LANGIT TAK PERNAH BERTANYA ( part ⅤⅠⅠ )

 PART ⅤⅠⅠ :  LANGIT TAK PERNAH BERTANYA 



Bab 61: Tentang Pulang, yang Tidak Selalu ke Tempat yang Sama

Kereta melaju tenang di atas rel, melewati hamparan sawah yang mulai menguning dan bukit-bukit kecil yang menyembul di kejauhan. Di dalamnya, Keyla duduk di dekat jendela, matanya menatap pemandangan yang terus berubah. Tapi pikirannya justru kembali ke satu titik yang sangat lama ia hindari: rumah masa kecilnya.

Sudah hampir delapan tahun sejak terakhir kali ia ke sana.

Delapan tahun sejak ia meninggalkan kampung halamannya, membawa koper penuh luka dan dada yang sesak. Ia pergi dengan alasan mengejar mimpi, tapi jauh di dalam, ia tahu ia juga sedang lari.

Dari rasa kehilangan.

Dari pertengkaran yang tak pernah usai dengan ibunya.

Dari bayangan ayah yang meninggal terlalu mendadak, terlalu diam.


Kereta berhenti di stasiun kecil yang sepi. Keyla menarik napas dalam, merapatkan syalnya, lalu turun. Udara di kota kecil itu masih sama: dingin dan lembab, dengan aroma tanah yang familiar. Langkahnya perlahan menyusuri jalan menuju rumah lama itu—rumah kayu tua di pinggir jalan utama, yang dikelilingi pagar rendah dan pohon mangga tua di sudut halaman.

Saat berdiri di depan pagar, Keyla terdiam cukup lama.

Rumah itu tak banyak berubah. Masih sama dengan ingatannya. Tapi kali ini, tidak ada kemarahan. Tidak ada amarah yang membakar dadanya seperti dulu. Yang ada hanya perasaan seperti mengangkat buku lama dari rak—berdebu, tapi masih bisa dibaca.

Pintu rumah terbuka. Seorang perempuan tua keluar, mengenakan kain batik dan kerudung lusuh. Wajahnya sedikit kaget, lalu berubah sendu.

“Ibu…”

Keyla menyebut kata itu perlahan. Seperti belajar mengejanya lagi untuk pertama kali.

Ibunya mengangguk pelan, tidak berkata apa-apa. Tapi air mata langsung mengalir di pipinya.

Dan saat Keyla melangkah masuk ke dalam pelukan itu, ia tahu… pulang bukan tentang tempat. Tapi tentang keberanian untuk datang dengan hati yang tak lagi sama.


Malamnya, Keyla duduk di kamar lamanya yang sempit dan penuh kenangan. Foto masa kecilnya masih tergantung di dinding. Buku-buku lama masih tersimpan rapi. Ia mengambil salah satunya—buku harian yang pernah ia isi saat remaja.

Membukanya perlahan, ia menemukan sebuah tulisan di halaman pertama:

“Suatu hari nanti, aku ingin pulang dan tidak merasa asing.”

Keyla tersenyum.
Hari itu akhirnya datang.

Bukan karena semuanya telah berubah. Tapi karena ia yang sudah berbeda. Dan saat kita berubah, pulang tak harus berarti kembali ke masa lalu. Pulang bisa juga berarti berdamai. Memberi tempat baru bagi yang lama. Memaafkan, meski tidak semua luka bisa dijelaskan.

Bab 62: Jalan-jalan yang Dulu Membuatmu Lari

Pagi di kota kecil itu selalu datang dengan lambat. Udara masih basah, dedaunan masih menyimpan embun, dan jalan-jalan belum sepenuhnya terbangun. Di sinilah Keyla melangkah, menyusuri kembali tempat-tempat yang dulu ia hindari dengan hati penuh amarah.

Langkahnya membawa ia ke gang sempit di belakang sekolah menengahnya. Dulu, tempat itu adalah jalur cepat untuk lari—bukan hanya dari guru, tapi dari ejekan teman-teman yang tak pernah memahami kesepiannya. Di sana, dindingnya masih penuh coretan lama. Beberapa warna cat sudah pudar, tapi satu tulisan masih terbaca:

“Hidup bukan soal menang. Kadang, cukup bertahan pun sudah luar biasa.”

Keyla berhenti. Tangan kirinya menyentuh dinding itu.

Dulu, ia membaca kalimat itu saat duduk menangis, setelah dihina karena tampilannya yang ‘tidak modis’, karena ia lebih suka buku daripada gosip, karena ia pendiam. Ia pikir ia akan melupakan semua itu. Tapi ternyata, ia tidak lupa. Hanya saja, sekarang ia tak lagi luka.

Kini ia tahu: rasa sakit waktu itu memang nyata, tapi bukan akhir.


Keyla melanjutkan langkahnya ke taman kecil di ujung kota. Tempat itu pernah menjadi pelariannya. Ia sering duduk di ayunan tua, membaca atau hanya menatap langit, menunggu waktu pulang yang terasa terlalu lambat. Tapi tempat itu juga saksi satu peristiwa yang dulu membekas tajam: ketika ayahnya datang menjemput dengan wajah lelah, namun tetap tersenyum, meski hatinya pasti penuh beban.

Taman itu kini lebih sepi. Rumputnya lebih tinggi, dan ayunan itu berderit pelan saat disentuh angin. Tapi saat Keyla duduk di sana, ia memejamkan mata dan merasakan semuanya kembali—bukan untuk menyiksa diri, tapi untuk memberi tempat bagi kenangan.

Ia menatap ke langit, lalu berkata dalam hati:

"Ayah, aku sudah baik-baik saja. Terima kasih sudah menjadi pelindungku, bahkan dalam diam."


Perjalanan hari itu ditutup dengan satu langkah terakhir: melewati rumah lama teman yang pernah menyakitinya. Dulu, tempat itu adalah simbol dari luka yang tak pernah ia mengerti. Tapi kali ini, ia hanya lewat. Tidak berhenti. Tidak menoleh lama.

Keyla tersenyum kecil.

Ada hal-hal yang tidak perlu diperbaiki.

Ada luka yang tak perlu dijelaskan.

Dan ada jalan-jalan yang dulu membuatmu lari—kini bisa kau lalui dengan kepala tegak.


Di halte tua, ia menunggu angkot seperti dulu. Tapi sekarang, ia membawa sesuatu yang tak pernah ia bawa sebelumnya: kedamaian.

Dan saat angkot datang, Keyla naik, duduk di pojok dekat jendela, dan untuk pertama kalinya ia menatap jalan-jalan kota kecil itu bukan sebagai tempat yang menahannya, tapi sebagai awal dari siapa ia sekarang.

Bab 63: Menjadi Perempuan yang Tak Lagi Bersembunyi

Untuk waktu yang lama, Keyla hidup dengan perasaan seperti sedang duduk di belakang panggung—melihat orang lain tampil, bicara, bersinar—sementara dirinya bersembunyi di balik tirai, takut salah langkah, takut suara dan keberadaannya tak cukup layak didengar.

Namun, pagi ini berbeda.

Di sebuah aula komunitas kecil di pusat kota, dengan kursi-kursi yang tak penuh tapi hangat, Keyla berdiri di depan mikrofon. Tangannya gemetar, tapi matanya teguh. Di hadapannya, duduk beberapa perempuan: muda, tua, tangguh, tapi dengan luka-luka yang sama dalamnya seperti dirinya dulu.

Ia membuka catatan kecil dari saku—tapi tak membacanya.

“Namaku Keyla,” ucapnya. Suaranya sedikit parau. “Dan aku di sini bukan karena aku sudah menang, tapi karena aku akhirnya berhenti melarikan diri.”

Hening sesaat. Lalu ia melanjutkan.


“Aku tahu rasanya hidup dengan dada yang sesak karena ingin dimengerti, tapi terlalu takut untuk bicara. Aku tahu rasanya berpura-pura kuat karena tidak ingin membebani siapa pun. Dan aku tahu… betapa beratnya mencintai diri sendiri ketika dunia terus memberitahu bahwa kita tidak cukup.”

Ia mengangkat kepalanya. Wajah-wajah di depannya menatap dengan tenang, beberapa dengan mata berkaca.

“Tapi aku di sini karena ada satu titik dalam hidupku… di mana aku sadar: tidak ada yang akan menyelamatkanku kalau aku sendiri tidak memilih untuk menyelamatkan diriku.”

“Pernah,” lanjutnya dengan suara lebih tegas, “aku menulis di jurnal, ‘Aku hanya ingin tidak merasa asing dengan tubuh dan pikiranku sendiri.’ Butuh waktu. Butuh jatuh, butuh hilang arah. Tapi aku sampai.”

Keyla berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya jatuh seperti hujan pelan.


“Aku tahu beberapa dari kalian masih di fase itu. Fase menunggu seseorang memahami kalian sebelum kalian berani membuka diri. Tapi aku ingin kalian tahu… kita tidak harus sempurna dulu untuk mulai bicara. Tidak harus bahagia dulu untuk mengaku sedang berjuang. Dan tidak harus ‘baik-baik saja’ untuk tetap melangkah.”

Ia tersenyum, dan kali ini, senyumnya utuh.

“Aku berdiri di sini hari ini bukan karena aku sudah sembuh sepenuhnya. Tapi karena aku ingin menjadi bagian dari ruang yang aku harap dulu pernah ada untukku: ruang yang mendengar, tanpa menghakimi. Ruang yang memeluk, tanpa bertanya terlalu banyak.”

Beberapa orang bertepuk tangan pelan.

Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang terasa seperti pintu terbuka. Bukan karena akhirnya semua luka hilang, tapi karena luka itu kini tidak lagi jadi aib. Ia adalah bagian dari perjalanan. Ia adalah bagian dari cahaya.

Keyla turun dari panggung kecil itu, lalu duduk di antara para perempuan lain—bukan lagi sebagai bayangan yang diam, tapi sebagai suara yang hadir.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan kekuatan yang bukan lahir dari kemarahan atau luka, tapi dari keberanian untuk terlihat, meski belum selesai.

Bab 64: Surat untuk Diri Sendiri

Keyla duduk di meja kayu kecil yang menghadap jendela. Di luar, hujan turun perlahan. Tidak deras, hanya seperti bisikan. Seolah langit pun tahu bahwa hari ini bukan waktunya gaduh, tapi tenang—karena ia akan menulis sesuatu yang selama ini hanya tertinggal di dalam dada.

Bukan puisi. Bukan esai.
Tapi surat. Untuk satu-satunya orang yang paling lama ia abaikan: dirinya sendiri.

Ia mengeluarkan selembar kertas. Menarik napas panjang. Lalu mulai menulis.


Untuk Keyla, yang dulu, yang hampir berhenti.

Aku tahu kamu masih sering merasa sendiri.
Kamu terlalu diam, tapi pikirannya terlalu bising.
Kamu tertawa di luar, tapi dadamu sepi.
Aku tahu semua itu karena aku adalah kamu, yang akhirnya bertahan lebih lama dari yang kamu bayangkan.

Kamu pernah berpikir bahwa dunia lebih baik tanpa kamu.
Kamu pernah menangis di sudut kamar, berharap pagi tidak datang.
Kamu pernah terlalu marah, lalu terlalu lelah.
Kamu ingin berhenti. Tapi kamu tidak.

Dan itu adalah keberanian yang tidak semua orang tahu.


Terima kasih karena tetap bernapas, meski dunia rasanya menenggelamkan.
Terima kasih karena terus berjalan, meski langkahmu gemetar.
Terima kasih karena tetap menulis, meski tak ada yang membaca.

Kamu mungkin tidak menyadari,
tapi semua luka yang kamu bawa… suatu hari nanti akan menjadi cahaya bagi orang lain.

Hari ini, aku melihatmu.
Aku memahami kamu.
Dan aku memeluk kamu, sepenuh hati.

Jangan lagi merasa asing dengan diri sendiri.
Karena kamu cukup.
Kamu selalu cukup.

Salam hangat,
Keyla—yang hari ini berdiri karena kamu yang dulu tidak menyerah.


Keyla menatap surat itu lama sekali. Lalu ia melipatnya rapi, memasukkannya ke dalam amplop, dan menuliskan tanggal hari itu.

Ia tidak berniat mengirimkannya ke mana-mana.
Surat itu bukan untuk dibaca orang lain.
Surat itu adalah simbol bahwa luka-luka masa lalu kini telah diberi nama, diakui, dan disayangi.

Kadang, kita menunggu pengakuan dari luar—padahal yang paling kita butuhkan adalah kata “aku melihatmu” dari diri sendiri.

Dan hari itu, Keyla akhirnya benar-benar melihat dirinya sendiri.

Bab 65: Musim yang Baru, Tanpa Harus Melupakan Musim Lama

Musim berganti.

Hujan mulai jarang turun, udara pagi menjadi lebih kering, dan cahaya matahari yang dulu terasa terlalu terang kini terasa hangat. Di kota kecil tempat Keyla kembali menyusun dirinya, waktu tidak berjalan cepat—tapi cukup tenang untuk membiarkannya tumbuh.

Pagi itu, ia membuka jendela kamar dan membiarkan angin masuk. Ia menyiapkan secangkir teh, lalu duduk di kursi rotan yang sudah mulai rapuh di sudut teras rumah ibunya. Dari sana, ia bisa melihat jalan kecil yang dulu terasa menyesakkan, kini tampak seperti koridor masa lalu yang penuh pelajaran.

Bukan semua luka yang sembuh.

Tapi semua luka sudah dikenali. Dan itu cukup.


Keyla kini menjadi sukarelawan di sebuah rumah baca kecil di kampung sebelah. Ia mengajar menulis kepada anak-anak dan remaja, bukan untuk menjadikan mereka penulis hebat, tapi agar mereka punya tempat menuangkan perasaan yang tak bisa diucapkan. Ia tahu betul—kadang yang kita butuh bukan panggung, tapi ruang aman.

Di ruang baca itulah ia pertama kali mendengar seorang anak perempuan bernama Rani membacakan puisinya sendiri dengan suara bergetar. Usianya 13, rambutnya diikat sembarangan, matanya selalu menunduk. Tapi kata-katanya? Jujur. Tulus. Seperti suara hati yang pernah hilang.

Setelah sesi selesai, Rani mendekat dan bertanya dengan lirih, “Kak Keyla, gimana sih caranya supaya nggak takut terus?”

Keyla tersenyum. Ia memegang tangan kecil itu dan menjawab, “Bukan soal tidak takut, Ran. Tapi soal terus datang, meski masih takut.”

Rani mengangguk pelan. Dan dalam matanya, Keyla melihat dirinya sendiri di masa lalu—dan juga versi dirinya yang baru: seseorang yang tidak menolak musim lama, tapi bersedia hidup di musim yang baru.


Malamnya, Keyla duduk kembali di ruang kamarnya. Ia mengambil buku catatan yang hampir penuh, lalu menulis satu paragraf di halaman terakhir:

"Aku tidak mencari akhir bahagia. Aku hanya ingin hidup yang jujur—dengan semua patah, penuh cinta, dan keberanian kecil untuk tetap muncul setiap hari, walau kadang dengan hati yang rapuh."

Musim baru datang bukan dengan kejutan besar, tapi dengan langkah kecil yang terus dilakukan.
Dan Keyla, untuk pertama kalinya, tidak ingin melupakan musim lama.
Karena dari sanalah ia belajar bagaimana caranya bertahan.

Bab 66: Ketika Yang Kau Tulis, Jadi Jembatan untuk Orang Lain

Keyla tak pernah menyangka bahwa tulisan yang ia bagi diam-diam, pada malam-malam sepi atau pagi yang lengang, bisa menjangkau lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan.

Semuanya dimulai dari satu unggahan sederhana. Sebuah puisi pendek yang ia salin dari jurnalnya ke laman komunitas menulis daring. Ia tidak menyisipkan nama lengkap, hanya inisial dan satu kalimat pengantar: “Untuk kamu yang masih memilih bertahan hari ini, meski tidak tahu sampai kapan.”

Keesokan harinya, ketika ia membuka pesan masuk, puluhan balasan datang.

“Aku membaca ini dan menangis. Terima kasih, aku merasa tidak sendirian lagi.”
“Kak, bolehkah aku mencetak ini dan menempelkannya di kamar?”
“Tulisanmu membuatku menunda keputusan buruk malam tadi…”

Keyla membaca satu per satu, dengan tangan gemetar dan dada hangat. Ada sesuatu yang lahir dari sana—bukan hanya rasa syukur, tapi tanggung jawab yang baru: bahwa setiap kata bisa jadi jembatan untuk seseorang yang sedang berdiri di tepi.


Hari-hari selanjutnya, Keyla mulai mengumpulkan tulisan-tulisan lamanya. Puisi pendek, potongan prosa, surat-surat kecil untuk diri sendiri—semua ia pilih, ia sunting, ia beri judul.

Ia tidak menulis sebagai ahli. Ia menulis sebagai teman.

Buku kecil itu ia beri nama: Langit Tak Pernah Bertanya, Tapi Ia Selalu Mendengar.

Ia tidak mencetaknya dalam jumlah besar. Hanya beberapa puluh eksemplar, cukup untuk perpustakaan kota, rumah baca, dan beberapa teman komunitas.

Namun, saat seseorang yang tak ia kenal mengunggah foto halaman bukunya dengan caption:

“Aku tidak tahu siapa penulis ini. Tapi dia seperti mengenalku tanpa perlu melihat wajahku.”

…Keyla menutup matanya, dan membiarkan air mata jatuh. Bukan sedih. Tapi lega.

Dulu, ia menulis untuk bertahan.
Sekarang, ia menulis untuk menemani orang lain bertahan.


Pada sebuah sore yang tenang, ia diundang oleh sebuah podcast komunitas kecil untuk berbagi tentang perjalanan menulis dan pemulihan. Suara pembawa acara ramah, suasananya hangat.

Ketika ditanya, “Apa yang ingin kamu sampaikan untuk mereka yang merasa tidak didengar?”

Keyla menjawab dengan tenang:

“Kadang kita menunggu dunia bertanya, padahal yang kita butuh hanya satu ruang untuk berbicara. Kalau dunia belum menyediakan ruang itu, buatlah. Tulis. Gambar. Bersuara. Bukan untuk mengubah dunia langsung, tapi untuk menjangkau satu orang yang butuh kamu.”

Hening sebentar.

Lalu, suara tepuk tangan kecil dari kru terdengar di belakang.

Dan Keyla tahu, satu demi satu, jembatan kecil sedang dibangun.

Bukan jembatan dari popularitas. Tapi dari kejujuran.

Dan itu cukup.

Bab 67: Orang-Orang yang Diam-Diam Mendoakanmu

Keyla selalu merasa ia berjalan sendirian. Di masa-masa tergelap, ia percaya bahwa tak ada satu pun yang benar-benar peduli. Bahwa kepergiannya pun tak akan diingat, apalagi ditangisi.

Tapi ternyata, tidak selalu seperti itu.

Suatu hari, saat sedang merapikan koleksi buku di rumah baca, seorang perempuan paruh baya menghampirinya. Rambutnya disanggul, wajahnya penuh garis-garis kehidupan. Ia memperhatikan Keyla lama, lalu bertanya pelan, “Kamu Keyla, ya?”

Keyla menoleh, sedikit bingung. “Iya, Bu… saya Keyla.”

Perempuan itu tersenyum. “Saya Bu Indah. Teman ibumu waktu muda. Waktu kamu menghilang dulu… kami semua khawatir. Ibuku sering cerita tentang kamu. Saya sendiri ikut bantu cari info, diam-diam. Kami kirim doa, meskipun tak tahu kamu ada di mana.”

Keyla tercekat. Ia tak tahu harus menjawab apa.


Beberapa hari kemudian, ia menerima paket dari sepupunya, Lila, yang tinggal di kota lain. Di dalamnya, ada selembar surat.

“Kak Keyla… maaf kalau aku jarang bicara. Tapi sejak kecil, Kakak selalu jadi inspirasiku. Dulu aku diam-diam nyontek puisi Kakak di belakang buku harian. Waktu Kakak ‘hilang’, aku terus nanyain ke Ibu. Aku tahu Kakak pasti sedang berjuang. Dan aku tahu Kakak akan kembali. Doaku nggak pernah putus.”

Keyla menutup surat itu dengan tangan gemetar.

Ternyata, dalam senyap, ada cinta yang tidak ia lihat.


Lalu datang pesan dari seorang guru SMA-nya, yang entah bagaimana menemukan akun menulisnya di internet:

“Keyla. Saya ingat kamu. Murid yang selalu duduk di pojok kelas, tapi menulis dengan penuh rasa. Saya simpan satu puisimu dulu, lho. Kamu tulis saat hujan deras. Sekarang saya tahu kamu masih menulis. Teruskan. Kamu punya suara yang menyembuhkan.”

Air mata Keyla jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena hangat.

Selama ini, ia begitu sibuk menyembunyikan diri karena takut tak diinginkan, hingga lupa bahwa beberapa orang diam-diam menunggu kabarnya.
Bahwa ada yang mendoakan dalam hening.
Ada yang tetap percaya, bahkan ketika ia merasa hancur.

Dan cinta seperti itu... tak perlu megah. Ia cukup hadir, tanpa pamrih.


Malam itu, Keyla menulis satu kalimat di jurnalnya:

“Ternyata, aku tidak sendirian. Aku hanya terlalu tenggelam dalam luka hingga lupa menengok ke belakang—tempat di mana doa-doa diam-diam masih menggantung.”

Ia memeluk dirinya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar terhubung.

Bukan hanya dengan masa lalu.
Tapi dengan orang-orang yang tetap tinggal, meski ia pernah menghilang.

Bab 68: Belajar Memaafkan Orang yang Tidak Pernah Meminta Maaf

Keyla pernah berpikir bahwa maaf hanya bisa diberikan kalau ada permintaan maaf. Bahwa pengampunan adalah balasan, bukan keputusan. Tapi waktu mengajarkan hal yang berbeda.

Sore itu, ia duduk sendirian di taman kota. Di tangannya, buku kecil catatan harian yang sudah lama tak disentuh. Ia membacanya satu per satu. Halaman demi halaman berisi luapan kemarahan, kekecewaan, dan luka-luka yang terlalu lama ia simpan.

Nama-nama orang yang pernah meninggalkan, mengkhianati, meremehkan, bahkan menghancurkannya… semuanya tertulis di sana. Rapi. Penuh emosi. Seperti sejarah yang menolak dilupakan.

Dan untuk pertama kalinya, ia membaca semuanya tanpa menangis.


Ada seseorang yang dulu sangat ia percayai. Seorang sahabat yang menghilang tepat saat Keyla berada di titik terendah. Ia menunggu pesan, panggilan, bahkan sekadar tanda bahwa ia tak benar-benar ditinggalkan.

Tapi tak ada.

Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu hidup bahagia. Terlihat sukses, dikelilingi tawa. Tak pernah kembali, tak pernah meminta maaf. Bahkan seolah tak pernah merasa bersalah.

Dulu, hal itu membakar dada Keyla dengan amarah.

Kini, rasanya... kosong.

Dan di dalam kekosongan itu, ia akhirnya menemukan sesuatu yang lebih ringan: keinginan untuk tidak lagi membawa beban itu.


Memaafkan bukan berarti melupakan.

Memaafkan bukan berarti menerima perlakuan buruk.

Memaafkan, bagi Keyla, artinya tidak lagi mengizinkan luka lama mengatur arah hidupnya.

Ia menulis satu surat terakhir dalam buku itu—bukan untuk dikirimkan, tapi untuk dirinya sendiri.

"Aku memilih memaafkanmu. Bukan karena kamu pantas. Tapi karena aku ingin bebas. Aku sudah terlalu lama membawa bayangmu ke mana-mana. Aku sudah terlalu lama membiarkan luka itu berbicara untukku. Hari ini, cukup sudah."

Keyla menutup bukunya, lalu berdiri.

Langit mulai berubah warna. Jingga menyelinap di antara awan, dan angin sore menyentuh wajahnya dengan lembut. Seperti pelukan dari semesta.

Memaafkan orang yang tidak pernah meminta maaf adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada diri sendiri.

Dan Keyla akhirnya bisa melangkah dengan lebih ringan.


Malam itu, ia berkata dalam hati sebelum tidur:

"Tidak semua luka butuh balasan. Kadang, luka hanya butuh kita untuk berhenti menggaruknya."

Dan untuk pertama kalinya, ia tidur dengan damai.

Bab 69: Cinta Tidak Selalu Datang Sebagai Romansa

Keyla duduk di bawah pohon flamboyan yang tengah bermekaran. Kelopak-kelopaknya berjatuhan perlahan, menghiasi tanah seperti lembar-lembar surat yang belum sempat dikirim. Hari itu tidak istimewa, tidak pula menyakitkan. Hanya tenang—dan bagi Keyla, itu lebih dari cukup.

Seorang teman sesama relawan, Dion, datang membawa dua cangkir kopi dari warung seberang. Ia duduk di samping Keyla tanpa bicara, seperti biasa. Mereka jarang berbincang panjang, tapi selalu nyaman dalam diam yang tidak canggung.

Setelah beberapa saat, Dion bertanya pelan, “Pernah kepikiran jatuh cinta lagi, Key?”

Keyla tersenyum kecil. “Dulu, cinta buatku itu ya… soal pasangan. Soal romansa yang rumit dan menyakitkan.”

Dion mengangguk, menunggu.

Keyla menatap langit yang berwarna abu-abu lembut. “Tapi sekarang, aku rasa cinta bisa datang dalam bentuk yang lebih sederhana. Kadang, dia hadir dalam bentuk teman yang selalu bawa kopi hangat tanpa diminta. Atau anak-anak yang memelukku usai sesi baca. Atau bahkan dari caraku menulis surat untuk diriku sendiri.”

Ia menatap Dion, mata mereka saling bertemu. “Aku tidak menolak cinta. Aku hanya tidak lagi memaksanya harus berupa pelukan dari seseorang yang mencintaiku secara romantis.”

Dion tersenyum. “Cinta itu luas, ya?”

“Luas dan tidak harus ribut,” jawab Keyla.


Beberapa minggu kemudian, rumah baca mengadakan pameran karya kecil-kecilan. Anak-anak memamerkan puisi, lukisan, dan cerita pendek mereka. Beberapa orang tua datang. Para guru, tetangga, bahkan seseorang dari kantor desa.

Di sudut ruang, ada satu meja kecil berisi tumpukan fotokopi buku kecil Keyla: Langit Tak Pernah Bertanya. Seseorang meletakkan catatan kecil di sana.

“Saya tidak mengenalmu, tapi tulisanmu membuat saya memeluk anak saya lebih erat malam kemarin. Terima kasih.”

Keyla membaca pesan itu berulang kali.
Dan hatinya kembali hangat.


Malamnya, ia menulis:

“Aku tidak lagi menunggu cinta yang datang dalam bentuk janji atau ciuman. Kadang, cinta adalah seseorang yang membacakan puisimu dengan suara gemetar. Kadang, cinta adalah tawa anak-anak yang memanggil namamu dengan semangat. Kadang, cinta adalah dirimu sendiri, yang memaafkan diri hari ini tanpa syarat.”

Ia menutup jurnalnya dan menarik napas dalam.
Lalu tersenyum.

Cinta memang tidak selalu datang sebagai romansa.
Tapi ia selalu datang—jika kita bersedia melihat dengan cara yang baru.

Bab 70: Surat yang Tak Pernah Dikirim, Tapi Tetap Menyembuhkan

Di balik rak buku tua di kamar kecilnya, Keyla menyimpan sebuah kotak kayu. Tak ada hiasan, hanya ukiran halus berbentuk daun di permukaannya. Kotak itu tak pernah dibuka sembarangan. Isinya terlalu pribadi. Terlalu sunyi.

Isinya: surat-surat. Puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus. Semua ditulis tangan. Semua ditujukan kepada orang-orang yang pernah singgah—dan menyisakan luka.

Ada surat untuk ayahnya, yang pergi tanpa pernah benar-benar pamit. Ada surat untuk sahabat yang berubah menjadi asing. Surat untuk dirinya sendiri di masa lalu. Bahkan surat untuk seseorang yang pernah sangat ia cintai, tapi tak pernah mencintainya kembali.

Semua surat itu tak pernah dikirim.

Dan memang tidak perlu.


Suatu malam, hujan turun deras. Gemuruh petir menyelingi langit, dan lampu di rumah sempat padam sebentar. Dalam gelap itu, Keyla duduk bersila, membuka kotaknya. Ia mengambil selembar surat lama.

“Aku tidak membencimu. Aku hanya kecewa, karena aku sempat percaya. Tapi hari ini aku sadar—pergi darimu bukan kelemahan, melainkan bentuk penghormatan terakhir pada diriku sendiri.”

Tangannya gemetar saat membacanya ulang. Tapi tidak ada air mata. Hanya rasa lega. Seolah beban yang dulu terasa menyesakkan kini sudah tak lagi menggenggam lehernya.

Ia tersenyum.

Lalu membuka surat berikutnya. Dan berikutnya.

Malam itu, Keyla membaca puluhan suratnya sendiri. Bukan untuk meratapi, tapi untuk mengingat: betapa jauh ia sudah berjalan. Betapa ia pernah patah berkali-kali, dan tetap memilih hidup.


Menjelang tengah malam, ia menulis satu surat baru.

Tapi kali ini, bukan untuk siapa-siapa.

Hanya untuk dirinya sendiri, yang hari itu memilih membuka luka-luka lama… bukan untuk menyakiti, tapi untuk menyembuhkan.

“Terima kasih, Keyla. Karena tidak membiarkan kesedihan membuatmu kejam. Karena memilih menulis, alih-alih membalas. Karena kamu mengerti: tak semua perasaan perlu dikirimkan ke luar—beberapa cukup dituliskan, agar hati punya ruang untuk bernafas kembali.”


Di pagi hari, Keyla membakar sebagian kecil surat di halaman belakang. Bukan karena ingin melupakan, tapi sebagai simbol: bahwa ia sudah selesai menyimpannya dalam tubuh.

Dan yang tersisa sekarang, hanya abu.
Dan ketenangan.

Surat-surat itu tak pernah sampai. Tapi mereka menyelamatkan Keyla.

Karena ternyata, yang paling butuh membaca semua itu…
Adalah dirinya sendiri.


BERSAMBUNG ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh