Musim Dingin di Matamu

 Musim Dingin di Matamu


Judul: Musim Dingin di Matamu

Genre:

Romansa, Drama, Slice of Life

Sinopsis:

Arka Mahendra, seorang arsitek jenius namun dingin dan tertutup, menjalani hidupnya dengan teratur dan penuh batas. Masa lalu yang kelam membuatnya tidak percaya pada cinta—hingga seorang wanita ceroboh dan hangat bernama Rania Damayanti masuk ke dalam kehidupannya sebagai klien penting. Saat proyek arsitektur mereka berjalan, Rania perlahan-lahan mulai mencairkan es di hati Arka. Namun masa lalu yang belum selesai dan luka yang belum sembuh membuat segalanya rumit.


Bab 1: Pria Tanpa Senyum

Rania menghela napas panjang saat memasuki gedung tinggi berarsitektur megah itu. PT. Mahendra Architect & Co. Tak semua orang bisa bekerja sama dengan perusahaan ini—apalagi dengan pemiliknya yang terkenal angkuh dan dingin: Arka Mahendra.

"Selamat pagi, saya Rania Damayanti. Ada janji dengan Pak Arka pukul sembilan," ujarnya kepada resepsionis.

Wanita itu memeriksa daftar digitalnya dan mengangguk. "Silakan naik ke lantai 15. Beliau sudah menunggu."

"Menunggu?" Rania mengerutkan kening. Biasanya orang-orang seperti Arka membuat orang lain menunggu.

Saat pintu lift terbuka di lantai 15, Rania melangkah ke ruangan besar yang minimalis, didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Di balik meja panjang penuh kertas desain, seorang pria berdiri membelakangi jendela besar, memandangi kota.

"Rania Damayanti," katanya tanpa menoleh. Suaranya dalam dan dingin. "Kau terlambat dua menit."

Rania tersentak. "Saya pikir itu masih bisa ditoleransi."

"Di dunia saya, dua menit bisa mengubah segalanya."

Ia berbalik. Mata hitam pekat itu menatap Rania seperti ingin menembus isi kepalanya. Dingin. Tidak ada emosi. Bahkan tidak ada senyum menyambut.

Dan saat itu juga, Rania tahu—pekerjaan ini tidak akan mudah. Tapi entah kenapa... hatinya berdetak tak karuan.

Bab 2: Jarak yang Ditarik

Rania duduk di kursi di seberang Arka, mencoba menenangkan detak jantungnya yang belum stabil sejak tatapan pria itu menusuknya beberapa menit lalu.

Arka mengulurkan selembar kertas desain. “Ini konsep awal bangunan galeri seni yang Anda inginkan. Saya baca brief Anda. Banyak improvisasi saya lakukan.”

Rania mengambil kertas itu. Tangannya nyaris bersentuhan dengan tangan Arka—tapi pria itu cepat menarik tangannya, seolah sentuhan itu adalah hal yang harus dihindari dengan segala cara.

Rania tersenyum kecil. “Apakah Anda selalu menjaga jarak seperti itu?”

Arka menatapnya sekilas. “Dengan semua orang.”

“Termasuk klien?”

“Termasuk siapa pun.”

Rania terkekeh. “Berarti saya harus siap-siap tidak dianggap istimewa ya.”

“Kecuali Anda bisa membuat pekerjaan saya lebih efisien.”

Jawaban itu tajam, tapi Rania menangkap sesuatu yang lain—bukan sekadar ketus. Ada ketakutan di balik sikap menjauh itu. Bukan pada orang lain. Tapi mungkin... pada kedekatan itu sendiri.

"Baiklah, Pak Arka. Kita mulai dari efisiensi dulu. Sisanya menyusul."

Untuk pertama kalinya, bibir Arka sedikit bergerak—tidak sampai membentuk senyum, tapi cukup untuk membuat Rania merasa menang satu poin kecil.

Di luar, hujan mulai turun pelan. Dan Rania tahu, musim dingin itu masih panjang. Tapi ia tak keberatan menunggu hingga salju itu mencair.


Bab 3: Retakan Pertama

Hari itu, langit Jakarta mendung seperti biasa. Tapi kantor Arka terasa lebih dingin dari biasanya—dan itu bukan karena pendingin ruangan.

Rania menatap layar laptopnya dengan frustrasi. Sudah hampir dua jam ia duduk di ruangan Arka, berdiskusi soal pemilihan material interior, dan pria itu hampir tak berbicara sepatah kata pun kecuali saat membantah idenya.

“Apa Anda memang selalu menolak semua ide orang lain?” Rania akhirnya bertanya, tak bisa lagi menahan kekesalan.

Arka menoleh perlahan. “Saya hanya menolak ide yang tidak efisien.”

“Tidak semua hal dalam hidup harus efisien, Pak Arka. Kadang manusia butuh keindahan, bukan hanya fungsi.”

Arka terdiam. Pandangannya bergeser ke arah jendela.

"Keindahan tidak bertahan lama. Fungsi bisa menyelamatkan sesuatu yang sekarat."

Kalimat itu terdengar seperti potongan masa lalu. Rania bisa merasakannya—Arka tidak sedang bicara soal desain interior.

Ia menatap pria itu, mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik wajah datarnya. Mata itu... mata yang seperti musim dingin abadi. Tapi setiap musim pasti pernah punya awal.

“Kalau saya bisa tanya,” Rania berkata pelan, “apa yang pernah sekarat, sampai Anda harus menyelamatkannya dengan logika dan efisiensi?”

Arka mendongak. Kali ini matanya langsung menatap Rania—lama dan tajam.

“Jangan pernah mencoba memahami saya, Bu Rania. Anda tidak akan sanggup.”

Rania mengangguk pelan. Tapi senyumnya tidak luntur.

“Saya tidak pernah takut mencoba, Pak Arka.”

Dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang retak di balik dinginnya wajah Arka Mahendra. Tipis. Tapi cukup untuk membiarkan angin hangat masuk sejenak.

Bab 4: Aroma Kopi dan Luka Lama

Proyek galeri seni mulai berjalan, dan hari-hari Rania makin sering dihabiskan di kantor Arka. Meski tetap menjaga jarak, pria itu tidak lagi mengusir keberadaannya. Dan bagi Rania, itu adalah bentuk kemajuan.

Pagi itu, ia datang lebih awal dari biasanya. Ruangan masih kosong, tapi aroma kopi segar memenuhi udara. Ia melangkah ke pantry kecil di ujung lantai dan terkejut menemukan Arka di sana—tanpa jas formal, hanya kemeja putih tergulung di lengan, dengan tangan yang memegang cangkir kopi.

“Kau datang pagi,” kata Arka, tanpa menoleh.

Rania tertawa kecil. “Biasanya itu kalimat yang saya ucapkan.”

Arka menyerahkan satu cangkir kopi pada Rania. “Saya tidak tahu selera kamu, jadi saya buat yang netral.”

“Ini... untuk saya?”

“Kalau bukan, saya tidak akan menawarkan.”

Rania menerima kopi itu dengan hati-hati, seolah sedang memegang sesuatu yang lebih rapuh dari porselen.

“Terima kasih.” Ia mencicipi sedikit. “Rasanya... hangat.”

“Memang itu tujuan kopi.”

“Bukan. Maksud saya... kamu.”

Arka menatap Rania dengan ekspresi datar, tapi kali ini ia tidak menjawab dengan ketus. Ia hanya diam, menyesap kopinya pelan.

“Mantan saya suka kopi pahit,” katanya tiba-tiba.

Rania nyaris tersedak. “Maaf?”

Arka masih menatap cangkirnya, seperti berbicara pada bayangan masa lalu. “Dulu saya kira, kalau saya bisa menciptakan dunia yang teratur, dia akan merasa aman. Tapi ternyata... yang ia butuhkan adalah kehangatan, bukan kestabilan.”

Keheningan menyelimuti ruangan kecil itu.

“Apa kamu masih mencintainya?” tanya Rania pelan, nyaris seperti bisikan.

Arka tidak menjawab. Ia hanya menghela napas dan meletakkan cangkirnya ke atas meja.

“Cinta,” katanya akhirnya, “tidak pernah pergi. Tapi kadang dia tinggal hanya untuk menghantui.”

Rania menatap pria itu lama. Ia tahu, dirinya baru saja melihat sisi lain dari Arka Mahendra—bukan hanya dingin, tapi juga hancur.

Dan ia tahu pula, dirinya semakin terjebak

Bab 5: Suara dari Masa Lalu

Hari itu, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Arka duduk di ruang meeting, menatap presentasi desain terbaru dari timnya dengan ekspresi datar. Rania duduk di sebelahnya, menyimak dengan penuh perhatian—sambil sesekali melirik pria itu yang terlihat lebih kaku dari biasanya.

Hingga sebuah suara masuk ke ruangan, mengubah semuanya.

"Arka."

Suara lembut tapi tegas itu datang dari arah pintu. Seorang wanita dengan penampilan elegan berdiri di ambang, rambutnya disanggul rapi, wajahnya tenang namun tajam. Semua mata langsung tertuju padanya.

Rania tak tahu kenapa, tapi hatinya langsung merasakan sesuatu yang tidak enak.

Arka menoleh perlahan. Ekspresinya tidak berubah—tetap dingin, tetap tenang. Tapi sorot matanya bicara lain.

“Saskia.”

Nama itu meluncur dari bibirnya seperti mantra yang tak ingin ia ucapkan lagi.

Saskia melangkah masuk tanpa izin. “Kita perlu bicara. Sekarang.”

“Ini bukan waktu yang tepat.”

“Lima menit saja, Arka. Untuk masa lalu yang kau tinggalkan tanpa penjelasan.”

Semua orang di ruangan itu menunduk, pura-pura sibuk. Kecanggungan menebal.

Arka berdiri. “Rania, tolong lanjutkan review desain. Aku akan kembali.”

Rania mengangguk pelan. Tapi di hatinya, perasaan aneh itu tumbuh seperti kabut tipis: antara cemburu, penasaran, dan takut kehilangan sesuatu yang belum sempat ia miliki.

Di luar ruangan, Arka dan Saskia berdiri berhadapan. Suasana sunyi. Dingin. Tegang.

“Kau bahkan tidak datang ke pernikahanku,” kata Saskia pelan.

“Kau tidak ingin aku datang.”

“Aku ingin kau memohon agar aku tidak menikah.”

Arka memalingkan wajahnya. “Tapi aku tidak pernah bisa memohon.”

Saskia mendekat, matanya menatap pria itu dalam-dalam. “Dan sekarang kau punya pengganti ya? Perempuan yang tadi itu—dia hanya klien? Atau pelarian?”

Arka menatap tajam. “Dia bukan siapa-siapa bagimu.”

“Tapi mungkin dia mulai jadi sesuatu untukmu.”

Saskia tersenyum tipis—pahit, seperti luka yang belum sembuh. Lalu ia pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Dan Arka berdiri di lorong kosong itu, dengan dada yang kembali dipenuhi bayang-bayang. Ia sadar: musim dingin di hatinya belum berakhir.

Bab 6: Senyum yang Tak Sama

Tiga hari sejak kedatangan Saskia, Arka berubah. Ia kembali menjadi pria yang menjaga jarak, bicara seperlunya, dan selalu tampak seperti sedang berada di tempat lain. Rania merasakannya—dan itu membuat hatinya tak tenang.

Mereka sedang berdiskusi soal pencahayaan ruangan galeri ketika Arka memotong pembicaraan dengan datar.

“Kita ganti vendor. Saya tidak mau pakai yang sebelumnya.”

Rania mengerutkan kening. “Tapi vendor itu sudah paham konsep kita. Kenapa mendadak diganti?”

“Karena saya tidak percaya pada yang tidak konsisten.”

Rania menatapnya. “Ini soal pekerjaan, atau soal kamu yang sedang kehilangan kendali atas sesuatu?”

Arka membalas tatapannya tajam. Tapi Rania tidak menghindar.

“Ada yang berubah sejak wanita itu datang, Arka,” ucapnya pelan. “Dan kamu pikir aku tidak menyadarinya?”

Arka tidak menjawab. Ia hanya duduk, menunduk, seolah menimbang sesuatu.

“Saskia ingin kembali,” katanya akhirnya. “Dia bilang pernikahannya sudah berakhir. Dia... ingin memperbaiki yang pernah rusak.”

Rania terdiam. Dada sesaknya seperti tak bisa ditahan.

“Dan kamu?” bisiknya. “Apa kamu ingin dia kembali juga?”

Arka memejamkan mata sejenak. “Aku tidak tahu.”

Jawaban itu lebih menyakitkan daripada jika ia berkata ya.

Rania berdiri. “Kamu tahu, Arka. Aku bisa terima kamu yang dingin. Aku bisa hadapi sikapmu yang menjauh. Tapi... aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi kamu yang masih menggenggam masa lalu, dan membiarkannya menenggelamkan semuanya.”

Ia melangkah pergi. Tapi sebelum pintu tertutup, ia menoleh sejenak.

“Kalau memang musim dingin di hatimu belum bisa mencair, setidaknya jangan biarkan orang yang membawa salju itu masuk lagi.”

Dan Arka dibiarkan sendiri—lagi.

Bab 7: Dalam Pelukan Masa Lalu

Saskia muncul lagi di kantor Arka, kali ini tidak hanya sebagai bayangan dari masa lalu, tapi sebagai mitra proyek dari perusahaan desain ternama yang mendadak mengajukan kolaborasi dengan galeri seni Rania.

Rania menerima proposal itu dengan ragu, dan perasaannya runtuh ketika mendapati nama Saskia tertulis sebagai direktur kreatif proyek tersebut.

Arka memanggil Rania ke ruangannya. Matanya gelap, rahangnya mengeras. “Kamu menyetujui kerja sama ini?”

“Aku kira kamu yang menyetujui lebih dulu,” jawab Rania tajam. “Toh kamu dan Saskia sudah pernah bekerja sama sebelumnya, kan?”

“Jangan campur adukkan profesional dan personal.”

Rania tertawa kecut. “Kau yang mulai, Arka. Atau jangan-jangan, ini cara Saskia untuk masuk lagi ke hidupmu?”

Arka berdiri, mendekat. “Saskia bukan bagian dari hidupku lagi.”

“Tapi dia tetap punya kunci untuk membuka pintunya kembali.”

Keheningan menebal. Tapi sebelum Rania sempat berbalik pergi, pintu diketuk dan Saskia masuk—dengan tenang, percaya diri, dan senyum yang menusuk.

“Oh, maaf mengganggu,” katanya sambil menatap Rania. “Aku hanya ingin memastikan Arka sudah mendapat materi desain dari timku. Kami ingin semuanya lancar. Profesional, tentu saja.”

Tatapan Rania dan Saskia bertemu, dan untuk sesaat, dunia seakan membeku.

“Aku akan kirim revisi dari timku sore ini,” kata Rania dingin. “Supaya tidak ada yang salah paham antara profesionalisme dan... nostalgia.”

Saskia tersenyum. “Terima kasih, Rania. Aku yakin kita bisa bekerja sama dengan baik. Lagipula, kita punya satu selera yang sama, bukan?”

Arka berdiri di antara dua wanita itu, seperti pusat badai yang perlahan membangkitkan musim dingin terburuk.

Bab 8: Pilihan yang Tak Pernah Mudah

Sore itu, hujan turun deras. Di ruang kerja yang sunyi, Arka berdiri membelakangi jendela, menatap derasnya air hujan seolah mencari jawaban. Di meja, dua dokumen kontrak terbuka—satu dari perusahaan Rania, satu lagi dari perusahaan Saskia.

Rania masuk tanpa mengetuk. Wajahnya tegas, tapi matanya tak bisa menyembunyikan luka.

“Aku mau bicara.”

Arka mengangguk. “Silakan.”

“Aku tahu kamu belum membuat keputusan. Tapi aku tidak akan pura-pura kuat, Arka. Ini menyakitkan. Bekerja denganmu saat kamu membiarkan masa lalu berdiri di antara kita—itu menyakitkan.”

Ia melangkah ke depan, berdiri di depan pria itu, menatapnya langsung.

“Aku tidak akan memaksamu memilih aku. Tapi jika kamu tetap membiarkan Saskia berada di proyek ini, aku akan mundur. Bukan karena aku kalah, tapi karena aku tahu kapan harus menyelamatkan diriku sendiri.”

Arka menunduk, rahangnya mengeras. “Aku tidak pernah minta kamu bertahan.”

“Dan aku tidak akan memohon untuk dipilih.”

Rania berbalik hendak pergi, tapi saat itu pintu kembali terbuka. Saskia masuk—sekali lagi tanpa aba-aba.

“Maaf. Sepertinya aku datang di waktu yang buruk.”

Rania dan Saskia saling menatap. Tegang. Hening.

“Tidak, kau datang di saat yang tepat,” potong Arka.

Kedua wanita itu kini menatapnya bersamaan.

Arka menarik napas dalam. “Aku tidak bisa pura-pura netral. Tidak bisa terus bertahan dalam dua dunia. Jadi hari ini, aku akan memilih.”

Rania menahan napas.

Saskia bersandar ringan ke sisi meja, yakin akan jawabannya.

Arka memandang keduanya satu per satu. Lalu berkata pelan, “Aku akan tetap jalankan proyek ini dengan perusahaan Rania. Dan aku ingin kamu, Saskia, tidak lagi terlibat dalam proyek ini.”

Keheningan menggantung tebal.

Saskia menegang, senyumnya runtuh perlahan.

“Jadi begitu,” bisiknya. “Kau akhirnya memilih musim semi itu.”

Arka tak menjawab.

Rania menatapnya, tak percaya. Bukan karena senang, tapi karena luka itu terlalu lama tertahan.

Saskia melangkah keluar tanpa kata. Tak ada drama. Hanya sisa luka yang menggantung di udara.

Dan di ruangan itu, Arka dan Rania berdiri saling menatap—dua hati yang terluka, dua jiwa yang belum sembuh, tapi untuk pertama kalinya... tidak saling membelakangi.

Bab 9: Retak yang Masih Terlihat

Sudah seminggu sejak Saskia benar-benar pergi dari proyek itu. Arka dan Rania melanjutkan kerja sama mereka, namun hubungan yang dulu perlahan menghangat kini dipenuhi diam-diam yang menggigit. Bukan karena benci, melainkan karena sama-sama takut melangkah.

Suatu malam, saat lembur di galeri yang hampir rampung, Rania membawa dua cangkir kopi ke ruang kerja. Arka duduk di kursi, masih menatap cetak biru tanpa berkata-kata.

"Aku bawa kopi. Pahit, tanpa gula, seperti biasa," ucap Rania lembut.

Arka menoleh, menerima cangkir itu. "Terima kasih."

Mereka duduk dalam diam cukup lama, sampai akhirnya Rania bicara.

"Aku pikir, setelah kau memilih... semuanya akan jadi lebih mudah."

Arka menatap ke arah lukisan di dinding, lalu pelan berkata, "Aku memilih kamu bukan karena Saskia tidak layak. Tapi karena kamu membuatku ingin bertahan di hari ini, bukan terjebak di masa lalu."

Rania terdiam. Matanya memanas.

"Tapi aku tidak bisa janji akan mencintaimu dengan sempurna, Ran," lanjut Arka, pelan namun jujur. "Aku rusak. Dingin. Penuh bayang-bayang."

Rania mengangguk, meski hatinya sakit.

"Aku tahu. Tapi aku tidak butuh kamu sempurna. Aku cuma butuh kamu jujur. Butuh tahu bahwa saat aku ada di sampingmu, kamu tidak menatap seseorang yang sudah pergi."

Arka menatapnya. Lama. Dalam.

"Apakah kamu bisa... tetap di sini?" bisiknya.

"Aku akan tetap di sini," jawab Rania, "asal kamu berhenti berjalan sambil menoleh ke belakang."

Di antara mereka, keheningan tumbuh seperti pohon yang baru tumbuh dari tanah beku. Mungkin belum kuat. Mungkin masih bisa patah kapan saja. Tapi ia ada—dan itu sudah cukup untuk malam ini.

Bab 10: Belajar Menyentuh Hati

Hari-hari berlalu dengan pelan. Galeri seni itu akhirnya selesai direnovasi, berdiri megah dengan sentuhan modern dan kehangatan yang pelan-pelan meresap ke dindingnya. Tapi bagi Arka dan Rania, pekerjaan itu hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih sulit—membangun rasa percaya.

Malam sebelum pembukaan resmi, mereka berdiri berdua di aula utama. Lampu-lampu lembut memantul di lantai kayu, lukisan-lukisan tergantung rapi, dan aroma cat baru masih samar terasa.

“Tempat ini terasa... hidup,” kata Rania pelan.

Arka menatap sekeliling, lalu menoleh padanya. “Mungkin karena kamu yang mengisinya.”

Rania tersenyum tipis. “Aku tidak akan bohong, Arka. Kadang aku masih takut. Takut kamu berubah pikiran. Takut bayangan Saskia masih berdiam di sudut-sudut yang tak terlihat.”

Arka tidak menjawab segera. Ia melangkah mendekat, lalu berkata, “Aku juga takut. Tapi bukan karena Saskia. Aku takut tidak bisa jadi lelaki yang pantas untuk kamu percaya.”

Ia menatap mata Rania, lalu melanjutkan, “Tapi aku ingin belajar. Kalau kamu bersedia menunggu.”

Rania mengangguk. “Aku tidak ingin menunggu kamu jadi sempurna. Aku cuma ingin kamu belajar berdiri di sini, bersamaku, bukan di masa lalu.”

Arka mengangkat tangannya, pelan-pelan meraih jemari Rania.

“Kalau begitu,” bisiknya, “ajarkan aku bagaimana caranya menyentuh hati seseorang tanpa membuatnya retak.”

Rania tersenyum, kali ini lebih dalam. “Pertama, kamu harus berhenti berpikir kamu tidak layak mencintai.”

Mereka berdiri di sana cukup lama, dalam keheningan yang anehnya tak lagi terasa dingin. Di luar, musim mulai berganti. Salju pertama tahun itu turun pelan, tapi di dalam aula itu, dua hati yang patah sedang belajar menyatu.

Bab 11: Bayang-Bayang yang Masih Hidup

Pembukaan galeri berlangsung sukses. Arka dan Rania berdiri berdampingan di antara tepuk tangan tamu undangan, senyum mereka tipis tapi nyata. Namun bahkan dalam sorot lampu dan riuh ucapan selamat, Rania bisa merasakan sesuatu dalam diri Arka—seperti bagian hatinya masih tertahan di tempat yang tak terlihat.

Malam itu, setelah semua tamu pergi dan ruangan kembali sepi, Rania mendapati Arka berdiri sendirian di depan lukisan tua—lukisan abstrak penuh warna gelap yang tak pernah ia komentari sebelumnya.

“Lukisan itu... siapa yang buat?” tanya Rania pelan.

Arka tak langsung menjawab. Jemarinya menggenggam erat saku celana.

“Saskia,” katanya akhirnya. “Dia membuat ini waktu kami hampir menikah. Aku dulu tak tahu maknanya. Tapi setelah semuanya berakhir, aku mengerti.”

“Maknanya?”

“Ini tentang rasa kehilangan yang dibuat-buat. Tentang menahan seseorang hanya karena takut sendirian, bukan karena cinta.” Arka menarik napas dalam. “Dia membuatku merasa dicintai, padahal yang dia cintai hanyalah bayangan dirinya sendiri yang sempurna.”

Rania berdiri di sampingnya. “Kamu masih menyalahkan dirimu?”

Arka menoleh padanya. “Aku menyalahkan diriku karena terlalu lama bertahan di tempat yang seharusnya kutinggalkan.”

Rania menggenggam tangannya. “Tapi sekarang kamu sudah memilih jalan baru.”

Arka mengangguk, perlahan. “Iya. Tapi jalan baru pun tetap membawa bekas luka dari jalan lama.”

Mereka berdiri dalam diam sejenak, lalu Arka berkata, “Aku ingin menyingkirkan lukisan ini dari galeri.”

“Kenapa?”

“Karena aku ingin tempat ini jadi awal, bukan pengingat akan akhir yang menyakitkan.”

Rania menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, mari kita pilih bersama lukisan pengganti. Satu yang kamu pilih bukan karena kenangan, tapi karena harapan.”

Arka menatap Rania, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ada ketenangan di matanya. Bukan karena masa lalunya sudah selesai—tapi karena ia akhirnya punya seseorang yang mau berjalan bersamanya melewati sisa-sisa yang belum sepenuhnya hilang.

Bab 12: Luka yang Tak Pernah Diceritakan

Tiga hari setelah pembukaan galeri, Arka mengajak Rania pergi ke tempat yang tak pernah ia ceritakan sebelumnya—sebuah rumah tua di pinggir kota, tersembunyi di balik pohon-pohon cemara yang menjulang sunyi.

“Ini rumah keluarga,” kata Arka pelan saat mereka berhenti di depan pagar yang mulai berkarat. “Tempat di mana semuanya dimulai… dan berakhir.”

Rania hanya menggenggam tangannya lebih erat. Tak banyak bertanya, hanya menemani.

Mereka masuk ke dalam. Bau kayu tua dan debu menyambut mereka. Di ruang tengah, ada tumpukan buku, beberapa foto tua, dan sebuah piano usang. Arka berjalan ke arah jendela yang menghadap ke halaman belakang, tempat pohon apel tumbuh setengah layu.

“Dulu, Ibu selalu main piano di sore hari,” katanya. “Ayah jarang pulang. Tapi setiap kali ia datang, selalu ada pertengkaran.”

Rania mendekat, mendengarkan.

“Sampai suatu malam… mereka berdua pergi. Kecelakaan. Aku masih remaja. Setelah itu, aku tinggal sendirian di rumah ini selama bertahun-tahun.”

Suara Arka mulai serak.

“Aku membangun dinding bukan karena ingin terlihat kuat. Tapi karena dulu… tak ada siapa pun yang menanyakan apakah aku baik-baik saja.”

Rania menggenggam tangannya lebih erat. “Sekarang ada aku, Arka.”

Ia menoleh, matanya berkaca. “Aku takut membuka semua ini. Karena aku pikir, kalau orang tahu betapa kosongnya aku… mereka akan pergi.”

Rania menggeleng. “Aku di sini bukan karena kamu sempurna. Aku di sini karena aku lihat dirimu yang sebenarnya—dan aku tetap memilih bertahan.”

Arka menunduk, untuk pertama kalinya membiarkan air matanya jatuh tanpa rasa malu.

Di rumah tua itu, masa lalu Arka tak lagi jadi beban yang harus disembunyikan. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya rapuh di depan seseorang. Dan untuk pertama kalinya juga, musim dingin dalam dirinya mulai benar-benar mencair.

Bab 13: Surat dari Masa Lalu

Beberapa minggu setelah kunjungan ke rumah lamanya, kehidupan Arka dan Rania berjalan lebih stabil. Meski luka belum sepenuhnya sembuh, setidaknya mereka kini tahu cara saling merawat. Namun ketenangan itu retak di suatu sore, saat seorang kurir datang membawa sebuah amplop cokelat tanpa nama pengirim.

Arka membuka amplop itu di depan Rania. Di dalamnya, hanya ada satu benda: sepucuk surat tulisan tangan dengan inisial yang begitu familiar.

“S.”

Dengan napas tercekat, Arka mulai membaca. Rania duduk di sampingnya, diam tapi waspada.

Arka,
Jika kamu membaca ini, artinya aku benar-benar pergi.
Bukan secara fisik—tapi pergi dari duniamu.

Aku tahu kamu membenciku. Mungkin kamu pikir aku mempermainkanmu, tapi yang sebenarnya adalah… aku takut.

Takut karena kamu terlalu nyata.
Takut karena kamu mencintai aku yang bahkan aku sendiri tak bisa kenali.

Aku tak ingin kamu selamanya terikat pada apa yang pernah kita miliki. Tapi aku juga tak ingin kamu melupakan semua begitu saja.

Karena di balik semua luka, kamu adalah satu-satunya rumah yang pernah aku miliki.

Maaf.

Saskia.

Arka terdiam cukup lama setelah membaca surat itu. Matanya kosong, bukan karena rindu, tapi karena campuran emosi yang terlalu rumit untuk diuraikan.

“Dia… benar-benar tahu caranya menutup cerita,” bisiknya akhirnya.

Rania menatapnya hati-hati. “Apa kamu masih mencintainya?”

Arka menoleh, menatap Rania dengan mata yang jujur, lelah, tapi tenang.

“Tidak. Tapi aku pernah begitu mencintainya, sampai lupa mencintai diriku sendiri. Sekarang aku ingin mencintai... tanpa menghilang dalam cinta itu.”

Rania mengangguk pelan. “Maka izinkan aku menjadi seseorang yang mengingatkan kamu pada siapa dirimu.”

Arka menghela napas panjang, lalu menyobek surat itu pelan-pelan. Ia menatap potongan kertas yang kini beterbangan ke lantai, lalu berkata, “Ini akhir dari satu bab. Dan aku siap memulai yang baru. Bersamamu.”

Rania menggenggam tangannya. “Kalau begitu, mari kita tulis bab yang tidak ada penyesalan di dalamnya.”

Mereka tidak saling berpelukan. Tidak menangis. Tapi di antara keheningan yang baru itu, ada janji yang lebih kuat dari kata-kata: mereka akan berjalan bersama, bahkan jika bayangan masa lalu masih mencoba menolehkan kepala mereka ke belakang.

Bab 14: Di Antara Dua Pilihan

Pagi itu, matahari musim semi menyelinap masuk lewat jendela kamar Rania. Ia membuka email seperti biasa, tak mengira akan menemukan sesuatu yang membuat dadanya sesak.

Subjek: Penawaran Posisi Kurator Senior — Galeri Seni Modern Tokyo

Rania membaca ulang surat digital itu. Tawaran itu sah, resmi, dan... luar biasa. Posisi yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Tapi sekarang, saat peluang itu nyata di depan mata, langkahnya justru terasa berat.

Ia menceritakan semuanya pada Arka malam harinya, saat mereka duduk di balkon apartemen dengan dua cangkir teh hangat.

“Aku belum tahu harus bilang apa,” kata Rania akhirnya. “Ini mimpi, Arka. Tapi juga... bisa berarti meninggalkan semuanya. Termasuk kamu.”

Arka menatap langit malam. “Kapan kamu harus jawab?”

“Tiga hari lagi.”

Hening menyelimuti mereka. Lalu Arka berkata, “Kamu harus pergi.”

Rania menoleh cepat, terkejut. “Apa?”

Arka menatapnya, suara pelan namun mantap. “Kamu harus pergi kalau itu memang yang kamu inginkan. Jangan tinggal hanya karena aku.”

“Tapi aku—”

“Aku tidak ingin jadi alasan kamu menyesal suatu hari nanti.”

Rania menggigit bibirnya, menahan air mata yang mendesak.

“Aku tidak ingin meninggalkan kamu,” katanya.

“Tapi kamu juga tidak bisa meninggalkan dirimu sendiri.”

Kalimat itu menghantam keras, karena Rania tahu itu benar.

“Bagaimana dengan kita?” bisik Rania. “Apa kita akan berakhir seperti ini?”

Arka menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tapi kalau cinta ini benar, dia akan bertahan. Bahkan melintasi jarak.”

Rania tertawa getir. “Kamu sudah mulai terdengar seperti tokoh film romantis.”

Arka tersenyum tipis. “Mungkin karena aku mulai percaya bahwa cinta... tidak selalu harus memiliki bentuk yang sama. Tapi dia harus jujur.”

Rania mengangguk, perlahan. Malam itu mereka tidak bicara banyak lagi. Hanya duduk bersebelahan, membiarkan keheningan menjadi tempat mereka saling memahami.

Bab 15: Malam Sebelum Keberangkatan

Hujan gerimis turun saat Rania berdiri di depan galeri. Ini malam terakhirnya di Jakarta sebelum terbang ke Tokyo esok pagi. Semua telah dikemas, tiket sudah di tangan, dan keputusan telah diambil—dengan hati yang setengah yakin, setengah bergetar.

Arka datang tak lama kemudian. Jas hujan masih menempel di tubuhnya, rambutnya basah sebagian. Mereka hanya saling menatap tanpa banyak kata. Di antara mereka, ada keheningan yang tidak dingin—melainkan hangat dan mengerti.

“Aku kira kamu akan memintaku untuk tetap,” ucap Rania pelan, tanpa menoleh.

“Aku ingin,” balas Arka, suaranya dalam. “Tapi aku tahu kamu harus pergi.”

Rania menarik napas panjang. “Aku takut. Bukan karena negara asing atau pekerjaan baru. Tapi takut... kita akan hilang satu sama lain.”

Arka melangkah lebih dekat, berdiri di hadapannya. “Kalau kita hilang, maka itu bukan karena jarak. Tapi karena kita berhenti percaya.”

Rania menunduk. “Aku tidak ingin berhenti percaya.”

Arka menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Maka jangan. Aku akan tetap di sini. Melukis, menunggu kabar darimu. Dan mungkin suatu hari... saat waktunya tepat, kamu akan kembali.”

Rania memeluknya, erat, seperti mencoba merekam seluruh kenangan mereka ke dalam tubuhnya.

“Arka,” bisiknya, “kamu adalah satu-satunya musim dingin yang membuatku bertahan.”

Arka memejamkan mata, membalas pelukannya. “Dan kamu adalah hangat yang tak pernah kuharapkan, tapi ternyata sangat kubutuhkan.”

Malam itu, mereka berpisah tanpa janji yang rumit. Tanpa kata-kata ‘selamanya’ yang sering berakhir sebagai kebohongan. Hanya ada satu kesepakatan: mereka akan terus hidup, terus mencinta, dan terus percaya—meski di tempat yang berbeda.

Dan saat pesawat Rania lepas landas esok harinya, Arka berdiri di balkon apartemennya, memandangi langit yang mulai cerah, sambil melukis. Bukan wajah Saskia, bukan kenangan kelam—melainkan senyum Rania, yang kini menjadi cahaya di antara musim dinginnya.

Epilog: Setahun Kemudian

Musim dingin menyelimuti Tokyo, dan butiran salju pertama tahun ini jatuh pelan di jendela apartemen kecil di distrik Meguro. Di dalam, Rania duduk di kursi dekat jendela, secangkir teh melati mengepul di tangannya. Di pangkuannya, sebuah surat—dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal.

Rania,

Hari ini di Jakarta juga hujan salju. Bukan benar-benar salju, tentu saja. Tapi putihnya bunga kamboja di halaman galeri membuatku mengingat hari kamu pergi.

Setiap malam aku masih duduk di balkon, memandang bintang, dan membayangkan kamu sedang menatap langit yang sama. Aku terus melukis. Beberapa lukisan tentangmu sudah berpindah ke dinding orang-orang yang bahkan tak tahu siapa kamu, tapi katanya... hangatnya terasa.

Kalau kamu tanya apakah aku menunggumu—aku tidak akan menjawab dengan kata ‘menunggu’. Aku hidup. Tapi di dalamnya, selalu ada ruang kecil untuk kamu pulang.

Dan jika suatu hari kamu merasa lelah dengan gemerlap dunia, pintu itu tidak pernah tertutup.

—Arka

Air mata mengalir pelan dari sudut mata Rania. Ia meraih koper kecil di pojok ruangan, membuka resletingnya, dan mengambil satu benda—tiket pesawat kembali ke Jakarta.

Senyumnya kecil, tapi pasti. Ia tidak tahu bagaimana akhir dari semua ini. Tapi ia tahu, hatinya tidak lagi ingin ragu.

Karena cinta yang tumbuh dalam keheningan, dalam luka dan keberanian... adalah cinta yang tak mudah padam.

Dan di antara musim dingin yang menusuk, ia memilih pulang ke hangat yang pernah menyelamatkannya.


TAMAT

Terima kasih telah mengikuti kisah Musim Dingin di Matamu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh