Langkah yang Tertinggal

 Langkah yang Tertinggal



Bab 1: Jejak yang Terhapus

Hujan sore itu turun pelan-pelan, membasahi jalanan kota yang semakin ramai. Di balik jendela kafe kecil yang terletak di sudut jalan, Aira duduk sendiri, menggenggam secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Matanya menatap kosong ke arah jalan, seolah menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Tiba-tiba, suara lonceng pintu berbunyi. Seseorang masuk, membawa aroma dingin hujan bersamanya. Aira mengangkat wajahnya—dan dunia seakan berhenti berputar.

Di sana, berdiri seseorang yang begitu dikenalnya. Sosok yang pernah mengisi hari-harinya, namun juga yang pernah menggores luka terdalam.

"Aira?"

Suara itu...

"Raka..."

Nama itu keluar begitu saja dari bibirnya, diiringi degup jantung yang tak terkontrol. Ia tak percaya, setelah hampir enam tahun berlalu, Raka kini berdiri di depannya, dengan senyum tipis yang dulu selalu membuatnya merasa aman.

"Aku nggak sengaja lihat kamu dari luar... Boleh duduk?"

Aira hanya mengangguk, terlalu kaget untuk berkata apa-apa. Raka duduk di hadapannya, dan dalam sekejap, aroma masa lalu memenuhi ruang itu. Hujan yang turun di luar seolah menjadi musik latar dari pertemuan yang tidak terduga ini.

"Apa kabar?" Raka bertanya, suaranya lembut namun menyimpan beban yang entah apa.

Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang berantakan. "Baik... Aku baik."

Dan untuk pertama kalinya, mereka saling menatap, menembus waktu yang telah memisahkan mereka begitu lama. Aira merasakan sesuatu yang dulu pernah ada—perasaan yang tak pernah benar-benar hilang.

Tapi, apa yang sebenarnya Raka inginkan sekarang? Mengapa dia kembali?

Pertanyaan itu bergema di kepala Aira, sementara di luar, hujan terus turun, seakan menyimpan rahasia yang belum terungkap.

Bab 2: Rasa yang Belum Padam

Hujan masih mengguyur deras di luar kafe, menciptakan bunyi rintik yang seolah mengiringi degup jantung Aira. Ia masih duduk diam, sementara Raka, yang kini berada di depannya, mengalihkan pandang ke luar jendela.

Diam-diam, Aira mengamati wajah itu. Garis rahang yang tegas, tatapan mata yang sedikit redup, dan senyum tipis yang dulu selalu menjadi penghibur di hari-hari beratnya. Waktu memang telah berjalan, tapi ada hal-hal yang ternyata tidak berubah.

"Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini," Raka membuka percakapan, suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Aira menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda dalam kata-katanya. "Kamu masih di kota ini?" tanyanya hati-hati, berusaha terdengar biasa.

Raka menghela napas panjang. "Baru dua minggu ini. Pekerjaan. Ada proyek yang bikin aku harus balik ke sini."

Aira mengangguk pelan, meski hatinya mengeras. Kota ini penuh dengan kenangan mereka, dan kini, Raka kembali, seakan membuka lembaran yang sudah lama ia lipat dan simpan di sudut hati.

"Aku sering mikirin kamu, Aira."

Kalimat itu seperti petir yang menyambar di tengah hujan. Aira terdiam, tubuhnya kaku.

"Aku tahu aku salah dulu... ninggalin kamu tanpa penjelasan yang jelas." Raka mengusap wajahnya, seolah menahan beban berat yang selama ini ia simpan. "Tapi aku nggak pernah benar-benar berhenti mikirin kamu. Nggak ada hari tanpa aku nyesel."

Aira menarik napas panjang. Kenangan-kenangan lama berputar di kepalanya—tawa mereka, obrolan malam-malam panjang, janji-janji yang dulu diucap dengan tulus. Dan juga rasa sakit, saat Raka tiba-tiba pergi tanpa kabar, menghilang seperti bayangan yang tertelan malam.

"Aku nggak tahu harus bilang apa," Aira akhirnya berkata. Suaranya gemetar, matanya terasa panas, tapi ia tahan. "Kita udah jalan masing-masing, Rak. Aku belajar berhenti berharap."

Raka mengangguk pelan, matanya menatap Aira dalam-dalam, seolah ingin mengatakan ribuan kata yang tak terucap.

"Kalau kamu udah bahagia, aku nggak akan ganggu."

Diam sejenak, lalu Raka berdiri, merapikan jaketnya.

"Aku cuma pengen kamu tahu... aku masih di sini. Kalau suatu hari kamu butuh aku, aku akan ada."

Dengan langkah perlahan, Raka berjalan menuju pintu, meninggalkan Aira yang masih terdiam dengan perasaan yang berkecamuk.

Di luar, hujan masih turun deras. Dan Aira tahu, ada sesuatu dalam dirinya yang belum selesai—perasaan yang selama ini ia kira telah mati, ternyata masih ada, menunggu untuk dihidupkan kembali.

Bab 3: Luka yang Belum Sembuh

Keesokan harinya, Aira masih terjaga di kamarnya. Hujan sudah reda, tapi suara Raka semalam masih terus terngiang di kepalanya.
"Aku masih di sini. Kalau suatu hari kamu butuh aku, aku akan ada."

Kata-kata itu seperti pintu yang Raka buka kembali, tepat di saat Aira sudah berusaha menutup semua perasaan yang dulu ada.

Aira menarik selimutnya, menutup wajah, berharap semua ini hanya mimpi. Namun, bayangan Raka—senyum tipisnya, matanya yang teduh—semakin jelas dalam pikirannya.

Di ponselnya, ada sebuah pesan masuk. Nomor tak dikenal.

"Hai, Aira. Maaf aku ganggu pagi-pagi. Aku cuma pengen bilang terima kasih... karena mau denger aku semalam. Kalau kamu ada waktu, bolehkah aku traktir kamu makan siang? Hanya teman, aku janji."

Aira menatap pesan itu lama, tangannya bergetar. Haruskah dia membalas? Haruskah dia membiarkan Raka masuk lagi ke hidupnya?

Ia hampir meletakkan ponselnya, tapi jempolnya bergerak sendiri.

"Baik. Jam berapa?"

Tak lama, balasan masuk.

"Jam 12 di Cafe Cendana, tempat kita dulu sering nongkrong."

Tempat itu lagi. Aira mendesah. Kenangan menyeruak kembali—mereka berdua duduk di sudut ruangan, berbagi kopi, tertawa seperti dunia hanya milik mereka berdua.

Saat jam sudah menunjukkan pukul 11.30, Aira berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya. Dia menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri.

"Ini hanya makan siang biasa. Aku sudah bukan Aira yang dulu."

Namun, di dalam hatinya, Aira tahu. Ada luka yang belum benar-benar sembuh. Dan mungkin, ada cerita yang belum selesai ditulis.

Saat dia melangkah keluar dari apartemennya, langit di luar mulai mendung lagi. Seolah semesta pun tahu, langkah Aira hari ini akan membawa kisah lama yang tertinggal—dan mungkin, membuka lembaran baru yang tak terduga.

Bab 4: Pertemuan yang Membawa Luka

Langkah kaki Aira terasa berat saat ia mendekati Café Cendana. Suasana kafe itu masih sama, dengan bangku-bangku kayu dan aroma kopi yang menguar di udara. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda—atau mungkin, hanya perasaan Aira yang bercampur aduk.

Dari kejauhan, ia melihat Raka sudah duduk di sudut ruangan, tempat favorit mereka dulu. Dia mengenakan kemeja putih, lengan digulung, dan ada secangkir kopi di depannya. Saat melihat Aira, senyum kecil terukir di wajahnya—senyum yang dulu selalu membuat jantung Aira berdetak lebih cepat.

"Aira," panggilnya dengan nada pelan, seolah takut mengganggu.

Aira menarik napas, mencoba tersenyum, lalu duduk di hadapannya.

"Terima kasih sudah mau datang," kata Raka, matanya penuh dengan keraguan, seolah dia masih tak percaya Aira benar-benar ada di sana.

Aira hanya mengangguk, memilih diam sambil menatap cangkir kopinya. Suasana di antara mereka terasa aneh—akrab tapi asing, dekat tapi jauh.

"Aku... sebenarnya nggak tahu harus mulai dari mana," Raka akhirnya berkata, nadanya berat.

"Kalau kamu pengen cerita, cerita aja. Aku dengerin," jawab Aira pelan, meski hatinya berdetak keras.

Raka menatap Aira, lalu mulai berbicara. Tentang kepergiannya dulu, tentang alasan yang selama ini dia simpan rapat-rapat.

"Aku pergi karena Papa jatuh sakit. Aku harus balik ke kampung, urus keluarga, dan... aku nggak sanggup bilang sama kamu, karena aku takut kehilanganmu. Tapi ternyata, justru aku yang hilang dari hidupmu."

Aira terdiam. Dadanya sesak mendengar penjelasan itu. Selama ini, ia mengira Raka pergi karena bosan, karena ingin mencari kehidupan baru tanpa dirinya. Ternyata, ada luka yang lebih dalam di balik semua itu.

"Aku egois, Ra," lanjut Raka, suaranya mulai bergetar. "Aku pikir dengan pergi diam-diam, aku melindungi kamu dari beban yang aku bawa. Tapi aku salah. Aku malah bikin kamu terluka."

Aira menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak bertemu lagi, air matanya jatuh.

"Kenapa nggak bilang, Rak? Aku bisa kok ngerti. Aku bisa nunggu."

Raka menggenggam tangan Aira di atas meja, hangatnya membuat Aira teringat masa lalu.

"Aku nggak mau bikin kamu nunggu sesuatu yang nggak pasti. Aku cuma mau kamu bahagia."

Aira menarik tangannya perlahan, merasa perasaan itu terlalu rumit untuk disentuh saat ini.

"Rak, aku... aku butuh waktu."

Raka mengangguk. "Aku ngerti. Aku nggak maksa. Aku cuma pengen kamu tahu... aku masih di sini. Kalau kamu siap, aku akan ada."

Dan di momen itu, Aira merasa hatinya kembali dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan langkahnya sendiri atau... membuka kembali pintu yang dulu pernah tertutup.

Di luar, hujan mulai turun lagi, seolah menjadi pengiring perjalanan mereka yang masih panjang dan penuh misteri.

Bab 5: Bayangan Masa Lalu

Hari-hari berlalu setelah pertemuan di Café Cendana, dan Aira mulai merasa goyah. Pesan-pesan singkat dari Raka sering muncul di ponselnya—sederhana, penuh perhatian, tapi cukup untuk membuat hatinya bergetar.

Di satu sore yang tenang, Aira berjalan pulang dari kantor. Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan apartemennya. Sosok tinggi, berjas rapi, dengan senyum hangat yang membuat Aira terkejut.

"Arman?" bisiknya.

Arman adalah rekan kerja lama Aira, pria yang dulu sempat mendekatinya sebelum Raka kembali. Mereka sempat dekat, bahkan hampir menjadi sesuatu... sebelum Aira memilih mundur karena hatinya tak sepenuhnya untuk Arman.

"Aira, aku lihat kamu akhir-akhir ini sering melamun... Aku cuma mau bilang, aku masih di sini. Kalau kamu butuh seseorang, aku siap."

Aira terdiam. Ucapan itu seperti bayang-bayang lain yang datang menghantuinya. Antara Raka yang kembali dengan masa lalu, dan Arman yang hadir dengan masa depan yang mungkin lebih jelas.


Bab 6: Keputusan yang Berat

Aira duduk di kamarnya malam itu, merenung dalam keheningan. Raka dan Arman—dua sosok yang sama-sama menawarkan perhatian, tapi dengan kisah berbeda.

Saat ponselnya berbunyi, Aira melihat pesan dari Raka.

"Aku nggak akan maksa. Aku cuma pengen tahu kamu baik-baik aja."

Dan di saat yang sama, Arman juga mengirim pesan.

"Besok aku ada waktu kosong. Kalau kamu mau, kita bisa ngobrol santai di taman. Aku tunggu."

Aira merasa terjebak di persimpangan. Ia tahu, jika memilih Arman, hidupnya akan lebih stabil—Arman adalah pria baik, mapan, dan bisa dia andalkan. Tapi hatinya masih tertambat pada Raka, meski logikanya berteriak untuk menjauh.

Aira memejamkan mata, menahan isak. Ia tahu, apapun keputusannya, akan ada yang terluka.


Bab 7: Perpisahan yang Diperlukan

Keesokan harinya, Aira memutuskan bertemu Arman lebih dulu. Mereka duduk di taman, di bangku yang menghadap danau kecil.

"Arman... Aku nggak mau kamu nunggu sesuatu yang nggak pasti," Aira berkata dengan lembut, meski suaranya gemetar. "Aku... aku nggak bisa kasih hati aku ke kamu sepenuhnya."

Arman tersenyum pahit, menatap Aira dengan mata yang berkaca.

"Aku ngerti. Aku cuma pengen kamu bahagia, Aira."

Aira menunduk, merasa bersalah. Tapi ia tahu, ia harus jujur pada dirinya sendiri.

Malam harinya, Aira menulis pesan untuk Raka.

"Aku ingin kita bicara. Besok di tempat biasa, jam 7 malam."

Bab 8: Langkah yang Tertinggal (Akhir)

Di Café Cendana, hujan kembali turun. Raka sudah duduk menunggu, wajahnya penuh harap.

Aira datang, mengenakan mantel panjang, dengan senyum kecil yang penuh keberanian.

"Rak, aku pikir aku udah bisa lepasin kamu dulu. Aku pikir aku bisa melupakanmu. Tapi aku salah."

Raka terdiam, matanya berkaca-kaca.

"Aku nggak janji hubungan kita akan sempurna, Rak. Tapi kalau kamu masih mau, aku pengen kita coba lagi. Aku pengen kita hadapi semua ini bareng-bareng."

Raka berdiri, mendekat, lalu menggenggam tangan Aira erat-erat.

"Aku nggak akan pergi lagi, Aira. Kali ini, aku akan tinggal."

Dan di bawah hujan yang deras, mereka berdiri, saling menatap, dengan hati yang akhirnya menemukan jalan pulang. Mereka tahu perjalanan mereka tidak akan mudah, tapi untuk pertama kalinya, mereka siap melangkah bersama—menyembuhkan luka, dan melanjutkan langkah yang tertinggal.

Tamat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta yang Tak Tersentuh

Di Balik Meja Rapat

Cinta di Waktu yang Salah