang gelap, mencoba menarik napas panjang. Keyla datang dengan selimut dan secangkir teh hangat, duduk di sampingnya.

“Kamu kuat, Wan. Aku percaya kamu bisa melewati ini,” ucap Keyla penuh harap.

Awan tersenyum tipis. “Kalau aku jatuh, kamu yang angkat aku, ya?”

“Tentu saja. Itu janji,” jawab Keyla, menghapus sedikit air mata yang mengalir di pipinya.

Hari-hari berikutnya menjadi ujian bukan hanya bagi tubuh Awan, tapi juga bagi hati dan pikiran mereka. Perjuangan itu mempererat ikatan mereka, membuat Keyla semakin yakin bahwa cinta adalah kekuatan terbesar di antara segala cobaan.

Meski belum tahu apa yang akan terjadi, mereka memilih untuk terus berjalan bersama—menghadapi ujian pertama dengan harapan yang tak pernah padam.

Bab 30: Cahaya di Ujung Lorong

Beberapa minggu setelah sesi kemoterapi pertama, Awan dan Keyla mulai merasakan perubahan kecil yang memberi harapan. Meskipun tubuh Awan masih lemah, ada secercah cahaya yang perlahan menembus kegelapan hari-hari mereka.

Di sebuah pagi yang cerah, Keyla membawa Awan ke taman dekat apartemen mereka. Tempat itu penuh dengan bunga bermekaran dan suara burung yang riang. Awan duduk di bangku kayu sambil menghirup udara segar, menikmati hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulitnya.

“Ini pertama kalinya aku bisa keluar tanpa merasa lemas sejak lama,” ucap Awan dengan senyum tipis.

Keyla menggenggam tangannya. “Lihat? Kamu kuat, Wan. Sedikit demi sedikit, kita mulai menang.”

Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi yang pernah mereka buat dulu, rencana-rencana sederhana yang sempat tertunda. Harapan itu menjadi pelipur lara di tengah gelombang rasa sakit dan ketidakpastian.

Saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk berdua di bawah pohon besar. Keyla menatap Awan, matanya penuh kasih.

“Kita belum selesai, tapi aku yakin kita bisa jalani ini bersama,” katanya.

Awan mengangguk, merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. “Kamu yang buat aku mau berjuang, Key. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah menyerah.”

Mereka saling tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak lama, hati mereka terasa ringan. Cahaya di ujung lorong itu bukan hanya sekadar harapan medis, tapi juga cinta yang tak pernah padam.

BERSAMBUNG...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh