Catatan Orang Hilang

 Catatan Orang Hilang


Judul:

Catatan Orang Hilang

Premis:

Seorang jurnalis lepas menemukan buku catatan misterius berisi nama-nama orang hilang. Anehnya, setiap nama yang tertulis di buku itu akan benar-benar menghilang dalam waktu 24 jam—termasuk orang yang ia kenal. Kini ia harus memilih: mengungkap rahasia gelap ini ke publik, atau diam demi menyelamatkan orang-orang yang ia sayangi… termasuk dirinya sendiri.

----------------------------------------------------------------------------------

Bab 1: Nama Pertama

Namaku Arka. Jurnalis lepas. Gajiku tergantung seberapa cepat aku bisa mengendus bau bangkai—dalam arti harfiah maupun metaforis. Berita kriminal, investigasi gelap, gosip artis yang tertangkap main judi. Aku menulis semuanya, asal dibayar.

Tapi aku tak pernah menduga bahwa berita terbesarku akan datang dari sebuah buku catatan lusuh yang kutemukan secara tidak sengaja… di dalam laci meja milik orang mati.


Hari itu, aku diminta meliput kasus bunuh diri seorang dosen tua di apartemen Sudirman Park. Namanya Prof. Herman Salim. Seorang ahli sejarah dan—menurut polisi—mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di balkon.

Biasa saja. Sampai aku melihat sesuatu yang tak sesuai.

Meja kerjanya terlalu rapi. Tidak ada gelas kopi bekas. Tidak ada jejak tali di tangannya. Dan yang paling aneh: ada bau kertas gosong, padahal tidak ada api.

Lalu aku menemukannya. Sebuah buku kecil berwarna hitam, tersembunyi di bawah laci meja. Judulnya polos: “Daftar yang Harus Diingat”. Tulisannya tangan, seperti tulisan anak SD. Kaku, besar, dan terlalu rapi.

Aku membukanya.

Halaman pertama kosong. Halaman kedua hanya berisi satu nama:

Raka D. Putra

Tidak ada penjelasan lain. Tidak ada alamat. Tidak ada tanggal. Hanya nama itu.


Awalnya aku berpikir itu semacam catatan penelitian si dosen. Sampai malamnya, aku tidak sengaja melihat berita di Twitter:

“BREAKING: Mahasiswa UI, Raka D. Putra, dilaporkan hilang sejak pagi ini. Terakhir terlihat di stasiun UI.”

Darahku langsung dingin.

Itu nama yang sama. Dan waktu aku cek jam tanganku, sudah 23 jam sejak aku membuka buku itu.


Besok paginya, aku balik ke apartemen dosen itu. Tapi kamarnya sudah kosong. Buku itu masih ada di tasku. Kubuka lagi.

Sekarang, ada nama kedua tertulis di bawahnya. Tulisannya muncul sendiri.

Nadia Hapsari

Aku mengenalnya. Teman kuliahku. Sekarang dia penyiar radio. Kami masih sering chat. Panik, aku langsung telepon dia.

Nada sambung. Lalu suara merdu Nadia.

“Arka? Kenapa tumben?”

“Nad, dengar. Ada sesuatu aneh. Kamu di mana sekarang?”

“Di studio. Kenapa sih? Suaramu kayak baru kabur dari rumah sakit jiwa.”

Aku menarik napas. “Janji ya, jangan keluar dari sana. Jangan pulang. Aku akan ke sana. Tunggu aku, ya?”

Dia diam sebentar. “Arka… kamu serius?”

“Serius. Ini soal nyawamu.”


Tapi aku terlambat.

Setibanya di studio, Nadia tidak ada. Penjaga bilang dia sudah pulang sejam lalu. Ponselnya mati. Mobilnya tertinggal.

Polisi menemukannya dua hari kemudian. Atau lebih tepatnya, tidak menemukannya. Dia menghilang begitu saja. Tidak ada saksi, tidak ada CCTV, tidak ada jejak. Hanya mobil yang ditinggalkan di tengah jalan tol sepi, dengan pintu terbuka.


Sekarang aku duduk di meja kerjaku, dengan buku itu di depanku. Tangan gemetar. Nafas tercekat.

Aku tahu apa yang akan kutemukan.

Dan benar saja.

Halaman berikutnya muncul nama baru. Tulisan segar, hitam pekat.

Arka B. Mahesa

Namaku sendiri.

Bab 2: Tanda-Tanda Awal

Aku tidak tidur semalaman.

Nama itu—namaku sendiri—masih tertera jelas di halaman buku itu. Tak pudar, tak berubah. Seakan mengejekku dengan satu kalimat tanpa suara: "Sekarang giliranmu."

Jam di dinding menunjukkan pukul 03.17 dini hari. Sunyi, kecuali suara detak jarum jam yang memekakkan kepala. Aku duduk di lantai kamar, menatap buku itu seolah itu sepotong daging beracun.

Aku mencoba logika.
Mungkin hanya kebetulan.
Mungkin nama-nama itu memang sudah dalam bahaya dan aku hanya…
… terlalu paranoid.

Tapi siapa yang menulisnya? Kenapa hanya aku yang bisa melihat tulisan yang muncul sendiri?

Aku butuh jawaban. Dan satu-satunya tempat yang bisa memberiku petunjuk, adalah tempat Prof. Herman bekerja terakhir kali: Fakultas Ilmu Budaya UI.


Hari sudah pagi. Langit mendung. Aku naik KRL dari Pasar Minggu. Di dalam kereta, aku mulai merasa… aneh.

Ada seorang pria tua duduk tepat di depanku. Dia mengenakan jas abu-abu dan topi tua. Wajahnya keriput, tapi matanya tajam. Dia menatapku terus. Tanpa senyum. Tanpa berkedip.

Aku menghindari tatapannya. Tapi saat aku melirik lagi… dia masih menatap.

Akhirnya dia bicara, pelan, seolah hanya aku yang boleh dengar.

“Sudah sampai namamu, ya?”

Darahku langsung berhenti mengalir. "A-apa maksud Anda?"

Dia mengangkat dagunya, mengarah ke tasku. “Bukunya sudah terbuka. Kau tak bisa lari. Tapi bisa bertanya… sebelum waktumu habis.”

“Siapa kau?”

Dia hanya tersenyum tipis. “Aku hanya orang yang pernah melihat namaku di sana. Tapi entah kenapa, aku masih hidup.”

Dia berdiri. Kereta belum berhenti. Tapi pria itu berjalan ke pintu seperti ingin melompat.

“Bertanya ke yang hidup, kau hanya dapat kebingungan. Tapi kalau mau tahu siapa yang menulis nama-nama itu…”

Dia menoleh sekali lagi.

“Cari yang sudah mati.”

Pintu terbuka. Dan… dia hilang.

Aku berdiri, panik. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Seorang ibu bahkan berkata padaku, “Mas, kamu dari tadi bicara sendiri, loh.”


Kepalaku makin kacau.

Setibanya di kampus, aku langsung menuju ruang arsip dosen. Aku mencari data Prof. Herman—penelitian terakhirnya, buku-buku yang dia tulis, bahkan akses CCTV fakultas.

Lalu aku menemukannya.

Sebuah folder berlabel “Jejak Orang-Orang yang Dihapus.” File PDF, tulisan tangan di-scan, hasil wawancara lapangan yang disunting sendiri oleh Herman.

Ada satu kutipan yang membuat tengkukku dingin:

“Mereka bilang, di dunia ini ada ‘Tinta Penghapus Jiwa’. Benda kutukan yang bisa mencoret nama seseorang dari keberadaan. Bukan sekadar membunuh. Tapi membuatnya seolah tidak pernah ada.

Aku menggulir ke halaman terakhir… dan di sana, tertulis daftar nama-nama hilang dari kasus lama.

Termasuk satu nama yang sangat familiar:

Herman Salim

Prof. Herman sudah dinyatakan hilang 12 tahun lalu.

Tapi aku baru saja meliput kasus bunuh dirinya minggu lalu.


Sekarang aku tahu.

Buku ini bukan cuma daftar. Ini adalah alat.
Dan ada seseorang—atau sesuatu—yang menulis nama-nama di dalamnya.

Aku harus mencari tahu siapa.
Sebelum namaku berubah dari tulisan menjadi hilang.

Bab 3: Mereka yang Tak Pernah Ada

Aku kembali ke kosan malam itu dengan kepala penuh tanya.

Namun ada satu hal yang membuatku langsung merinding saat membuka pintu kamar.

Foto-foto di dindingku berubah.

Bingkai yang tadinya berisi foto lamaku bersama Nadia, sekarang hanya menampilkan aku sendirian. Lenganku masih menggantung seolah memeluk seseorang, tapi ruang di sampingku kosong.

Kutemukan hal serupa di ponsel. Riwayat chat kami masih ada, tapi semua balasannya hilang. Hanya tampak seolah aku mengirim pesan ke udara. Grup alumni tempat kami biasa ngobrol? Tak ada satu pun yang mengingatnya.

Kubuka Instagram. Kucari akun Nadia.

Tidak ditemukan.

Aku buka Twitter, mencocokkan tweet-tweet berita soal kehilangannya.

Semuanya sudah menghilang.

Termasuk yang kutweet sendiri.


Aku benar-benar mulai panik. Seolah dunia menolak eksistensi Nadia. Seolah ia…

Tidak pernah ada.

Kutepuk wajahku sendiri. Mencoba tenang. Harus ada penjelasan. Harus.

Lalu aku ingat ucapan pria tua itu di kereta.
“Cari yang sudah mati.”


Pukul dua pagi, aku kembali ke apartemen tempat Prof. Herman ditemukan gantung diri. Kali ini aku membawa sesuatu: kamera tersembunyi, voice recorder, dan tentu saja… buku sialan itu.

Aku menyelinap ke balkon tempat ia ditemukan. Langit malam kelabu. Angin diam. Tak ada suara kecuali detak jantungku sendiri.

Tiba-tiba, suhu turun. Nafasku membeku.

Dan buku itu... terbuka sendiri.

Halamannya membalik pelan. Tulisannya muncul seperti tetesan tinta dari udara.

Nama: Adira Maheswari
Status: Telah dihapus
Catatan: Masih menolak keluar dari Lapisan Ketiga.

Lapisan ketiga?

Tiba-tiba… ada suara.

“Arka…”

Aku menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.

“Arka… kau membawanya… ya?”

Suaranya berasal dari balkon. Dari bayangan di balik dinding. Sosok samar perempuan. Rambut panjang. Wajah buram.

Aku mundur. “S-siapa kau?”

Dia tak menjawab. Hanya mendekat.

“Dia masih menulis… Masih mencari… Tapi tak semua yang dihapus mau hilang.”

"Apa maksudmu?" tanyaku terbata.

Sosok itu semakin jelas. Matanya hitam tanpa pupil. Senyumnya seperti retakan di kaca.

“Ada yang mencoba melawan. Tapi semakin kau melawan… semakin cepat namamu menghilang.”

Dia mendekat. Menyentuh dadaku.

“Kalau kau ingin hidup… cari penulisnya.”
“Dan jangan pernah… buka halaman terakhir.”

Tiba-tiba—suara alarm membahana dari apartemen. Senter keamanan mengarah padaku. Sosok itu menghilang dalam kedipan mata.

Aku lari turun lewat tangga darurat. Nafasku tercekat. Buku itu tertutup sendiri di tasku. Tapi sebelum sepenuhnya tertutup, aku sempat melihat sekilas:

Ada bagian halaman terakhir yang sudah mulai terisi.

Dan tulisannya… bukan tinta hitam lagi.

Tapi merah darah.

Bab 4: Lapisan Ketiga

Setelah kejadian di balkon, aku tidak bisa tidur. Bahkan menutup mata terasa seperti undangan bagi sesuatu… untuk masuk.

Aku memutuskan untuk mencari "Lapisan Ketiga", apa pun itu. Kutelusuri kembali isi buku. Tak ada peta. Tak ada petunjuk logis. Hanya potongan-potongan kalimat mengambang seperti teka-teki.

Tapi satu nama yang muncul terus dalam catatan Prof. Herman menarik perhatianku.

“Teras Bawah Tanah – Ruang 17. Hanya terbuka saat tak ada yang mencarimu.”

Tempat itu berada di area kampus lama UI, gedung FIB yang sudah terbengkalai. Konon bekas bunker zaman kolonial.


Aku tiba di sana pukul 01.24 dini hari.

Benar saja. Gedung itu seperti ditelan malam. Tidak ada penjaga. Tidak ada lampu. Tapi begitu aku mendekat… pintu tua yang sudah berkarat terbuka sendiri.

Turun ke bawah, aku temukan koridor sempit, berdebu, penuh sarang laba-laba. Langkah kakiku menggema seperti langkah orang lain mengikuti dari belakang.

Ruang 17. Di ujung lorong.

Saat kubuka pintunya, kulihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika.


Ruang itu tidak masuk akal.

Di dalamnya ada tangga menurun, terbuat dari cahaya dan bayangan. Tak ada ujung. Udara bergetar. Dan suara-suara berbisik mengelilingi.

“Kau datang terlambat…”

“Kau tak akan bisa kembali…”

Aku tahu ini gila. Tapi buku itu mulai bergetar dalam tasku, seolah memaksa. Menuntun.

Aku menuruni tangga itu.

Satu. Dua. Lima belas. Seratus langkah. Aku berhenti menghitung.

Dunia berubah.


Aku berada di tempat yang tak bisa disebut nyata, tapi juga bukan mimpi. Udara kental. Langit abu-abu menggantung rendah. Bangunan-bangunan melayang, rusak, mirip puing-puing ingatan yang dilupakan. Orang-orang berjalan tanpa arah, wajah mereka kosong, kabur.

Beberapa menoleh ke arahku. Sebagian tidak memiliki mata. Yang lain… berwajah setengah aku.

Ini Lapisan Ketiga. Tempat antara dunia nyata dan lenyap. Tempat orang yang "dihapus" bertahan sebelum hilang sepenuhnya.

Seseorang menyentuh bahuku dari belakang.

“Arka.”

Aku berbalik cepat.

Itu Nadia.

Tapi matanya gelap. Suaranya berat, seperti dua suara berbicara bersamaan.

“Ini bukan tempat untukmu. Kau masih belum sepenuhnya tertulis.”
“Tapi waktumu hampir habis.”

“Apa ini? Siapa yang menulis nama-nama itu?” tanyaku.

Dia mendekat. Menunjuk ke langit abu-abu.

“Dia ada di Atas. Dia yang Mengingat. Tapi juga dia yang Menghapus.”
“Semua ini… hanya permainan tinta baginya.”

Aku menahan emosi. “Kenapa kalian tidak melawan?!”

Dia mendekat. Menyentuh dadaku.

“Beberapa dari kami mencoba. Tapi setiap nama yang dilawan, dua nama akan hilang menggantinya.”

Seketika langit retak. Suara dentuman besar seperti guntur, tapi bukan dari langit—dari dalam diriku.

Waktu di sini berbeda.

Aku mulai merasa terhisap keluar.

Nadia berteriak.

“Jangan buka halaman terakhir, Arka! Itu bukan… untuk manusia…!”


Aku terbangun di ruang kosong yang sama, di kampus. Tapi sekarang siang. Handphoneku menunjukkan jam 14.05. Artinya… aku menghilang selama 12 jam.

Tapi yang lebih menakutkan—aku menerima satu pesan baru.

Nomor tidak dikenal. Tidak ada profil. Hanya satu kalimat:

“Kau melihatnya. Maka kau akan menggantikannya.”

Dan di dalam buku hitam itu…

Halaman terakhir mulai menulis sendiri.
Tapi bukan namaku.

Melainkan daftar nama-nama baru.

Dan di bawahnya tertulis:

Ditulis oleh: Arka B. Mahesa

Bab 5: Pewaris Daftar

Aku tidak pernah menulis nama-nama itu.
Tapi halaman terakhir buku ini—menulis atas namaku.


Sepanjang sore aku hanya duduk di kamar, menatap buku itu dari jarak aman. Bahkan menyentuhnya sekarang membuat jari terasa kesemutan, seperti listrik statis merambat dari kulit ke otak.

Kupaksa membuka halaman terakhir lagi.

Daftar nama baru muncul. Tidak familiar.
Tapi satu nama langsung membuat jantungku berhenti sepersekian detik.

Rinaldi Wibowo

Pamanku. Orang yang membesarkanku sejak kecil.
Dan tulisan itu belum sepenuhnya tercetak. Masih samar.
Masih bisa dicegah.


Aku lari ke rumahnya di Depok. Jalanan seperti kabur. Waktu rasanya mempercepat dirinya sendiri. Setibanya di rumah, kudapati pintunya tidak terkunci. Lampu menyala. TV menyala.

Tapi paman tidak ada.

Di meja ruang tamu, ada segelas teh yang masih hangat.
Dan buku catatan kecil. Bukan milikku. Tapi miliknya.

Kubuka.

Isinya mengguncang tubuhku.

“Arka tidak tahu… aku juga pernah menemukan buku itu.”
“Tahun 2001, aku menulis satu nama. Dan aku… tidak pernah berhenti dihantui.”
“Buku itu memilihku, lalu membuangku. Sekarang memilihnya. Aku harus menyelamatkannya… walau harus menghilang lebih dulu.”

Tanganku gemetar.

Pamanku tahu tentang buku ini.

Dan sekarang… dia sengaja menaruh namanya agar aku bisa bertahan.


Aku jatuh terduduk. Dunia berputar. Buku di tasku mulai menghangat.

Lalu, suara itu datang lagi.
Bukan dari luar. Tapi dari dalam pikiranku sendiri.

“Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang.”
“Tapi kau bisa memilih siapa yang tetap ada.”

Tiba-tiba, bayangan muncul di sudut ruangan. Sosok pria tinggi, mengenakan jas panjang hitam. Wajahnya kabur, seperti disamarkan oleh pikiran itu sendiri.

“Selamat datang, Penulis.”

Aku bangkit. “Aku bukan penulismu. Aku tidak akan menulis siapa pun.”

Dia tertawa. “Kau pikir pilihan itu milikmu? Buku itu sudah menulis dengan nadamu. Lihat halaman pertama.”

Kubuka halaman pertama buku. Di sana, kutemukan tulisan yang dulu hanya berisi satu nama…

Sekarang ada kalimat pengantar, dengan gaya bahasa yang persis seperti caraku menulis artikel:

“Ini bukan sekadar daftar orang hilang. Ini sejarah yang tak boleh diketahui siapa pun.”
Arka B. Mahesa

Tanganku gemetar. "Apa maksudnya? Apa ini semua semacam… warisan?"

Pria itu mendekat. “Bukan warisan. Bukan kutukan. Tapi tugas. Seseorang harus menjaga keseimbangan. Setiap orang yang hilang… mencegah dua lainnya yang lebih berbahaya muncul ke permukaan.”

Aku mundur. “Itu bukan tugas. Itu pembantaian.”

Dia mendekat sampai hampir menyentuh wajahku.

“Kalau begitu… cari penulis sebelumnya.”
“Dan tanyakan kenapa ia memilih untuk menulis namamu sendiri di daftar terakhirnya.”

Aku terdiam. Apa… Prof. Herman menulis namaku sendiri sebelum mati?


Saat itu juga, lampu rumah padam. Buku di tanganku berdenyut, seperti jantung kedua.

Lalu kutahu satu hal pasti:

Aku bukan cuma berada dalam daftar.
Aku sudah menjadi bagian dari sistemnya.

Dan jika aku tak ingin menulis nama berikutnya…

Aku harus menemukan siapa yang pertama membuat buku ini ada.

Bab 6: Penulis Pertama

Aku memulai pencarianku di tempat yang paling masuk akal: Perpustakaan Nasional, lantai arsip sejarah kolonial.

Berkat koneksi lama dengan salah satu pustakawan, aku diizinkan mengakses ruang mikrofilm rahasia—arsip Belanda yang belum banyak didigitalisasi. Aku mencari satu nama: Wilhelmus D. Leidekker, nama yang disebut oleh Prof. Herman dalam catatan pribadinya sebagai “pemegang awal daftar yang tidak boleh dibaca siapa pun.”


Mikrofilm tahun 1854. Judul arsip:

“Verslag van de Nachtlijst”
(Laporan Daftar Malam)

Terjemahannya membuat bulu kudukku berdiri:

“Pihak koloni telah menemukan bahwa sebagian penduduk asli memiliki daftar nama yang, bila dibacakan dengan urutan tertentu, menyebabkan ‘penghilangan eksistensial’. Penulis daftar terakhir, Wilhelmus Leidekker, menyatakan bahwa nama-nama itu tidak dia ciptakan, melainkan muncul dari dirinya sendiri.”

Aku menelan ludah. Leidekker… bukan penulis. Dia perantara pertama.


Arsip tahun 1856. Laporan akhir pengadilan militer.

“Letnan Leidekker ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, tergantung di ruang tahanan, dengan satu kata di dinding ditulis darah: 'INGATKAN MEREKA'. Buku hitam yang ditemukan bersamanya mengandung nama-nama yang telah menghilang dalam dua bulan terakhir, termasuk nama-nama pejabat VOC dan tokoh masyarakat lokal.”


Aku terduduk.

Buku ini sudah ada sejak zaman kolonial.
Sudah digunakan, dan ditinggalkan.
Tapi tidak pernah hancur.
Karena buku ini bukan benda biasa.

Itu… makhluk.


Saat aku berjalan keluar ruang arsip, cahaya lampu mulai berkedip. Kipas angin berhenti. Ruangan jadi dingin mendadak. Dan suara langkah kaki mulai menggema di koridor perpustakaan, meski aku yakin aku sendirian.

Langkah itu berhenti.

Di hadapanku—seorang anak kecil, mungkin usia 8 tahun, berdiri dengan tangan memegang buku yang sama persis seperti milikku.
Tapi bukunya berwarna putih.

“Aku yang pertama…” katanya pelan.

“Aku tidak menulis dengan tinta. Aku menulis dengan bisikan.”

Aku berlutut, takut, tapi mencoba tenang. “Kau… Leidekker?”

Dia menggeleng.
“Aku sebelum Leidekker. Sebelum ada nama. Sebelum bahasa.”

Aku mundur satu langkah. “Apa yang kau inginkan?”

Matanya hitam, tak berkelopak. Suaranya terdengar seperti gema dari ribuan suara.

“Buku itu bukan dibuat. Itu dilahirkan. Saat manusia pertama kali ingin menghapus yang lain tanpa membunuhnya.”

Tiba-tiba, buku hitam di tasku terbuka sendiri.
Halaman terakhir menulis satu kalimat baru:

“Penulis tidak dipilih. Penulis diciptakan.”

Anak itu melangkah mendekat. Di udara, suara-suara mulai berteriak.

“Jika kau tak mau menulis, maka pena akan menemukan tangan lain.”
“Dan tangan itu… akan menulis nama-nama yang lebih tak bersalah dari ini.”

Aku memejamkan mata.

Aku bisa merasakan sesuatu di ujung jariku. Pena? Pisau? Atau… kekuasaan?


Saat membuka mata, aku sudah berada di kamarku. Sendiri.

Buku hitam terletak di meja.
Dan di sampul depannya, untuk pertama kalinya, muncul sebuah ukiran baru:

“Pewaris ke-14: Arka B. Mahesa”

Aku bukan sekadar korban lagi.

Aku sudah masuk ke dalamnya.

Dan kalau aku tak ingin menjadi monster berikutnya…

Aku harus menghancurkan buku ini.

Tapi satu masalah besar:
Tak ada satu pun Penulis Sebelumnya yang berhasil melakukannya.

Bab 7: Tulisan yang Tak Bisa Dihapus

Aku bermimpi malam itu.

Tapi bukan mimpi biasa—lebih seperti aku ditarik ke ruang yang dibangun dari suara dan bisikan. Di sana, berdiri barisan sosok tanpa wajah, tubuh mereka tersusun dari tulisan yang terus berubah.

Satu dari mereka menunjuk ke arahku.

“Apa yang ditulis tidak bisa dihapus. Kecuali penanya ikut lenyap.”

Aku terbangun dengan keringat dingin, napas tercekik.

Dan kutahu: kalau aku ingin menghancurkan buku ini, aku harus mempertaruhkan diriku sendiri.


Hari itu aku menemui satu-satunya orang yang bisa menafsirkan teks mistik kuno: Bu Lestari, mantan dosenku yang dikeluarkan dari kampus karena obsesinya terhadap manuskrip terlarang.

Kukira dia akan mengusirku.

Tapi saat melihat buku hitam itu, ekspresinya berubah. Seolah… ia sudah menunggu.

“Aku sudah membaca tentang ini,” katanya. “Di Tibet kuno, dikenal sebagai Namthar Gyalpo—‘Raja Nama’. Dalam naskah Nusantara, disebut Pustaka Renggut Nyawa.”

Aku menatapnya serius. “Bisakah dihancurkan?”

Dia menatap lurus ke mataku.

“Bukan dihancurkan. Tapi ‘ditutup’. Dengan syarat: kau harus menulis satu nama terakhir. Nama paling penting.”

Aku mencengkeram buku itu. “Siapa?”

“Namamu sendiri.”


Aku pulang dengan kepala penuh gemuruh. Jika aku menulis namaku… mungkin buku itu berhenti. Mungkin aku bisa menghapus semuanya.

Tapi aku juga akan menghilang, dan tak akan ada yang mengingat aku pernah hidup.

Dan… buku ini sudah menulis lebih dari itu.
Kini setiap halaman berisi wajah-wajah samar. Mereka semua menatapku ketika kubuka halaman tengah.

Mereka tahu aku ragu.

Lalu, satu halaman kosong muncul. Di tengahnya, tinta mulai menari sendiri:

Tawaran terakhir: tulis satu nama. Maka seribu akan dibiarkan hidup.

Tanganku gemetar.

Aku tahu siapa nama itu.


Nama orang yang seharusnya menghilang dari dunia ini sejak awal.
Seseorang yang kubenci, yang menyiksaku waktu kecil, yang membuat ibuku mencoba bunuh diri.

Ayahku.

Kutatap buku itu. Pena muncul entah dari mana—panas, berdenyut, seolah tahu aku sedang menimbang.

Kalau aku menulis namanya, buku ini akan puas… untuk sementara.
Tapi aku akan jadi bagian dari sistem. Sama seperti yang lain.

Kalau aku menulis namaku, maka semua ini berakhir. Tapi aku ikut lenyap.

Lalu aku dengar suara: bukan dari luar, tapi dari dalam buku.

“Atau… temui kami di akhir. Di tempat semua nama dilahirkan.”

Seketika, halaman terakhir berubah. Menjadi peta.

Dan di bagian bawah tertulis:

“Kawah Ijen, 27 Juni — Saat bulan menutupi api.”


Aku tidak menulis apa pun malam itu.

Tapi sekarang aku tahu:
Buku ini punya pusat.
Dan kalau aku ingin memutus siklusnya… aku harus pergi ke tempat di mana semuanya dimulai.

Dan kali ini, aku tidak akan sendirian.

Aku akan membawa semua nama yang hilang bersamaku.

Bab 8: Kawah Nama

Perjalanan ke Banyuwangi seperti menuju dunia lain. Langit mendung, tapi tidak hujan. Udara berat. Peta di buku membawaku ke lereng Gunung Ijen, tempat yang dikenal karena api birunya. Tapi malam ini berbeda—malam bulan mati.

Sesuai tulisan di buku:

“27 Juni — Saat bulan menutupi api.”

Aku menunggu di mulut kawah, ditemani suara angin dan bau belerang menusuk. Tak ada turis. Tak ada pendaki. Bahkan satpam pun tak kulihat.
Seolah alam memberi izin untuk ritual yang tak boleh disaksikan manusia lain.


Pukul 02.03 dini hari, kabut mulai menebal.

Dan dari dalam kawah… muncul suara-suara.

Bukan gema. Tapi panggilan.

Bisikan yang membentuk kalimat:

“Kau membawa nama-nama mereka. Maka biarkan mereka bicara.”

Buku di tanganku terbuka sendiri. Halaman demi halaman memancar cahaya samar. Dari setiap nama… muncul sosok samar. Ratusan. Mungkin ribuan. Wajah-wajah yang dulu pernah hilang.

Dan di tengah mereka, berdiri seorang pria tua berjubah kabut.

Wajahnya berubah-ubah. Kadang Herman. Kadang ayahku. Kadang… aku sendiri.

“Selamat datang, Penulis Terakhir.”


Aku maju.

“Aku datang bukan untuk menulis lagi.”

Sosok itu tersenyum, matanya tak punya batas.

“Semua yang datang berkata demikian. Tapi setiap nama adalah doa. Dan setiap doa… ingin diakhiri.”

Aku mengangkat buku itu.

“Aku ingin menghancurkanmu.”

Dia mengangguk. “Kau bisa. Tapi hanya dengan satu cara.”

Seketika aku tahu. Sudah tertulis sejak awal.
Menulis namaku sendiri.

Tapi lalu dia berkata:

“Atau kau bisa menulis namaku. Nama sejati sistem ini. Maka sistemnya pun akan lenyap.”

Aku terdiam.

“Siapa namamu?”


Langit retak. Api biru di dasar kawah meledak perlahan. Angin menggila. Dan dari buku itu, muncul satu halaman terakhir—kosong, kecuali satu baris di bagian bawah:

“Nama-Nya hanya bisa ditulis oleh yang pernah menghapus.”

Seketika, aku mengerti.

Aku harus menulis satu nama terakhir
Untuk mendapat izin menulis nama sistem itu sendiri.


Tanganku gemetar.

Kupikirkan semua orang dalam hidupku.
Nadia. Pamanku. Orang-orang yang telah menghilang.

Dan satu wajah muncul di benakku:
Aku sendiri.


Dengan air mata jatuh, aku menulis:

Arka B. Mahesa

Buku itu meledak cahaya.

Sosok berjubah kabut menjerit. Tapi bukan kesakitan—kelegaan.
Semua wajah di sekitarku memudar perlahan. Mereka tersenyum.
Satu-satu berkata:

“Terima kasih… karena mengingat kami… sebelum melupakan dirimu sendiri.”


Aku merasa tubuhku mulai hilang. Bukan mati. Tapi tak pernah ada.
Namaku menghilang dari buku, dari ingatan, dari dunia.

Tapi sebelum segalanya lenyap, halaman terakhir buku itu menulis sendiri:

Nama Sistem: LUKA.
Ditulis oleh: Tak Satu Pun Lagi.


Langit tenang. Kabut sirna.

Dan di dasar kawah Ijen…
tidak ada jejak apa pun.


Epilog

Beberapa bulan kemudian, Nadia—yang tidak tahu siapa itu Arka—menemukan buku tua di sebuah toko loak di Jogja. Sampulnya kosong. Halamannya kosong. Tapi ada satu goresan pena yang baru muncul ketika disentuh cahaya:

“Jika kau membaca ini, maka kau sudah mengingat.”
Seseorang yang dulu pernah menulis… demi menghentikan pena selamanya.


TAMAT


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh