LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part VI )
PART VI : LANGIT TAK PERNAH BERTANYA
Bab 51: Rumah Tanpa Nama
Sudah seminggu sejak Revan dan Keyla kembali dari kota kecil itu. Tapi pikirannya masih tertinggal di sana—di rumah tua dengan dinding kusam, di pohon rindang yang seolah menyimpan cerita, di langit malam yang penuh bintang tapi tak gaduh.
“Kenapa belum kasih nama rumah itu?” tanya Keyla suatu sore ketika mereka duduk di kafe, memperbincangkan rencana kecil mereka.
Revan mengangkat bahu. “Karena aku pikir, namanya belum ketemu. Atau belum perlu. Mungkin tempat itu belum tahu dia mau jadi apa.”
Keyla mengangguk pelan, mengerti.
Minggu berikutnya, mereka kembali ke sana. Kali ini membawa cat, alat bersih-bersih, dan semangat yang perlahan tumbuh. Mereka mulai dari hal kecil: membersihkan halaman, membuka jendela yang sudah lama tertutup, dan menjemur lembar-lembar masa lalu yang masih menempel di sudut rumah.
“Kayak bersihin diri sendiri, ya,” gumam Keyla sambil mengelap kaca jendela.
Revan yang sedang mengecat dinding tersenyum. “Persis. Tapi kita nggak usah buru-buru. Rumah ini juga, kan, perlu waktu untuk bisa jadi ‘rumah’ lagi.”
Keyla menatap langit di luar. Hatinya hangat. Rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat di mana jiwa bisa pulang.
Malam harinya, mereka duduk di bawah pohon besar di belakang rumah. Tak ada listrik, hanya lampu lentera kecil dan suara jangkrik yang bersahutan.
Keyla memeluk lututnya, menatap ke arah rumah yang perlahan mulai hidup kembali.
“Kita bakal tinggal di sini?”
Revan menoleh. “Kalau kamu mau.”
Keyla tersenyum. “Aku mau. Tapi… mungkin tidak sekarang. Aku masih punya beberapa hal yang harus diselesaikan di kota. Bukuku. Hidupku yang lama. Tapi… aku ingin tempat ini jadi bagian dari yang baru.”
Revan mengangguk. Tak ada desakan. Tak ada ketergesaan.
“Rumah ini akan nunggu kamu,” ujarnya.
Beberapa hari kemudian, di pintu depan rumah itu, Keyla menggantung sebuah papan kayu kecil. Kosong. Tanpa tulisan.
“Kenapa nggak ditulis apa-apa?” tanya Revan.
Keyla tersenyum. “Karena belum waktunya. Biar rumah ini tumbuh bersamaku. Nanti, saat waktunya tiba… nama itu akan muncul sendiri.”
Dan Revan mengerti.
Karena seperti Keyla, rumah itu sedang belajar menjadi versi terbaik dari dirinya. Bukan dengan tergesa, tapi dengan perlahan, jujur, dan sepenuh hati.
Bab 52: Halaman yang Belum Ditulis
Kertas putih di layar laptop menatap Keyla seperti mata masa depan—tenang, bersih, dan tak menuntut. Tak ada tekanan untuk menuliskan kisah dengan sempurna. Yang ada hanyalah dorongan lembut dari dalam diri: untuk jujur, untuk mengizinkan semua rasa bermuara dalam kata.
Sudah dua minggu sejak kunjungan terakhir ke rumah tua itu. Tapi pikirannya terus kembali ke sana. Pada pagi-pagi yang tenang, pada debu yang dibersihkan bersama Revan, pada papan kayu yang belum diberi nama.
Dan dari semua itu, lahirlah lembaran baru.
Buku ketiganya belum ia beri judul. Ia menyebutnya hanya dengan satu kalimat di folder: “Tentang yang Bertumbuh Setelah Luka.”
Berbeda dari dua buku sebelumnya yang penuh kesedihan dan kehilangan, kali ini, Keyla menulis dengan pelan. Ia tidak memburu plot. Ia tidak memaksa konflik. Ia hanya ingin membiarkan tokoh-tokohnya berjalan, seperti dirinya—tanpa beban, tanpa arah yang pasti, tapi penuh kejujuran.
Satu karakter utama ia ciptakan: seorang perempuan yang kehilangan orang yang paling dicintainya, lalu menemukan cinta kembali bukan dalam ledakan, tapi dalam keheningan.
Karakter itu… bukan hanya Keyla.
Tapi semua orang yang pernah patah, lalu memilih untuk tumbuh, meski perlahan.
Di tengah menulis, Revan mengirim pesan:
“Minggu depan, aku mulai renovasi dapur rumah tua itu. Biar kalau kamu datang, kita bisa bikin kopi bareng.”
Keyla tersenyum. Ia tak tahu sejak kapan kehadiran Revan tak lagi terasa sebagai gangguan. Mungkin sejak ia berhenti melawan rasa. Mungkin sejak ia berhenti mengurung dirinya dalam masa lalu.
“Jangan ubah pohon besar di belakang itu, ya,” balasnya.
“Nggak akan. Itu tempat favoritku sekarang.”
Keyla menatap kembali layar laptopnya. Tangannya mulai menari di atas keyboard, menuliskan adegan ketika tokoh perempuannya berdiri di depan rumah kosong, menolak menamai rumah itu karena tahu: rumah sejati bukan tentang papan nama, tapi tentang tempat yang membuatmu berani menjadi diri sendiri.
Dan saat ia menulis kalimat terakhir bab itu, Keyla berhenti sejenak. Hela napas panjang meluncur dari bibirnya.
Di dunia nyata, halaman hidupnya pun perlahan tertulis.
Ia belum tahu bagaimana akhirnya. Tapi sekarang, ia tak takut lagi melanjutkan.
Karena halaman yang belum tertulis… adalah ruang untuk harapan.
Bab 53: Saat Kata Menemukan Rumahnya
Langit pagi itu mendung, tapi tidak kelabu. Seperti hati Keyla, yang kini tahu bahwa tak semua mendung berarti hujan. Kadang, ia hanya datang untuk menenangkan.
Di layar laptopnya, naskah buku ketiga hampir rampung. Keyla sudah menulis hingga bab 27. Ada rasa lega, tapi juga gentar. Sebab kali ini, buku itu tak hanya tentang cerita fiksi. Di balik tokoh dan alur, ada bagian dari dirinya yang ia biarkan telanjang. Dan itu menakutkan.
Namun yang lebih besar dari rasa takut, adalah keyakinan bahwa kisah yang jujur akan selalu menemukan jalannya. Sama seperti luka yang disembuhkan dengan pelan—kata-kata pun, bila ditulis dengan hati, akan menemukan rumahnya.
Keyla baru saja mematikan laptop ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari penerbit:
“Naskahmu sudah dibaca sampai bab 20. Tim editorial sangat menyukai arah barunya. Lebih tenang, tapi terasa matang. Kami ingin rilis ini jadi andalan di musim gugur.”
Keyla terdiam. Tangannya gemetar. Bukan karena euforia, tapi karena rasa syukur yang begitu dalam.
Buku ini… benar-benar akan diterbitkan.
Namun kali ini, bukan lagi sebagai pelarian dari duka, tapi sebagai jembatan. Dari dirinya ke dunia. Dari luka ke harapan. Dari sunyi ke suara.
Sore harinya, ia bertemu Revan di kedai kecil dekat stasiun. Hujan rintik turun, dan aroma tanah basah memenuhi udara.
“Aku dapat kabar dari penerbit,” ucap Keyla sambil menyeruput cokelat hangat.
Revan mengangkat alis. “Kabar baik?”
Keyla mengangguk. “Mereka suka naskahnya. Buku ini akan terbit musim gugur nanti.”
Revan tidak bersorak. Ia hanya tersenyum, menatap Keyla dengan mata yang teduh.
“Aku nggak kaget. Kata-kata kamu memang selalu tahu caranya pulang.”
Keyla tertawa kecil. “Tapi kali ini, rasanya berbeda. Dulu aku nulis buat melarikan diri. Sekarang aku nulis buat berdamai.”
Revan mengangguk. “Dan itu yang bikin tulisanmu punya rumah. Karena kamu udah pulang ke dirimu sendiri.”
Keyla tak berkata apa-apa. Tapi dalam diamnya, ada rasa hangat yang mengalir. Bukan dari cokelat yang ia minum, tapi dari keyakinan baru yang tumbuh di dadanya.
Malam itu, di kamar apartemennya, Keyla membuka folder naskah dan mengganti nama dokumen dari “Tentang yang Bertumbuh Setelah Luka” menjadi satu judul yang muncul begitu saja di benaknya:
“Langit Tak Pernah Bertanya”
Ia tersenyum. Judul itu bukan hanya nama buku. Itu adalah perjalanan.
Dan kini, kata-katanya telah menemukan rumahnya.
Bab 54: Musim Gugur, dan Sebuah Peluncuran
Musim gugur datang seperti janji yang ditepati. Daun-daun mulai menguning, angin lebih bersuara, dan sore menjadi lebih cepat pulang. Tapi bagi Keyla, musim gugur kali ini terasa seperti babak baru yang hangat, bukan perpisahan.
Di tangan Keyla, sebuah buku baru telah lahir.
“Langit Tak Pernah Bertanya”—judul itu kini bukan hanya nama file di laptop. Ia telah berubah menjadi jilid yang dicetak rapi, dengan sampul sederhana namun kuat. Di balik setiap halamannya, tertulis cerita yang pernah membuatnya terjatuh, dan juga cerita yang membuatnya bangkit.
Peluncuran buku diadakan di sebuah toko buku independen yang tak terlalu besar, tapi punya nuansa yang akrab. Dindingnya dipenuhi rak kayu, ada aroma kopi di udara, dan cahaya kuning hangat menggantung dari lampu-lampu gantung rendah.
Keyla mengenakan kemeja putih sederhana dan celana bahan longgar berwarna krem. Tak ada riasan berlebihan. Ia ingin hadir sebagai dirinya—tanpa lapisan, tanpa topeng.
Beberapa pembaca mulai datang. Sebagian besar adalah wajah-wajah asing. Tapi ketika mata mereka bertemu dengan milik Keyla, ada yang terasa akrab: luka yang pernah sama, dan harapan yang sedang tumbuh.
Moderator acara memperkenalkannya, dan untuk pertama kalinya, Keyla berdiri di depan ruangan sebagai penulis yang bukan hanya sedang mempromosikan buku, tapi sedang membagikan hatinya.
“Buku ini lahir bukan dari kisah cinta yang sempurna,” ucapnya. Suaranya pelan tapi jelas. “Tapi dari ketidaksempurnaan. Dari duka. Dari kesedihan yang sempat membuat saya ingin menyerah. Tapi saya percaya, kata-kata punya kekuatan untuk menyembuhkan. Dan saya menulis, karena saya ingin hidup.”
Ruangan hening. Lalu satu tepuk tangan terdengar. Diikuti tepuk tangan lainnya. Dan saat Keyla mengangkat wajahnya, ia melihat Revan berdiri di belakang ruangan, tersenyum bangga.
Setelah acara, seorang perempuan muda menghampiri Keyla. Matanya sembab, tapi senyumnya tulus.
“Kak, aku kehilangan adik dua tahun lalu. Dan aku berhenti menulis sejak itu. Tapi waktu baca buku ini… rasanya seperti diberi izin untuk sedih, tanpa rasa bersalah.”
Keyla menggenggam tangan gadis itu. “Sedih itu bukan kelemahan. Ia hanya cara hati kita berkata bahwa sesuatu pernah berarti.”
Malam itu, Keyla tidak hanya meluncurkan buku. Ia membuka ruang. Untuk duka, untuk luka, untuk harapan.
Dan dalam perjalanan pulang, di dalam mobil bersama Revan, ia memeluk buku itu di dadanya.
“Terima kasih udah nggak nyerah waktu aku pengin nyerah,” bisiknya pelan.
Revan menoleh, menggenggam tangannya. “Langit nggak pernah bertanya kenapa kamu jatuh. Tapi aku selalu ingin tahu bagaimana kamu bisa bangkit.”
Dan Keyla tahu, rumah yang ia cari tak pernah jauh.
Karena rumah, kadang bukan tempat. Tapi seseorang yang mau tinggal… bahkan saat kita belum utuh.
Bab 55: Setelah Halaman Terakhir
Banyak orang berpikir bahwa akhir dari sebuah buku adalah kesimpulan dari segalanya. Bahwa setelah halaman terakhir ditutup, tak ada lagi yang perlu dikisahkan. Tapi bagi Keyla, justru di situlah hidup sebenarnya mulai berjalan.
Beberapa hari setelah peluncuran bukunya, pesan-pesan mulai berdatangan. Di email, media sosial, bahkan di kotak surat apartemennya. Cerita-cerita yang dikirim oleh orang-orang asing—tentang kehilangan, tentang luka lama, tentang mereka yang pernah merasa ingin berhenti hidup.
“Buku kakak bikin aku sadar kalau aku nggak sendirian.”
“Aku berhenti menulis puisi sejak ditinggal tunanganku. Tapi sekarang, aku mulai lagi.”
“Aku nggak tahu siapa diri aku setelah kepergian Mama. Tapi saat baca buku kakak, aku merasa dikenali.”
Keyla membaca semuanya. Satu per satu. Tak ada yang ia lewatkan. Dan setiap kata dari mereka, seperti gema yang kembali mengingatkannya bahwa apa yang pernah ia tulis bukan sekadar kisah pribadi, tapi benih dari keberanian yang bisa tumbuh di hati siapa saja.
Di hari Minggu yang cerah, Revan mengajaknya kembali ke rumah tua mereka.
“Bukan untuk renovasi,” katanya singkat. “Tapi untuk tinggal.”
Keyla terdiam saat mereka tiba di sana. Rumah itu sudah jauh berbeda—masih sederhana, tapi kini penuh warna. Ada kursi kayu di teras, tirai tipis di jendela, dan aroma kayu manis dari dapur yang menyambut sejak mereka membuka pintu.
“Ini rumahmu juga,” kata Revan saat mereka duduk di ruang tengah.
Keyla menatapnya, lalu menatap sekeliling. “Rumah yang pernah tak bernama.”
Revan mengangguk. “Tapi sekarang, sudah tahu siapa dirinya.”
Keyla berdiri, berjalan ke arah papan kayu yang dulu ia gantung kosong di depan pintu. Tangannya gemetar pelan saat ia mengambil kapur tulis dan menuliskan satu kalimat kecil:
“Tempat Pulang.”
Tak mewah. Tak rumit. Tapi cukup.
Malam itu, mereka duduk di bawah pohon besar yang dulu mereka bersihkan bersama. Langit di atas gelap, tapi penuh bintang.
“Kadang aku masih takut,” gumam Keyla. “Takut kehilangan lagi. Takut sakit lagi.”
Revan menggenggam tangannya. “Aku juga. Tapi mungkin memang bukan soal menghindari sakit. Tapi memilih siapa yang ingin kita genggam… bahkan ketika dunia runtuh.”
Keyla menoleh padanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tak merasa perlu membangun benteng.
Karena mungkin, setelah semua luka, hidup tak memberi jaminan untuk selalu bahagia. Tapi ia memberi kesempatan untuk memilih… untuk mencoba lagi.
Dan setelah semua halaman itu, Keyla sadar satu hal penting: hidup tidak berakhir saat kita jatuh.
Hidup dimulai… saat kita memilih untuk bangkit.
Bab 56: Seperti Menanam di Musim Dingin
Musim gugur perlahan menguap, digantikan oleh hawa dingin yang mulai menggigit kulit. Angin membawa serpih-serpih daun kering yang berputar-putar di pekarangan rumah tua itu, dan Keyla menatapnya dari jendela ruang kerja barunya.
Ia sedang memegang pot kecil berisi tunas tanaman rosemary. Hadiah dari seorang pembaca yang mengirim surat dengan tulisan tangan rapi:
“Tanaman ini lambat tumbuh, tapi akarnya kuat. Seperti kata-kata Kak Keyla.”
Keyla tersenyum setiap kali membaca ulang surat itu. Tak ada hadiah yang lebih indah bagi seorang penulis selain mengetahui bahwa tulisannya hidup dalam benak seseorang.
Dan kini, ia ingin menanam sesuatu. Bukan hanya dalam tulisan. Tapi di kehidupan nyata—di tanah yang dulu dipenuhi kenangan pilu, kini ia ingin menanam harapan.
Suatu pagi yang berkabut, ia dan Revan pergi ke toko tanaman di kota. Keyla memilih beberapa pot tanah liat, bibit lavender, rosemary, dan satu pohon kecil maple merah.
“Kenapa maple?” tanya Revan saat mereka hendak membayar.
Keyla menatap bibit pohon itu lama, lalu menjawab, “Karena daun maple akan tetap jatuh, meski dia indah. Tapi setiap tahun, dia tumbuh lagi. Seperti hati kita.”
Revan tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Keyla lebih erat.
Di halaman belakang rumah, mereka mulai menggali tanah. Tak banyak bicara, hanya suara sekop dan gesekan akar. Tapi dalam diam itu, ada sesuatu yang tumbuh—bukan hanya pohon, tapi kehidupan baru.
Mereka menanam bersama. Satu demi satu. Dengan tangan mereka sendiri. Di tanah yang dulu hanya dipenuhi bayangan, kini mereka mengukir jejak masa depan.
“Menanam di musim dingin itu seperti bodoh,” kata Revan sambil tertawa kecil. “Tapi mungkin cinta memang begitu. Butuh keyakinan, meski tak ada jaminan.”
Keyla tertawa juga. “Kita bukan menanam untuk esok. Tapi untuk nanti.”
Malam harinya, saat Keyla menulis di jurnalnya, ia menuliskan satu kalimat:
“Kita tak butuh musim semi untuk menanam. Kita hanya butuh harapan.”
Dan dalam harapan itu, hidup mulai bersemi, perlahan. Tak terburu-buru, tak sempurna, tapi nyata.
Karena bahkan di musim dingin… jika kau berani menanam, maka suatu hari nanti, sesuatu akan tumbuh.
Bab 57: Surat untuk Diri Sendiri
Suatu sore yang sepi, langit berwarna biru kelabu, Keyla duduk di ruang kerja dengan secangkir teh melati yang mulai mendingin di meja. Di hadapannya, selembar kertas kosong dan pena tinta hitam. Ia tidak sedang menulis naskah baru, tidak sedang menyusun cerita untuk orang lain.
Hari ini, ia menulis untuk dirinya sendiri.
Sudah lama ia ingin melakukan ini—menulis surat untuk versi dirinya yang dulu. Versi yang rapuh, yang hampir menyerah, yang pernah merasa dunia lebih baik tanpa kehadirannya. Versi yang duduk sendirian di kamar, menatap langit malam tanpa tahu apakah esok akan datang.
Tangannya gemetar sedikit saat mulai menulis:
Untuk diriku yang dulu,
Aku tahu kau lelah. Aku tahu kau sedang duduk dalam gelap, bertanya-tanya kenapa dunia begitu sunyi. Bertanya kenapa luka tak pernah selesai. Kenapa mereka yang kau cintai pergi, dan kau ditinggal sendirian.
Aku tahu betapa sering kau menangis dalam diam, berharap ada satu saja alasan untuk bertahan. Tapi yang kau lihat hanya kehampaan, dan satu-satunya suara yang kau dengar adalah pikiranmu sendiri yang memintamu berhenti.
Tapi hari ini, aku menulis padamu… karena kau tetap hidup.
Kau bertahan. Meski tak tahu untuk apa. Meski setiap hari rasanya seperti bernafas di dalam air. Meski dunia tidak berubah, kau tetap berdiri. Kau terus bangun dari tempat tidur, kau terus menulis walau tanganmu gemetar, dan kau terus mencari cahaya, walau hanya setitik.
Dan karena itu… aku hidup.
Aku hidup dengan nadi yang lebih tenang. Dengan hati yang tak lagi takut sepi. Dengan kata-kata yang tak hanya keluar dari luka, tapi juga dari harapan. Dan semuanya… karena kamu tidak menyerah.
Jadi, terima kasih. Terima kasih sudah bertahan untukku.
Maaf karena dulu aku membencimu. Karena merasa kau lemah. Padahal kau adalah bagian paling berani dariku. Bagian yang tetap berjalan, bahkan saat semua terasa tak berarti.
Hari ini aku menanam pohon, menulis buku, dan mencintai lagi. Semua itu dimulai dari satu hal kecil yang kamu lakukan:
Kamu memilih untuk bertahan.
Dan aku janji, aku tidak akan menyia-nyiakan itu.
Dengan cinta dan hormat,
Dirimu yang sekarang
Keyla meletakkan pena. Ia tak menangis. Tidak perlu. Hati yang dulu pecah kini telah menyatu, meski dengan retak-retak kecil. Tapi ia tahu, setiap retak itu adalah jalan cahaya.
Sore itu, ia membakar surat itu perlahan. Bukan untuk menghapusnya, tapi untuk melepas. Asapnya naik ke langit, mengabur di antara awan yang bergerak.
Dan Keyla berdiri, menatap langit, lalu tersenyum.
Ia tahu, langit memang tak pernah bertanya. Tapi hari ini… hatinya sudah menjawab semuanya.
Bab 58: Pelabuhan yang Tidak Lagi Sepi
Musim dingin belum pergi, tapi tak lagi menggigit seperti dulu. Di pelabuhan kecil di pinggir kota, Keyla berdiri memandangi laut yang bergelombang pelan. Di kejauhan, perahu-perahu kayu bersandar dengan tenang. Angin membawa aroma asin laut, dan suara camar melintas di udara seperti nyanyian kenangan yang lembut.
Ia memilih pelabuhan ini untuk menyendiri sebentar. Tapi seperti banyak hal lain dalam hidupnya, kesendirian kini terasa berbeda. Tak lagi berarti sepi yang menyesakkan, tapi ruang yang damai untuk bernapas.
Langkah kaki terdengar di belakangnya. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
Revan berdiri di sampingnya tanpa kata. Hanya diam, tapi diam yang tidak hampa. Diam yang penuh pengertian.
“Aku suka tempat ini,” ucap Keyla akhirnya. “Tenang. Tapi hidup.”
Revan mengangguk. “Seperti kamu sekarang.”
Keyla tersenyum kecil. “Kamu tahu... aku pikir aku tidak akan pernah bisa sampai di titik ini. Dulu, aku bahkan nggak yakin bisa melewati satu hari lagi.”
Revan menatap wajahnya yang diterpa angin. Ada keteduhan di mata perempuan itu. Luka-luka masih ada, tapi tak lagi mendikte.
“Kamu tidak sampai di sini sendiri, Key,” katanya. “Tapi yang paling penting, kamu yang memilih untuk melangkah.”
Mereka berjalan menyusuri dermaga, melewati tali-tali tambang yang berlumut dan papan-papan kayu yang mengeluarkan bunyi renyah saat dipijak.
“Kalau hidup itu pelabuhan,” kata Keyla sambil menggenggam jaketnya lebih erat, “maka selama ini aku seperti kapal rusak yang nggak tahu harus bersandar di mana.”
Revan berhenti berjalan. “Kamu bukan kapal rusak. Kamu cuma pernah karam. Tapi sekarang, kamu belajar berlayar lagi.”
Keyla menatapnya. “Dan kamu pelabuhannya?”
Revan menghela napas. “Aku? Aku bukan pelabuhan. Aku cuma seseorang yang akan jaga lilin di menara suar, supaya kamu tahu… kamu selalu bisa pulang.”
Ada hening sesaat. Lalu Keyla menunduk, menahan senyum.
“Kalimat itu bagus. Cocok untuk novelku berikutnya.”
Revan tertawa pelan. “Kamu udah mulai nulis lagi?”
Keyla mengangguk. “Belum banyak. Tapi kali ini bukan dari luka. Aku nulis karena aku bahagia. Karena aku ingin berbagi, bukan hanya meluapkan.”
Mereka duduk di bangku kayu dekat ujung pelabuhan. Langit perlahan menggelap, tapi di dada Keyla, cahaya hangat seperti lilin kecil terus menyala.
Untuk pertama kalinya, ia tidak takut.
Untuk pertama kalinya, ia tahu—pelabuhan bukan selalu tempat akhir. Kadang, itu adalah tempat untuk memperbaiki layar… sebelum berlayar lagi.
Bab 59: Ruang yang Ditinggali Cinta
Rumah tua itu kini tak lagi bergema kosong.
Tak ada lagi bunyi langkah kaki yang terasa berat karena kesendirian. Tak ada lagi jendela yang terbuka hanya untuk melihat waktu berjalan lambat. Kini, rumah itu dipenuhi suara: suara ketel air mendidih, suara halaman yang disapu angin, suara tawa kecil saat dua orang saling bertukar cerita sederhana.
Keyla duduk di ruang tengah, dikelilingi aroma roti panggang dan buku-buku berserakan di meja. Di tangannya, secangkir cokelat hangat yang baru saja dibuat Revan. Ia mengenakan sweater abu-abu kesukaannya, rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya tampak lebih tenang daripada waktu-waktu sebelumnya.
Ia menatap ruangan itu. Dindingnya masih sama. Kursinya juga. Tapi semuanya terasa berbeda—bukan karena diganti, tapi karena kini ruangan itu ditinggali cinta.
Cinta yang tumbuh perlahan. Bukan yang meledak dan membakar habis, tapi yang menghangatkan dan mengisi celah-celah sunyi. Cinta yang tidak memaksa untuk dilihat, tapi terasa dalam setiap perhatian kecil.
Revan muncul dari dapur dengan sepiring kecil pai apel.
“Kalau ini nggak enak,” katanya, “kita sepakat untuk pura-pura saja.”
Keyla tertawa. “Deal.”
Mereka duduk berdampingan, tidak saling menggenggam, tapi saling dekat. Tak butuh penjelasan panjang, tak butuh pengakuan yang megah. Mereka sudah saling tahu—cinta bukan soal seberapa besar kata ‘aku mencintaimu’ diteriakkan. Tapi seberapa sabar seseorang tinggal, bahkan saat tak ada yang sempurna untuk ditawarkan.
Keyla menatap ke luar jendela. Taman kecil mereka mulai tumbuh. Lavender yang ia tanam beberapa minggu lalu mulai memperlihatkan kelopak ungu yang rapuh. Rosemary mengeluarkan wangi samar setiap kali angin lewat. Dan di pojok pagar kayu, pohon maple kecil itu masih berdiri kokoh.
“Lucu ya,” gumam Keyla, “dulu aku pikir cinta itu datang dari luar. Dari seseorang yang bisa menyelematkanku. Tapi ternyata, cinta yang paling penting itu… harus kubiarkan tumbuh dari dalam.”
Revan menoleh, matanya lembut. “Kamu sudah biarkan itu tumbuh?”
Keyla mengangguk pelan. “Ya. Sekarang… aku mulai mencintai diriku yang dulu, yang sekarang, dan yang akan datang.”
Hari itu, saat matahari mulai tenggelam di balik atap rumah, Keyla menulis satu kalimat di jurnalku:
“Ruang yang ditinggali cinta bukan hanya rumah yang dibangun dua orang. Tapi juga hati yang tak lagi takut ditinggalkan.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Keyla tak merasa kekurangan apa pun.
Ia tak lagi mencari pelarian.
Ia sudah pulang.
Bab 60: Langit yang Kini Bertanya Balik
Dulu, langit hanya diam.
Ia biru, abu, kelabu, atau gelap, tapi tak pernah berkata-kata. Bagi Keyla, langit adalah simbol ketidakpedulian semesta. Tempat semua pertanyaan dilempar, tapi tak ada satu pun jawaban yang kembali.
Tapi hari ini, saat ia berdiri di loteng rumah, membuka jendela dan membiarkan cahaya pagi menyapu wajahnya, langit terasa berbeda.
Ia tak lagi sunyi.
Keyla menggantungkan selembar kain putih kecil di tali jemuran. Kain itu bertuliskan kutipan dari tulisannya sendiri, hasil bordiran tangannya:
“Tidak semua kehilangan harus dicari gantinya. Kadang, kita hanya perlu menerima bahwa yang hilang memang tak seharusnya tinggal.”
Angin menyentuh kain itu, membuatnya berkibar perlahan, seolah mengangguk.
Di dadanya, Keyla merasakan sesuatu mengembang. Bukan euforia. Bukan pula rasa puas karena berhasil melewati badai. Tapi semacam kedamaian, yang tenang dan dalam. Seperti danau yang tak terusik, tapi tetap hidup di bawah permukaannya.
Revan muncul membawa dua cangkir teh. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan satu padanya.
Mereka duduk berdua di lantai kayu loteng, punggung bersandar pada tembok, memandangi langit yang tak lagi terasa asing.
“Langit hari ini… seperti menatap balik ya,” gumam Keyla.
Revan menoleh pelan. “Maksudmu?”
“Dulu aku merasa langit cuma jadi tempat untuk melempar luka. Tapi sekarang, rasanya dia balas menatapku. Seolah bertanya balik.”
Revan tersenyum. “Dan kalau langit bertanya… kamu jawab apa?”
Keyla diam sejenak. Meneguk tehnya, lalu menjawab lirih.
“Aku akan bilang: aku masih di sini. Mungkin tidak utuh, tapi aku hidup. Aku mencintai, bukan untuk dilengkapi, tapi untuk berbagi. Aku tidak lagi takut patah, karena aku tahu… aku bisa tumbuh dari reruntuhan.”
Ia menoleh pada Revan. “Dan kamu?”
Revan mengangguk. “Aku akan jawab… aku bahagia melihatmu sampai sejauh ini.”
Hari itu langit berwarna biru bersih. Tak ada awan, tak ada tanda hujan. Tapi yang paling indah adalah bukan warna langitnya, melainkan perasaan bahwa akhirnya… langit itu tidak lagi membisu.
Ia seperti berkata:
“Aku tidak pernah diam. Kau saja yang dulu terlalu tenggelam untuk mendengar.”
Dan kini, Keyla bisa mendengar. Bisa merasakan. Bisa menjawab.
Ia tak lagi bertanya, karena hidup sendiri kini telah menjadi jawaban.
Komentar
Posting Komentar