Dosa Dalam Diam (21+)

Dosa Dalam Diam


Judul: Dosa Dalam Diam

Genre: Romantis Dewasa (21+), Forbidden Love, Drama, Psychological Romance

Sinopsis:

Keysha menikah dengan pria yang sangat dicintainya, Gavin—pengusaha muda dengan reputasi sempurna di mata publik. Tapi pernikahan mereka hanyalah panggung kosong yang dipenuhi senyum palsu dan dinginnya tempat tidur. Di balik kekayaan dan kemewahan, Keysha hanyalah trofi yang tak pernah disentuh, kecuali saat kamera menyorot.

Hingga suatu malam, saat Gavin harus keluar kota, Keysha bertemu dengan pria asing di pesta amal—Leon. Tato di dadanya, sorot mata gelap, dan cara bicaranya yang tajam membuat Keysha merasa dilihat... untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.

Apa yang awalnya hanya percakapan ringan berubah menjadi pertemuan rahasia. Tubuh mereka bersatu lebih dari sekali, tapi yang membuat Keysha ketagihan bukan hanya sentuhan... tapi rasa bebas.

Yang tidak Keysha tahu: Leon adalah mantan napi. Dan lebih buruk lagi, Gavin mengenalnya sangat baik—mungkin terlalu baik.

“Kau pikir aku hanya datang untuk tubuhmu? Tidak, Sayang. Aku datang untuk menghancurkan segalanya yang kau sebut rumah.”

*Bab 1: Rumah Tanpa Suara

Hujan malam itu jatuh perlahan, menampar jendela kaca rumah bergaya minimalis yang berdiri megah di kawasan elit Jakarta Selatan. Lampu gantung kristal menyala hangat, namun tak mampu mengusir dingin yang merambat di antara dua orang yang duduk berjauhan di meja makan.

Keysha memutar sendok dalam mangkuk supnya yang sudah dingin, sementara Gavin membaca email di tablet tanpa sedikit pun menoleh padanya. Begitulah setiap malam—mereka makan bersama, tapi tak pernah benar-benar ‘bersama’.

"Aku kira kau pulang lebih larut," suara Keysha akhirnya memecah keheningan.

Gavin menengadah sekilas, lalu kembali menatap layarnya. “Meeting-nya dibatalkan.”

Hanya itu.

Tak ada, "Bagaimana harimu?", tak ada sentuhan di tangan, tak ada senyuman.

Keysha menarik napas panjang. Gaun sutra yang membalut tubuhnya sia-sia, riasan tipis di wajahnya hanya untuk dirinya sendiri. Ia merasa seperti patung yang dipajang, indah di luar—tapi tak punya nyawa.

Setelah selesai makan, Gavin berdiri, merapikan jasnya. "Aku harus ke Singapura lusa. Ada konferensi investor."
Keysha hanya mengangguk, tak bertanya lebih lanjut. Ia tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan kalimat singkat atau—lebih sering—diam.

Dan begitu Gavin melangkah naik ke kamar kerja, ia tahu malamnya akan berlalu seperti biasa. Sepi. Tanpa pelukan. Tanpa kata.


Keysha tak tidur. Ia berdiri di balkon, memandangi lampu kota. Angin malam menerpa rambut panjangnya yang terurai. Di kejauhan, suara musik sayup terdengar dari gedung hotel tempat pesta amal diselenggarakan malam itu—pesta yang seharusnya ia datangi bersama Gavin, namun akhirnya pergi sendiri.

Dia hampir tak jadi hadir. Tapi mungkin... malam itu, Tuhan memang ingin dia datang.

Di sana—di antara ratusan wajah asing yang palsu dan beraroma parfum mahal—Keysha melihat satu pria yang berbeda. Tak berpakaian terlalu mewah. Duduk di sudut ruangan dengan segelas wine dan tatapan kosong ke arah lampu gantung.

Saat mata mereka bertemu, waktu seperti melambat. Ia tidak tersenyum. Tidak mengangguk. Tapi matanya... seolah berkata:

"Aku tahu kamu kesepian."

Bab 2: Tatapan Pertama, Dosa Pertama

Keysha tidak tahu kenapa ia mendekat. Sepasang kaki berhak tinggi itu melangkah ke arah pria asing tanpa rencana. Mungkin karena anggur di tangannya. Mungkin karena musik terlalu lambat. Atau mungkin karena cara pria itu menatapnya—seolah menguliti lapisan topengnya satu per satu.

Ia berdiri di hadapannya. Tak ada senyuman. Tak ada sapaan formal seperti biasa di pesta-pesta elite. Hanya keheningan yang menggantung tebal.

Pria itu mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Keysha. Iris matanya gelap, dalam, dan sedikit berantakan seperti masa lalu yang belum selesai.

“Kau tersesat di pesta orang-orang palsu,” ucapnya pelan, suara beratnya seperti bisikan yang tak perlu meninggi untuk terdengar.

Keysha mengangkat alis. “Dan kau bukan bagian dari mereka?”

Dia tersenyum tipis, tapi tak menjawab. Hanya menepuk kursi kosong di sampingnya.

Dan anehnya, Keysha duduk.

Mereka diam cukup lama. Tapi dalam diam itu, ada sesuatu yang bergerak—sesuatu yang berbahaya, yang memanaskan udara meski AC di ruangan berhembus dingin.

"Aku Keysha," ucapnya akhirnya, mencoba merobohkan tembok yang membatasi mereka.

Pria itu menoleh, menatapnya dengan penuh intensitas. “Aku tahu.”

Keysha mengerutkan kening. “Kau mengenalku?”

“Semua orang mengenal istri Gavin Alvaro,” katanya, dengan nada setengah mengejek.

Ada rasa perih di dada Keysha mendengar nama itu diucapkan oleh orang asing. Tapi sebelum ia bisa menjawab, pria itu mencondongkan tubuhnya mendekat, cukup dekat hingga ia bisa mencium aroma maskulin yang samar dari kulitnya.

“Pertanyaan yang lebih penting,” bisiknya, “apa yang kau cari malam ini, Nyonya Alvaro?”

Keysha menggigit bibir bawahnya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun... ia merasa hidup. Terlihat. Diinginkan.

Dan sebelum pikirannya bisa menolak, bibirnya membalas, nyaris tanpa suara:

“Sesuatu yang bukan milik siapa-siapa.”

Bab 3: Jangan Katakan Namaku

Tiga hari sejak pesta itu.

Keysha berusaha mengalihkan pikirannya. Ia menenggelamkan diri dalam kegiatan sosial, yoga, jadwal makan siang bersama istri-istri pengusaha lainnya—semua rutinitas yang tak pernah benar-benar menyentuh hidupnya. Tapi wajah pria itu selalu kembali muncul di kepalanya. Tatapannya. Kalimat terakhirnya.

“Apa yang kau cari malam ini, Nyonya Alvaro?”

Dan mungkin karena takdir terlalu kejam, atau karena alam bawah sadarnya terlalu jujur, Keysha menemukan dirinya berdiri di lobi hotel tempat pesta itu dulu digelar.

Tak ada janji. Tak ada pesan.

Hanya… rasa ingin tahu.

Ia naik ke lantai 10, entah kenapa. Lalu berdiri di lorong kosong dengan karpet tebal dan aroma parfum mewah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Saat ia hendak berbalik, pintu kamar di ujung lorong—403—terbuka perlahan dari dalam.

Dan di sana, berdiri dia.

Pria itu.

Kemeja hitam kusut, lengan tergulung hingga siku, dan tatapan yang tidak berubah sedikit pun.

Dia tidak terkejut melihat Keysha.

Seolah sudah tahu dia akan datang.

“Masuk,” ucapnya pelan.

Keysha berdiri kaku. Semua logika dalam kepalanya menjerit. Tapi tubuhnya melangkah lebih dulu.


Kamar itu sunyi. Hanya suara detak jam dinding dan napas mereka yang terdengar.

Keysha berdiri dekat jendela, memeluk dirinya sendiri. “Apa ini kebetulan?”

Pria itu menuangkan segelas bourbon dan menyerahkannya padanya. “Kau tahu ini bukan kebetulan.”

Ia meneguk minuman itu perlahan. Matanya menatap pantulan dirinya di kaca jendela. “Aku sudah menikah.”

“Dan kau tetap datang.”

Sunyi.

Keysha menoleh, menatap pria itu—mata mereka terkunci. “Siapa kau sebenarnya?”

Ia mendekat, mengangkat tangan dan menyentuh rambut Keysha, lembut. “Kenapa kau ingin tahu? Bukankah lebih mudah kalau kita tak saling mengenal?”

Keysha tak menjawab. Pria itu berdiri begitu dekat sekarang. Napas mereka hampir bersentuhan.

“Kalau kau tahu namaku,” bisiknya, “kau akan takut mencintai aku.”

Jari-jarinya menyentuh wajah Keysha, turun ke leher, dan berhenti di tulang selangkanya. Jantungnya berdetak kencang, tapi tubuhnya tak menjauh.

“Aku tidak datang untuk cinta,” ucap Keysha nyaris tak terdengar.

Lalu dia mencium Keysha. Pelan, dalam, tapi tak sabar. Seperti pria yang menahan haus terlalu lama. Keysha balas mencium, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kehangatan yang semestinya bukan miliknya.

Dan di ranjang hotel itu, dalam ruang sunyi yang tak ada nama dan janji, mereka membiarkan diri mereka terbakar—oleh rasa bersalah, oleh hasrat, oleh segala yang seharusnya tidak pernah dimulai.

Bab 4: Luka yang Tidak Mati

Keysha terbangun dengan sisa napas berat dan tubuh yang masih membara. Cahaya pagi menyusup lewat celah tirai kamar hotel. Di sisi ranjang, tidak ada siapa-siapa.

Leon sudah pergi.

Yang tersisa hanya aroma maskulinnya yang masih melekat di seprai dan jaket kulit yang tersampir di kursi.

Keysha duduk, menarik napas panjang.

Separuh dirinya ingin merasa menyesal. Separuh lainnya—yang lebih jujur—merasa... hidup.

Bukan sebagai istri Gavin. Bukan sebagai perempuan yang ditampilkan di majalah. Tapi sebagai wanita yang diraba dengan jujur, disentuh bukan karena kewajiban, melainkan karena keinginan.

Di atas meja kecil di samping ranjang, ada secarik kertas.
Tulisan tangan dengan tinta hitam:

“Kau tidak salah. Dunia saja yang terlalu suka menghakimi.”

Tidak ada nama. Tidak ada nomor telepon.


Di rumah, Gavin belum pulang dari Singapura. Tapi pesan suara dari asistennya sudah masuk. Jadwal makan malam bersama investor, kemungkinan diperpanjang dua malam.

Keysha mendengus, meletakkan ponsel. Jantungnya berdetak cepat bukan karena takut Gavin tahu... tapi karena ia mulai sadar: ia berharap Leon menghubungi lagi.

Ia ingin tahu siapa pria itu sebenarnya. Dari mana dia tahu nama lengkapnya, bagaimana bisa muncul di kamar hotel itu seperti sudah menunggunya.

Dan rasa ingin tahu itu menggerogoti pikirannya lebih dari rasa bersalah.


Sementara itu, di tempat lain.

Leon duduk di sebuah bengkel tua yang sudah lama tak dipakai. Dindingnya penuh coretan, dan di tengah ruangan hanya ada satu meja besi dan satu lemari besi tua.

Ia membuka laci, mengeluarkan foto tua yang sudah usang.

Wajah Gavin Alvaro muda. Berdiri bersama seseorang—ayahnya.

Leon menatap foto itu dengan sorot mata dingin.

“Kau pikir bisa menyembunyikan semuanya, Gav?”

Tangannya mengepal.

“Aku akan mulai dari perempuanmu. Perlahan. Sampai semuanya kau rasakan seperti yang dulu aku rasakan—kehilangan, penghinaan, dan kehancuran.”

Bab 5: Jatuh dalam Bayangan

Sudah seminggu sejak malam itu. Dan Keysha belum bisa tidur dengan damai sejak saat itu.

Setiap sudut rumah terasa sunyi. Setiap suara jam dinding terdengar terlalu keras. Dan setiap kali Gavin menyentuh pundaknya hanya untuk basa-basi sebelum berangkat kerja, tubuh Keysha tegang seketika—bukan karena takut ketahuan, tapi karena merasa tubuh itu bukan lagi milik Gavin.

Ia duduk sendirian di balkon kamar. Angin sore menerpa gaun santainya. Jari-jari lentiknya menggenggam secangkir kopi, tapi matanya tertuju ke layar ponsel.

Masih tidak ada pesan. Tidak dari nomor tak dikenal. Tidak dari Leon.

Dia bahkan tidak tahu harus berharap atau merasa lega.

Tapi batinnya tahu. Ia merindukan pria itu. Merindukan sentuhan yang tak dibungkus kewajiban. Merindukan suara rendah yang tak menuntut, hanya mendengar.

Dan mungkin... itu yang lebih menakutkan dari rasa bersalah itu sendiri.


Di sisi lain kota.

Leon berdiri di depan gedung tinggi tempat kantor Gavin berada. Jas hitam membungkus tubuhnya, menyamarkan tato di lengan yang selalu menjadi kenangan masa lalu. Di tangannya ada map berisi dokumen yang tidak penting—hanya alasan untuk masuk.

Dia tidak berniat menemui Gavin hari ini. Bukan waktunya.

Tapi saat ia menoleh ke arah parkiran, matanya menangkap sosok yang tak asing. Gaun merah, rambut panjang bergelombang, langkah yang ragu namun tetap anggun.

Keysha.

Apa yang dia lakukan di sini?

Leon mengikuti dari jauh, membiarkan dirinya hanyut dalam rasa ingin tahu yang perlahan berubah jadi kekacauan.

Keysha masuk ke lift, lalu ke lantai 28. Bukan lantai Gavin.

Leon memiringkan kepala, memperhatikan.

Lantai 28—area pameran lukisan milik yayasan sosial tempat Keysha menjadi pengurus. Bukan kebetulan. Tapi bukan karena dia tahu Leon akan ada di sini juga.

Itu karena dia tak tahu harus ke mana, kecuali tempat yang diam-diam mengingatkannya pada satu hal:

Dirinya yang bukan istri siapa-siapa.


Ketika Keysha keluar dari ruang galeri kecil itu, ia terkejut melihat Leon berdiri bersandar di pilar, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Tatapan mereka bertemu. Jantungnya seolah berhenti.

“Sedang cari aku?” tanya Leon santai.

Keysha menahan napas. “Kau mengikuti aku?”

Leon mendekat, langkahnya pelan tapi pasti. “Atau mungkin semesta sedang mempermainkan kita.”

Keysha tertawa kecil, getir. “Aku tidak datang untuk mengulang malam itu, Leon.”

Dia berhenti di hadapannya, menunduk cukup dekat hingga napas mereka bersentuhan lagi.

“Bagus,” bisiknya. “Karena kali ini, aku tidak akan hanya menyentuh tubuhmu.”

Tatapan Keysha membeku.

“Aku akan menyentuh hidupmu.”

Bab 6: Kau Tak Bisa Pergi Begitu Saja

Pagi itu, Keysha membuka matanya dengan perasaan ganjil. Ada sisa mimpi yang tak selesai—tentang tangannya yang dipegang oleh dua laki-laki. Satu mengenakan jas, wajahnya bersih, tapi matanya kosong. Satunya lagi... dengan mata penuh luka dan tangan yang kasar, tapi hangat.

Ia tidak tahu siapa yang menariknya, hanya tahu bahwa dirinya tidak benar-benar ingin memilih.


Di meja makan, Gavin masih seperti biasa. Kopi hitam, roti bakar, dan suara rapat dari laptop yang menyala sejak jam tujuh pagi.
“Malam ini gala dinner di Ritz,” ucap Gavin tanpa menatapnya. “Temani aku. Tamu-tamu dari Hong Kong hadir.”

Keysha mengangguk pelan, mencoba menyamarkan detak jantungnya yang langsung berdebar. “Apa aku harus datang?”

“Kau istri CEO Alvaro Group. Ya.”

Dan tanpa menunggu balasan, Gavin berdiri, mengecup sekilas keningnya, lalu pergi.

Keysha tetap duduk, menatap kopi yang sudah dingin. Ia tidak tahu kenapa, tapi tubuhnya merasa letih. Bukan karena kurang tidur—tapi karena terlalu banyak menahan.


Malamnya, ia mengenakan gaun hitam berpotongan rendah, elegan tapi cukup terbuka untuk menarik perhatian. Bukan untuk Gavin. Tapi entah untuk siapa.

Ritz Carlton tampak ramai malam itu. Musik klasik mengalun. Percakapan dalam bahasa Inggris dan Mandarin bercampur di udara.

Gavin sibuk menyapa kolega, meninggalkannya sendirian di sisi ruangan.

Dan lalu…

Sebuah suara pelan muncul di belakangnya. “Kau selalu tampak sendirian, bahkan di tengah keramaian.”

Keysha menoleh cepat. Leon. Kali ini dengan setelan abu-abu, rambut sedikit acak, dan tatapan yang tak kalah tajam.

“Kau—bagaimana bisa kau ada di sini?” bisiknya.

Leon tersenyum tipis. “Kau pikir aku tidak bisa masuk ke dunia suamimu?”

Ia menarik satu gelas wine dari nampan pelayan yang lewat, menyerahkannya padanya.

“Kau sedang bermain di medan yang tidak kau kenali, Leon,” ucap Keysha pelan, mencoba terdengar kuat.

Tapi Leon hanya menatapnya, mendekat selangkah demi selangkah.

“Aku tidak main-main, Keysha,” katanya lirih. “Tapi kau... sudah masuk terlalu dalam. Bahkan kalau kau lari sekarang, kau tidak akan bisa benar-benar pergi.”

Keysha gemetar. Bukan karena takut—tapi karena bagian dari dirinya… tidak ingin pergi.


Di ujung ruangan, Gavin melirik ke arah mereka dari jauh. Wajahnya tetap datar, tapi matanya sempat menyipit.
Dia mengenal pria itu. Tapi belum yakin dari mana.

Bab 7: Cemburu Tanpa Nama

Gavin menyandarkan tubuhnya di balik kursi mobil sambil memandangi jalanan malam dari balik jendela. Sopir mereka membawa mobil pelan menyusuri tol dalam kota. Di sampingnya, Keysha duduk diam, menatap ke luar, dengan wajah yang disembunyikan dalam bayangan.

Semuanya hening. Tapi tidak damai.

“Siapa pria itu tadi?” tanya Gavin, suaranya pelan, nyaris netral.

Keysha menoleh cepat, pura-pura tidak mengerti. “Siapa?”

“Yang bicara denganmu. Di dekat bar. Berjas abu-abu.”

Keysha menelan ludah. “Teman lama. Leon.”

Gavin menatapnya, lama. “Dari mana?”

“Dunia yang bukan milikmu,” balas Keysha setengah menggoda, mencoba meredakan ketegangan. Tapi Gavin tidak tersenyum.

“Aku mengenali wajahnya,” katanya, matanya menyipit samar. “Tapi bukan dari pesta.”

Keysha tidak menjawab. Jantungnya berdetak terlalu keras.


Sementara itu, Leon berdiri di atas atap gedung kosong tak jauh dari kawasan pusat kota, menatap lampu-lampu yang gemerlap. Di tangannya, foto lama itu kembali ia genggam. Foto ayahnya bersama Gavin, dengan senyum yang kini terasa seperti pengkhianatan.

“Kau mencuri segalanya darinya,” bisik Leon pada bayangan Gavin di pikirannya. “Kini aku ambil milikmu, sedikit demi sedikit.”

Namun, yang membuatnya gelisah bukanlah rencana itu.

Yang membuatnya takut—adalah kenyataan bahwa ketika ia mencium Keysha malam itu, ada getar yang tidak direncanakan. Sesuatu yang lebih dari sekadar dendam. Lebih dari sekadar pelampiasan.

Ia menikmatinya.

Dan itu—berbahaya.


Dua hari kemudian.

Keysha sedang berada di studio lukisannya. Tempat itu satu-satunya ruang yang membuatnya merasa menjadi manusia. Kanvas-kanvas kosong. Warna. Bau cat minyak.

Saat ia membalikkan tubuh, Leon sudah berdiri di ambang pintu.

“Kau tahu jalan ke sini?” tanya Keysha terkejut.

Leon menyeringai. “Kau pikir aku tidak bisa mencari tahu hal-hal kecil?”

Ia mendekat, langkahnya tenang, tapi mata itu menyimpan badai. “Aku lihat dia mulai curiga.”

Keysha menatapnya tajam. “Apa kau senang? Apa itu bagian dari rencana permainanmu?”

Leon berhenti tepat di depannya. “Aku tidak sedang bermain.”

Keysha tertawa, getir. “Kau datang padaku karena dia. Karena masa lalu kalian.”

Leon tidak menjawab. Tapi diamnya cukup menjelaskan.

Keysha menatap matanya lama, lalu mendekat pelan. “Lalu kenapa... waktu kau menciumku, aku merasa itu hanya tentang kita?”

Leon mengangkat tangannya, menyentuh pipinya. Tatapannya bergetar.

“Karena aku juga ingin... itu cuma tentang kita.”

Dan mereka berciuman lagi. Kali ini lebih pelan. Tidak terburu-buru. Seperti menahan sesuatu yang lebih besar: rasa.

Bab 8: Luka yang Tak Tertutup

Gavin menatap layar laptopnya dengan dahi mengernyit. Asistennya, Aldo, berdiri di dekat meja dengan raut ragu.

“Nama lengkapnya Leonardo Mahesa,” kata Aldo. “Lulusan hukum, tapi tidak pernah mengambil izin praktik. Sempat bekerja di LSM advokasi tanah beberapa tahun, tapi berhenti mendadak. Setelah itu... kosong. Tak banyak jejak digital.”

Gavin menyipitkan mata. “Mahesa?”

Aldo mengangguk. “Ayahnya, Arman Mahesa, dulu pemilik perusahaan properti kecil di Yogyakarta. Bangkrut setelah—”

“Setelah menggugat Alvaro Group karena sengketa lahan industri di tahun 2002,” Gavin menyelesaikan kalimat itu sendiri, pelan.

Aldo menatap bosnya. “Anda ingat?”

Gavin terdiam cukup lama. Lalu mengangguk. “Aku yang perintahkan tim hukum menutup kasus itu.”

“Dia mungkin menyimpan dendam.”

“Bukan mungkin,” Gavin berkata datar. “Dia menyusup ke hidupku lewat istriku.”


Sementara itu, Keysha berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya sendiri. Rias wajahnya masih sempurna. Tapi ada retakan di dalam dirinya yang tak bisa ditutup oleh lipstik merah atau parfum mahal.

Pagi itu, Leon kembali menghilang. Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.

Ia merasa bodoh karena berharap. Karena detak jantungnya masih berubah setiap kali ponselnya menyala.

Ia seharusnya menjauh. Tapi tubuhnya seperti kecanduan.

Dan hatinya? Sudah terlalu jauh untuk kembali.


Sore hari, ia kembali ke studio lukis. Tapi seseorang sudah menunggunya di sana.

Gavin.

Keysha menegang. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Gavin menoleh perlahan. “Tempat ini tenang. Tak ada kamera. Tak ada saksi.”

Keysha melangkah hati-hati. “Kau mau bicara apa?”

Gavin berdiri, mendekat padanya. “Siapa dia, Keysha?”

Ia terdiam. Nafasnya tercekat.

“Leon,” Gavin melanjutkan. “Anak dari orang yang hidupnya aku hancurkan. Dan sekarang... dia berusaha menghancurkan milikku.”

Keysha menggeleng, air matanya menggenang. “Aku... aku tidak tahu. Awalnya.”

Gavin menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, wajahnya tidak dingin. Tapi lelah.

“Aku tahu aku bukan suami yang baik,” katanya pelan. “Tapi aku tak pernah menyangka kau akan jatuh cinta pada pria yang ingin menghancurkan kita.”

Keysha menunduk. “Aku tidak ingin jatuh... Tapi aku sudah jatuh.”

Gavin menatapnya. “Kau akan pilih dia?”

Keysha tidak menjawab. Karena jawabannya belum ada.

Bab 9: Cinta Tak Pernah Netral

Keysha berdiri di balkon apartemennya, angin malam menyibakkan rambut panjangnya. Di dalam, Gavin baru saja meninggalkan ruangan setelah percakapan yang nyaris tanpa suara.

Tak ada pertengkaran.

Tak ada kata cerai.

Tapi juga tak ada maaf.

Yang tersisa hanya hening yang lebih menyakitkan dari teriakan.

Ia menggenggam ponselnya. Sudah tiga hari tanpa kabar dari Leon. Dan luka itu justru terasa lebih dalam daripada saat Gavin tahu.

Bodohnya, ia jatuh cinta pada dua pria dalam dua luka yang berbeda. Gavin memberinya nama, rumah, dunia. Tapi Leon memberinya rasa. Nafas. Diri.

Dan sekarang, keduanya menjauh.


Di sisi lain kota.

Leon duduk di kursi kayu reyot di bengkel tua milik ayahnya. Dinding yang dulu penuh dengan coretan rencana kini penuh abu rokok dan debu.

Di meja kayu itu, dua benda tergeletak.

Satu: amplop berisi dokumen tentang kasus lama yang bisa menjatuhkan Gavin. Bukti manipulasi legal, suap pejabat, dan penggusuran paksa.

Dua: foto Keysha yang dia ambil diam-diam. Saat tertawa. Saat melukis. Saat tertidur di ranjang hotel—tanpa tahu dia sedang dicintai oleh pria yang awalnya hanya berniat menghancurkannya.

Leon menghela napas panjang.

“Kenapa kau datang di saat yang salah, Keysha?” bisiknya.

Ia menatap dua benda itu. Satu menjanjikan balas dendam. Satu... cinta yang tak pernah direncanakan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ragu.


Malam itu, pintu studio Keysha diketuk.

Ia tak berharap siapa-siapa. Tapi saat pintu terbuka, Leon berdiri di sana. Kusut. Lelah. Tapi tatapannya... penuh kejujuran yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

“Aku tidak tahu harus bagaimana,” kata Leon pelan. “Antara membalas dendam... atau menyelamatkanmu.”

Keysha menahan napas. “Kau datang untuk menjatuhkan Gavin?”

“Awalnya, ya,” Leon menjawab jujur. “Tapi sekarang... aku tidak yakin. Karena semakin aku menyakitimu, aku justru merasa menghancurkan diriku sendiri.”

Air mata Keysha mengalir. “Lalu apa kau akan pergi?”

Leon mendekat. “Kalau aku pergi, itu karena aku mencintaimu. Tapi kalau aku tinggal, itu karena aku egois.”

Mereka berdiri berhadapan, di antara cinta dan kehancuran.

Keysha menyentuh wajahnya. “Kalau kau tinggal... maka kita hancur bersama.”

Leon menutup matanya, mencium dahinya perlahan. “Mungkin itu lebih baik daripada aku hidup tanpa pernah menyentuhmu lagi.”

Bab 10: Saat Semuanya Terbakar

Langit Jakarta malam itu seperti ikut menyimpan amarah. Mendung pekat menggantung, seolah menunggu waktunya untuk menumpahkan sesuatu yang lebih dari hujan.

Di apartemen Alvaro Penthouse, Gavin duduk seorang diri. Di hadapannya: layar laptop dengan dokumen digital dari kasus dua puluh tahun lalu. File itu dikirim tanpa nama. Tapi Gavin tahu siapa pelakunya.

Leon Mahesa.

Tapi yang membuat Gavin tidak langsung membalas, bukan ancaman hukum. Melainkan perasaan pahit yang lebih tua dari dendam itu sendiri.

Rasa kehilangan.

Bukan pada nama baiknya.

Tapi pada perempuan yang dulu ia nikahi, dan kini tak lagi bisa disentuh dengan cara yang sama.


Di sisi lain, Keysha berdiri dalam hening. Di tangannya, ada secarik kertas. Tulisan tangan Leon:

“Aku sudah memutuskan. Dokumen itu tidak akan kukirim. Tapi aku juga tidak bisa tinggal. Kau terlalu berharga untuk jadi alat. Dan aku terlalu rusak untuk mencintaimu tanpa menyakitimu.”

— Leon

Keysha menangis. Tapi tangisnya bukan hanya tentang kehilangan. Tapi juga karena ia akhirnya tahu: cinta tidak selalu harus memiliki untuk jadi nyata.


Pagi harinya, Gavin mendatanginya di studio lukis. Tanpa pengawal. Tanpa sekretaris. Hanya dirinya.

Keysha menatapnya pelan. “Apa kau datang untuk menghakimi?”

Gavin menggeleng. “Untuk melepas.”

Mereka duduk berseberangan. Untuk pertama kalinya, bukan sebagai suami istri. Tapi sebagai dua orang yang pernah saling memilih.

“Aku tidak akan menuntut. Tidak akan mengungkit,” kata Gavin. “Tapi aku ingin jujur satu hal. Aku tahu aku kehilanganmu bukan karena dia. Tapi karena aku tak pernah benar-benar menggenggammu sejak awal.”

Keysha terisak. “Aku juga salah. Aku terlalu lama diam. Terlalu takut untuk pergi.”

Gavin berdiri, berjalan mendekat, lalu meletakkan satu kunci apartemen di meja. “Gunakan kalau kau butuh tempat pulang. Tapi aku tak akan memaksamu kembali.”

Lalu ia pergi.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Keysha, cinta terasa seperti… kebebasan. Meskipun itu datang dengan rasa sakit.


Dua minggu kemudian

Leon berjalan sendirian di tepian pantai kecil di selatan Jawa. Tak ada ponsel. Tak ada rencana.

Ia membawa lukisan kecil yang sempat ditinggalkan Keysha di studio. Sebuah potret mata—matanya—yang dilukis dengan emosi kacau. Tapi begitu indah.

Leon tersenyum kecil. Ia tahu, ia tak pantas mendapat cinta itu.

Tapi ia bersyukur pernah merasakannya.

Epilog: Dalam Diam yang Tidak Lagi Berdosa

Tiga Tahun Kemudian

Pameran seni di Kyoto sore itu penuh sesak. Para pengunjung memenuhi aula galeri modern yang memajang karya seniman-seniman Asia Tenggara. Salah satu sudutnya, dikerumuni oleh pengunjung dengan antusias: seri lukisan bertajuk "Di Antara Luka dan Diam."

Di antara lukisan-lukisan itu, satu karya paling banyak menarik perhatian:
“Pria dengan Mata Terbakar Senja.”

Seseorang berdiri menatapnya lama. Seorang pria, berambut sedikit lebih panjang dari biasanya, mengenakan jaket tipis dan topi. Ia menatap lukisan itu lama sekali, seolah melihat dirinya sendiri dari masa lalu.

Leon.

Di sudut kecil lukisan itu, tertera inisial kecil: K. A.

Ia tersenyum tipis.

Tak jauh dari sana, seorang perempuan mengenakan baju putih berdiri diam, melihat pria itu dari kejauhan. Ia tidak menghampiri. Ia hanya memastikan bahwa... ia baik-baik saja.

Keysha.

Ia sekarang menjadi pelukis keliling. Mengajar seni di beberapa workshop, berpindah dari satu kota ke kota lain. Tak lagi menjadi milik siapa pun. Tak lagi menjadi bayangan siapa pun.

Ia mencintai dengan bebas. Sekali saja. Dan itu cukup.


Sementara itu, di Jakarta, Gavin duduk di teras rumah kecilnya di pinggiran kota. Ia tak lagi CEO. Ia menyerahkan semua pada dewan, mengambil hidup yang lebih sunyi.

Seorang anak perempuan kecil berlari ke arahnya. “Ayah! Lihat, aku gambar mobil besar!”

Gavin tersenyum, mengangkat gadis kecil itu dan memeluknya.
“Kau pelukis hebat, Nak.”

Di dalam rumah, seorang wanita sederhana—bukan Keysha, bukan siapa-siapa yang dikenal dunia—tersenyum sambil menyeduh teh. Dan Gavin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, merasakan cinta… bukan sebagai status, tapi sebagai tempat pulang.


“Cinta tak pernah salah datang. Ia hanya salah tempat kadang. Tapi ia selalu tahu ke mana harus kembali… meski hanya dalam diam.”

Tamat



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh