Langit Tak Selalu Biru


 Langit Tak Selalu Biru


Bab 1: Pagi yang Tak Lagi Sama

Pagi itu, matahari tidak bersinar terang seperti biasanya. Awan kelabu menggantung rendah di langit Jakarta, mencerminkan hati Naya yang berat. Di meja makan, segelas kopi yang ia buat untuk Damar masih mengepul, padahal pria itu sudah tidak ada di rumah sejak seminggu lalu.

Naya menatap kursi kosong di seberangnya. Biasanya Damar akan duduk di sana, membaca koran sambil sesekali melemparkan candaan receh yang selalu berhasil membuat Naya tertawa, meski hari sedang buruk. Tapi pagi ini, hanya ada hening dan detak jarum jam yang berjalan lambat.

Satu minggu lalu, Damar memutuskan pergi. Bukan karena tidak cinta, tapi karena dia merasa lelah menjadi seseorang yang bukan dirinya. Lima tahun menikah, mereka sudah melalui banyak hal—dari pindah kota, kehilangan pekerjaan, sampai keguguran anak pertama mereka. Semua itu mengikat mereka, tapi juga perlahan mengikis sesuatu dalam diri masing-masing.

Damar pernah berkata, “Aku masih sayang kamu, Naya. Tapi aku kehilangan diriku sendiri.” Dan hari itu, Damar pergi tanpa membawa marah, tanpa membawa dendam—hanya koper kecil dan pelukan yang lama.

Naya masih menyimpan surat yang Damar tinggalkan di atas meja dapur. "Maaf, bukan kamu yang salah. Aku hanya perlu kembali mengenali diriku sendiri. Jika takdir membawa kita bertemu lagi, mungkin saat itu aku adalah aku yang lebih utuh."

Naya menangis saat membacanya pertama kali. Tapi hari ini, ia hanya membaca ulang surat itu dengan senyum tipis. Ia mulai mengerti: mencintai seseorang juga berarti mengizinkan mereka menemukan kebahagiaannya sendiri, meski bukan bersamamu.

Bab 2: Jalan Pulang

Tiga bulan berlalu. Naya masih sendiri, tapi tidak lagi kesepian. Ia mulai menulis lagi, sesuatu yang telah lama ia tinggalkan. Kamar kerja kecil di rumah itu kembali hidup, dipenuhi buku catatan, pena warna-warni, dan kertas-kertas berisi cerita. Menulis menjadi caranya menyembuhkan diri.

Suatu sore, ia pergi ke toko buku tempat ia dan Damar dulu sering menghabiskan waktu. Di sudut rak fiksi, ia bertemu dengan seseorang.

"Naya?"

Suara itu familiar. Ia menoleh dan mendapati Raka, teman kuliahnya dulu. Mereka berbincang lama, seperti dua orang yang pernah saling kenal tapi terpisah waktu. Tak ada romantisme, hanya ketulusan dua jiwa yang sama-sama belajar tentang kehilangan.

Raka juga baru bercerai. Sama seperti Naya, ia sedang belajar menerima bahwa tak semua hubungan harus bertahan untuk bisa dihargai. Mereka sering bertemu setelah itu, berbagi cerita tanpa tekanan. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk saling menemani.

Bab 3: Mengikhlaskan

Enam bulan sejak kepergian Damar, Naya menulis cerpen berjudul "Langit Tak Selalu Biru". Isinya adalah kisah mereka—kisah cinta yang tidak selalu berakhir dengan bersama, tapi tetap penuh makna.

Cerpen itu viral di media sosial. Banyak yang merasa terwakili. Banyak yang akhirnya belajar bahwa kehilangan bukan kutukan, tapi jalan menuju pengenalan diri yang lebih dalam.

Di akhir cerpen itu, Naya menulis: "Aku mencintainya, dan itu tak pernah berubah. Tapi kini aku tahu, mengikhlaskan bukan berarti melepaskan cinta. Mengikhlaskan berarti mencintai tanpa menggenggam."

Dan pada pagi yang cerah, dengan langit yang biru namun tak lagi menyesakkan, Naya menutup jendela kamarnya dan tersenyum.

Ia telah pulang. Bukan kepada siapa pun, tapi kepada dirinya sendiri.

Bab 4: Surat dari Masa Lalu

Suatu siang, ketika Naya membuka laci yang lama tidak disentuh, ia menemukan sebuah amplop cokelat kecil tanpa nama pengirim. Di dalamnya, ada selembar surat dan foto lama. Surat itu dari Damar.

"Naya, jika kamu membaca ini, mungkin aku tidak akan pernah tahu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal: aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tapi cinta yang tulus tidak seharusnya membuat seseorang kehilangan dirinya. Aku pergi untuk kembali menjadi diriku, agar cinta itu tetap murni, tidak berubah jadi luka. Terima kasih telah mengizinkanku pergi dengan damai. Dan jika suatu hari kamu telah bahagia tanpa aku, maka doaku telah dikabulkan."

Naya menangis, tapi bukan karena sedih. Ia menangis karena hatinya dipenuhi kehangatan. Damar baik-baik saja. Dan ia pun demikian.

Bab 5: Langit Baru

Setahun setelah semuanya dimulai, Naya berdiri di tepi pantai tempat ia dan Raka memutuskan untuk membuka lembaran baru. Bukan karena cinta yang menggebu, tapi karena saling memahami. Karena dari luka, mereka belajar cara mencintai dengan tenang.

"Kamu yakin?" tanya Raka.

"Aku tidak mencari pengganti. Aku hanya ingin berjalan bersama seseorang yang tahu rasanya kehilangan dan memilih untuk tetap bertahan," jawab Naya.

Langit sore itu jingga. Indah, tenang, dan tidak biru. Tapi Naya tahu, langit tidak harus selalu biru untuk tetap indah.

Dan ia siap menulis kisah baru, bukan karena melupakan, tapi karena telah selesai berdamai.

Bab 6: Janji Tanpa Kata

Beberapa bulan setelah pertemuan mereka di tepi pantai, Naya dan Raka tidak buru-buru menjalin hubungan. Mereka tetap berjalan berdampingan, memberi ruang bagi masing-masing untuk tetap tumbuh. Setiap langkah diambil perlahan, bukan karena ragu, tetapi karena mereka menghargai setiap proses.

Suatu malam, Naya mengundang Raka ke acara peluncuran bukunya—sebuah kumpulan cerpen yang sebagian besar lahir dari luka dan pemulihan. Raka duduk di barisan depan, menyimak setiap kata Naya di atas panggung.

"Kisah-kisah ini bukan tentang perpisahan," ucap Naya, "tapi tentang keberanian untuk terus mencintai, meski arah cinta itu berubah."

Setelah acara selesai, Raka menghampirinya. Mereka tidak banyak bicara. Ia hanya menggenggam tangan Naya sebentar, dan itu sudah cukup. Tak perlu janji manis, tak perlu label.

Kadang, cinta tidak datang dengan gemuruh. Ia hadir sebagai keheningan yang menguatkan. Dan di malam itu, Naya tahu: tidak semua cinta harus dimiliki. Tapi beberapa cinta, cukup untuk dijalani.

Langit malam itu penuh bintang. Tak biru, tapi berkilau.

Epilog: Rumah yang Baru

Beberapa tahun kemudian, di sebuah desa kecil di pinggiran Yogyakarta, Naya membuka sebuah rumah baca untuk anak-anak. Namanya: "Langit Tak Selalu Biru". Tempat itu bukan hanya rumah buku, tapi rumah bagi hati-hati yang mencari kehangatan.

Di sana, Naya mengajar menulis, membaca dongeng, dan mendengarkan cerita kecil dari bibir-bibir mungil yang penuh imajinasi. Kadang, Raka datang membantu, membawa teh hangat dan senyuman yang masih sama lembutnya.

Damar? Ia pernah mengirimkan pesan singkat. "Aku baca bukumu. Aku senang kamu bahagia, Nay."

Tak perlu lebih dari itu. Karena hidup memang tentang menerima, bukan memiliki. Tentang memberi, bukan menggenggam. Dan tentang pulang—bukan ke seseorang, tapi ke damai dalam diri sendiri.

Naya menatap langit sore dari teras rumah bacanya. Awan-awan menggantung ringan, jingga menyapu cakrawala.

Langit tak selalu biru. Tapi baginya, kini langit selalu indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh