Sepucuk Surat dari Masa Kecil

 Sepucuk Surat dari Masa Kecil




Bab 1: Surat di Bawah Pohon Mangga

Matahari sore menyelinap malu-malu di sela dedaunan pohon mangga yang rindang di halaman belakang rumah nenek. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan kenangan yang hampir terlupakan. Di bawah pohon itu, tempat yang dulu menjadi kerajaan rahasia bagi dua anak kecil, kini berdiri seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun—Naya.

Ia menunduk, menyentuh akar besar yang masih menonjol keluar dari tanah. Di sanalah dulu ia dan sahabat kecilnya, Raka, sering duduk berdua. Mereka menggambar di tanah, berbagi permen, dan... menulis surat-surat kecil yang dikubur dalam kotak biskuit bekas.

"Apa masih ada?" gumam Naya sambil mulai menggali pelan dengan tangan kosong.

Tak butuh waktu lama hingga jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras dan berkarat. Kotak itu, meski usang, masih utuh. Degup jantung Naya semakin cepat saat ia membuka penutupnya.

Di dalamnya, ada beberapa kertas lusuh, permen karet yang sudah mengeras, dan... sepucuk surat dengan tulisan tangan yang tak asing: Untuk Naya, kalau kamu baca ini, berarti kamu udah besar. Jangan ketawa ya...

Tangannya gemetar saat membuka surat itu. Tulisan Raka yang berantakan tapi hangat menyapa seperti suara yang datang dari masa lalu.

"Naya, aku suka kamu. Suka banget. Tapi Mama bilang kita bakal pindah jauh. Aku nggak tahu nanti bisa ketemu kamu lagi atau nggak. Tapi aku janji, kalau aku udah besar, aku bakal nyari kamu. Tunggu aku, ya."

Naya menahan napas. Surat itu ditulis dua belas tahun lalu, sehari sebelum Raka menghilang dari hidupnya tanpa kabar.

Dan saat ia menoleh ke arah pagar belakang yang berderit tertiup angin, suara laki-laki dewasa yang familiar terdengar.

“Masih suka nyari surat di bawah pohon mangga?”

Naya terdiam. Suara itu... Ia mengenalnya. Ia menoleh perlahan, dan di sana berdiri seorang pria dengan senyum yang belum berubah sedikit pun.

Raka telah kembali.

Bab 2: Kita yang Tertinggal Waktu

Raka berdiri di sana, sedikit lebih tinggi dari yang Naya ingat. Rambutnya lebih pendek, kulitnya sedikit lebih gelap, tapi senyum itu—senyum yang selalu muncul setiap kali ia berhasil membuat Naya tertawa di antara pelajaran matematika dan main lompat tali—masih sama.

Naya tercekat. Dunia seakan berhenti bergerak.

“Aku enggak mimpi, kan?” bisiknya.

Raka tersenyum lebih lebar. “Kalau iya, berarti kita berdua mimpiin hal yang sama.”

Langkah mereka terasa canggung saat berjalan mendekat, seolah jarak dua belas tahun tak bisa dijembatani dalam beberapa detik. Tapi ketika mereka berdiri saling berhadapan, diam yang melingkupi terasa seperti pelukan dari masa lalu.

“Aku pikir kamu nggak bakal balik,” kata Naya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Raka menunduk sejenak, lalu menatapnya penuh arti. “Aku pernah janji, kan?”

Naya menggenggam surat yang tadi ia temukan. “Aku baca surat ini... barusan.”

Raka melirik kotak karat yang tergeletak di tanah, lalu kembali menatap Naya. “Kamu masih nunggu?”

Pertanyaan itu menampar Naya dengan lembut. Menunggu? Ia bahkan nyaris melupakan semua kenangan itu. Hidup terus berjalan. Sekolah. Kuliah. Pekerjaan. Tapi ada ruang kecil dalam dirinya yang selalu kosong—dan ia tak pernah tahu kenapa.

“Sampai kemarin, aku pikir enggak,” jawab Naya pelan. “Tapi sekarang... mungkin aku cuma enggak sadar.”

Raka tertawa kecil. “Aku sempat ragu buat datang. Aku enggak tahu kamu masih di sini, atau sudah lupa sama bocah kampung yang suka nyembunyiin surat.”

“Bocah kampung itu satu-satunya alasan aku balik ke sini,” jawab Naya cepat, lalu tersenyum malu.

Sore itu mereka duduk kembali di bawah pohon mangga, seperti dua anak kecil yang tak pernah benar-benar beranjak dewasa. Cerita-cerita mengalir, tawa pecah sesekali, dan diam-diam, waktu mulai menghapus jarak yang tertinggal.

Dan saat langit mulai berubah warna, Raka menoleh padanya dan berkata, “Aku enggak mau kehilangan kamu dua kali.”

Naya menatap matanya. Di sana, tak ada keraguan.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Naya merasa... pulang.

Bab 3: Jejak yang Belum Hilang

Seminggu sejak pertemuan itu, Naya merasa hidupnya berwarna kembali. Raka datang hampir setiap hari, kadang membawa es krim rasa stroberi favoritnya, kadang hanya datang dengan cerita-cerita lucu dari perantauannya selama ini. Mereka menyusuri kembali tempat-tempat masa kecil—tangga rumah nenek, gang sempit dekat sungai, bahkan warung tua tempat mereka dulu suka beli jajan.

Namun di balik semua kehangatan itu, ada sesuatu yang mulai terasa janggal.

Hari itu, mereka duduk di beranda rumah Naya, menyesap teh hangat sambil memandangi hujan yang turun perlahan. Raka tampak lebih diam dari biasanya.

“Kamu kenapa?” tanya Naya akhirnya, mencoba menebak isi pikirannya.

Raka tersenyum singkat. “Nggak apa-apa.”

Tapi matanya bicara lain. Ada keraguan di sana—dan Naya bisa merasakannya.

Tak lama kemudian, ponsel Raka berdering. Ia melihat layarnya sebentar, wajahnya menegang. Ia bangkit berdiri.

“Maaf, aku harus angkat. Penting,” katanya sambil melangkah menjauh.

Dari tempatnya duduk, Naya masih bisa mendengar samar suara Raka.

“Iya… aku tahu. Tapi jangan telepon aku terus. Aku bilang, aku butuh waktu…”

Hening. Lalu suara langkah cepat, dan ponsel itu dimasukkan ke sakunya sebelum ia kembali duduk, seolah tak terjadi apa-apa.

“Kamu yakin kamu nggak nyembunyiin sesuatu?” tanya Naya pelan.

Raka terdiam. Hujan masih turun.

“Ada yang belum kamu ceritain, kan?”

Raka menatapnya, lama. Lalu ia menghela napas panjang. “Aku memang balik buat nyari kamu, Naya. Tapi bukan cuma itu.”

“Apa maksudmu?”

“Aku udah tunangan, Nay.”

Ucapan itu jatuh seperti guntur di tengah hujan yang tenang.

Naya terpaku. “Apa…?”

“Aku nggak pernah serius sama dia,” lanjut Raka cepat. “Itu semua desakan keluarga. Tapi sejak aku nemu lagi surat-surat kita... aku tahu aku harus cari kamu. Harus tahu, apakah... masih ada sesuatu di antara kita.”

Naya bangkit dari kursinya. Matanya panas, tapi bukan karena marah—karena kecewa.

“Jadi aku ini apa? Percobaan?”

“Bukan begitu. Aku cuma… aku butuh tahu.”

“Dan kalau ternyata aku masih di sini, kamu tinggal ninggalin dia gitu aja?”

Raka terdiam. Hujan mulai deras.

Dan dalam hati Naya, sebuah lubang kecil yang dulu sempat ditutup oleh harapan, kini mulai retak kembali.

Bab 4: Nama yang Tak Ingin Didengar

Hujan berhenti, menyisakan tetesan air yang menggantung di ujung daun dan langit kelabu yang belum benar-benar tenang. Tapi yang lebih berat dari langit adalah hati Naya—penuh tanya, penuh luka yang baru saja dikoyak oleh nama yang belum disebutkan, tapi sudah cukup untuk mengguncang semuanya.

Raka masih berdiri di tempatnya, basah oleh gerimis terakhir. Ia seperti ingin bicara lagi, tapi Naya lebih dulu melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu pelan. Tidak membantingnya. Karena rasa sakit yang tenang kadang lebih menusuk dari kemarahan.

Keesokan harinya, Naya memutuskan untuk tidak menemui Raka. Ia pergi ke kedai kopi langganannya, mencoba menenangkan diri, mencoba bersikap biasa. Tapi tak ada yang terasa biasa setelah pengakuan semalam.

“Halo, Nay?” suara seseorang membuatnya menoleh.

Seorang perempuan berambut lurus sebahu dengan kemeja putih rapi berdiri di dekat mejanya. Wajahnya cantik. Terlalu cantik untuk pagi yang buram seperti ini. Naya mengenal wajah itu. Dulu mereka satu sekolah, satu angkatan. Tapi bukan teman dekat.

Siska.

“Boleh duduk?” tanya Siska sambil tersenyum kecil.

Naya mengangguk kaku.

“Aku langsung aja, ya.” Siska menatap matanya. “Aku tunangannya Raka.”

Seketika, udara terasa lebih dingin dari AC yang menggantung di dinding kedai.

“Aku tahu dia ketemu kamu lagi. Dia cerita. Dan... aku juga tahu kalian punya masa lalu,” lanjut Siska, tenang tapi jelas. “Tapi masa lalu tetap masa lalu, Nay.”

Naya menatap wajah perempuan itu. Matanya tak menunjukkan kebencian. Hanya keteguhan. Keyakinan.

“Aku nggak minta dia buat milih,” kata Naya akhirnya, datar.

Siska tersenyum tipis. “Tapi dia tetap akan memilih. Dan aku hanya ingin kamu tahu, sebelum dia memutuskan... aku nggak akan mundur.”

Setelah Siska pergi, Naya duduk diam cukup lama. Kata-kata Siska bukan ancaman, tapi juga bukan permohonan. Itu semacam peringatan... bahwa cinta masa kecil bukan berarti cinta yang pasti dimiliki.

Dan ketika ia akhirnya membuka pesan di ponselnya, hanya ada satu kalimat dari Raka:

“Boleh aku bicara sekali lagi, Naya? Tapi kali ini, dengan jujur sepenuhnya.”

Bab 5: Hati yang Harus Dipilih

Senja menyelimuti langit dengan warna jingga pucat saat Naya berdiri di depan pohon mangga itu lagi. Seolah segalanya memang selalu berawal dan berakhir di tempat yang sama. Angin sore mengibaskan ujung rambutnya, dan di kejauhan, langkah kaki yang tak asing terdengar mendekat.

Raka datang, mengenakan kemeja abu-abu yang sama seperti terakhir mereka bertemu. Tapi kali ini, wajahnya lebih lelah. Lebih berat.

“Terima kasih udah mau ketemu,” katanya pelan.

Naya hanya menunduk. “Aku cuma ingin dengar kejujuran.”

Raka mengangguk. Ia menarik napas panjang.

“Siska baik. Kami dijodohkan karena hubungan keluarga. Orangtuaku dan orangtuanya bersahabat lama. Aku... sempat setuju, karena kupikir memang saatnya menjalani hidup dengan dewasa. Tapi aku nggak pernah benar-benar mencintainya, Nay.”

Ia menatap mata Naya, yang kini mulai berkaca-kaca.

“Lalu kamu nemu surat-surat itu,” gumam Naya.

Raka mengangguk. “Dan semua kenangan tentang kita... kembali seperti badai. Aku sadar, aku belum pernah mencintai siapa pun seperti aku mencintaimu waktu kecil—dan mungkin sampai sekarang pun belum.”

“Tapi kamu tetap bertunangan,” suara Naya bergetar.

“Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku terlalu pengecut untuk membatalkan semuanya sebelum aku yakin kamu masih ada. Tapi sekarang setelah ketemu kamu, aku tahu. Masih ada ruang itu, Nay. Masih ada kamu di hati aku. Selalu.”

Hening. Pohon mangga itu ikut diam, seolah mendengarkan.

“Dan sekarang?” tanya Naya, dengan suara lebih pelan.

Raka berjalan mendekat, berdiri di depannya.

“Aku akan putuskan semuanya. Aku akan bicara ke Siska, ke keluargaku. Aku nggak minta kamu nungguin aku kali ini. Tapi kalau kamu masih punya sedikit ruang buat aku... biarkan aku kembali sebagai laki-laki yang nggak akan pergi lagi.”

Naya memejamkan mata. Ia tak ingin menangis. Tapi air matanya tetap jatuh, satu per satu.

“Kamu datang di waktu yang salah, Rak.”

Raka terdiam. Tapi ia tidak membela diri. Hanya menunduk dan berkata, “Aku tahu. Tapi aku datang karena ini satu-satunya waktu yang tersisa buatku jadi benar.”

Naya menatapnya—dan untuk pertama kalinya, ia tak tahu harus menjawab apa. Hati kecilnya ingin menerimanya. Tapi luka dari kepergian yang dulu, dan tunangan yang sekarang, membuat semuanya tak sesederhana itu.

Dan saat Raka pergi malam itu, ia meninggalkan satu surat di atas akar pohon, dengan tulisan tangan yang masih sama seperti dulu:

"Kali ini aku menunggumu. Jika hatimu belum tertutup, aku akan ada di sini."

Bab 6: Seseorang yang Selalu Ada

Tiga hari berlalu sejak surat itu ditinggalkan di bawah pohon mangga.

Tiga hari tanpa kabar dari Raka.

Tiga hari yang membuat Naya bertanya-tanya—apakah cinta masa kecil cukup kuat untuk bertahan menghadapi kenyataan orang dewasa?

Pagi itu, di tengah kegalauan yang belum usai, Naya menunggu jemputan untuk pergi ke tempat kerja paruh waktunya di sebuah rumah baca anak-anak. Saat ia keluar, sebuah mobil abu-abu berhenti di depan gerbang. Jendela kaca diturunkan, menampilkan wajah laki-laki dengan senyum ramah yang selama ini selalu menjadi tempatnya pulang saat dunia terlalu berat.

“Pagi, Nay.”

Gio.

Sahabat. Tetangga. Teman yang diam-diam selalu menunggu.

“Maaf ya, aku tadi agak telat,” katanya, membuka pintu mobil untuk Naya. “Kucing Ibu sembunyi di bawah lemari, nggak mau keluar.”

Naya tertawa kecil. “Pagi yang klasik di rumah kamu.”

Di dalam mobil, Gio melirik Naya beberapa kali. Ia tahu ada yang berubah. Senyum Naya tetap manis, tapi tak lagi utuh.

“Kamu masih mikirin dia?” tanya Gio akhirnya, pelan.

Naya menoleh. Ia tak pura-pura tidak paham.

“Sedikit,” jawabnya jujur.

Gio mengangguk pelan. “Kamu tahu, aku nggak pernah maksa kamu lihat aku lebih dari sekadar teman. Tapi kalau kamu tanya siapa yang selalu ada dari dulu—yang tahu kamu suka roti bakar gosong, yang tahu kamu nangis diem-diem kalau lihat film animasi... ya, itu aku.”

Naya menunduk. Kata-kata Gio bukan paksaan, bukan juga rayuan. Itu kenyataan yang selama ini ia tahu, tapi tak pernah berani hadapi.

“Gio... aku nggak mau nyakitin kamu,” bisiknya.

“Kalau kamu milih dia, aku akan mundur. Tapi kalau kamu ragu... izinkan aku jadi kemungkinan yang kamu pikirkan,” kata Gio lembut.

Mobil berhenti di depan rumah baca. Sebelum turun, Naya sempat menatap mata Gio—mata yang tak pernah meninggalkannya, bahkan saat semua orang berpaling.

Dan saat ia masuk ke dalam rumah baca, anak-anak berlarian menyambutnya, memeluknya dengan tangan kecil yang hangat. Tapi di tengah tawa itu, hatinya tetap diliputi pertanyaan:

Cinta mana yang harus ia pilih—cinta yang kembali dari masa kecil, atau cinta yang selalu ada tapi tak pernah diminta?

Bab 7: Surat yang Tidak Pernah Dibalas

Hari Minggu datang dengan langit cerah yang terasa aneh—terlalu tenang untuk isi kepala Naya yang sedang ribut oleh dua nama: Raka dan Gio.

Di tangan Naya, surat dari Raka masih tersimpan di antara halaman buku harian lamanya. Surat yang ditulis dengan tulus, namun juga dibalut oleh ketidakpastian. Surat yang belum ia balas, karena bahkan ia sendiri belum tahu jawabannya.

Ia membuka halaman demi halaman buku hariannya, sebagian tulisannya ditulis saat ia masih berusia belasan—tentang Raka, tentang hari ketika ia menangis karena Raka pindah, dan tentang bagaimana ia diam-diam berharap bisa bertemu lagi suatu hari nanti.

Tapi di halaman terakhir, tulisan yang baru saja ia tulis beberapa hari lalu menjadi penegas:

"Mungkin yang paling menyakitkan dari mencintai seseorang bukan saat ia pergi, tapi saat ia kembali ketika kita sedang belajar melupakan."

Pikiran Naya berputar.

Raka datang membawa kenangan, tapi juga luka yang belum sembuh seluruhnya.

Gio selalu ada, tanpa menuntut apa pun. Tapi apakah kehadiran tanpa luka cukup untuk disebut cinta?


Sore harinya, Naya mengunjungi kembali pohon mangga itu. Ia membawa selembar kertas kecil yang ia lipat menjadi bentuk hati. Suratnya sendiri, untuk pertama kalinya.

Ia mengubur surat itu di akar yang sama seperti dulu, lalu berdiri.

“Aku menulis ini... bukan untuk kamu baca, Rak. Tapi untuk aku tahu aku sudah selesai menunggu,” gumamnya pelan.

Saat ia berbalik, Gio berdiri tak jauh dari sana, entah sejak kapan.

“Aku enggak sengaja lihat kamu lewat,” katanya, menyembunyikan kegugupan.

Naya tersenyum. Kali ini, bukan senyum menahan luka. Tapi senyum yang perlahan mulai mengerti sesuatu.

“Kalau aku bilang aku sudah selesai menunggu masa lalu, kamu akan tetap di sini?” tanyanya.

Gio melangkah mendekat. “Aku nggak pernah pergi.”

Naya mengangguk pelan, lalu menatapnya—bukan sebagai sahabat, bukan sebagai tetangga. Tapi sebagai seseorang yang mungkin, untuk pertama kalinya... benar-benar ia lihat dengan hati yang terbuka.

Bab 8: Terlambat untuk Kembali

Sudah sepekan sejak Naya mengubur surat hatinya di bawah pohon mangga. Sepekan juga sejak ia membuka ruang baru untuk Gio—bukan hanya di waktunya, tapi juga di hatinya.

Hari-hari yang dulu terasa kosong kini mulai hangat. Mereka berjalan bersama menyusuri taman kecil di pinggir kota, menonton film seminggu sekali, bahkan sesekali diam bersama di bawah pohon mangga tanpa bicara. Dan bagi Naya, keheningan itu tak lagi menyakitkan.

Tapi sore itu, awan menggantung lebih berat dari biasanya. Dan suara langkah di belakang mereka mengubah semua hal yang baru mulai tenang.

“Naya.”

Suaranya membuat Naya menoleh refleks. Raka berdiri di sana. Matanya merah, rambutnya berantakan seperti baru saja habis berlari. Di tangannya, koper kecil dan secarik amplop yang lusuh.

Gio menoleh perlahan, menatap laki-laki yang dulu hanya ia dengar dari cerita.

“Aku udah selesai,” kata Raka cepat, seakan tak ingin memberi waktu untuk dijawab dulu. “Aku udah putuskan semuanya. Aku batalin pertunangan itu. Aku bilang ke keluargaku. Aku... balik buat kamu, Nay.”

Naya tak menjawab.

Ia melihat Raka, lalu melihat Gio di sebelahnya—yang kini diam, tapi tetap berdiri tegak, tak mundur sejengkal.

“Aku terlambat, ya?” Raka bertanya lagi, suaranya nyaris berbisik.

Naya menatap mata Raka yang dulu sangat ia kenal. Mata yang pernah ia tunggu bertahun-tahun. Tapi kali ini, hatinya tak bergetar seperti dulu.

Ia menarik napas, lalu berkata pelan, “Iya, Rak. Kamu terlambat.”

Raka menunduk. Tak ada amarah. Hanya kesedihan yang tulus. Ia mengangguk pelan, lalu menyerahkan amplop itu kepada Naya.

“Simpan ini kalau kamu mau. Atau buang saja. Isinya cuma kenangan... dan sedikit penyesalan.”

Ia lalu menatap Gio, dan untuk sesaat, dua laki-laki yang mencintai perempuan yang sama saling memahami tanpa kata.

“Aku harap kalian bahagia,” kata Raka sebelum berbalik dan pergi, kali ini benar-benar pergi, tanpa janji, tanpa surat, tanpa lagi ditunggu.


Malam itu, Naya membuka amplop itu di kamarnya.

Isinya hanyalah foto kecil mereka berdua saat masih SD—duduk di bawah pohon mangga dengan coretan krayon di belakangnya:
“Kalau nanti aku balik, kamu masih mau temenan sama aku, kan?”

Naya tersenyum kecil. Lalu meletakkan foto itu di dalam kotak kecil berisi kenangan—bukan untuk dikenang kembali, tapi untuk disimpan sebagai pelajaran:
Cinta yang indah tak selalu yang harus dimiliki. Tapi cinta yang tumbuh dan bertahan di waktu yang tepat... itulah yang layak diperjuangkan.

Bab 9: Pohon Mangga dan Cerita Baru

Lima tahun berlalu.

Pohon mangga di halaman belakang rumah Naya kini menjulang lebih tinggi, dahannya makin rindang, dan akarnya lebih kokoh dari sebelumnya. Tak banyak yang berubah di sekitarnya—rumah-rumah masih seperti dulu, suara anak-anak bermain masih terdengar setiap sore.

Namun ada satu pemandangan baru.

Seorang anak kecil berlari-lari di sekitar pohon mangga sambil tertawa riang. Rambutnya hitam dan ikal, matanya menyala penuh rasa ingin tahu. Ia membawa sekotak krayon dan buku gambar yang terlalu besar untuk tangannya.

“Bunda, aku gambar pohon ini, ya!” serunya.

Naya tersenyum, berdiri di serambi sambil menggulung lengan baju.

“Gambar yang bagus ya, Nak. Jangan lupa kasih warna hijaunya yang banyak.”

Anak itu duduk bersila di bawah pohon, menggambar dengan penuh semangat.

Beberapa saat kemudian, seorang pria muncul dari balik pagar dengan dua gelas es teh di tangan.

“Lagi-lagi krayon berserakan,” katanya sambil tertawa kecil.

Gio meletakkan gelas di meja kecil di samping istrinya, lalu duduk di sebelah Naya. Mereka berdua memandangi anak itu dalam diam—diam yang tak canggung, tapi penuh syukur.

“Kamu tahu nggak?” kata Gio tiba-tiba, “Dulu aku sempat mikir, aku nggak akan pernah bisa gantiin posisi dia di hati kamu.”

Naya menoleh, lalu menggenggam tangannya.

“Kamu nggak pernah gantiin siapa-siapa, Gio,” katanya lembut. “Kamu jadi kamu. Dan itu lebih dari cukup.”

Gio tersenyum, matanya menatap anak mereka yang kini mencorat-coret gambar pohon mangga dengan warna biru.

“Kenapa pohonnya biru, Nak?” tanya Gio, tertawa.

“Karena ini pohon ajaib!” seru anak itu yakin.

Naya dan Gio saling berpandangan, lalu tertawa bersama.

Ya, pohon itu memang ajaib. Ia menyimpan kenangan cinta pertama, luka, pertemuan kembali, dan pada akhirnya… awal dari sebuah rumah yang baru.

Cinta masa kecil mungkin tak selamanya jadi tujuan akhir. Tapi dari sanalah Naya belajar bahwa cinta sejati tak selalu datang dengan gemuruh—kadang, ia datang sebagai seseorang yang diam-diam menunggu di tempat yang sama, sampai waktunya tepat.


Epilog: Surat yang Tak Pernah Terkirim

Di antara halaman-halaman buku tua di lemari Naya, ada satu lembar kertas yang tak pernah benar-benar dikirim.

Surat itu ia tulis bertahun-tahun lalu, setelah Raka pergi untuk yang pertama kalinya, dan sebelum Gio datang sebagai tempat ia berteduh.

Tulisan tangannya sedikit gemetar, tapi isinya begitu jujur:

“Untuk Raka,

Kalau suatu hari kamu baca ini, mungkin aku sudah bukan lagi gadis kecil yang dulu suka mengirim surat lewat lubang pohon mangga. Mungkin aku sudah belajar menyimpan rindu tanpa harus berharap balasan.

Aku pernah mencintaimu. Dan mungkin, sebagian hatiku akan selalu menyisakan ruang kecil untuk itu.

Tapi kalau aku tak ada di tempat biasa lagi saat kamu kembali… itu artinya aku sudah menemukan seseorang yang datang tidak hanya membawa kenangan, tapi juga masa depan.”

Surat itu tidak pernah sampai ke tangan Raka. Ia menyimpannya sendiri, bukan karena takut, tapi karena pada akhirnya, ia tak lagi perlu jawaban dari masa lalu untuk tahu ke mana hatinya pulang.

Hari ini, surat itu masih ada—terselip di balik foto-foto masa kecil dan undangan pernikahannya dengan Gio. Sebuah pengingat bahwa dalam hidup, bukan hanya siapa yang dulu datang pertama… tapi siapa yang tetap bertahan sampai akhir.


SELESAI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh