LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part V )
PART V : LANGIT TAK PERNAH BERTANYA
Bab 41: Kenangan yang Tetap Tinggal
Satu bulan telah berlalu sejak Keyla mengirimkan naskah pertamanya ke ruang baca rumah sakit. Ia tidak pernah benar-benar berharap akan dibaca, apalagi diapresiasi. Tapi suatu pagi, ia menerima sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal:
“Terima kasih untuk ceritanya. Saya baru kehilangan istri. Tapi cerita itu membuat saya percaya, cinta tidak pernah benar-benar pergi.”
Pesan itu hanya satu dari puluhan lainnya yang kemudian datang. Beberapa dari pasien, beberapa dari keluarga mereka. Cerita tentang Awan dan langit perlahan menyebar, dan setiap kali seseorang mengatakan bahwa mereka merasa sedikit lebih kuat, Keyla tahu… Awan masih menyalakan cahaya—lewat tulisannya.
Keyla tak lagi menolak kenangan. Ia mulai membingkai foto-foto lama mereka. Meletakkan sebuah foto Awan di dekat jendela tempat ia biasa menulis. Ia juga kembali berjalan di taman-taman kota, bukan karena ingin melupakan, tapi karena ingin mengenang tanpa sakit.
Suatu sore, ia mengunjungi makam Awan. Bukan dengan bunga, tapi dengan buku.
Buku pertamanya, yang kini telah diterbitkan.
Ia duduk di samping pusara sederhana itu, meletakkan buku di atas rumput, lalu berkata:
"Katamu langit tak pernah bertanya. Tapi aku rasa, langit mendengar. Karena lihat… tulisan kita sekarang menjangkau orang-orang yang bahkan tak pernah mengenalmu. Kamu tetap tinggal, Wan. Dalam kata-kata, dalam hati mereka, dan… di dalam aku.”
Angin sore menyentuh rambutnya pelan, seperti belaian lembut yang dulu hanya bisa diberikan Awan.
Ia tak menangis kali ini.
Ia hanya diam. Hening. Penuh.
Sebelum pergi, ia menyelipkan satu tulisan kecil di balik nisan:
“Terima kasih telah mencintaiku sampai akhir. Kini giliranku mencintai dunia dengan caramu.”
Saat Keyla melangkah pergi, langit sedang berwarna jingga kemerahan. Awan di cakrawala bergerak perlahan ke barat, tapi tak benar-benar tenggelam.
Karena cinta—yang pernah begitu dalam—tidak akan hilang.
Ia hanya berganti bentuk.
Tetap tinggal, meski tak lagi terlihat.
Bab 42: Langit yang Baru
Langit selalu berubah—begitu pun hidup. Begitu pun Keyla.
Tiga bulan setelah buku pertamanya terbit, Keyla mendapat undangan untuk menjadi pembicara di sebuah acara literasi nasional. Ia nyaris menolak. Masih ada bagian dari dirinya yang merasa tak cukup kuat berdiri di hadapan banyak orang dan mengulang kisah itu. Tapi Awan, dalam ingatannya, selalu berkata: “Kalau kisahmu bisa menyembuhkan satu saja orang, maka kamu harus membaginya.”
Maka ia menerima.
Acara itu diadakan di kota lain, di auditorium kampus sastra yang pernah ia dan Awan impikan untuk kunjungi bersama. Panggung sederhana, deretan kursi yang penuh, dan udara hangat dari sorotan lampu di atas kepala. Saat namanya dipanggil, langkahnya sedikit gemetar, tapi tatapannya mantap.
Di hadapannya, ratusan pasang mata menunggu.
Keyla membuka dengan cerita singkat—tentang lelaki bernama Awan, tentang langit yang tak pernah bertanya, dan tentang cinta yang tinggal meski raganya tak lagi ada.
Lalu, ia membaca sepenggal kutipan dari bukunya:
“Kita tidak selalu diberi akhir bahagia, tapi kita bisa menciptakan arti dari akhir itu. Karena yang tinggal bukan kehilangan, tapi kenangan. Bukan tangis, tapi keberanian untuk bangkit.”
Ruangan sunyi. Beberapa mata berkaca-kaca. Dan di tengah semua itu, Keyla merasa satu hal yang belum pernah ia rasakan sejak lama: tenang.
Setelah acara, seorang gadis muda mendatanginya. Usianya mungkin dua puluh, wajahnya lelah tapi matanya berbinar.
“Aku kehilangan ibu tahun lalu,” katanya pelan. “Dan sejak itu aku berhenti menulis. Tapi setelah mendengar cerita Kakak, aku merasa… mungkin aku bisa mulai lagi.”
Keyla menggenggam tangan gadis itu. “Tulisan menyembuhkan. Bukan hanya orang lain, tapi juga diri sendiri. Tulis. Jangan berhenti.”
Malamnya, di kamar hotel yang menghadap kota, Keyla membuka jendela. Angin malam masuk, membawa aroma debu, hujan, dan kehidupan.
Langit di atasnya gelap, tapi bertabur bintang.
“Langit yang baru,” gumamnya. “Bukan karena melupakan, tapi karena memilih untuk terus berjalan.”
Dan entah dari mana, ia merasa… Awan mendengarnya.
Karena cinta sejati, meski tak lagi hadir dalam bentuk tubuh, akan selalu tahu ke mana harus pulang.
Bab 43: Surat untuk Diriku Sendiri
Malam itu, Keyla duduk di meja tulis kecil di sudut kamarnya. Lampu redup menerangi buku catatan kosong di depannya. Sudah lama ia tidak menulis dengan tangan. Selama ini ia mengetik di laptop, merangkai kalimat demi kalimat untuk orang lain. Tapi malam ini berbeda.
Malam ini, ia ingin menulis untuk satu orang yang sudah lama ia abaikan: dirinya sendiri.
Tangannya gemetar saat mulai menulis. Lalu huruf-huruf itu mulai tumbuh, perlahan tapi pasti.
Untuk diriku yang pernah ingin menyerah,
Aku tahu kamu lelah. Aku tahu kamu pernah berdiri di tepi yang paling sunyi, menatap kehampaan dan berharap semuanya selesai. Kamu pernah merasa kehilangan lebih dari yang bisa kamu terima. Dunia terasa terlalu gelap, terlalu berat, terlalu diam.
Tapi lihatlah sekarang. Kamu masih di sini.
Kamu masih bernapas. Masih menulis. Masih mencintai meski orang yang kamu cintai telah pergi jauh. Itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.
Kamu sudah menang melawan hari-hari yang tak seorang pun tahu betapa menyakitkannya. Kamu bangkit tanpa gemuruh. Kamu bertahan tanpa panggung. Dan kamu terus hidup, meski dunia seolah tak peduli.
Terima kasih karena tidak menyerah.
Terima kasih karena tetap mempercayai bahwa ada makna di balik luka, bahwa kehilangan tidak selamanya tentang pergi, tapi juga tentang menemukan bagian dari dirimu yang tersembunyi.
Maafkan aku yang dulu, yang terlalu keras pada dirimu sendiri.
Mulai hari ini, mari kita peluk semua versi dari dirimu—yang hancur, yang marah, yang diam, yang kuat, yang belajar kembali tersenyum.
Karena hidup bukan tentang menghapus masa lalu. Tapi tentang berjalan bersama bayangan itu, dan tetap memilih cahaya.
Dengan cinta,
Aku yang kini tak lagi takut berjalan sendiri.
Keyla meletakkan pena. Air matanya jatuh, tapi bukan karena luka. Bukan karena kehilangan.
Tapi karena perasaan damai yang tak bisa dijelaskan. Seolah untuk pertama kalinya, ia berdamai dengan semua yang telah terjadi. Dengan Awan. Dengan hidup. Dan dengan dirinya sendiri.
Ia menutup buku itu, lalu menuliskan satu kalimat di sampul depan:
“Untuk yang pernah hancur, tapi tidak berhenti mencintai hidup.”
Bab 44: Cahaya di Balik Kata
Hari itu, Keyla menerima sebuah email dari penerbit yang pernah menerbitkan buku pertamanya. Subjeknya sederhana: “Buku Kedua?”
Awalnya, Keyla terdiam cukup lama. Ia tak pernah membayangkan akan menulis buku lagi. Langit Tak Pernah Bertanya adalah luka yang ia ubah menjadi pelita. Tapi kini, ia diminta menyalakan pelita baru—bukan dari kehilangan, melainkan dari sesuatu yang lebih terang: harapan.
“Apakah aku bisa?” bisiknya malam itu sambil memandangi bintang di langit jendela.
Namun saat membuka kembali surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri—surat yang penuh penerimaan dan kasih—ia tahu jawabannya.
Ya. Karena menulis bukan hanya tentang luka. Tapi tentang menyembuhkan. Tentang menyentuh jiwa-jiwa lain yang mungkin sedang berdiri di tempat gelap yang pernah kita lalui.
Keyla mulai menulis buku keduanya dengan suasana berbeda. Tak ada air mata saat mengetik kalimat pertama, hanya senyum pelan.
“Cinta tidak datang untuk menyelamatkan kita. Tapi ia mengajarkan kita untuk menyelamatkan diri sendiri, dan saling menemani dalam prosesnya.”
Buku ini bukan tentang Awan.
Tapi tentang orang-orang yang muncul setelah Awan—bukan untuk menggantikan, melainkan untuk menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Tentang sahabat yang tak pernah menyerah merangkulnya saat ia diam. Tentang para pembaca yang tanpa wajah mengiriminya pesan bahwa mereka merasa lebih hidup setelah membaca kisahnya. Tentang dirinya sendiri, yang perlahan menemukan bahwa ia bukan lagi pecahan.
Melainkan sosok yang utuh dengan luka dan cinta yang berjalan beriringan.
Satu malam, Keyla mengisi acara di komunitas sastra lokal. Di ujung acara, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun mendekatinya dengan wajah gugup.
“Kak Keyla,” katanya, “Aku pernah mau bunuh diri. Tapi aku baca buku Kakak. Yang pertama. Dan... aku belum pernah bilang ke siapa-siapa, tapi itu menyelamatkanku.”
Keyla tak menjawab apa-apa. Ia hanya merangkul anak itu. Kuat.
Dalam pelukan itu, ia tahu: kata-katanya bukan hanya tentang dirinya lagi. Kini kata-kata itu adalah cahaya bagi orang lain. Lentera kecil yang membantu orang-orang melewati malam-malam tergelap mereka.
Awan pernah berkata, “Kalau suatu hari kamu bisa menyelamatkan satu nyawa, maka semua sakit yang kamu alami tidak sia-sia.”
Dan malam itu, Keyla tahu. Ia telah melakukannya.
Bab 45: Ketika Aku Tak Lagi Sendiri
Sudah lama Keyla tidak merasa gugup saat bertemu seseorang. Tapi hari itu, di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, ia duduk di hadapan seseorang yang membuat detak jantungnya berdentum sedikit lebih cepat.
Namanya Revan.
Mereka bertemu pertama kali di salah satu diskusi buku yang ia isi tiga bulan lalu. Bukan pria yang banyak bicara, tapi setiap kalimatnya punya bobot. Revan bukan tipe yang mencoba mengisi kekosongan dengan ocehan basa-basi—ia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.
Dan mungkin itulah yang membuat Keyla merasa aman.
“Kenapa kamu suka nulis?” tanya Revan, menyeruput kopi hitamnya.
Keyla tersenyum kecil. “Karena menulis membuatku merasa hidup. Di saat aku merasa kehilangan segalanya, menulis adalah satu-satunya tempat aku bisa bernapas.”
Revan tak menjawab segera. Ia menatap mata Keyla sejenak, lalu berkata pelan, “Aku suka caramu bicara soal luka. Tenang, tapi dalam.”
Keyla tertawa pelan. “Mungkin karena aku sudah berdamai. Tapi berdamai bukan berarti lupa. Hanya… tidak lagi tenggelam.”
Pertemuan itu bukan yang terakhir.
Revan mulai menjadi bagian dari hari-hari Keyla, perlahan tapi pasti. Mereka tidak pernah membicarakan masa lalu secara terburu-buru. Tidak ada desakan untuk tahu semua hal dalam semalam. Tidak ada niat untuk menggantikan.
Hanya dua orang yang berjalan bersama, menghargai langkah masing-masing.
Keyla tidak langsung jatuh cinta. Ia hanya merasa... nyaman.
Dan kenyamanan itu tumbuh seperti akar—diam-diam, tapi kuat.
Suatu malam, Revan mengantarnya pulang setelah acara peluncuran buku keduanya. Di depan pintu, ia berhenti dan berkata:
“Aku tahu kamu pernah kehilangan orang yang sangat kamu cintai. Dan aku tidak akan pernah meminta tempat itu. Tapi kalau suatu hari kamu butuh teman untuk berbagi langit yang baru, aku bersedia berjalan di sampingmu.”
Keyla tak langsung menjawab.
Ia hanya menatap Revan. Dan dalam keheningan itu, ia mendengar hatinya sendiri berkata:
Kali ini bukan tentang menggantikan. Tapi tentang melanjutkan hidup dengan seseorang yang tidak ingin menghapus masa lalu, melainkan menghormatinya.
Ia tersenyum. Lalu mengangguk pelan.
“Mungkin… langitku memang sudah berubah,” katanya, “tapi aku siap mengenalnya kembali. Bersama orang baru.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Keyla merasa benar-benar tidak sendiri.
Bab 46: Pelan Tapi Pasti
Mereka tidak terburu-buru.
Keyla dan Revan memilih untuk berjalan perlahan, seperti dua orang yang tengah menyusuri jalan setapak penuh dedaunan musim gugur—tenang, berhati-hati, tapi tetap bergerak maju.
Revan bukan seseorang yang mengisi hari-hari Keyla dengan pesan setiap menit. Tapi ia hadir ketika dibutuhkan. Ia tahu saat harus bicara, dan lebih tahu lagi kapan harus diam. Dan dalam diam itu, Keyla menemukan ruang untuk bernapas. Untuk tumbuh.
Mereka mulai membiasakan hal-hal kecil bersama: membaca buku di taman yang sama, berbagi minuman hangat di malam hujan, saling mengirim catatan pendek tentang hari yang berat. Tidak ada janji manis yang dibangun tergesa-gesa, hanya kehadiran yang konsisten. Dan itu, bagi Keyla, jauh lebih berarti dari sekadar kata-kata.
Suatu sore, mereka duduk di tepi danau yang tenang. Langit di atas mereka kelabu, tapi tidak muram. Keyla menatap air yang beriak pelan dan bertanya, “Kamu nggak takut jalan sama orang yang masih banyak lukanya kayak aku?”
Revan tak menjawab langsung. Ia meraih batu kecil, melemparkannya ke permukaan air. Tiga riak memantul sebelum tenggelam.
“Aku bukan datang untuk menambal lukamu, Key. Itu bukan tugasku. Tapi kalau kamu butuh seseorang buat nemenin prosesmu menyembuhkan, aku mau.”
Keyla menoleh. “Kamu tahu, aku masih sering mimpiin Awan.”
Revan tersenyum lembut. “Itu tandanya kamu benar-benar sayang sama dia. Dan aku nggak pernah niat buat jadi ‘pengganti’. Aku di sini bukan karena kamu kosong, tapi karena kamu kuat. Dan aku pengin jalan bareng seseorang yang tahu rasanya kehilangan, tapi tetap memilih mencintai lagi.”
Keyla menggenggam tangannya perlahan. Tidak erat. Tapi cukup untuk mengatakan: aku percaya.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Awan pergi, Keyla mulai menulis sesuatu yang berbeda. Bukan tentang duka. Bukan tentang kehilangan.
Melainkan tentang harapan.
Tentang cinta yang tidak membakar, tapi menghangatkan perlahan. Tentang kehadiran yang tidak menggelegar, tapi menguatkan dalam diam.
Tentang Revan.
Dan tentang dirinya sendiri, yang akhirnya percaya bahwa mencintai lagi bukan berarti melupakan.
Tapi memilih untuk hidup sepenuhnya. Sekali lagi.
Pelan.
Tapi pasti.
Bab 47: Buku yang Belum Selesai
Keyla duduk sendiri di ruang kerja mungilnya. Di hadapannya, layar laptop menampilkan halaman kosong dengan kursor yang terus berkedip. Sudah hampir satu jam, belum satu kata pun berhasil ia tuliskan.
Buku ketiga. Itu permintaan dari penerbitnya, sekaligus harapan dari para pembacanya.
Kali ini mereka tidak ingin kisah yang sudah berlalu. Mereka ingin Keyla yang sekarang. Yang sedang jatuh cinta lagi. Yang sedang belajar membuka pintu setelah sekian lama menutup diri.
Tapi justru itulah yang membuat Keyla ragu.
Menulis tentang kehilangan itu mudah. Ia telah menjalaninya, meresapinya, menghabiskan air mata di sepanjang jalannya. Tapi menulis tentang harapan yang sedang ia bangun… terasa rapuh. Terlalu baru. Terlalu jujur.
Bagaimana jika perasaannya salah?
Bagaimana jika semua ini belum selesai, dan ia terlalu cepat menuangkannya ke dalam tulisan?
Sore itu, Revan datang membawakan dua gelas kopi favorit mereka. Ia tak langsung bertanya, hanya duduk di sofa dan menatap Keyla yang termenung di depan layar.
“Macet?” tanyanya pelan.
Keyla mengangguk, lemas. “Aku diminta nulis buku ketiga. Tentang sekarang. Tentang aku yang lagi mencoba jatuh cinta lagi. Tapi… aku belum selesai dengan diriku sendiri. Kadang aku masih ragu. Kadang aku takut ini semua cuma sementara.”
Revan diam sejenak. Lalu, seperti biasa, ia tak memberi solusi. Ia hanya berkata:
“Kalau kamu merasa bukunya belum selesai, mungkin karena ceritanya memang masih berjalan. Dan itu bukan kelemahan, Key. Itu justru kekuatan.”
Keyla menatap Revan. “Jadi aku harus nunggu?”
Revan tersenyum. “Nggak harus. Tapi kamu boleh memberi dirimu waktu. Buku yang baik bukan yang cepat selesai. Tapi yang jujur.”
Malam itu, Keyla membuka dokumen baru. Ia tidak menulis buku ketiga.
Belum.
Tapi ia mulai mencatat potongan kecil dari harinya: obrolan dengan Revan, detik-detik sunyi yang menenangkan, keraguan yang datang saat pagi, dan rasa syukur saat malam menjelang.
Ia menyimpan semuanya dalam folder yang ia beri nama: “Buku yang Belum Selesai.”
Dan untuk pertama kalinya, Keyla tidak terburu-buru menulis akhir cerita.
Karena kali ini, ia ingin menjalani kisahnya lebih dulu.
Dengan sepenuh hati.
Bab 48: Saat Rasa Itu Bertumbuh
Hari itu hujan turun sejak pagi. Rintiknya membasahi jendela apartemen Keyla, membentuk pola-pola acak yang mengalir lambat seperti kenangan. Ia duduk berselimut di sofa, buku di pangkuan, dan secangkir teh yang sudah hampir dingin.
Ponselnya berbunyi.
Pesan dari Revan:
“Hari hujan. Aku bawa roti dan sup. Mau?”
Keyla tak membalas dengan kata. Ia hanya mengirimkan emoji senyum dan ikon pintu terbuka.
Lima belas menit kemudian, Revan datang. Basah kuyup sebagian karena lupa membawa payung, sebagian lagi karena, seperti biasanya, ia tidak terlalu memedulikan dirinya saat ingin hadir untuk orang lain.
“Aku bilang jangan bawa banyak,” protes Keyla pelan, melihat tas kain di tangan Revan yang berisi lebih dari sekadar roti dan sup.
Revan hanya nyengir. “Aku suka nyiapin sesuatu buat kamu.”
Mereka makan berdua di karpet depan jendela. Sup buatan Revan hangat, sedikit asin, tapi justru membuat Keyla merasa lebih nyaman. Tak ada musik. Tak ada percakapan panjang. Hanya suara hujan yang menyelimuti mereka seperti pelukan tak terlihat.
Setelah makan, mereka duduk bersisian, memandangi kota yang samar di balik kabut hujan. Keyla bersandar sedikit di bahu Revan. Tubuhnya rileks, pikirannya tenang.
“Revan…” gumamnya nyaris tak terdengar, “aku takut bilang ini. Tapi aku rasa… aku sedang jatuh cinta lagi.”
Revan tak langsung menoleh. Ia membiarkan kata-kata itu mendarat sepenuhnya. Kemudian, perlahan, ia menggenggam tangan Keyla yang dingin.
“Keyla… kamu nggak harus bilang apa pun kalau kamu belum siap. Tapi aku senang kamu mempercayai rasa itu. Aku juga, pelan-pelan, sedang belajar mencintaimu.”
Keyla tersenyum. Ada sesuatu yang mekar di dalam dirinya. Bukan semburan emosi, bukan ledakan rasa. Tapi bunga yang tumbuh perlahan, menguatkan akar setiap harinya.
Bukan cinta yang menghapus masa lalu.
Tapi cinta yang menyambut masa depan—dengan luka yang tetap dikenang, dan harapan yang mulai tumbuh.
Malam itu, sebelum tidur, Keyla membuka folder “Buku yang Belum Selesai.”
Ia menambahkan satu halaman baru. Judulnya:
“Cinta yang Tidak Terburu-Buru.”
Dan di bawahnya, hanya satu kalimat:
“Mungkin, kali ini aku tidak takut lagi.”
Bab 49: Ketika Kenangan Tak Lagi Menyakitkan
Keyla berdiri di depan sebuah gerbang kayu tua yang penuh lumut. Di baliknya, halaman rumah kecil yang sudah lama tak ia kunjungi menyambutnya dalam diam.
Rumah itu milik orang tua Awan.
Sudah hampir dua tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana. Setelah kepergian Awan, Keyla sempat menjauh. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu banyak kenangan yang belum sanggup ia hadapi.
Namun pagi itu, undangan kecil dari Ibu Awan mengubah segalanya. Hanya sebuah pesan singkat:
“Kalau kamu sempat, mampirlah. Kita kangen.”
Dan Keyla datang.
Begitu pintu dibuka, Ibu Awan langsung memeluknya erat. Pelukannya hangat, seperti dulu, ketika Keyla masih sering datang membawa cerita tentang Awan, tentang tulisan-tulisannya, dan tentang hidup mereka yang serba sederhana tapi bahagia.
“Sudah lama, ya?” bisik Ibu.
Keyla mengangguk. “Maaf, Bu. Aku butuh waktu.”
“Tidak apa-apa, Nak. Kami tahu kamu juga terluka.”
Mereka duduk di ruang tamu yang tak banyak berubah. Di sudut, foto Awan masih berdiri dalam bingkai kayu, tersenyum dengan sorot mata yang tidak pernah bisa Keyla lupakan.
Tapi kali ini, tatapan itu tidak membuat dadanya sesak. Tidak lagi mengundang air mata deras.
Hanya... sunyi yang lembut. Seperti pelukan yang melepaskan.
“Ibu senang kamu menulis lagi,” kata Ibu Awan sambil menyuguhkan teh. “Awan pasti bangga. Dan… Ibu dengar kamu sudah punya teman dekat sekarang?”
Keyla tersenyum, malu. “Ya, Bu. Namanya Revan.”
Ibu Awan menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Teruslah hidup, Keyla. Awan tak pernah ingin kamu berhenti di lukanya.”
Keyla terdiam sejenak. Lalu berkata dengan suara nyaris bergetar, “Aku tidak pernah berniat melupakan Awan, Bu. Tapi aku juga tahu… aku harus terus berjalan.”
Ibu Awan menggenggam tangannya. “Itu bukan pengkhianatan, Nak. Itu justru bentuk cinta. Cinta yang berani tumbuh kembali.”
Sebelum pulang, Keyla berdiri sebentar di halaman belakang. Tempat Awan dulu sering membacakan puisinya di bawah pohon mangga.
Angin sore berhembus pelan. Langit di atasnya teduh, tak lagi mendung.
Keyla memejamkan mata dan berbisik dalam hati:
Terima kasih, Awan. Karena telah mencintaiku sedalam itu, aku jadi tahu bagaimana caranya bertahan. Kini, aku akan belajar mencinta lagi. Dengan caraku sendiri.
Dan untuk pertama kalinya…
Kenangan itu tak lagi menyakitkan.
Bab 50: Perjalanan Baru
Musim hujan belum benar-benar usai, tapi langit hari itu bersih. Cahaya matahari jatuh lembut menembus jendela apartemen Keyla, menerangi ruang kerja kecil tempat ia duduk, menatap layar laptop yang kini sudah tak kosong lagi.
Buku ketiganya mulai terbentuk.
Tak terburu-buru, tak dipaksakan. Tapi perlahan, halaman demi halaman, kata demi kata, mengalir dari hatinya yang mulai pulih. Buku itu bukan tentang Awan. Juga bukan hanya tentang Revan. Tapi tentang dirinya—tentang bagaimana ia belajar bertahan, patah, bangkit, dan menerima cinta yang datang tanpa paksaan.
Sore itu, Revan datang lebih awal dari biasanya. Ia membawa dua tiket kereta dan senyum yang tak bisa disembunyikan.
“Piknik?” tanya Keyla sambil tersenyum heran.
Revan menggeleng. “Perjalanan kecil. Cuma semalam. Nggak jauh. Tapi aku pengin kamu lihat sesuatu.”
Tanpa banyak tanya, Keyla mengangguk.
Beberapa jam kemudian, mereka berada di dalam kereta menuju sebuah kota kecil di pinggiran. Tempat itu bukan tempat wisata populer. Tapi Revan tahu, itu kota tempat Keyla pernah tinggal saat kecil—tempat di mana semua mimpi tentang menjadi penulis pernah tumbuh di hati seorang gadis pemalu yang suka menyendiri.
Di kota kecil itu, Revan membawanya ke rumah tua yang kosong. Bangunannya sederhana, sebagian temboknya mulai berjamur. Tapi di teras, ada pohon besar yang rindang, dan di belakangnya, ada ladang kecil yang menghadap ke barisan bukit.
“Tempat ini… dijual,” kata Revan perlahan. “Aku tahu ini tiba-tiba. Tapi aku lihat tempat ini dan langsung teringat kamu. Bukan karena bangunannya, tapi karena ruangnya. Tempat ini tenang. Seperti kamu.”
Keyla terdiam. Menyentuh dinding rumah yang kasar, merasakan hembusan angin yang membawa aroma tanah basah.
“Kamu mau tinggal di sini?” tanyanya pelan.
Revan menatapnya, lalu tersenyum. “Aku mau memulai sesuatu di sini. Buka kedai kopi kecil. Tulis cerita-cerita baru. Tapi aku nggak mau jalan sendirian.”
Keyla menunduk. Hatinya berdesir.
Ini bukan lamaran. Bukan permintaan untuk segera hidup bersama. Tapi undangan. Untuk membangun sesuatu, bersama-sama. Dari awal. Dengan ruang yang mereka ciptakan sendiri.
Perjalanan baru.
Bukan untuk melupakan masa lalu. Tapi untuk memberi tempat bagi masa depan.
Malam itu, mereka duduk di tangga kayu teras rumah kosong itu, menyaksikan bintang-bintang yang muncul malu-malu.
Keyla menggenggam tangan Revan. Tak banyak kata. Tapi ia tahu, langkah pertama telah ia ambil.
Perjalanan belum selesai. Tapi kali ini, ia tak lagi sendiri.
Komentar
Posting Komentar