Langkah-Langkah Aurora

 Langkah-Langkah Aurora



Sinopsis:

Aurora Maheswari tidak percaya pada kata "bergantung". Sejak kecil ditinggal ibunya dan dibesarkan oleh nenek yang keras, ia belajar bahwa dunia tidak akan pernah lunak terhadap perempuan. Kini, di usia 28 tahun, Aurora telah menjadi direktur kreatif di salah satu agensi iklan paling prestisius di Jakarta. Tegas, cerdas, dan tak pernah memberi ruang untuk kelemahan—itulah citra yang ia bangun dan pertahankan.

Namun hidupnya mulai berubah ketika ia dipertemukan kembali dengan Damar, teman lama yang kini menjadi mitra bisnis penting. Berbeda dengan pria-pria sebelumnya, Damar tidak terintimidasi oleh kemandirian Aurora. Ia justru menantang cara pikir Aurora tentang cinta, hubungan, dan ketergantungan.

Di tengah proyek besar, tekanan karier, dan luka masa lalu yang perlahan terbuka, Aurora mulai bertanya-tanya: apakah kemandirian berarti harus selalu sendiri?


Bab 1: Perempuan yang Tidak Butuh Siapa-siapa

Langit Jakarta masih gelap ketika Aurora Maheswari menyelesaikan kopi hitamnya yang ketiga. Jam digital di pojok ruangan menunjukkan pukul 05.12. Ia baru saja menyelesaikan presentasi untuk pitch terbesar bulan ini—klien internasional yang bisa mengubah arah agensinya.

“Jangan lupa tidur, Aur,” ujar Tiara, rekan kerjanya yang baru datang.
Aurora hanya tersenyum. “Nanti, setelah menang.”

Itulah Aurora. Selalu lebih dulu datang, paling akhir pulang, dan tidak pernah minta bantuan.

Baginya, hidup adalah medan perang, dan dia sudah terbiasa menjadi pasukan satu orang.

Bab 2: Jejak yang Tak Pernah Hilang

Ruang meeting di lantai 17 terlihat rapi. Setiap sudutnya seperti sengaja ditata untuk menunjukkan profesionalisme. Aurora duduk tegak di ujung meja, jari-jarinya menari di atas laptop sambil sesekali menyesap kopi dingin dari gelas plastik. Di hadapannya, layar besar menampilkan slide presentasi yang telah ia poles berhari-hari.

Hari ini adalah hari besar—pitch untuk klien yang bisa menaikkan reputasi agensinya ke tingkat internasional.

Ketika semua sudah siap, pintu terbuka. Aurora mengangkat kepala dan seketika tubuhnya menegang.

Damar Aryasatya.

Nama yang tidak asing. Wajah yang sudah lama tak ia lihat, namun masih sama—tenang, rapi, dengan tatapan mata yang seolah bisa membaca isi kepala orang.

“Permisi,” ucap Damar, sopan sambil tersenyum. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung di lengan, dan jam tangan hitam di pergelangan kirinya—persis seperti dulu.

Aurora berdiri, menjaga ekspresinya tetap netral. “Pak Damar. Selamat datang di KOMA Agency.”

Mata mereka bertemu sejenak. Ada jeda, sangat singkat, tapi cukup untuk menyadarkan Aurora: tidak semua jejak bisa dihapus begitu saja.


Setelah presentasi selesai dan klien tampak puas, Aurora kembali ke ruangannya. Pikirannya masih belum lepas dari Damar. Lima tahun bukan waktu singkat. Terakhir kali mereka bertemu, dia masih menjadi creative lead junior yang sering berdiskusi dengan Damar—waktu itu sebagai konsultan branding.

Hubungan mereka tidak pernah melewati batas profesional, tapi ada semacam koneksi yang... tidak sempat berkembang. Lalu waktu membawa mereka ke arah berbeda.

Aurora membuka email. Ada satu pesan baru, dari Damar.

Aurora,
Presentasinya sangat mengesankan. Seperti yang selalu kamu lakukan.
Ada waktu ngopi minggu ini? Aku rasa kita perlu diskusi lebih dalam tentang project ini.

— Damar

Aurora mendesah. Bukan karena undangannya, tapi karena dia tahu, pertemuan ini bukan cuma soal proyek.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa tidak sepenuhnya siap.

Bab 3: Pertemuan yang Terlalu Tenang

Kafe itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali Aurora ke sana—minimalis, dipenuhi tanaman gantung, dan lagu-lagu akustik yang mengalun pelan. Kafe pilihan Damar memang selalu punya suasana yang nyaman, seolah waktu sengaja melambat di dalamnya.

Aurora datang tepat waktu. Seperti biasa. Ia mengenakan blazer hitam dan celana panjang abu-abu. Formal, tapi tetap elegan.

Damar sudah duduk lebih dulu, menatap layar ponselnya. Saat melihat Aurora, senyum tipis langsung muncul di wajahnya. “Masih seperti dulu. Selalu lima menit lebih awal.”

Aurora duduk tanpa membalas senyum itu. “Kebiasaan buruk. Dunia terlalu cepat untuk orang yang suka terlambat.”

Damar tertawa ringan. “Tapi kamu masih sempat beli kopi sebelum datang ke kantor, kan? Artinya kamu masih manusia.”

Aurora tidak menjawab. Ia lebih tertarik membuka topik utama. “Kamu bilang ingin bicara soal proyek. Apa ada hal yang perlu dikaji ulang dari brief-nya?”

Damar menatapnya sebentar, lalu meletakkan ponsel. “Ada. Tapi bukan soal brief.”

Aurora menegang. Ia bisa menebak kemana arah pembicaraan ini akan pergi, dan ia tidak menyukainya.

“Kamu berubah, Aurora,” kata Damar pelan. “Dulu kamu masih sempat bercanda. Sekarang kamu... seperti berdiri di balik tembok. Bahkan suaramu lebih dingin.”

“Orang tumbuh. Dan berubah,” jawab Aurora cepat. “Aku di sini sebagai direktur kreatif. Bukan sebagai teman lama.”

“Tapi aku bukan cuma klien. Dan kamu tahu itu.”

Diam. Sejenak, hanya suara denting gelas dan musik latar yang terdengar.

Aurora meneguk air putihnya, lalu menatap Damar lurus-lurus. “Kalau kamu berharap kita bisa mengulang masa lalu, itu tidak akan terjadi. Apa pun yang pernah ada, sudah selesai bahkan sebelum dimulai.”

Damar tidak terlihat kecewa. Justru, ia tampak lebih tertarik. “Aku tidak datang untuk mengulang. Aku datang karena aku penasaran... apa kamu masih bisa merasa, atau semua sudah kamu kunci rapat-rapat.”

Aurora berdiri. “Aku harus kembali ke kantor.”

Damar memandangi langkahnya saat keluar dari kafe. Tidak terburu-buru, tapi jelas—Aurora Maheswari selalu tahu ke mana harus melangkah.

Tapi bahkan perempuan paling kuat pun tidak bisa sepenuhnya melarikan diri dari masa lalu. Dan Damar tahu, ini belum selesai.

Belum.

Bab 4: Retakan yang Mulai Terlihat

Aurora menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca apa yang tertulis. Slide demi slide berlalu, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari percakapan di kafe tadi siang.
Ucapan Damar masih terngiang—"apa kamu masih bisa merasa?"

Sial.

Bukan karena dia tersinggung, tapi karena bagian dari dirinya merasa Damar benar. Sudah terlalu lama ia hidup dengan mode bertahan. Menekan emosi, menyimpan luka, dan berjalan cepat agar tak sempat merasakannya.

“Loe oke?”

Suara Tiara membuyarkan lamunannya. Teman sekaligus rekan kerja itu berdiri di depan meja dengan ekspresi cemas.

Aurora langsung membenarkan duduknya. “Kenapa nggak oke?”

“Karena loe udah ngestare layar itu lima belas menit dan nggak gerak sama sekali,” jawab Tiara. “Loe kayak ngeliat hantu.”

Aurora menutup laptop. “Gue cuma lelah.”

Tiara duduk di kursi seberang. “Lelah kayaknya bukan cuma karena kerjaan.”

Aurora diam. Ia tak terbiasa berbagi, bahkan kepada Tiara yang sudah menemaninya sejak awal karier. Tapi malam itu, ada sesuatu dalam dirinya yang longgar. Mungkin karena Damar. Mungkin karena pertahanan yang mulai lelah.

“Gue ketemu Damar lagi,” katanya akhirnya.

Tiara mengangkat alis. “Yang itu? Yang dulu loe bilang ‘hampir tapi nggak jadi’?”

Aurora mengangguk pelan.

“Dan?”

“Dan dia masih sama. Tenang. Nggak gampang dibaca. Tapi sekarang... dia kayak tahu caranya masuk ke celah-celah yang gue nggak pengen ada orang sentuh.”

Tiara menyandarkan punggung. “Dan loe takut?”

Aurora menatap Tiara, lalu mengangguk. “Gue nggak tahu caranya jatuh cinta tanpa kehilangan kendali. Dan gue benci rasa itu.”


Di luar gedung, malam mulai turun. Jakarta tetap bising seperti biasa, tapi dari balik kaca lantai 17 itu, dunia terasa sunyi.

Damar duduk sendiri di dalam mobilnya, memandangi layar ponsel. Di sana, sebuah pesan belum terkirim.

Aurora,
Aku tahu kamu sedang menarik garis. Tapi aku juga tahu, kamu lelah berdiri sendirian.
Biarkan aku berdiri di sisimu—tanpa mengambil apa pun darimu. Cukup itu saja.

Ia menghapus pesan itu. Lalu menyalakan mesin mobil.

Tidak sekarang, pikirnya.

Aurora bukan perempuan yang bisa dikejar. Ia harus dihampiri dengan sabar, dan dihargai bukan karena kelemahannya, tapi karena kekuatannya yang tak pernah ia izinkan dilihat siapa pun.

Dan Damar, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, bersedia menunggu.

Bab 5: Batas yang Kabur

Ruang presentasi itu penuh ketegangan. Tim Aurora telah mempersiapkan materi selama seminggu penuh, dan hari ini adalah tahap review final bersama Damar sebelum presentasi besar ke klien.

“Visualnya terlalu lembut,” komentar Aurora tajam sambil menatap layar. “Kita bicara tentang produk teknologi berbasis efisiensi, bukan aplikasi yoga.”

Tim desain menunduk. Salah satu dari mereka mencoba menjelaskan, tapi Aurora mengangkat tangan. “Revisi. Semua. Kita nggak punya waktu untuk setengah matang.”

Damar yang duduk di ujung meja memerhatikan semuanya dengan tenang. Saat tim mulai bubar, ia tetap di tempat.

“Kamu terlalu keras hari ini,” katanya pelan.

Aurora merapikan dokumen tanpa melihat ke arah Damar. “Aku dibayar untuk jadi perfeksionis, bukan jadi penyemangat motivasi.”

“Tapi kalau orangmu takut bicara, mereka nggak akan kasih ide. Cuma nunggu disuruh.”

Aurora menoleh, matanya tajam. “Mereka kerja untuk hasil. Bukan untuk validasi.”

Damar berdiri, mendekat. “Aurora, kamu pernah bilang kerja keras adalah bahasa cintamu ke dirimu sendiri. Tapi kalau kamu terus dorong semua orang menjauh, suatu saat kamu akan kehabisan ruang untuk mencintai balik.”

Untuk sesaat, ruangan itu senyap.

Aurora menatap Damar, dan kali ini tidak ada kemarahan. Hanya kelelahan yang tak pernah ia izinkan muncul ke permukaan.

“Aku nggak pernah diajari bagaimana caranya lembut,” katanya nyaris berbisik.

Damar menjawab pelan, “Maka biar aku yang ajari.”


Malam itu, Aurora berdiri di balkon apartemennya. Angin lembut menyapu rambutnya, dan kota di bawah berkilau seperti lautan cahaya.

Di tangannya, ada satu draft revisi presentasi, dan satu notifikasi di ponsel—sebuah voice note dari Damar. Ia ragu, tapi akhirnya memutar.

"Aurora, aku tahu kamu tidak butuh siapa pun. Tapi tahu nggak? Kadang yang paling kuat pun tetap manusia. Dan manusia... butuh disayangi juga. Aku nggak datang untuk menyelamatkanmu. Aku cuma ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian kalau suatu hari kamu memilih untuk tidak sendiri."

Aurora menutup mata.

Untuk pertama kalinya, suara itu menembus tembok yang selama ini ia jaga.

Dan untuk pertama kalinya pula, ia bertanya pada dirinya sendiri...

"Apa salahnya membuka sedikit celah?"

Bab 6: Celah yang Terbuka

Hari-hari berikutnya terasa berbeda.

Aurora mulai menyadarinya dari hal kecil. Dari cara ia tidak lagi menolak membalas pesan Damar di luar jam kerja. Dari caranya menahan diri untuk tidak mengoreksi setiap detail kecil hanya agar tetap terlihat kuat. Dan dari bagaimana ia mulai mendengarkan—bukan hanya untuk merespons, tapi benar-benar mendengarkan.

Hubungan mereka tetap dalam batas profesional, tapi batas itu... mulai kabur.

Suatu sore, saat kantor mulai sepi dan langit Jakarta berwarna keemasan, Damar datang ke ruangannya tanpa pemberitahuan.

“Aku cuma mau kasih ini,” katanya, meletakkan sebuah boks kecil berisi roti favorit Aurora—roti pandan isi keju dari toko kecil yang hanya buka dua jam di pagi hari.

Aurora menatapnya. “Kamu beli ini jam tujuh pagi?”

Damar hanya tersenyum. “Kamu pernah bilang ini satu-satunya rasa manis yang kamu toleransi. Aku pikir kamu butuh sesuatu yang nggak pahit hari ini.”

Aurora tertawa kecil. Ringan. Tulus. “Terima kasih.”

“Jangan salah paham. Ini tetap urusan profesional,” ucap Damar sambil duduk santai di kursi seberang. “Aku hanya ingin memastikan partner bisnis tidak burnout sebelum presentasi besar.”

“Tentu,” balas Aurora, masih tersenyum. Tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang bergetar pelan.


Di luar, langit berubah gelap.

Tiara masuk beberapa saat kemudian, ekspresi wajahnya tegang. “Aur, kita punya masalah.”

Aurora langsung berdiri. “Apa?”

Tiara menyerahkan selembar print-out email. “Salah satu internal klien menyebarkan rumor—katanya kamu dan Damar punya hubungan pribadi di luar proyek. Dan mereka mempertanyakan netralitas keputusanmu.”

Aurora menatap lembaran itu dengan rahang mengeras. Di tubuhnya mengalir darah dingin. Bukan karena takut—tapi karena marah. Ia tahu benar dunia bisnis seperti ini. Di saat seorang perempuan menunjukkan kedekatan dengan pria berpengaruh, semua prestasi tiba-tiba dipertanyakan.

“Kita akan tangani secara formal,” kata Aurora. “Aku nggak butuh dikasihani.”

Tiara menatapnya penuh khawatir. “Tapi loe tahu ini bisa jadi buruk, kan? Gimana kalau klien tarik diri?”

Aurora mengangguk. “Gue akan bicara langsung dengan mereka.”

Tapi dalam hatinya, ia tahu: ini bukan cuma tentang reputasi profesional.

Ini tentang dirinya. Tentang semua yang selama ini ia bangun dengan susah payah, dan bagaimana satu celah kecil di temboknya mulai membuat semuanya rapuh.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Aurora tidak tahu—haruskah ia mempertahankan pertahanannya... atau mempertaruhkan semuanya demi rasa yang belum sepenuhnya ia percaya.

Bab 7: Harga dari Sebuah Celah

Aurora berdiri di ruang rapat dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya dingin, ekspresinya datar. Tapi di balik sikap tenang itu, dadanya bergemuruh.

Di hadapannya duduk dua orang dari tim klien—Pak Hendro, kepala pemasaran, dan seorang manajer junior yang sepertinya baru saja menikmati sensasi menyebarkan rumor.

“Bu Aurora,” kata Pak Hendro dengan nada yang dibuat seolah simpatik, “kami hanya ingin memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam kerja sama ini. Hubungan personal Anda dengan Pak Damar menjadi perhatian beberapa stakeholder kami.”

Aurora mengangguk pelan, lalu menatap langsung ke mata Pak Hendro. “Apakah ada satu pun keputusan proyek ini yang tidak didasarkan pada data dan hasil kerja tim saya?”

Pak Hendro terlihat tak nyaman.

“Kalau tidak ada, maka yang seharusnya jadi perhatian adalah profesionalisme tim internal Anda yang menyebarkan isu pribadi, bukan pekerjaan saya.” Suara Aurora tenang, tapi tegas. “Dan saya rasa, agensi kami tidak akan menerima perlakuan semacam ini tanpa klarifikasi formal.”

Tiara yang duduk di sampingnya nyaris bersorak dalam hati. Inilah Aurora Maheswari. Perempuan yang tidak akan membiarkan namanya ditarik ke lumpur oleh spekulasi murahan.


Namun setelah rapat usai dan semua selesai, Aurora kembali ke ruangannya... dan duduk dalam diam.

Ia membuka ponselnya, melihat satu pesan tak terbaca dari Damar.

Aurora, aku dengar soal isu yang beredar. Aku minta maaf, dan aku di pihakmu. Tapi kalau kamu butuh waktu atau jarak, aku akan hormati itu.

Aurora mengetik balasan, lalu menghapusnya.

Ia ingin bilang bahwa ini bukan salah Damar. Bahwa ia lelah selalu harus membuktikan diri, bahwa dunia tidak pernah adil bagi perempuan yang terlalu kuat atau terlalu dekat pada pria berpengaruh.

Tapi pada akhirnya, ia hanya membalas:

Terima kasih. Aku butuh ruang.


Malam itu, ia pulang ke apartemen dan membuka kotak tua dari bawah lemari. Isinya: foto-foto lama, surat-surat dari ibunya yang pernah meninggalkannya saat ia baru berusia delapan tahun.

Aurora duduk di lantai, membacanya satu per satu. Di antara kertas-kertas yang sudah menguning, ada satu surat yang belum pernah ia buka. Surat terakhir.

Tangannya bergetar saat membacanya:

"Maaf karena Ibu pergi. Tapi Ibu tahu kamu akan tumbuh jadi perempuan yang kuat. Jangan jadikan dunia musuhmu, sayang. Karena di balik semua luka... tetap ada ruang untuk cinta."

Aurora menahan napas.

Dan untuk pertama kalinya sejak remaja, ia menangis—bukan karena marah, bukan karena lelah, tapi karena ia sadar: selama ini, ia takut bukan karena dunia terlalu kejam.

Ia takut... karena ia tidak tahu caranya membuka diri tanpa kehilangan dirinya.


Besok pagi, ia akan kembali berdiri. Tapi malam ini, ia membiarkan dirinya duduk. Dan merasakan.

Bab 8: Di Antara Dua Luka

Pagi itu, langit Jakarta mendung. Seperti menyerap sisa-sisa luka yang masih menggantung di hati Aurora.

Ia datang lebih pagi dari biasanya, menyalakan laptop, menyusun ulang dokumen-dokumen pitching, dan menuliskan ulang rencana strategi. Bukan karena semuanya perlu diulang, tapi karena ia butuh mengendalikan sesuatu—apa pun.

Saat sedang fokus, pintu ruangannya diketuk pelan.

“Aurora.”

Damar.

Ia berdiri di ambang pintu dengan jaket hujan setengah basah, rambut sedikit acak-acakan, dan sebuah map cokelat di tangannya.

Aurora ingin mengatakan: “Aku belum siap bicara.” Tapi mulutnya hanya bisa diam.

“Aku tahu kamu minta ruang. Tapi aku pikir kamu perlu lihat ini.” Damar melangkah masuk, meletakkan map itu di meja.

Aurora membuka map itu dengan ragu. Di dalamnya ada… foto-foto lama. Potongan artikel. Dan satu surat.

“Ini…?”

“Itu ibuku,” kata Damar pelan. “Dia perempuan paling keras kepala yang aku kenal. Single mom. Bangun usahanya sendiri dari nol. Tapi dunia juga menyeretnya, mempersoalkan pilihan hidupnya, meragukan prestasinya hanya karena dia perempuan.”

Aurora mengernyit, menatap salah satu artikel yang menunjukkan potret perempuan paruh baya dalam balutan blazer lusuh—wajahnya penuh tekad.

“Dia meninggal waktu aku masih kuliah,” lanjut Damar. “Dan aku tumbuh dengan rasa bersalah karena nggak pernah cukup dewasa untuk membelanya.”

Aurora terdiam.

“Aku nggak datang ke hidup kamu buat jadi ancaman, Aur. Aku datang karena aku lihat kamu mirip dia. Dan aku janji... aku nggak akan jadi satu lagi laki-laki yang bikin kamu merasa harus terus melawan dunia sendirian.”


Aurora menunduk. Untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat. Bukan hanya sebagai perempuan yang kuat, bukan sebagai direktur kreatif sukses, tapi sebagai manusia yang bisa patah… dan ingin dicintai meski tetap berdiri tegak.

“Terima kasih,” katanya pelan. “Tapi aku belum tahu cara berjalan berdampingan tanpa kehilangan arah.”

Damar tersenyum. “Kita belajar bareng, kalau kamu mau.”

Dan saat itu, Aurora tahu—ia tidak harus memutuskan semuanya sekarang.

Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak menutup pintu sepenuhnya.

Ia membiarkan celah itu terbuka sedikit lebih lebar.

Dan kadang, langkah pertama bukan tentang berani mencinta, tapi berani memberi izin untuk dicintai.

Bab 9: Bayang-Bayang yang Kembali

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan itu. Hubungan Aurora dan Damar berkembang pelan—hati-hati, tanpa deklarasi, tapi cukup terasa.

Mereka tetap profesional di kantor. Tidak ada sentuhan. Tidak ada kalimat manis. Tapi ada bahasa yang hanya mereka berdua mengerti: perhatian dalam bentuk kecil. Damar yang selalu memastikan Aurora tidak lupa makan. Aurora yang mulai terbuka pada masukan, bahkan pada hal-hal yang dulu pasti ia tolak mentah-mentah.

Tapi dunia tidak selalu memberi ruang pada cinta yang sedang belajar tumbuh.


Suatu sore, saat Aurora baru saja keluar dari ruang rapat, ia menemukan seorang pria menunggunya di lobi kantor. Wajah itu membuat napasnya tercekat.

Raka.

Lelaki dari masa lalunya. Dulu cinta pertama, kemudian sumber luka pertama.

“Lama nggak ketemu, Aur,” sapa Raka dengan senyum tipis yang dulu pernah membuatnya jatuh… dan hancur.

Aurora berdiri tegak, tidak memberi pelukan atau sapaan ramah. “Ada apa kamu ke sini?”

“Aku dengar kamu kerja sama dengan Damar. Aku ada urusan bisnis dengannya,” ucap Raka santai. “Tapi jujur, itu alasan kedua. Yang pertama... aku ingin bicara sama kamu.”

Aurora menahan diri agar tidak terguncang. "Kita nggak punya urusan yang belum selesai, Rak."

Raka tertawa kecil, getir. “Kamu yakin?”


Malamnya, Aurora duduk di dalam mobil Damar dalam diam. Ia sudah menceritakan semuanya—tentang Raka, hubungan mereka dulu, pengkhianatan yang membuatnya berhenti mempercayai cinta… dan alasannya membangun tembok setebal ini.

Damar tidak bicara saat Aurora selesai. Ia hanya menatap ke depan, lalu berkata:

“Aku nggak minta kamu untuk melupakan masa lalu. Aku cuma ingin jadi bagian dari masa depan kamu, kalau kamu izinkan.”

Aurora menoleh. Ada ketakutan di sana. Tapi juga harapan.

“Aku masih belajar percaya, Dam. Bahkan pada diriku sendiri.”

Damar mengangguk. “Aku sabar. Aku bukan datang untuk memperbaiki kamu. Aku datang untuk berdiri di sebelah kamu… bahkan saat kamu belum pulih.”


Tapi satu hal yang belum mereka tahu: Raka tidak datang hanya membawa masa lalu.

Ia datang membawa sebuah proyek besar dari investor luar negeri—proyek yang bisa menyelamatkan perusahaan Aurora dari krisis finansial yang mulai muncul sejak klien besar mundur karena rumor tempo hari.

Aurora harus memilih: menerima tawaran bisnis dari lelaki yang pernah menghancurkannya... atau menolak dan mungkin kehilangan segalanya yang ia bangun sendiri.

Dan Damar?

Damar tahu… ini saatnya membuktikan bahwa mencintai perempuan kuat bukan tentang menahannya. Tapi memberi ruang… bahkan saat ia memilih jalan yang paling menyakitkan.

Bab 10: Jalan yang Terbakar

Aurora duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen proposal dan laporan keuangan yang tidak pernah sebelumnya membuatnya gelisah seperti hari ini. Di tengah semua prestasi dan pencapaian, ia tahu—perusahaannya sedang berdiri di tepi jurang.

Dana cadangan menipis. Klien potensial mundur. Beberapa pegawai sudah mulai bertanya-tanya.

Dan di hadapannya, terletak satu proposal yang bisa jadi penyelamat—proyek besar dari investor luar negeri. Proyek yang datang… lewat tangan Raka.

Tiara masuk dengan ragu. “Aur, kalau kita tolak proyek ini… dalam dua bulan ke depan, kita bisa kolaps.”

Aurora menatapnya, lalu mengangguk. “Siapkan jadwal pertemuan lagi sama Raka. Tapi aku sendiri yang akan buat batasnya.”


Malamnya, di sebuah kafe kecil yang sepi, Aurora duduk berhadapan dengan Raka.

“Aku terima proyek ini, tapi dengan syarat,” ucapnya tanpa basa-basi. “Kita bicara hanya soal kerja. Tidak lebih. Dan kamu tidak akan gunakan ini untuk mendekatiku secara pribadi.”

Raka tersenyum pelan. “Aurora Maheswari yang kukenal dulu pasti sudah menolak sebelum membaca satu halaman pun.”

Aurora membalas dingin, “Aurora yang dulu percaya padamu. Sekarang aku percaya pada diriku sendiri.”

Raka tertawa, tapi nada tawanya pahit. “Dan Damar? Kamu yakin dia akan baik-baik saja dengan ini?”

Aurora tidak menjawab. Karena jujur, ia belum tahu.


Dan memang, saat Aurora memberitahu Damar beberapa hari kemudian, atmosfer berubah.

Damar tidak marah. Tapi ia diam cukup lama untuk membuat Aurora merasa ditinggal.

“Ini bukan soal cemburu, Aur,” ucapnya akhirnya. “Ini soal... kamu memilih berjalan dengan seseorang yang pernah menghancurkanmu. Dan kamu tahu aku akan tetap ada, tapi... bagian dari diriku takut. Kamu akan kehilangan dirimu sendiri lagi.”

Aurora menatapnya, matanya jernih tapi penuh tekanan. “Aku nggak punya kemewahan untuk milih berdasarkan perasaan, Dam. Aku bangun semuanya ini sendiri. Kalau aku tumbang, aku jatuh sendiri.”

Damar berdiri perlahan. “Kalau itu yang kamu yakini, aku nggak akan halangi. Tapi mungkin… aku perlu mundur sebentar.”

Diam.

Itu lebih menyakitkan daripada teriakan.

Aurora menahan napas. “Kamu pergi?”

Damar menatapnya dalam. “Aku cuma melangkah ke samping. Supaya kamu tahu... bahwa ada ruang untukku hanya kalau kamu juga ingin aku ada. Bukan karena kamu butuh penyelamat.”


Setelah Damar pergi, Aurora duduk sendirian di kantor yang sepi.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia bertanya bukan pada dunia, bukan pada mantan, bukan pada siapa pun—

Melainkan pada dirinya sendiri.

“Apakah kekuatan yang selama ini kujaga… justru membuatku kehilangan tempat untuk berpulang?”

Bab 11: Tuan Rumah di Rumah Sendiri

Tiga minggu berlalu sejak Damar mundur dari proyek dan dari keseharian Aurora.

Aurora menjalankan proyek besar bersama tim investor dari Singapura—dengan Raka sebagai jembatan utama. Secara profesional, semuanya berjalan nyaris sempurna. Target tercapai. Klien puas. Media mulai menyorot kebangkitan perusahaannya.

Tapi Aurora tahu, di balik gemerlap presentasi dan tepuk tangan, ada sesuatu yang hampa.

Ia merindukan diskusi larut malam dengan Damar. Merindukan kopi hitam yang selalu tiba di mejanya jam delapan pagi. Merindukan rasa tenang yang tidak bisa dibeli oleh keberhasilan apa pun.

Dan saat itulah ia sadar—rumah bukan selalu tempat. Rumah bisa berbentuk seseorang yang membuat kita merasa tidak perlu bertahan, hanya cukup ada.


Di tengah keberhasilan proyek, Aurora diundang menjadi pembicara dalam forum bisnis nasional. Ia berdiri di atas panggung besar, berbicara tentang kepemimpinan perempuan dan perjalanan membangun perusahaan dari nol.

Ia bicara dengan percaya diri. Kalimatnya tajam, susunannya rapi.

Tapi di bagian akhir, suaranya merendah. Bukan karena takut—tapi karena ia akhirnya jujur.

“Saya sering dipuji sebagai perempuan yang mandiri. Kuat. Tahan banting. Tapi hari ini, saya ingin jujur—menjadi kuat bukan berarti tidak butuh tempat untuk rapuh. Menjadi pemimpin bukan berarti tidak boleh pulang pada seseorang. Dan menjadi perempuan independen… bukan berarti menolak cinta. Saya belajar, bahwa cinta tidak mengurangi siapa diri kita. Ia bisa memperkuat.”

Tepuk tangan menggema. Tapi yang dicari Aurora bukan tepuk tangan.

Ia hanya berharap… seseorang mendengar.


Dan seseorang itu… mendengar.

Damar melihat pidato itu lewat siaran langsung. Ia tidak menangis. Tidak tersenyum.

Ia hanya menyalakan mobilnya. Dan untuk pertama kalinya dalam tiga minggu, mengarahkan kembali langkahnya—menuju kantor Aurora.


Malam itu, Aurora masih duduk sendiri di ruangannya. Kertas-kertas berserakan, layar laptop menyala tanpa ia baca.

Ketukan lembut terdengar di pintu.

Ia menoleh.

Damar berdiri di sana, basah kuyup oleh gerimis yang baru turun.

Aurora menatapnya, tak berkata apa-apa.

Damar melangkah masuk. “Kamu pernah bilang, kamu butuh ruang. Aku kasih itu. Tapi sekarang... aku datang bukan untuk menyelamatkanmu, atau menyuruhmu memilih. Aku cuma mau ada… kalau kamu mau aku ada.”

Aurora berdiri. Tidak mendekat, tidak menjauh.

“Dam, aku belum sepenuhnya sembuh. Aku masih takut kehilangan kendali. Takut gagal. Takut terlalu tergantung.”

Damar tersenyum kecil. “Kalau kamu jatuh, aku bukan akan tangkap. Aku akan duduk di sampingmu sampai kamu siap bangkit sendiri.”

Aurora menatapnya lama. Kemudian, perlahan, ia berjalan mendekat… dan untuk pertama kalinya, ia bersandar. Bukan karena lemah. Tapi karena akhirnya, ia percaya:

Perempuan bisa tetap berdiri… bahkan saat ia bersandar.

Bab 12: Titik Temu

Langit Jakarta cerah pagi itu—langka, dan entah mengapa terasa seperti pertanda. Aurora berdiri di depan cermin, mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam, bukan blazer tajam atau gaun mencolok. Hari ini ia tidak tampil untuk meyakinkan siapa-siapa. Ia hanya ingin hadir sebagai dirinya sendiri.

Di mejanya, ada dua surat. Satu dari investor yang meminta Aurora memperluas kerjasama ke luar negeri—dengan tawaran menjadi pemimpin regional Asia. Gaji fantastis, pengaruh luas, dan... artinya meninggalkan perusahaan yang ia bangun dari nol.

Surat kedua: draft kerja sama baru dengan Damar, sebuah inisiatif inkubator bisnis untuk mendukung perempuan-perempuan muda membangun karier dan usaha sendiri. Tidak sebesar proyek luar negeri, tapi lebih dekat dengan hatinya. Lebih nyata. Lebih berdampak.

Dua jalan. Dua versi masa depan.


Hari itu, Aurora mengumpulkan timnya.

“Mulai hari ini, aku menyerahkan posisi CEO pada Tiara,” katanya lantang. “Aku akan tetap terlibat dalam arah strategis, tapi waktuku akan terbagi untuk proyek baru.”

Ruangan hening. Tiara menatapnya, terkejut sekaligus takut.

“Kamu sanggup, Ti?” Aurora bertanya dengan senyum tenang.

Tiara mengangguk pelan. “Kalau kamu percaya, aku akan belajar.”

Aurora menepuk pundaknya. “Aku percaya. Seperti dulu, saat aku percaya pada diriku sendiri.”


Di sore yang sama, Aurora berjalan menyusuri taman kota bersama Damar. Bukan kencan mewah, hanya secangkir kopi dan langkah santai di bawah pohon-pohon rindang.

“Aku tolak tawaran ke luar negeri,” katanya tiba-tiba.

Damar menoleh. “Kenapa?”

“Karena aku capek membuktikan segalanya sendirian,” jawabnya jujur. “Dan karena aku sadar... kadang, keberhasilan bukan soal seberapa tinggi kamu naik. Tapi seberapa dalam kamu bisa tinggal, dan memberi.”

Damar tersenyum. “Kamu yakin ini bukan karena aku?”

Aurora menggeleng. “Ini karena aku. Tapi kamu adalah bagian dari ‘aku’ yang baru.”

Mereka berjalan lebih pelan.

Hari mulai senja.

Aurora memandang langit jingga, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia tidak merasa dikejar waktu. Tidak merasa dituntut jadi siapa pun.

Ia adalah perempuan yang memilih langkahnya sendiri.

Sendiri, jika harus.

Tapi kali ini, tidak lagi sendirian.

Epilog: Melangkah Bersama

Satu tahun berlalu.

Jakarta tidak banyak berubah—masih hiruk-pikuk, masih penuh jadwal, ambisi, dan kelelahan yang berseliweran di udara. Tapi bagi Aurora Maheswari, segalanya telah bergeser. Bukan dalam bentuk gedung atau pencapaian, tapi dalam dirinya sendiri.

Di salah satu sudut kota, bangunan sederhana bernama Langkah berdiri. Bukan gedung pencakar langit, tapi isinya penuh semangat: perempuan-perempuan muda yang membawa mimpi mereka, duduk berdampingan, belajar membangun sesuatu dari nol. Aurora ada di sana hampir setiap hari. Kadang sebagai mentor, kadang hanya sebagai pendengar.

Dulu, Aurora berpikir menjadi kuat berarti mengerjakan semuanya sendiri.

Kini, ia tahu: kekuatan sejati adalah saat kita bisa berbagi, bisa percaya, dan bisa melepas sebagian beban tanpa merasa lemah.

Tiara memimpin kantor pusat dengan penuh dedikasi. Aurora menyaksikannya tumbuh, dan sesekali memberikan masukan—tanpa merasa perlu ikut campur.

Dan Damar?

Ia tidak pernah menjadi “pangeran” dalam cerita Aurora. Ia tidak datang dengan janji-janji besar atau hadiah mewah. Tapi setiap hari, ia hadir. Ia menjadi tenang saat Aurora gelisah. Menjadi diam yang tidak sunyi. Menjadi bahu, bukan pagar. Menjadi rumah, bukan tembok.

Di sebuah sore, Aurora menuliskan sesuatu di jurnalnya—kebiasaan lama yang dulu ia tinggalkan karena terlalu sibuk mengejar.

“Aku masih perempuan yang sama. Masih suka kopi pahit. Masih keras kepala. Masih mandiri. Tapi sekarang, aku juga perempuan yang tahu cara menerima. Cara memaafkan diri sendiri. Dan cara mencintai… tanpa takut kehilangan kendali.”

Ia menutup jurnal itu, menatap jendela.

Dari kejauhan, Damar datang membawakan dua gelas kopi. Seperti biasa, tanpa kata-kata berlebihan.

Aurora tersenyum.

Ia tidak butuh akhir bahagia seperti di film.

Ia hanya butuh langkah-langkah kecil, yang setiap harinya membuatnya merasa pulang.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aurora tidak hanya berdiri. Ia melangkah… bersama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh