Tiga Musim, Tiga Hati

 Tiga Musim, Tiga Hati



Genre: Romance, Drama, Slice of Life

Sinopsis:

Di kota kecil yang penuh dengan kehangatan, tiga sahabat—Raka, Aluna, dan Citra—menjalani kehidupan dengan mimpi dan rahasia masing-masing. Raka, si cowok yang humoris dan jago melukis; Aluna, si gadis pendiam yang suka menulis puisi; dan Citra, si cewek ceria dengan semangat membara. Persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak SMA diuji ketika mereka mulai tumbuh dewasa—rasa, cita-cita, dan cinta mulai merenggangkan jarak di antara mereka.

Di musim semi, tawa mereka terasa ringan. Di musim panas, persahabatan mereka diuji oleh rasa cinta yang tak terucap. Di musim gugur, mereka mulai mempertanyakan pilihan hati masing-masing. Dan di musim dingin, akankah mereka tetap bersama, atau justru memilih jalan masing-masing?


Karakter:

  • Raka Aditya: 20 tahun, mahasiswa seni rupa, jago melukis, santai, kadang suka cuek. Diam-diam menyimpan perasaan pada salah satu sahabatnya.

  • Aluna Kirana: 20 tahun, mahasiswa sastra, suka menulis, pendiam dan sensitif. Sering jadi pendengar yang baik, tapi menyimpan luka masa lalu.

  • Citra Nirmala: 20 tahun, mahasiswa komunikasi, ceria, ambisius, dan optimis. Diam-diam menaruh hati pada Raka, tapi takut mengungkapkannya.


Bab 1: Awal Musim Semi

Musim semi membawa aroma segar di kota kecil itu. Raka duduk di bangku taman, kuas di tangannya menari di atas kanvas. Aluna duduk di sampingnya, buku catatan di pangkuannya, mencoret-coret kata yang entah kapan akan selesai menjadi puisi. Citra datang dengan tawa riang, membawa es krim untuk mereka bertiga.

“Kalian ini, kayak orang tua aja duduk diem di taman,” kata Citra, menjulurkan lidahnya usil.

Raka tertawa, sementara Aluna hanya tersenyum samar. Mereka memang bertiga, tapi seringkali terasa ada jarak yang tak kasat mata. Raka mencuri pandang pada Aluna, yang sedang sibuk dengan puisinya. Di sisi lain, Citra diam-diam mencuri pandang pada Raka, berharap cowok itu sadar akan perasaannya.

Di balik tawa dan obrolan ringan mereka, ada perasaan-perasaan yang belum terungkap. Persahabatan mereka terlihat kokoh, tapi perlahan, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka, tanpa mereka sadari akan menguji ikatan yang sudah mereka jaga bertahun-tahun.

🌿 Bab 2: Bayang-Bayang Rahasia

Matahari sore menyinari taman dengan cahaya keemasan. Angin bertiup lembut, menggerakkan dedaunan yang mulai rontok, seolah ikut membisikkan rahasia yang tersembunyi.

“Raka, nanti malam ikut nonton konser kecil di kafe, ya?” tanya Citra dengan senyum lebar. Dia berusaha terdengar santai, tapi suaranya sedikit gemetar. Hatinya berharap Raka akan bilang ya.

Raka mengangkat alis. “Konser? Malam ini? Hmm... Nggak tahu, Cit. Aku harus nyelesaiin lukisan buat tugas.” Dia melirik Aluna, yang dari tadi sibuk mencatat di bukunya, tanpa banyak bicara.

Citra tersenyum tipis, menutupi kekecewaannya. “Oh, yaudah deh… Kalau sempat, dateng aja, ya,” katanya, lalu mengalihkan pandangan, menahan perasaan yang mengganjal.

Sementara itu, Aluna hanya diam, mencatat kata-kata yang terlintas di pikirannya. Kata-kata yang entah untuk siapa, entah untuk apa.

"Mencintai diam-diam itu seperti mengikat diri sendiri tanpa tali."

Aluna melirik Raka sekilas, lalu kembali menunduk. Hatinya berdebar, tapi dia terlalu takut untuk mengakui perasaannya. Raka terlalu berharga sebagai sahabat. Jika dia jujur, mungkin semua akan berubah.

Di tengah suasana yang terasa aneh, Raka mendesah dan berkata, “Kalau kalian duluan, aku nyusul, deh. Janji.”

Citra menahan senyum, sementara Aluna hanya mengangguk kecil. Dalam hati, Aluna bertanya-tanya: untuk siapa Raka berjanji datang malam ini? Untuk Citra... atau mungkin, untuk dirinya?

Malam itu, di kafe kecil dengan lampu-lampu temaram, Citra berdiri di antara kerumunan, matanya mencari-cari sosok Raka. Tapi yang datang bukan Raka, melainkan Aluna—datang sendirian, dengan wajah sedikit gelisah.

“Lho, kamu? Aku kira kamu nggak bakal datang,” sapa Citra, terkejut.

Aluna tersenyum canggung. “Aku cuma... pengen lihat suasananya,” katanya. Tapi sebenarnya, Aluna datang hanya untuk memastikan apakah Raka akan datang untuk Citra.

Dan malam itu, Raka memang tidak datang.

Citra tertawa bersama teman-temannya, mencoba menikmati malam, tapi sesekali matanya mencari sosok yang tak kunjung tiba. Sementara Aluna duduk di pojok, menulis sesuatu di bukunya, merasa hatinya makin berat.

Di luar, di jalanan yang mulai sepi, Raka berdiri di depan sebuah toko lukisan yang tutup. Di tangannya, ada selembar sketsa wajah Aluna yang belum sempat dia berikan.

Dan malam itu, tanpa mereka sadari, benang-benang perasaan mulai terjalin lebih rumit.

🌙 Bab 3: Awal Retakan

Minggu berikutnya, langit mendung menggantung di atas kota kecil mereka. Hujan gerimis jatuh pelan, membasahi jalanan, seolah ikut mencuci perasaan yang makin keruh di antara tiga sahabat itu.

Di sebuah ruang kelas yang lengang, Aluna duduk di pojok, matanya kosong menatap buku catatan yang dipenuhi coretan-coretan puisi. Tapi pikirannya tidak di situ. Dia teringat pada malam di kafe—bagaimana Citra tertawa, menunggu, dan akhirnya pulang dengan mata sembab. Dia tahu, Citra menunggu Raka. Dan dia juga tahu, Raka tidak datang bukan karena sibuk... tapi karena Raka memilih untuk tidak datang.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Raka masuk dengan jaket basah karena hujan. Pandangannya langsung tertuju pada Aluna.

“Luna... aku boleh ngomong sama kamu bentar?”

Aluna menutup bukunya perlahan, mencoba tenang, padahal jantungnya berdegup kencang. “Ada apa, Kak?” tanyanya, tetap menjaga jarak, meski hatinya ingin mendekat.

Raka menghela napas, lalu duduk di sampingnya. “Aku... Aku nggak tahu harus ngomong ke siapa lagi. Akhir-akhir ini aku ngerasa... aku makin bingung. Sama perasaan aku sendiri.”

Aluna terdiam, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatan. “Bingung kenapa?”

Raka menatap jendela, hujan masih turun, menciptakan denting halus di atap. “Aku mikir... selama ini, kita bertiga, ya. Aku, kamu, Citra. Tapi... aku kayaknya bikin semua jadi rumit. Aku nggak mau bikin kalian terluka, tapi aku juga nggak bisa bohong sama hati aku.”

Aluna menahan napas. Di dalam dirinya, kata-kata yang ingin dia ucapkan menumpuk, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Dia ingin bilang, "Aku ngerti kok, Kak. Karena aku juga ngerasain hal yang sama." Tapi dia tidak bisa.

Sebelum Aluna sempat menjawab, pintu kelas kembali terbuka. Citra berdiri di sana, wajahnya agak pucat, matanya langsung tertuju pada Raka dan Aluna yang duduk berdekatan.

Suasana langsung tegang.

“Eh... aku ganggu, ya?” tanya Citra, suaranya serak, seperti menahan sesuatu.

Raka buru-buru berdiri. “Nggak, Cit. Aku cuma ngobrol sama Aluna. Kita lagi... ya, ngobrol aja.”

Citra mengangguk, tapi senyumnya hambar. “Oke. Kalau gitu, aku duluan, deh. Mau ada rapat himpunan.”

Citra berbalik, melangkah cepat, meninggalkan mereka berdua. Raka terlihat ragu ingin mengejar, tapi Aluna hanya bisa menatap punggung sahabatnya itu menjauh, hatinya terasa kosong.

Dan di luar, hujan semakin deras, menenggelamkan suara hati yang tak pernah terucap.

🌧️ Bab 4: Luka yang Tak Terucap

Hari-hari berikutnya terasa berat. Hujan seperti tak mau berhenti, membasahi setiap sudut kota—juga hati ketiga sahabat yang mulai retak.

Di sebuah kafe kecil tempat mereka biasa berkumpul, hanya Aluna yang duduk sendirian di pojok, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan. Buku catatannya terbuka, tapi tak ada satu pun kata yang tertulis.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari Citra.

Citra: "Luna... aku pengen cerita, tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana."

Aluna menatap layar ponsel itu lama. Jari-jarinya ragu, tapi akhirnya dia membalas.

Aluna: "Aku di kafe biasa. Kalau mau cerita, datang aja."

Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka. Citra datang dengan wajah yang lelah, matanya merah seperti habis menangis. Aluna berdiri, menatap sahabatnya dengan perasaan campur aduk.

Citra duduk di depannya, diam sejenak, lalu berkata dengan suara bergetar, “Luna... aku suka sama Raka.”

Aluna menahan napas. Kalimat itu seperti petir yang menyambar di tengah hujan.

Citra menunduk, suaranya lirih. “Aku udah suka dari lama. Tapi aku takut ngakuin... soalnya aku nggak mau kita bertiga jadi canggung. Tapi waktu aku liat kamu sama Raka kemarin... aku ngerasa... kayak... aku nggak punya kesempatan.”

Aluna tercekat. Di kepalanya, semua perasaan yang selama ini dia kubur mendadak bergejolak. Ingin rasanya dia bilang, “Aku juga suka sama Raka.” Tapi dia tidak bisa. Citra terlalu berharga sebagai sahabat. Dia tidak bisa egois.

Aluna tersenyum samar, meski hatinya remuk. “Cit... aku ngerti kok. Kamu harus ngomong ke Raka. Jangan pendam sendiri.”

Citra menatap Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Kamu nggak marah, kan?”

Aluna menggeleng, meski hatinya berteriak. “Nggak. Aku malah dukung kamu. Kamu harus jujur sama Raka.”

Citra memeluk Aluna, sementara di dalam hati Aluna, luka itu makin dalam, makin perih.

Dan di tempat lain, di studio kecilnya, Raka duduk menatap kanvas kosong, tangannya menggenggam sketsa wajah Aluna yang belum selesai dia warnai. Dia mendesah berat, bergumam pelan, “Kenapa semuanya jadi serumit ini?”

🌙 Bab 5: Saatnya Memilih

Hari itu, hujan berhenti. Langit mendung masih menggantung, tapi udara terasa lebih ringan. Seperti memberi ruang bagi semua yang tertahan untuk akhirnya keluar.

Di sebuah taman dekat kampus, Aluna duduk di bangku, menatap langit yang kelabu. Di tangannya, buku catatan berisi puisi-puisi yang tak pernah selesai. Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Raka berdiri di depannya, wajahnya serius.

“Luna,” panggilnya pelan.

Aluna menoleh, jantungnya berdegup tak karuan. Ada sesuatu di mata Raka yang membuatnya gugup. Mereka terdiam cukup lama, hanya suara dedaunan yang tertiup angin yang terdengar.

“Aku harus ngomong,” kata Raka akhirnya, suaranya rendah, berat. “Aku nggak bisa terus begini, pura-pura nggak ngerti sama perasaan aku.”

Aluna menahan napas. “Perasaan apa?”

Raka menatap matanya dalam-dalam. “Aku... aku suka sama kamu, Luna.”

Jantung Aluna berhenti sejenak. Kata-kata itu, yang selama ini dia tunggu, akhirnya terucap. Tapi saat itu juga, bayangan Citra terlintas di benaknya—Citra yang menangis, Citra yang berharap. Luka di hati Aluna makin dalam.

Raka melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Aku tahu, mungkin ini salah. Tapi aku nggak bisa bohong sama diri sendiri. Aku suka kamu. Bukan cuma sebagai sahabat... tapi lebih dari itu.”

Aluna menggigit bibir, matanya basah. Dia ingin menjawab, ingin bilang bahwa dia juga suka Raka. Tapi sebelum itu, suara lain memanggil dari kejauhan.

“Raka!”

Citra berdiri di pinggir taman, wajahnya pucat, matanya merah. Dia mendengar semuanya. Napasnya memburu, seperti baru saja lari.

“Jadi... kamu suka sama Aluna?” tanya Citra, suaranya serak, penuh luka.

Raka terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aluna memejamkan mata, hatinya terasa hancur. Dia berdiri, mencoba mendekati Citra.

“Citra... aku...”

Citra mundur selangkah, air matanya jatuh. “Kalian berdua... dari awal, ya? Kenapa nggak bilang? Kenapa harus bikin aku berharap?”

Raka maju selangkah, mencoba menjelaskan. “Citra, aku nggak pernah mau nyakitin kamu. Aku cuma... aku nggak tahu harus gimana.”

Citra menatap mereka berdua, matanya penuh luka, lalu berlari pergi. Raka refleks ingin mengejar, tapi Aluna menahan lengannya.

“Raka... jangan. Dia butuh waktu.”

Raka menoleh pada Aluna, wajahnya penuh penyesalan. “Luna... aku nyakitin dia, ya?”

Aluna hanya bisa diam, menahan perih yang menyesak di dadanya. Sambil menatap punggung Citra yang menjauh, dia tahu, persahabatan mereka bertiga sudah tidak akan pernah sama lagi.

Di antara hujan yang baru saja reda, hanya luka yang tersisa. Dan kini, mereka harus memilih: menjaga perasaan sendiri, atau menyelamatkan persahabatan yang hampir runtuh.

🌿 Bab 6: Luka yang Mengajar

Seminggu berlalu sejak hari itu. Kota kecil mereka masih diselimuti mendung, seperti mencerminkan hati mereka yang juga kelabu.

Aluna duduk di perpustakaan, mencoba fokus pada buku di hadapannya, tapi pikirannya terus melayang. Di tangannya, ada catatan puisi yang tak pernah selesai. Tangannya gemetar, dan dadanya terasa berat.

"Kalau aku jujur, aku kehilangan dia. Kalau aku diam, aku melukai diriku sendiri."
Tulisan itu memenuhi halaman-halaman puisinya, menjadi saksi betapa berat beban di hatinya.

Sementara itu, di studio lukisan kecil, Raka menatap kanvas kosong. Tangannya ingin bergerak, tapi pikirannya dipenuhi bayangan dua sahabatnya yang terluka. Setiap coretan terasa salah. Setiap warna terasa pudar.

Dia mendesah berat, lalu menunduk, bergumam, “Aku nggak bisa kayak gini terus...”

Di sisi lain kota, Citra duduk di kamarnya, menatap ponselnya dengan layar chat kosong. Di pikirannya, ada pertanyaan yang tak berhenti berputar: Kenapa harus Aluna? Kenapa bukan aku?

Air matanya kembali jatuh, tapi kali ini dia menghapusnya cepat-cepat. “Cukup, Cit. Kamu nggak boleh terus kayak gini,” bisiknya pada diri sendiri.


🌙 Malam itu, di bawah langit yang mulai jernih, Raka akhirnya mengirim pesan ke Citra.

Raka: “Cit, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku cuma... aku nggak bisa bohong sama hati aku. Kita bisa ketemu besok?”

Citra membaca pesan itu lama, lalu akhirnya membalas, singkat.

Citra: “Oke. Besok di taman, jam 4.”


🌿 Keesokan harinya, di taman yang sama.

Citra datang lebih dulu, mengenakan jaket cokelat tua. Raka datang dengan wajah lelah, matanya sembab, seperti kurang tidur.

Mereka duduk di bangku yang sama, diam cukup lama. Akhirnya, Citra bicara duluan.

“Aku marah sama kamu, Rak. Aku marah banget. Tapi aku juga nggak bisa terus marah, karena aku tahu, rasa itu nggak bisa dipaksa.”

Raka menunduk, suaranya serak. “Aku nyakitin kamu, Cit. Aku nyesel.”

Citra tersenyum pahit. “Nggak usah nyesel. Aku juga yang salah... karena berharap terlalu banyak.”

Mereka terdiam lagi. Lalu, Citra melanjutkan dengan suara yang lebih tenang, meski matanya berkaca-kaca. “Mulai sekarang, mungkin kita butuh waktu. Aku butuh waktu. Tapi... aku nggak mau kita saling benci.”

Raka menatap Citra, ada kelegaan di matanya, meski tetap ada luka yang tertinggal.

Di tempat lain, Aluna berdiri di jendela kamarnya, menatap langit senja. Dia tak tahu apa yang terjadi antara Raka dan Citra, tapi di dalam hatinya, dia hanya bisa berharap: semoga mereka bisa saling memaafkan, meski itu berarti dia harus mundur.

Dia membuka buku catatannya, dan untuk pertama kalinya, dia menulis sebuah kalimat yang utuh.
"Kadang, cinta harus rela kalah. Karena yang terpenting bukan memiliki, tapi menjaga yang tersisa."

🌸 Bab 7: Saat Luka Menyembuhkan

Beberapa minggu telah berlalu. Musim mulai berganti, daun-daun kering gugur dari dahan, seolah ikut mengajarkan bahwa ada hal-hal yang memang harus dilepaskan, meski terasa berat.

Di sebuah kafe yang dulu sering mereka datangi bersama, Aluna duduk di pojok, sendirian. Secangkir teh hangat ada di depannya, uapnya mengepul tipis, menemani kesendiriannya.

Dia membuka buku catatannya, membaca kalimat-kalimat yang pernah dia tulis. Rasanya seperti membuka lembaran luka, tapi juga pelajaran. Dia menghela napas, menulis sesuatu di halaman terakhir:

"Cinta bukan tentang siapa yang memiliki, tapi tentang siapa yang sanggup melepaskan, demi kebahagiaan orang yang disayang."

Tiba-tiba, suara familiar memanggilnya. “Luna?”

Aluna menoleh. Raka berdiri di sana, membawa map besar di tangannya, wajahnya terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.

“Boleh duduk?” tanyanya.

Aluna mengangguk. Mereka duduk dalam diam beberapa saat, hingga akhirnya Raka membuka suara. “Aku sama Citra... kita udah ngobrol. Aku minta maaf ke dia, dan... kita mutusin buat nggak nyimpan perasaan itu terlalu dalam. Kita bertiga, harus tetep bisa jadi teman, walaupun rasanya nggak akan sama kayak dulu.”

Aluna menatap Raka, ada luka kecil yang masih terasa, tapi juga ada kelegaan. “Kamu yakin bisa, Kak?”

Raka tersenyum tipis. “Aku harus belajar bisa. Karena aku nggak mau kehilangan kalian berdua. Kamu, Citra... kalian rumah aku.”

Aluna mengangguk pelan, menahan senyum haru. Di dalam hatinya, ada perasaan yang belum sepenuhnya hilang, tapi dia belajar menerima. Bahwa kadang, perasaan tidak harus dimiliki. Cukup dirasakan, cukup dijaga... meski akhirnya harus dilepaskan.


🌿 Beberapa hari kemudian, di taman kecil yang dulu jadi saksi banyak cerita mereka, Raka, Aluna, dan Citra duduk bersama.

Mereka tidak banyak bicara. Hanya menikmati angin yang bertiup pelan, membiarkan waktu berjalan tanpa beban. Sesekali, Citra tersenyum kecil. Raka menatap langit, dan Aluna mencatat sesuatu di bukunya.

Mungkin tidak ada yang sepenuhnya sembuh. Mungkin luka itu akan selalu ada. Tapi mereka tahu, mereka akan baik-baik saja.

Karena meski perasaan bisa berubah, persahabatan tetap bisa diperjuangkan.

🌸 Epilog: Saat Jalan Kita Bertemu Lagi

Lima tahun berlalu. Kota kecil mereka sudah banyak berubah. Gedung-gedung baru berdiri, jalanan makin ramai, tapi di hati Aluna, kenangan tentang masa-masa itu tetap hidup. Tentang tawa yang dulu mereka bagi, tentang luka yang dulu mereka lewati.

Aluna kini menjadi penulis puisi yang dikenal di banyak tempat. Buku puisinya, "Langit yang Kita Bagi," menjadi salah satu yang paling laris. Di setiap puisinya, selalu ada jejak tentang persahabatan, tentang kehilangan, dan tentang belajar melepaskan.

Sore itu, dia duduk di sebuah taman, di bangku yang dulu sering mereka tempati bersama. Di pangkuannya, buku catatan yang sudah lusuh, penuh dengan tulisan dan coretan.

Tiba-tiba, suara yang dulu sangat dikenalnya memanggil.
“Luna?”

Aluna menoleh. Raka berdiri di sana, dengan senyum yang tidak banyak berubah. Wajahnya sedikit lebih dewasa, sorot matanya lebih tenang. Di sampingnya, Citra berdiri, menggandeng tangan seorang anak kecil yang tertawa riang.

Aluna tersenyum. “Lama nggak ketemu, Kak.”

Raka tertawa kecil. “Iya. Dunia ternyata nggak sekecil dulu, ya.”

Citra mendekat, memeluk Aluna hangat. “Kamu makin keren sekarang, Luna. Aku baca puisimu. Bagus banget.”

Aluna tertawa, matanya sedikit berkaca-kaca. “Makasih, Cit. Kalian juga... kelihatan bahagia.”

Raka mengangguk, menatap anak kecil itu dengan lembut. “Namanya Raya.”

Aluna tersenyum, menyapa si kecil yang tertawa sambil memeluk boneka. Rasanya aneh, melihat mereka kini, tapi juga indah. Ada luka yang dulu sempat terasa, tapi kini, semuanya sudah menjadi cerita lama yang mereka kenang dengan senyum.

Mereka duduk bersama di bangku taman itu, seperti dulu. Tak ada kata-kata panjang, hanya tawa kecil yang mengalun bersama angin senja. Waktu memang berjalan, dan perasaan mungkin berubah, tapi kenangan akan selalu ada. Luka itu sudah mengajar mereka banyak hal—tentang persahabatan, cinta, dan tentang bagaimana caranya tetap berjalan, meski harus terluka.

Dan di hati Aluna, dia tahu, mereka semua sudah sampai di tempat yang seharusnya.

Karena pada akhirnya, persahabatan yang tulus akan selalu menemukan jalannya untuk pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta yang Tak Tersentuh

Di Balik Meja Rapat

Cinta di Waktu yang Salah