Capek Capek

 Capek Capek


Genre: Drama, Slice of Life, Komedi

Sinopsis:

Di tengah kota yang tak pernah tidur, hidup seorang pemuda bernama Arga yang setiap harinya bertarung dengan rasa lelah—bukan cuma fisik, tapi juga hati dan pikirannya. Capek-capek kerja dari pagi sampai malam, capek-capek menghadapi orang-orang yang penuh drama, capek-capek menjalani hidup yang rasanya gak ada habisnya. Namun, di balik kelelahan itu, Arga menemukan secercah harapan dan tawa dari hal-hal kecil yang sering dia abaikan.


Bab 1: Capek Itu Biasa

Arga membuka mata dengan berat, alarm berbunyi nyaring tapi rasanya tubuhnya seperti ditempelin batu besar. "Aduh, capek banget nih," gumamnya. Sudah seminggu dia kerja lembur setiap malam, sementara di kantor tugas menumpuk kayak gunung.

Di depan cermin, matanya sembab. "Gak boleh kayak gini terus. Tapi gimana ya...?" Ia menengok meja kerja yang penuh kertas berantakan, laptop yang kadang menolak nyala, dan secangkir kopi basi yang jadi teman setianya.

Setiap langkah menuju kantor, Arga merasa seperti berperang melawan rasa malas dan kelelahan yang menempel. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Di tengah keramaian, ada senyum kecil dari seorang pengamen yang menghibur di halte bus. Senyum itu seperti mengatakan, "Santai aja, hidup gak selalu berat."

Arga tersenyum kecil. Mungkin capek-capek ini bukan cuma tentang fisik, tapi juga tentang bagaimana kita terus melangkah, walau badan sudah protes.

Bab 2: Kopi dan Curhat Malam

Malam itu, setelah pulang kerja, Arga mampir ke warung kopi kecil yang sering dia kunjungi. Tempat itu sederhana, tapi selalu bikin dia merasa sedikit lebih ringan.

“Mas, kopi hitam satu,” pesan Arga sambil duduk di pojok warung.

Tak lama, datang seorang wanita muda dengan senyum ramah, membawa kopi dan sepotong kue. “Lihat kamu kayaknya lagi capek banget, ya?”

Arga tertawa kecil. “Iya, kerjaannya numpuk banget. Kadang pengen banget lepas aja, tapi gak bisa.”

Wanita itu duduk di sebelahnya. “Namaku Rina. Aku juga dulu kayak kamu, sering capek dan bosen. Tapi aku belajar satu hal: kadang, kita harus kasih waktu buat diri sendiri, walau cuma sebentar.”

Arga menatap Rina penuh penasaran. “Gimana caranya?”

Rina mengangkat cangkir kopinya. “Dengan mulai dari hal kecil. Misalnya, hari ini kamu istirahat, jangan mikirin kerjaan dulu. Besok baru jalan lagi.”

Arga mengangguk pelan. “Makasih, Rina. Aku butuh banget dengar itu.”

Kopi dan obrolan sederhana itu jadi pengingat bahwa capek-capek hidup ini bukan buat dipikul sendirian.

Bab 3: Titik Balik

Beberapa hari setelah pertemuan di warung kopi, Arga mulai mencoba saran Rina. Dia sengaja meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Meski awalnya berat, tapi ada sesuatu yang berubah.

Di sebuah taman kecil dekat kantor, Arga duduk menikmati angin sore sambil dengar lagu favoritnya lewat earphone. Dunia terasa lebih tenang.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Rina, “Gimana? Udah mulai istirahat?”

Arga tersenyum dan balas, “Iya, lumayan sih. Makasih udah ngingetin.”

Hari itu, Arga sadar kalau capek-capek yang selama ini dia rasakan bukan cuma karena kerja keras, tapi juga karena dia lupa merawat hati sendiri.

Bab 4: Hadiah dari Kelelahan

Hari-hari berikutnya, Arga mulai lebih sering memberi waktu buat dirinya sendiri. Kadang sekadar duduk di taman, kadang nongkrong di kafe favorit, atau bahkan cuma tidur siang sebentar di sofa rumah.

Suatu sore, saat Arga sedang asyik baca buku di taman, seorang anak kecil menghampirinya. "Mas, kamu kenapa? Kelihatan capek banget."

Arga tersenyum dan mengelus kepala anak itu. "Iya, Nak. Tapi capek ini kadang perlu, supaya aku bisa belajar sesuatu."

Anak kecil itu mengangguk polos, "Kalau kamu capek, nanti istirahat ya biar kuat main lagi!"

Kata-kata sederhana itu membuat Arga tertawa lepas. Dia sadar, capek-capek selama ini adalah hadiah yang mengajarkan dia untuk lebih menghargai waktu, istirahat, dan kebahagiaan kecil.

Bab 5: Teman di Tengah Lelah

Di kantor, suasana sedang penuh tekanan. Deadline menumpuk dan rekan kerja mulai terlihat stres. Arga merasa capek bukan cuma dari kerjaan sendiri, tapi juga dari atmosfer yang penuh beban.

Di tengah kegaduhan itu, datang sosok baru yang mengubah suasana: Dita, seorang karyawan baru yang ceria dan penuh semangat. Dia sering menyelipkan candaan kecil yang bikin semua orang tersenyum, termasuk Arga.

“Capek-capek kerja, tapi jangan lupa senyum ya!” kata Dita suatu hari sambil memberikan secangkir kopi hangat ke Arga.

Arga tersenyum tulus, merasa ada energi baru yang masuk ke hidupnya. Ternyata, saat capek-capek ini datang, punya teman yang bisa berbagi beban itu penting banget.

Bab 6: Langkah Kecil, Perubahan Besar

Setelah kedatangan Dita, suasana kantor jadi lebih ringan. Arga mulai merasa bahwa capek-capeknya bukan lagi beban yang menyesakkan, tapi tantangan yang bisa dia lewati bersama teman-teman.

Suatu sore, setelah rapat panjang yang bikin semua orang lelah, Dita mengajak Arga dan beberapa rekan lain buat jalan santai di taman dekat kantor.

“Kadang, yang kita butuhkan cuma jeda sejenak buat recharge,” kata Dita sambil tersenyum.

Arga menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar. Dia sadar, perubahan besar gak harus datang dari hal yang dramatis. Cukup dari langkah kecil seperti berhenti sejenak, berbagi cerita, dan saling mendukung.

Capek-capeknya hidup sekarang terasa lebih berarti.

Bab 7: Menghargai Proses

Seiring waktu, Arga semakin paham bahwa capek-capek itu bagian dari proses hidup. Dia nggak lagi melawan rasa lelah, tapi menerima dan belajar dari situ.

Di hari ulang tahunnya, teman-teman kantor mengadakan kejutan kecil. Ada kue, tawa, dan ucapan hangat. Arga merasa dihargai, bukan karena hasil kerja sempurna, tapi karena dia sudah berusaha sebaik mungkin.

“Capek-capek ini gak sia-sia,” pikir Arga sambil meniup lilin. “Aku siap melangkah lagi, dengan hati yang lebih ringan.”


Bab 8: Awal Baru

Arga mulai membuat perubahan kecil dalam hidupnya. Dia belajar membagi waktu, lebih perhatian pada kesehatan, dan membuka diri untuk berbagi cerita.

Dengan dukungan Rina, Dita, dan teman-teman lainnya, Arga melangkah maju dengan semangat baru. Capek-capek yang dulu bikin dia hampir menyerah, kini menjadi kekuatan yang menguatkan.


Epilog: Capek-capek, Tapi Bahagia

Kadang hidup memang capek-capek. Tapi dari capek itu, kita belajar arti keteguhan, persahabatan, dan cinta pada diri sendiri.

Arga menatap langit malam dari balkon apartemennya, tersenyum. “Capek-capek ini indah. Karena aku tahu, aku nggak sendiri.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh