Catatan Orang Hilang
Catatan Orang Hilang
Bab 5: Pewaris Daftar
Aku tidak pernah menulis nama-nama itu.
Tapi halaman terakhir buku ini—menulis atas namaku.
Sepanjang sore aku hanya duduk di kamar, menatap buku itu dari jarak aman. Bahkan menyentuhnya sekarang membuat jari terasa kesemutan, seperti listrik statis merambat dari kulit ke otak.
Kupaksa membuka halaman terakhir lagi.
Daftar nama baru muncul. Tidak familiar.
Tapi satu nama langsung membuat jantungku berhenti sepersekian detik.
Rinaldi Wibowo
Pamanku. Orang yang membesarkanku sejak kecil.
Dan tulisan itu belum sepenuhnya tercetak. Masih samar.
Masih bisa dicegah.
Aku lari ke rumahnya di Depok. Jalanan seperti kabur. Waktu rasanya mempercepat dirinya sendiri. Setibanya di rumah, kudapati pintunya tidak terkunci. Lampu menyala. TV menyala.
Tapi paman tidak ada.
Di meja ruang tamu, ada segelas teh yang masih hangat.
Dan buku catatan kecil. Bukan milikku. Tapi miliknya.
Kubuka.
Isinya mengguncang tubuhku.
“Arka tidak tahu… aku juga pernah menemukan buku itu.”
“Tahun 2001, aku menulis satu nama. Dan aku… tidak pernah berhenti dihantui.”
“Buku itu memilihku, lalu membuangku. Sekarang memilihnya. Aku harus menyelamatkannya… walau harus menghilang lebih dulu.”
Tanganku gemetar.
Pamanku tahu tentang buku ini.
Dan sekarang… dia sengaja menaruh namanya agar aku bisa bertahan.
Aku jatuh terduduk. Dunia berputar. Buku di tasku mulai menghangat.
Lalu, suara itu datang lagi.
Bukan dari luar. Tapi dari dalam pikiranku sendiri.
“Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang.”
“Tapi kau bisa memilih siapa yang tetap ada.”
Tiba-tiba, bayangan muncul di sudut ruangan. Sosok pria tinggi, mengenakan jas panjang hitam. Wajahnya kabur, seperti disamarkan oleh pikiran itu sendiri.
“Selamat datang, Penulis.”
Aku bangkit. “Aku bukan penulismu. Aku tidak akan menulis siapa pun.”
Dia tertawa. “Kau pikir pilihan itu milikmu? Buku itu sudah menulis dengan nadamu. Lihat halaman pertama.”
Kubuka halaman pertama buku. Di sana, kutemukan tulisan yang dulu hanya berisi satu nama…
Sekarang ada kalimat pengantar, dengan gaya bahasa yang persis seperti caraku menulis artikel:
“Ini bukan sekadar daftar orang hilang. Ini sejarah yang tak boleh diketahui siapa pun.”
— Arka B. Mahesa
Tanganku gemetar. "Apa maksudnya? Apa ini semua semacam… warisan?"
Pria itu mendekat. “Bukan warisan. Bukan kutukan. Tapi tugas. Seseorang harus menjaga keseimbangan. Setiap orang yang hilang… mencegah dua lainnya yang lebih berbahaya muncul ke permukaan.”
Aku mundur. “Itu bukan tugas. Itu pembantaian.”
Dia mendekat sampai hampir menyentuh wajahku.
“Kalau begitu… cari penulis sebelumnya.”
“Dan tanyakan kenapa ia memilih untuk menulis namamu sendiri di daftar terakhirnya.”
Aku terdiam. Apa… Prof. Herman menulis namaku sendiri sebelum mati?
Saat itu juga, lampu rumah padam. Buku di tanganku berdenyut, seperti jantung kedua.
Lalu kutahu satu hal pasti:
Aku bukan cuma berada dalam daftar.
Aku sudah menjadi bagian dari sistemnya.
Dan jika aku tak ingin menulis nama berikutnya…
Aku harus menemukan siapa yang pertama membuat buku ini ada.
Bab 6: Penulis Pertama
Aku memulai pencarianku di tempat yang paling masuk akal: Perpustakaan Nasional, lantai arsip sejarah kolonial.
Berkat koneksi lama dengan salah satu pustakawan, aku diizinkan mengakses ruang mikrofilm rahasia—arsip Belanda yang belum banyak didigitalisasi. Aku mencari satu nama: Wilhelmus D. Leidekker, nama yang disebut oleh Prof. Herman dalam catatan pribadinya sebagai “pemegang awal daftar yang tidak boleh dibaca siapa pun.”
Mikrofilm tahun 1854. Judul arsip:
“Verslag van de Nachtlijst”
(Laporan Daftar Malam)
Terjemahannya membuat bulu kudukku berdiri:
“Pihak koloni telah menemukan bahwa sebagian penduduk asli memiliki daftar nama yang, bila dibacakan dengan urutan tertentu, menyebabkan ‘penghilangan eksistensial’. Penulis daftar terakhir, Wilhelmus Leidekker, menyatakan bahwa nama-nama itu tidak dia ciptakan, melainkan muncul dari dirinya sendiri.”
Aku menelan ludah. Leidekker… bukan penulis. Dia perantara pertama.
Arsip tahun 1856. Laporan akhir pengadilan militer.
“Letnan Leidekker ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, tergantung di ruang tahanan, dengan satu kata di dinding ditulis darah: 'INGATKAN MEREKA'. Buku hitam yang ditemukan bersamanya mengandung nama-nama yang telah menghilang dalam dua bulan terakhir, termasuk nama-nama pejabat VOC dan tokoh masyarakat lokal.”
Aku terduduk.
Buku ini sudah ada sejak zaman kolonial.
Sudah digunakan, dan ditinggalkan.
Tapi tidak pernah hancur.
Karena buku ini bukan benda biasa.
Itu… makhluk.
Saat aku berjalan keluar ruang arsip, cahaya lampu mulai berkedip. Kipas angin berhenti. Ruangan jadi dingin mendadak. Dan suara langkah kaki mulai menggema di koridor perpustakaan, meski aku yakin aku sendirian.
Langkah itu berhenti.
Di hadapanku—seorang anak kecil, mungkin usia 8 tahun, berdiri dengan tangan memegang buku yang sama persis seperti milikku.
Tapi bukunya berwarna putih.
“Aku yang pertama…” katanya pelan.
“Aku tidak menulis dengan tinta. Aku menulis dengan bisikan.”
Aku berlutut, takut, tapi mencoba tenang. “Kau… Leidekker?”
Dia menggeleng.
“Aku sebelum Leidekker. Sebelum ada nama. Sebelum bahasa.”
Aku mundur satu langkah. “Apa yang kau inginkan?”
Matanya hitam, tak berkelopak. Suaranya terdengar seperti gema dari ribuan suara.
“Buku itu bukan dibuat. Itu dilahirkan. Saat manusia pertama kali ingin menghapus yang lain tanpa membunuhnya.”
Tiba-tiba, buku hitam di tasku terbuka sendiri.
Halaman terakhir menulis satu kalimat baru:
“Penulis tidak dipilih. Penulis diciptakan.”
Anak itu melangkah mendekat. Di udara, suara-suara mulai berteriak.
“Jika kau tak mau menulis, maka pena akan menemukan tangan lain.”
“Dan tangan itu… akan menulis nama-nama yang lebih tak bersalah dari ini.”
Aku memejamkan mata.
Aku bisa merasakan sesuatu di ujung jariku. Pena? Pisau? Atau… kekuasaan?
Saat membuka mata, aku sudah berada di kamarku. Sendiri.
Buku hitam terletak di meja.
Dan di sampul depannya, untuk pertama kalinya, muncul sebuah ukiran baru:
“Pewaris ke-14: Arka B. Mahesa”
Aku bukan sekadar korban lagi.
Aku sudah masuk ke dalamnya.
Dan kalau aku tak ingin menjadi monster berikutnya…
Aku harus menghancurkan buku ini.
Tapi satu masalah besar:
Tak ada satu pun Penulis Sebelumnya yang berhasil melakukannya.
Bab 7: Tulisan yang Tak Bisa Dihapus
Aku bermimpi malam itu.
Tapi bukan mimpi biasa—lebih seperti aku ditarik ke ruang yang dibangun dari suara dan bisikan. Di sana, berdiri barisan sosok tanpa wajah, tubuh mereka tersusun dari tulisan yang terus berubah.
Satu dari mereka menunjuk ke arahku.
“Apa yang ditulis tidak bisa dihapus. Kecuali penanya ikut lenyap.”
Aku terbangun dengan keringat dingin, napas tercekik.
Dan kutahu: kalau aku ingin menghancurkan buku ini, aku harus mempertaruhkan diriku sendiri.
Hari itu aku menemui satu-satunya orang yang bisa menafsirkan teks mistik kuno: Bu Lestari, mantan dosenku yang dikeluarkan dari kampus karena obsesinya terhadap manuskrip terlarang.
Kukira dia akan mengusirku.
Tapi saat melihat buku hitam itu, ekspresinya berubah. Seolah… ia sudah menunggu.
“Aku sudah membaca tentang ini,” katanya. “Di Tibet kuno, dikenal sebagai Namthar Gyalpo—‘Raja Nama’. Dalam naskah Nusantara, disebut Pustaka Renggut Nyawa.”
Aku menatapnya serius. “Bisakah dihancurkan?”
Dia menatap lurus ke mataku.
“Bukan dihancurkan. Tapi ‘ditutup’. Dengan syarat: kau harus menulis satu nama terakhir. Nama paling penting.”
Aku mencengkeram buku itu. “Siapa?”
“Namamu sendiri.”
Aku pulang dengan kepala penuh gemuruh. Jika aku menulis namaku… mungkin buku itu berhenti. Mungkin aku bisa menghapus semuanya.
Tapi aku juga akan menghilang, dan tak akan ada yang mengingat aku pernah hidup.
Dan… buku ini sudah menulis lebih dari itu.
Kini setiap halaman berisi wajah-wajah samar. Mereka semua menatapku ketika kubuka halaman tengah.
Mereka tahu aku ragu.
Lalu, satu halaman kosong muncul. Di tengahnya, tinta mulai menari sendiri:
Tawaran terakhir: tulis satu nama. Maka seribu akan dibiarkan hidup.
Tanganku gemetar.
Aku tahu siapa nama itu.
Nama orang yang seharusnya menghilang dari dunia ini sejak awal.
Seseorang yang kubenci, yang menyiksaku waktu kecil, yang membuat ibuku mencoba bunuh diri.
Ayahku.
Kutatap buku itu. Pena muncul entah dari mana—panas, berdenyut, seolah tahu aku sedang menimbang.
Kalau aku menulis namanya, buku ini akan puas… untuk sementara.
Tapi aku akan jadi bagian dari sistem. Sama seperti yang lain.
Kalau aku menulis namaku, maka semua ini berakhir. Tapi aku ikut lenyap.
Lalu aku dengar suara: bukan dari luar, tapi dari dalam buku.
“Atau… temui kami di akhir. Di tempat semua nama dilahirkan.”
Seketika, halaman terakhir berubah. Menjadi peta.
Dan di bagian bawah tertulis:
“Kawah Ijen, 27 Juni — Saat bulan menutupi api.”
Aku tidak menulis apa pun malam itu.
Tapi sekarang aku tahu:
Buku ini punya pusat.
Dan kalau aku ingin memutus siklusnya… aku harus pergi ke tempat di mana semuanya dimulai.
Dan kali ini, aku tidak akan sendirian.
Aku akan membawa semua nama yang hilang bersamaku.
Bab 8: Kawah Nama
Perjalanan ke Banyuwangi seperti menuju dunia lain. Langit mendung, tapi tidak hujan. Udara berat. Peta di buku membawaku ke lereng Gunung Ijen, tempat yang dikenal karena api birunya. Tapi malam ini berbeda—malam bulan mati.
Sesuai tulisan di buku:
“27 Juni — Saat bulan menutupi api.”
Aku menunggu di mulut kawah, ditemani suara angin dan bau belerang menusuk. Tak ada turis. Tak ada pendaki. Bahkan satpam pun tak kulihat.
Seolah alam memberi izin untuk ritual yang tak boleh disaksikan manusia lain.
Pukul 02.03 dini hari, kabut mulai menebal.
Dan dari dalam kawah… muncul suara-suara.
Bukan gema. Tapi panggilan.
Bisikan yang membentuk kalimat:
“Kau membawa nama-nama mereka. Maka biarkan mereka bicara.”
Buku di tanganku terbuka sendiri. Halaman demi halaman memancar cahaya samar. Dari setiap nama… muncul sosok samar. Ratusan. Mungkin ribuan. Wajah-wajah yang dulu pernah hilang.
Dan di tengah mereka, berdiri seorang pria tua berjubah kabut.
Wajahnya berubah-ubah. Kadang Herman. Kadang ayahku. Kadang… aku sendiri.
“Selamat datang, Penulis Terakhir.”
Aku maju.
“Aku datang bukan untuk menulis lagi.”
Sosok itu tersenyum, matanya tak punya batas.
“Semua yang datang berkata demikian. Tapi setiap nama adalah doa. Dan setiap doa… ingin diakhiri.”
Aku mengangkat buku itu.
“Aku ingin menghancurkanmu.”
Dia mengangguk. “Kau bisa. Tapi hanya dengan satu cara.”
Seketika aku tahu. Sudah tertulis sejak awal.
Menulis namaku sendiri.
Tapi lalu dia berkata:
“Atau kau bisa menulis namaku. Nama sejati sistem ini. Maka sistemnya pun akan lenyap.”
Aku terdiam.
“Siapa namamu?”
Langit retak. Api biru di dasar kawah meledak perlahan. Angin menggila. Dan dari buku itu, muncul satu halaman terakhir—kosong, kecuali satu baris di bagian bawah:
“Nama-Nya hanya bisa ditulis oleh yang pernah menghapus.”
Seketika, aku mengerti.
Aku harus menulis satu nama terakhir…
Untuk mendapat izin menulis nama sistem itu sendiri.
Tanganku gemetar.
Kupikirkan semua orang dalam hidupku.
Nadia. Pamanku. Orang-orang yang telah menghilang.
Dan satu wajah muncul di benakku:
Aku sendiri.
Dengan air mata jatuh, aku menulis:
Arka B. Mahesa
Buku itu meledak cahaya.
Sosok berjubah kabut menjerit. Tapi bukan kesakitan—kelegaan.
Semua wajah di sekitarku memudar perlahan. Mereka tersenyum.
Satu-satu berkata:
“Terima kasih… karena mengingat kami… sebelum melupakan dirimu sendiri.”
Aku merasa tubuhku mulai hilang. Bukan mati. Tapi tak pernah ada.
Namaku menghilang dari buku, dari ingatan, dari dunia.
Tapi sebelum segalanya lenyap, halaman terakhir buku itu menulis sendiri:
Nama Sistem: LUKA.
Ditulis oleh: Tak Satu Pun Lagi.
Langit tenang. Kabut sirna.
Dan di dasar kawah Ijen…
tidak ada jejak apa pun.
Epilog
Beberapa bulan kemudian, Nadia—yang tidak tahu siapa itu Arka—menemukan buku tua di sebuah toko loak di Jogja. Sampulnya kosong. Halamannya kosong. Tapi ada satu goresan pena yang baru muncul ketika disentuh cahaya:
“Jika kau membaca ini, maka kau sudah mengingat.”
— Seseorang yang dulu pernah menulis… demi menghentikan pena selamanya.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar