LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part VIII )

 PART VIII :  LANGIT TAK PERNAH BERTANYA 





Bab 71: Pulang yang Tidak Selalu Harus ke Rumah

Setelah bertahun-tahun menghindar, Keyla akhirnya kembali ke kota kelahirannya. Kota kecil di pinggir laut, dengan angin asin dan suara ombak yang dulu begitu akrab. Tapi langkahnya terasa berat saat ia turun dari bus malam itu. Bukan karena cuaca, tapi karena beban ingatan.

Di sinilah segalanya dimulai—dan di sinilah banyak hal berakhir.

Rumah masa kecilnya masih berdiri. Catnya sudah pudar, gerbangnya berkarat, tapi bentuknya tak banyak berubah. Tapi Keyla tidak masuk. Ia hanya berdiri di seberang jalan, menatap rumah itu dari jauh.

Ibunya sudah lama tiada. Ayahnya pergi. Tidak ada siapa-siapa di dalam rumah itu sekarang, kecuali kenangan.

Ia tak datang untuk menemui siapa pun. Ia datang untuk menemui dirinya sendiri—versi dirinya yang dulu pernah tinggal di rumah itu. Gadis kecil yang senang menulis puisi di belakang pintu, yang pernah berlari ke pantai saat dunia terasa terlalu besar.


Keesokan harinya, Keyla berjalan ke tempat favoritnya dulu: dermaga tua yang sekarang sepi.

Ia duduk di ujung kayu yang menghadap laut. Ombak memukul tiang-tiang dermaga, dan angin membawa bau asin yang membuat dadanya sesak… tapi juga tenang.

Di sana, ia membuka jurnalnya dan mulai menulis:

“Aku pikir selama ini aku lari dari rumah. Tapi ternyata, yang kutinggalkan bukan bangunan itu. Yang kutinggalkan adalah diriku sendiri—yang dulu terlalu kecil untuk memikul semua luka.”

“Hari ini aku kembali. Bukan untuk menetap, tapi untuk berdamai. Aku datang bukan sebagai orang yang sama, tapi sebagai seseorang yang akhirnya bisa berkata: aku memaafkan masa lalu.”


Sore hari, ia sempat lewat di depan toko buku kecil tempat ia dulu sering bersembunyi. Pemiliknya masih sama, Pak Surya. Rambutnya sudah hampir putih seluruhnya, tapi senyumnya tetap hangat.

“Keyla?” tanya pria itu, sedikit ragu.

Keyla tersenyum. “Iya, Pak. Saya balik sebentar.”

Pak Surya tertawa kecil. “Tulisannya masih jalan?”

“Masih. Bahkan lebih hidup dari sebelumnya.”

“Bagus. Karena dunia selalu butuh cerita—apalagi dari orang yang pernah merasa hilang.”


Sore itu, sebelum matahari benar-benar tenggelam, Keyla kembali ke dermaga. Ia menutup jurnalnya, lalu berdiri.

Ia tidak akan tinggal di kota ini. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa telah benar-benar pulang. Bukan ke rumah yang berdinding kayu, tapi ke bagian dirinya yang dulu tertinggal di sini: seorang gadis kecil yang butuh dimaafkan. Dan akhirnya… dimaafkan.

Pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat.
Kadang, pulang adalah saat kamu berhenti membenci siapa dirimu dulu.
Saat kamu bisa melihat masa lalu tanpa ingin menghapusnya.

Dan hari itu, Keyla tahu: ia sudah pulang.

Bab 72: Menjadi Rumah untuk Diri Sendiri

Ada satu malam di mana Keyla duduk di balkon rumah kontrakannya. Hanya ada suara jangkrik, angin lembut yang membelai rambutnya, dan langit malam yang dipenuhi bintang. Bukan langit kota, tapi langit desa tempat ia mengajar—tempat yang sunyi, tapi justru menghidupkan kembali bagian dalam dirinya yang pernah mati rasa.

Ia menyesap teh hangat, lalu membuka jurnal barunya. Kali ini, bukan untuk menulis luka. Tapi untuk merekam rasa damai.

Selama ini, Keyla sibuk mencari rumah. Dalam bentuk orang lain, pelukan, hubungan, bahkan kesibukan. Tapi satu per satu semuanya lepas. Hingga ia menyadari, mungkin rumah tidak pernah benar-benar berada di luar sana.

Mungkin rumah… adalah dirinya sendiri.


Menjadi rumah bagi diri sendiri bukan hal yang mudah. Ia harus belajar menerima hari-hari ketika ia merasa lemah. Memaafkan bagian dari dirinya yang dulu sering salah mengambil keputusan. Memberi ruang bagi ketidaksempurnaan, tanpa menghakimi.

Ia mulai melatih diri untuk bertanya hal-hal kecil, setiap pagi:

  • “Apa yang kamu butuhkan hari ini?”

  • “Apa yang bisa kamu lakukan agar tubuhmu merasa aman?”

  • “Kalau kamu temanmu sendiri, apa yang akan kamu katakan padamu hari ini?”

Terdengar sederhana. Tapi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur, dan melakukannya, butuh keberanian yang besar.


Suatu sore, seorang anak kecil bernama Dinda—murid kesayangannya—menarik tangan Keyla sambil berkata, “Bu Keyla, kalau aku besar nanti… aku mau kayak Ibu. Kayak rumah yang bisa didatangi orang kalau sedih.”

Kalimat itu membuat Keyla nyaris menangis.

Anak kecil itu tidak tahu bahwa Keyla pernah merasa seperti puing-puing. Tapi sekarang, seseorang bisa merasa aman bersamanya.

Dan barangkali itu tanda… bahwa ia benar-benar sudah menjadi rumah. Bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi dirinya sendiri.


Malam itu, ia menulis:

“Rumah bukan tentang atap dan dinding. Tapi tentang perasaan diterima. Dan hari ini, aku akhirnya bisa duduk dengan diriku sendiri… tanpa ingin kabur.”

“Aku tidak sempurna. Tapi aku adalah satu-satunya tempat yang bisa kugunakan untuk berteduh selamanya. Maka hari ini, aku akan menjagaku seperti aku ingin dijaga.”

Keyla memejamkan mata.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa utuh.

Bab 73: Kita Tidak Perlu Diselamatkan untuk Menjadi Bahagia

Dulu, Keyla percaya bahwa seseorang akan datang dan menariknya keluar dari kekacauan hidup. Entah kekasih yang sabar, sahabat yang sempurna, atau keajaiban yang tiba-tiba menghapus semua rasa sakit.

Ia tumbuh dengan cerita-cerita dongeng. Tentang putri yang diselamatkan. Tentang bahagia yang datang setelah seseorang menjemputmu dari kehancuran.

Tapi kenyataan tak pernah berjalan seperti itu.

Tak ada yang datang saat ia menangis sendirian malam-malam. Tak ada pangeran berkuda putih ketika ia bangun dengan mata sembab dan dunia terasa terlalu berat.

Dan sekarang, ia tahu… itu bukan akhir dari segalanya.


Pagi itu, Keyla duduk di teras rumah baca. Anak-anak belum datang. Suasana masih sepi. Ia menyiram tanaman, membersihkan meja, lalu membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri.

Tak ada yang istimewa. Tapi ada damai yang ia rasakan di dada—rasa cukup yang perlahan tumbuh, bukan karena orang lain, tapi karena dirinya sendiri.

Beberapa tahun lalu, jika seseorang bertanya padanya apa yang membuatnya bahagia, jawabannya mungkin akan berkisar pada hal-hal besar: hubungan yang berhasil, pencapaian, atau cinta yang dibalas.

Tapi hari ini, jawabannya berubah:

Bahagia adalah bisa bangun pagi tanpa rasa sesak.
Bahagia adalah menyeduh kopi tanpa tergesa.
Bahagia adalah tidak berharap seseorang datang untuk memperbaiki hidupmu.


Hari itu, seorang relawan baru datang. Namanya Raka. Ia cukup ramah, canggung, dan penuh tanya. Dalam sebuah percakapan santai, ia bertanya pada Keyla, “Apa yang membuatmu tetap bertahan di sini? Di desa, di rumah baca, di tengah kesederhanaan ini?”

Keyla berpikir sebentar. Lalu menjawab, “Karena aku tak sedang menunggu siapa-siapa. Dan tidak sedang lari dari apa pun. Aku tinggal karena aku memilih. Bukan karena ingin diselamatkan.”

Raka terdiam. Lalu berkata pelan, “Itu… terdengar seperti kebebasan.”

Keyla tersenyum. “Mungkin memang begitu.”


Di malam harinya, Keyla menulis:

“Aku tidak menunggu lagi. Bukan karena aku menyerah, tapi karena aku tahu: tidak semua luka harus dijahit oleh tangan orang lain. Kadang, kita bisa belajar mengobatinya sendiri.”

“Bahagia tidak datang setelah seseorang datang menyelamatkanmu. Bahagia datang saat kamu berhenti menunggu dan mulai hidup.”

Dan malam itu, Keyla tidur dengan perasaan ringan.
Karena akhirnya, ia tahu: ia tidak harus diselamatkan untuk menjadi utuh.

Bab 74: Saat Aku Tidak Lagi Mengejar, Tapi Menemukan

Keyla pernah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dengan berlari.

Mengejar cinta.
Mengejar pengakuan.
Mengejar arti dari dirinya sendiri.

Ia pikir semakin cepat ia berlari, semakin besar kemungkinan ia akan menemukan sesuatu—atau seseorang—yang bisa mengisi kekosongan di dalam dadanya. Tapi semakin keras ia mengejar, semakin lelah jiwanya. Dan ketika ia akhirnya berhenti, bukan karena sampai… melainkan karena hampir hancur, ia menyadari satu hal:

Yang ia kejar selama ini bukan sesuatu yang hilang, melainkan sesuatu yang belum pernah tumbuh.


Di tengah hari yang biasa, di antara tumpukan buku dan suara anak-anak membaca keras-keras di rumah baca, Keyla duduk di pojok ruangan sambil mencatat. Bukan tentang mimpi-mimpi besar, tapi tentang hal-hal kecil yang membuat hidupnya utuh:

  • Tawa kecil dari Dinda saat membaca kata “jeruk” dengan logat lucu.

  • Matahari sore yang masuk melalui jendela, membuat lantai kayu terlihat hangat.

  • Raka yang tanpa diminta membetulkan rak yang miring, lalu tersenyum kikuk saat dipuji.

Keyla tidak mengejar kebahagiaan hari itu. Tapi ia menemukannya, dalam kesederhanaan.


Kadang-kadang, saat ia duduk diam dan mendengarkan hidup seperti musik latar, ia merasa seperti akhirnya berada di tempat yang seharusnya. Bukan tempat secara fisik. Tapi keadaan hati.

“Dulu aku pikir aku harus mengejar banyak hal supaya layak dicintai,” katanya suatu malam pada Raka, yang menemaninya membersihkan rumah baca.

Raka menoleh, penasaran. “Dan sekarang?”

“Sekarang aku sadar… yang perlu aku kejar bukan cinta orang lain. Tapi keberanianku sendiri untuk berhenti merasa kurang.”

Raka tak menjawab. Tapi senyumnya tulus.
Dan itu cukup.


Malam itu, Keyla menulis:

“Aku tidak lagi berlari. Tidak lagi mencari dengan panik. Dan justru saat aku berhenti, aku menemukan: dunia tidak harus berisik untuk menjadi penuh.”

“Kadang, yang kita cari bukan di ujung jalan. Tapi di dalam dada kita sendiri, menunggu kita diam sebentar… dan mendengarnya.”

 

Bab 75: Kita Bisa Bahagia Tanpa Skenario Sempurna

Keyla pernah menuliskan skenario hidupnya sendiri saat remaja.

Ia membayangkan akan menikah di usia 25, punya rumah mungil dengan jendela besar, suami yang penyayang, dan hidup yang tenang. Ia pikir, jika semua berjalan sesuai rencana, maka ia akan bahagia.

Tapi hidup bukan naskah film. Tak semua adegan berjalan sesuai garis yang kita buat. Pada usia 25, Keyla justru mengalami titik terendah hidupnya. Hubungan yang kandas, kehilangan ibunya, dan perasaan hampa yang tak kunjung reda.

Semua yang ia rencanakan runtuh.
Tapi anehnya… hidup tetap berjalan.
Dan perlahan-lahan, kebahagiaan muncul, meski tidak dengan cara yang ia bayangkan.


Pagi itu, ia tertawa bersama anak-anak saat bermain tebak kata. Hujan turun pelan di luar rumah baca, tapi di dalam ruangan, kehangatan tersebar melalui suara tawa dan cahaya lampu kecil.

Raka menyuguhkan teh hangat, dan berkata, “Ini mungkin bukan hidup ideal versi majalah, ya. Tapi… rasanya pas.”

Keyla tersenyum. “Kadang yang tidak sempurna… justru paling bisa kita syukuri.”

Dulu, ia pikir bahagia adalah rumah besar dan cinta yang meledak-ledak. Tapi kini ia tahu, bahagia bisa juga hadir dalam hal sederhana:

  • Menyelesaikan satu buku tanpa terganggu notifikasi.

  • Tidur nyenyak tanpa mimpi buruk.

  • Ada seseorang yang mendengarkan, tanpa perlu menyelamatkan.


Sore harinya, ia berjalan menyusuri pematang sawah, hanya untuk merasakan tanah di bawah kakinya. Tidak ada pencapaian besar hari itu. Tidak ada pengakuan dari dunia. Tapi ia merasa utuh. Tenang. Damai.

Ia sadar, kebahagiaan bukan datang karena semuanya sesuai rencana, melainkan karena ia bersedia membuka ruang dalam dirinya untuk menerima kenyataan—bahkan yang tidak ia minta.

“Mungkin hidupku tidak seperti skenario yang pernah kutulis,” tulisnya malam itu, “tapi bukan berarti hidupku gagal.”

“Karena kini, aku bisa tertawa tanpa alasan. Menangis tanpa malu. Dan mencintai tanpa takut kehilangan.”

“Dan itu sudah lebih dari cukup.”


Malam itu, hujan turun lebih deras. Tapi Keyla tertidur dengan selimut tipis dan hati yang hangat. Tidak ada skenario sempurna. Tapi ada ketulusan yang tumbuh dari kenyataan.

Dan ternyata… itu pun bisa disebut bahagia.

Bab 76: Luka yang Tidak Lagi Kubenci

Suatu malam, Keyla berdiri di depan cermin.

Ia menatap wajahnya sendiri cukup lama, seolah sedang mencari sesuatu yang lama hilang. Garis-garis halus di sekitar matanya, sedikit bekas luka di dagu, dan sorot mata yang dulu penuh keraguan, kini tampak lebih tenang.

Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia berani mengakui:

Bahwa ia pernah sangat terluka.
Bahwa ia pernah membenci dirinya sendiri karena terlalu lemah.
Tapi malam itu… ia tidak ingin membenci lukanya lagi.


Ada masa-masa dalam hidup Keyla yang tidak ingin ia ingat.

Saat ia dikhianati oleh seseorang yang ia cintai sepenuh hati.
Saat ia merasa dunia mempermainkannya.
Saat ia menjerit dalam hati, berharap seseorang—siapa pun—menemukan dan memeluknya.

Dulu, tiap kenangan itu muncul, dadanya sesak. Ia ingin menepis semuanya, menghapus, melupakan. Tapi luka yang ditolak tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi, lalu kembali ketika kita sedang paling lemah.

Namun seiring waktu, Keyla belajar sesuatu:
Luka tidak harus dibenci untuk bisa sembuh.
Kadang, kita hanya perlu duduk bersamanya, lalu berkata, “Aku tahu kamu sakit, tapi sekarang kamu tidak sendiri.”


Suatu hari, ia menulis surat. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya yang dulu:

“Kepada aku yang pernah tersesat,

Maaf karena dulu aku terlalu keras padamu.
Maaf karena aku memaksamu untuk terlihat kuat, padahal kamu sedang runtuh.

Tapi terima kasih karena kamu tidak menyerah.
Terima kasih karena kamu tetap berjalan, meski langkahmu terseok.”

Surat itu ia lipat dan selipkan di buku hariannya.
Ia tidak perlu membacanya setiap hari. Tapi ia tahu, di sana tertulis pengakuan yang utuh: bahwa ia berdamai dengan masa lalunya.


Luka di hati Keyla masih ada. Tapi kini, mereka tak lagi menyakitkan.
Ia tidak lagi bertanya kenapa semua itu terjadi.
Ia hanya berkata, “Terima kasih sudah membentukku.”

Malam itu, ia menutup matanya, dan berkata pelan:

“Aku tidak membenci lukaku. Karena mereka yang mengajarkanku cara mencintai hidup tanpa syarat.”

 

Bab 77: Pelan-Pelan, Aku Pulang

Keyla tidak pernah menyangka bahwa ‘pulang’ bukan soal tempat. Bukan tentang atap atau alamat, bukan tentang seseorang yang menanti di ujung jalan. Pulang, ia sadari, adalah tentang perasaan damai—bahwa ia tidak lagi ingin lari dari dirinya sendiri.

Pagi itu, ia berjalan sendirian melewati jalan setapak menuju bukit kecil di pinggiran desa. Udara dingin menyapa, tapi tidak menusuk. Langit abu-abu, nyaris mendung, tapi Keyla menyukainya. Tidak semua hari harus cerah, pikirnya. Kadang, awan pun punya cara sendiri untuk menenangkan.

Langkahnya pelan. Bukan karena lelah, tapi karena ia tak lagi terburu-buru.


Dulu, hidup Keyla seperti lomba tanpa garis akhir. Ia mengejar validasi, cinta, tempat untuk menetap, bahkan alasan untuk bertahan. Tapi semakin ia berlari, semakin jauh ia dari dirinya sendiri. Ia lupa bahwa yang paling ia butuhkan bukan pelarian, tapi penerimaan.

Kini, ia berhenti. Bukan karena kalah. Tapi karena sadar: tempat terbaik untuk kembali adalah ke dalam dirinya yang sesungguhnya.

Dan setiap langkah kecil hari ini, adalah bagian dari perjalanan pulang itu.


Di puncak bukit, Keyla duduk sendirian. Angin berhembus pelan. Ia memeluk lututnya dan menatap sawah-sawah di kejauhan. Tidak ada drama. Tidak ada momen besar. Tapi ada rasa yang tumbuh di dadanya: cukup.

Perlahan, ia tersenyum. Lalu menutup mata.

“Aku tidak lagi hilang. Aku hanya sedang kembali, pelan-pelan, ke tempat aku merasa utuh.”

“Pulang, ternyata bukan soal siapa yang menunggu. Tapi tentang bagaimana kita memeluk diri kita sendiri, dan berkata: akhirnya, aku menerimamu apa adanya.”


Sore itu, Keyla kembali ke rumah baca. Anak-anak menyambutnya dengan pelukan dan cerita kecil tentang apa yang mereka baca hari ini. Raka mengangkat alis, “Dari mana saja?”

“Dari atas bukit,” jawab Keyla. “Mencari… atau mungkin, menemukan sesuatu.”

Raka tertawa pelan. “Ketemu?”

Keyla menatap mata lelaki itu, lalu mengangguk. “Iya. Aku ketemu diriku sendiri.”

Dan sore itu, Keyla tahu: pulang bukan titik. Tapi perjalanan.
Dan selama ia terus melangkah dengan hati terbuka, ia akan selalu menemukan jalan pulang.

Bab 78: Bahagia Tidak Harus Ribut-Ribut

Ada masa ketika Keyla berpikir bahwa kebahagiaan harus datang dengan suara gemuruh.

Bahagia, dalam bayangannya yang dulu, adalah kejutan besar, pencapaian hebat, atau pengakuan dari orang-orang yang dulu mengabaikannya. Ia ingin bahagia yang menggelegar—yang bisa membuat dunia akhirnya memandang dan berkata, “Lihat, dia berhasil.”

Tapi hidup tidak selalu seperti itu.
Kebahagiaan ternyata lebih sering datang diam-diam.


Pagi itu, Keyla duduk di tangga depan rumah baca sambil menyeruput teh. Tidak ada yang istimewa. Anak-anak belum datang, udara masih dingin, dan jalanan desa belum terlalu ramai. Tapi dadanya penuh.

Penuh ketenangan.
Penuh rasa syukur yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata panjang.
Penuh perasaan: aku baik-baik saja sekarang.

Ia tidak sedang tertawa terbahak. Tidak sedang merayakan sesuatu. Tapi hatinya… terasa hangat.


Saat Raka datang dan duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara, Keyla tidak merasa canggung. Ia tidak merasa perlu mengisi keheningan dengan obrolan.

“Diam juga kadang bisa jadi bentuk cinta, ya,” ujar Keyla tiba-tiba.

Raka menoleh, sedikit tersenyum. “Iya. Karena yang tulus… tidak butuh bising untuk terasa.”

Keyla mengangguk. Ia mulai mengerti.

Bahagia itu bukan ketika orang lain iri padamu.
Tapi ketika kamu tidak iri pada siapa pun lagi.


Hari itu, anak-anak datang satu per satu. Ada yang berlarian, ada yang menangis karena bukunya basah kehujanan, ada yang duduk diam sambil menggambar. Rumah baca tak selalu teratur. Tapi Keyla tak merasa pusing. Ia tahu—ini bagian dari kehidupan yang ia pilih. Dan setiap ketidaksempurnaannya adalah bagian dari kebahagiaannya.

Ia tidak lagi menunggu bahagia datang dalam bentuk besar.
Karena sekarang, ia tahu:

Bahagia bisa hadir dalam napas yang tidak sesak.
Dalam makan siang sederhana yang terasa cukup.
Dalam orang-orang yang diam-diam hadir tapi tak pernah pergi.


Malamnya, saat hujan turun pelan di luar jendela, Keyla menulis di buku hariannya:

“Bahagia tidak harus ribut-ribut. Kadang ia datang dalam bentuk senyum kecil di akhir hari. Dalam rasa tenang yang tidak perlu dijelaskan.”

“Dan malam ini, aku tahu: aku sudah tidak mengejar bahagia. Aku sudah menemuinya.”

 

Bab 79: Cinta yang Tidak Meminta Apa-Apa

Cinta pernah membuat Keyla kelelahan.

Dulu, ia mencintai dengan seluruh dirinya—dengan harapan untuk dibalas, untuk dimiliki, untuk dijadikan tujuan seseorang. Ia memberi dan memberi, sambil terus menunggu: "Kapan aku cukup?"

Tapi yang datang hanya kecewa.
Bukan karena ia kurang cinta, tapi karena ia belum tahu:
Bahwa cinta yang sesungguhnya, tidak mengikat, tidak menuntut, tidak memaksa.


Hari itu, Keyla membantu Raka menyusun rak buku baru di rumah baca. Tidak ada hal romantis yang besar. Tidak ada sentuhan mesra seperti dalam drama. Tapi di sela-sela debu kayu dan obrolan ringan, Keyla merasa… hangat.

Raka tidak pernah memaksa Keyla untuk membuka diri lebih cepat. Ia tidak pernah berkata “Aku mencintaimu,” tapi ia selalu hadir. Ia membawa teh saat Keyla lelah. Ia memperbaiki atap rumah baca yang bocor. Ia duduk diam saat Keyla butuh menangis tanpa dijelaskan.

Dan Keyla mulai mengerti, bahwa cinta tidak harus selalu diberi label keras-keras untuk bisa terasa.


Suatu sore, mereka duduk di beranda. Matahari nyaris tenggelam. Keyla bertanya dengan suara pelan, “Kamu nggak pernah tanya, aku punya perasaan apa ke kamu?”

Raka hanya menoleh dan tersenyum.

“Aku nggak butuh jawaban kalau kamu belum siap. Aku tetap akan ada di sini. Nggak untuk dimiliki, tapi untuk menemani.”

Dan di situlah Keyla merasa dadanya sesak—bukan karena sedih, tapi karena disentuh dengan cara yang tidak menyakitkan.

Itulah pertama kalinya ia sadar:
Cinta terbaik bukan yang membuat kita tergila-gila, tapi yang membuat kita merasa aman menjadi diri sendiri.


Di rumah, Keyla menuliskan satu kalimat di buku hariannya malam itu:

“Aku mencintainya… mungkin. Tapi yang lebih penting, aku tenang bersamanya.”

“Dan kalau itu bukan cinta, aku tak tahu lagi apa yang lebih indah dari rasa seperti itu.”

Ia tahu, entah nanti kisah ini akan berakhir dengan kata bersama atau tidak, ia akan tetap bersyukur. Karena untuk pertama kalinya, ia merasakan cinta yang tidak meminta apa-apa… selain menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Bab 80: Tidak Semua yang Berakhir Itu Gagal

Keyla pernah mengira bahwa akhir dari sebuah hubungan—apapun bentuknya—berarti kegagalan. Bahwa jika sesuatu tidak bertahan selamanya, maka semua yang telah dilalui menjadi sia-sia.

Tapi hidup, ternyata tidak sesempit itu.

Kini, duduk di beranda rumah baca sambil menatap langit sore, Keyla mengingat banyak hal yang telah selesai dalam hidupnya. Cinta pertamanya. Persahabatan yang renggang. Impian lama yang ditinggalkan di tengah jalan.

Dan ia akhirnya bisa tersenyum sambil berkata dalam hati:

“Tidak apa-apa kalau sesuatu selesai. Tidak semua yang berakhir itu gagal.”


Keyla ingat ketika hubungannya dengan Revan hancur. Dulu, itu adalah pusat semestanya. Ia pikir, kehilangan Revan berarti kehilangan segalanya. Tapi waktu menunjukkan bahwa luka bisa menjadi pintu. Bahwa akhir dari satu bab adalah kesempatan untuk menulis halaman baru yang lebih jujur.

Karena kebenaran pahitnya adalah ini: kadang, cinta tidak cukup.
Dan kadang, yang paling mencintai pun harus tahu kapan melepaskan.


Bukan hanya tentang cinta.

Dulu, Keyla bercita-cita menjadi penulis besar. Ia ingin dikenal, ingin karya-karyanya dibaca banyak orang. Tapi kenyataan membawanya ke rumah baca kecil, di sudut desa yang bahkan tidak punya jaringan internet stabil.

Apakah itu kegagalan?

Tidak.

Karena hari ini, seorang anak kecil bernama Kinan menarik-narik ujung bajunya dan berkata, “Kak Keyla, aku suka cerita yang Kakak tulis di papan baca kemarin. Bisa nulis lagi, nggak?”

Dan di mata Kinan, Keyla sudah menjadi penulis besar—karena tulisannya menyentuh hati kecil yang sedang tumbuh.


Kita diajarkan sejak kecil bahwa yang bertahan itu hebat, yang langgeng itu menang. Tapi Keyla tahu sekarang, ada hal-hal yang selesai bukan karena gagal, tapi karena sudah cukup.

Sudah memberi pelajaran. Sudah membuat tumbuh. Sudah menemani sejauh yang bisa.

Dan itu pun layak dihargai. Layak dikenang. Tanpa marah, tanpa dendam.


Malam itu, Keyla menulis dengan tenang:

“Terima kasih untuk hal-hal yang sudah selesai. Untuk orang-orang yang datang lalu pergi. Untuk mimpi-mimpi yang hanya sampai setengah jalan.”

“Karena berkat mereka, aku tahu: tidak semua yang berakhir itu gagal. Ada akhir yang justru membuatku menjadi aku yang sekarang.”

 

Bersambung..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh