Ciuman Terakhir CEO Brutal

 Ciuman Terakhir CEO Brutal


📖 CIUMAN TERAKHIR CEO BRUTAL

Bab 1 — Ditangkap

HANA

Langkahku ringan namun cepat saat menyelinap di antara lorong-lorong megah milik kantor pusat Adyatama Corp. Gedung ini terlalu mewah untuk sebuah perusahaan yang kutahu menyembunyikan praktik kotor di balik angka-angka cantik laporan keuangan.

Aku, Hana R. Mahendra, jurnalis investigasi muda, sedang mengejar berita terbesar dalam karierku — dan satu-satunya peluang menyelamatkan nama keluargaku.

CCTV berhasil kulumpuhkan untuk sementara. Laptop mini di tangan, dan file dari ruang direktur tinggal sejengkal.

Klik.

Komputer berhasil kubuka.

Jantungku hampir copot saat kudengar suara pintu terbuka perlahan dari balik ruangan. Aku tak sempat bersembunyi.

Seseorang masuk.

Langkah sepatu kulit. Dingin. Tegas.

Dan saat aku menoleh, di sanalah dia berdiri.

Arvin Adyatama.

Pria muda tak lebih dari 34 tahun, CEO termuda dan tersadis yang pernah diberitakan media. Wajahnya seperti dipahat dewa, rahang tajam, mata kelam dan penuh rahasia. Namun tatapan itu…

Tajam. Penuh amarah. Dan… sedikit penasaran.

“Apa yang kau lakukan di ruanganku?” suaranya dalam, datar, namun membuat bulu kudukku berdiri.

Aku mematung. “Aku… aku salah ruangan…”

Dia menatap laptopku. “Dengan file gaji direksi terbuka? Hebat juga alasanmu.”

Sebelum sempat kabur, dia sudah ada di depanku.

Tanganku ditarik keras. Tubuhku terhempas ke dinding.

“Berani sekali kau menyusup ke tempatku. Siapa yang mengutusmu?” gumamnya, wajah hanya sejengkal dari milikku.

“Aku… hanya butuh informasi…” bisikku lemah.

“Aku juga butuh informasi,” katanya pelan, senyumnya dingin. “Seperti… seberapa jauh kau bisa bertahan sebelum menjerit meminta ampun.”

Tangannya mencengkeram daguku.

Jantungku berdetak cepat, bukan hanya karena takut—tapi karena ada sesuatu di sorot matanya yang… menghipnotis.

“Baiklah,” katanya. “Kau punya dua pilihan.”

Aku menggigit bibir.

“Satu, aku seret kau ke polisi dan pastikan kau mendekam bertahun-tahun. Dua…” ia mendekat, bibirnya nyaris menyentuh telingaku, “...kau jadi asisten pribadiku. Mulai sekarang. 24 jam sehari. Termasuk malam hari.”

Deg.

“Pilih sekarang.”

Bab 2 — Kontrak Gelap Seharga Harga Diri

HANA

Tanganku masih gemetar ketika kutatap lembaran kontrak di depanku.

Hitam di atas putih. Tanda tangan Arvin Adyatama sudah tercetak dengan tinta elegan. Nama lengkapku pun tertera di sana, menunggu garis tanda tanganku melengkapi kesepakatan paling gila yang pernah kudengar.

“Asisten pribadi,” ucapnya datar, berdiri di balik mejanya dengan kemeja hitam yang digulung di lengan, menonjolkan otot dan urat yang menegangkan kulit. “Itu istilah yang sopan. Tapi sejujurnya, aku menyewa tubuhmu. Dan waktumu. Untuk apapun yang kubutuhkan.”

Aku menelan ludah. “Kenapa tidak langsung seret aku ke polisi saja?”

“Karena aku bisa menciptakan neraka yang lebih pedih daripada penjara,” katanya sambil berjalan mengitariku perlahan, “dan karena kau… menarik.”

Nafasku tercekat ketika ia berdiri di belakangku. Nafasnya hangat di tengkukku.

“Tapi ini kerja profesional… kan?” tanyaku dengan suara pelan, berusaha terdengar tegas.

Dia tertawa pendek, miris. “Apa kau pikir kontrak ini legal? Atau manusiawi?”

Dia menarik kursi dan duduk di depanku. Tatapannya menelanjangiku tanpa menyentuh.

“Pasal 3,” katanya, menunjuk satu baris. “Kau akan tinggal di penthouse-ku selama kontrak berlaku. Tak ada larangan akses ke ruang pribadiku. Dan…”

Ia mendongak menatapku, matanya menantang.

“…kau tidak boleh menolak permintaan fisik dariku. Kapan pun. Di mana pun.”

Aku menatapnya, tidak percaya.

Dia melipat tangan, menunggu. “Kalau kau pikir ini terlalu berat, kau bebas pergi. Tapi ingat, CCTV di gedung ini sudah cukup untuk menjebloskanmu sebagai pencuri informasi kelas berat.”

“Berapa lama?”

“Enam bulan.”

Aku menutup mata. Enam bulan neraka atau penjara seumur hidup. Aku pikir aku kuat. Aku pikir aku tahan. Tapi aku tidak pernah siap untuk ini.

Namun bibirku akhirnya bergerak, pelan, nyaris berbisik.

“Berikan penanya.”


ARVIN

Tangannya gemetar saat menulis namanya di kontrak. Tapi ia tetap menulisnya. Itu yang penting. Bukan soal isi kontrak. Tapi soal siapa yang mengendalikan siapa.

Dan sekarang, dia milikku.

Aku mengambil kontraknya, melipatnya rapi, lalu berdiri dan menatap wajahnya.

“Selamat datang, Hana,” bisikku di telinganya.

“Hari pertamamu dimulai malam ini.”

Bab 3 — Malam Pertama Tanpa Pilihan

HANA

Lift menuju lantai tertinggi berhenti dengan suara lembut. Angkanya menunjukkan lantai 53, penthouse pribadi Arvin Adyatama.

Langkahku berat saat mengikuti pria itu masuk ke ruang mewah yang lebih mirip galeri seni ketimbang tempat tinggal. Dinding kaca, cahaya temaram, aroma kayu manis dan bourbon mengambang di udara.

“Letakkan tasmu di sofa. Jangan sentuh apa pun tanpa izin.”
Nada bicaranya seperti komandan militer. Dingin. Tegas. Memerintah.

Aku menuruti, mencoba tak memperlihatkan betapa paniknya aku. Dalam hati aku bertanya-tanya… apakah ini akan jadi malam pertamaku dengan pria yang bahkan tak kucintai?

Dia berjalan ke bar kecil, menuangkan scotch ke dalam gelas kristal, lalu memandangku. Lama.

“Kenapa kau begitu tegang?”
Dia menyesap minumannya. “Ini bukan malam pertamaku membuat wanita gemetar di sofa itu.”

Aku berusaha melawan rasa takut dengan tatapan menantang. “Karena aku bukan salah satu dari mereka.”

Dia menyeringai. “Kita lihat nanti.”

Arvin meletakkan minumannya. Lalu perlahan berjalan ke arahku.

Tubuhku menegang.

“Kau tahu kenapa aku tak menyerahkanmu ke polisi?” tanyanya pelan, matanya menusuk. “Karena aku lebih suka menghancurkan orang pelan-pelan, dari dalam.”

Tangan dinginnya mengangkat daguku.

“Tapi jika kau cukup pintar, kau bisa belajar menikmati kehancuran itu.”

Deg.

Napas kami hanya berjarak beberapa inci. Aku ingin menolak. Tapi tubuhku tak mendengarkan.
Matanya seperti jurang — gelap, dalam, dan menelan segalanya.

“Tutup matamu,” perintahnya, pelan tapi tak bisa dibantah.

Aku menutup mata.

Dalam hening malam itu, hanya suara detak jam dan napas kami yang terdengar.

Lalu bibirnya menyentuh pipiku.
Bukan ciuman penuh nafsu. Tapi dingin. Terkendali. Terlalu terkendali. Seperti mencicipi rasa takutku.

“Ciuman pertama,” bisiknya di telingaku. “Bukan karena cinta. Tapi karena kuasa.”

Dia menjauh.

“Tidur di kamar tamu. Jangan kunci pintunya. Aku benci menunggu jika ingin masuk.”


ARVIN

Ia pikir aku menginginkan tubuhnya malam ini?
Belum.

Hancurkan mentalnya dulu. Hancurkan pertahanannya.
Lalu buat dia menyerah — bukan karena paksaan, tapi karena dia ingin.

Dan saat itu terjadi… dia tak akan pernah bisa lepas dariku.

Bab 4 — Luka Lama & Luka Baru

HANA

Kamar tamunya luas, nyaris dua kali ukuran apartemen kecilku. Tapi entah kenapa, terasa dingin dan asing. Bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena udara penuh tekanan tak kasat mata — seperti dia masih mengawasi, meski pintu tertutup.

Aku duduk di ujung ranjang, mencoba bernapas tenang.

Hari pertama. Malam pertama. Tapi tidak seperti yang kubayangkan.

Dia tak menyentuhku — secara fisik. Tapi kata-katanya… sentuhannya yang dingin di pipi… tatapan seperti mencabik jiwaku — jauh lebih mengguncang.

Aku menatap langit-langit.

“Enam bulan,” bisikku pada diri sendiri. “Aku pasti bisa melewati ini.”

Suara pintu terbuka pelan.

Aku refleks menoleh — dan dia berdiri di ambang pintu. Masih mengenakan kemeja hitam, namun rambutnya sedikit acak-acakan, seperti habis berperang melawan pikiran sendiri.

Tanpa bicara, dia masuk dan duduk di kursi di dekat jendela.

Keheningan menggantung.

“Kenapa kamu ke sini?” suaraku hampir tak terdengar.

Arvin menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota memantul di matanya. “Aku tidak suka tidur.”

Aku diam.

“Setiap kali aku pejamkan mata,” lanjutnya pelan, “aku kembali ke malam itu. Saat darah menyelimuti lantai, dan suara ibuku berhenti untuk selamanya.”

Aku menahan napas.

Dia tertawa pendek, getir. “Mereka bilang aku kejam. Benar. Karena orang baik tak pernah selamat.”

Aku memandangnya lama. Untuk pertama kalinya… dia terlihat rapuh.
Bukan CEO brutal yang menyeretku ke neraka. Tapi anak kecil yang kehilangan segalanya terlalu cepat.

“Apa itu alasan kamu menyiksa orang lain?” tanyaku pelan.

Dia menatapku. Ada kilatan tajam di matanya… lalu hilang.

“Jangan berani mengasihani aku, Hana.”

“Aku tidak. Aku hanya ingin tahu… apa masih ada manusia di balik jas Armani dan egomu.”

Sunyi lagi. Lama.

Lalu, tiba-tiba, dia berdiri dan berjalan ke arahku.

Aku bersiap. Tapi dia hanya duduk di tepi ranjang, mengambil tanganku.

Tangannya dingin. Tapi genggamannya… hangat.

“Jangan jatuh cinta padaku,” katanya pelan, tapi suaranya hampir terdengar seperti permohonan. “Aku tidak akan bisa mencintaimu kembali. Bukan karena aku tidak ingin… tapi karena aku tidak tahu caranya.”

Lalu dia melepaskan tanganku dan berdiri.

“Kunci pintumu malam ini,” katanya sebelum pergi. “Sebelum aku berubah pikiran.”


ARVIN

Kenapa aku datang ke kamarnya?

Kenapa aku bercerita?

Kenapa aku menyentuh tangannya… dan tidak menghancurkannya?

Karena dia berbeda. Karena dia menantang nerakaku dengan mata jernih dan luka yang belum sembuh.
Dan karena aku takut — bukan kehilangan dia. Tapi kehilangan kendali atas diriku sendiri.

Bab 5 — Luka yang Berbalas Tatapan

HANA

Sudah dua hari sejak malam itu — malam ketika Arvin Adyatama duduk di kamarku, mengungkap sisi yang tak pernah diberitakan media.

Sejak malam itu… dia belum menyentuhku lagi. Bahkan hampir tak bicara. Tapi bukan berarti ketegangan mereda.

Justru sebaliknya.

Diamnya lebih mematikan daripada ancamannya.

Pagi ini aku masuk ke ruang kerjanya seperti biasa. Mengenakan blouse putih dan rok pensil hitam seperti yang dia minta.

“Duduk,” katanya tanpa menatap. “Kita akan bahas agenda klien jam tiga.”

Aku duduk. Menahan detak jantung yang tak seharusnya sekencang ini hanya karena mendengar suaranya.

Namun tiba-tiba dia menatapku. Langsung. Dalam.

“Apa kamu takut padaku, Hana?”
Nada suaranya tenang, tapi tajam — seperti pisau yang baru diasah.

Aku menatap balik, menantang. “Aku takut… pada diriku sendiri.”

Dia menaikkan alis. “Menarik. Kenapa?”

“Karena bagian dari diriku… mulai ingin tahu, siapa kamu sebenarnya. Di balik semuanya.”

Dia bangkit perlahan, berjalan ke arahku.

“Dan menurutmu… aku ini siapa?”

Aku berdiri.

“Mungkin monster,” jawabku pelan. “Tapi monster juga bisa terluka.”

Dia berdiri tepat di depanku sekarang. Jarak kami tak lebih dari satu napas. Tangannya mengangkat satu helai rambutku yang jatuh ke pipi, lalu menyelipkannya ke belakang telinga.

“Kau tidak akan selamat kalau terus melihatku seperti itu, Hana.”

“Tapi aku masih di sini.”

Dia menyentuh pipiku. Kali ini lembut. Tidak seperti malam pertama. Sentuhannya ragu. Seolah dia sendiri bingung kenapa dia melakukannya.

Lalu tiba-tiba, bibirnya menyentuh bibirku.

Bukan paksaan. Bukan permainan. Tapi nyata. Hangat. Dalam.

Aku ingin menolak. Aku tahu harusnya begitu. Tapi bibirku justru membalasnya, perlahan.

Ciuman itu seperti perang — antara dua jiwa yang saling menghancurkan tapi juga saling mencari arti.

Lalu dia menarik diri.

“Pergi dari sini,” bisiknya. “Sebelum aku lupa batas.”

Aku berdiri terpaku. Napasku belum teratur. Pipiku terbakar.

Dan jantungku… berkhianat. Terlalu berdebar untuk sesuatu yang seharusnya kubenci.


ARVIN

Apa yang baru saja kulakukan?

Bodoh.

Dia bukan milikku. Dia hanya alat. Tawanan. Saksi hidup atas kekuasaanku.

Tapi mengapa bibirnya terasa seperti… pulang?

Bab 6 — Antara Nafsu dan Niat

HANA

Aku menatap pantulan diriku di cermin kamar mandi penthouse. Pipi memerah, bibir sedikit bengkak… dan hati yang tak bisa berhenti bertanya:

Apa yang sedang aku lakukan?

Arvin sudah menciumku. Tidak karena ancaman. Tidak karena paksaan.

Tapi karena keinginan.

Dan aku membalasnya.

Apa itu salah?

Apa itu berarti aku kalah?

Atau… apa itu berarti aku mulai merasa sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada dalam kontrak?

Aku keluar dari kamar, masih dengan kepala penuh pertanyaan, dan menemukannya di dapur. Kemeja hitamnya terbuka dua kancing, lengan digulung, dan dia sedang menuang anggur merah ke dua gelas.

“Untukmu,” katanya tanpa melihatku.

Aku ragu. “Kau tak biasanya… sopan.”

Dia tersenyum miring. “Aku bisa sopan, kalau aku mau.”

Aku duduk di meja dapur. Dia duduk di seberang.

Sunyi. Hanya denting gelas dan detak jantungku yang terdengar.

“Kenapa menciumku tadi?” tanyaku, jujur.

Dia menatapku. Tajam. Tapi kali ini… bukan dingin, melainkan dalam. Seolah mencari sesuatu di mataku.

“Aku tidak tahu,” jawabnya.

“Bohong.”

Dia tertawa, pendek.

“Oke,” katanya, menyesap anggur. “Karena aku ingin tahu… apakah kau akan menjauh atau mendekat jika aku berhenti bersikap kejam.”

Aku menelan ludah. “Dan?”

“Kau tidak menjauh,” jawabnya, suaranya rendah.

“Itu masalahnya, Hana. Kau terlalu berani. Dan aku… terlalu tertarik.”

Jantungku nyaris berhenti.

Dia berdiri. Perlahan.

Lalu berjalan mengelilingi meja, dan berdiri di belakangku.

Tangannya menyentuh pundakku. Lalu turun ke lengan. Pelan. Hangat.

“Kau ingin aku berhenti?” bisiknya.

Aku tahu ini saatnya berkata ya. Menjaga garis. Menjaga logika.

Tapi suaraku justru bergetar, nyaris seperti doa.

“Aku tidak tahu…”

Dan dalam satu gerakan lembut namun pasti, dia menarikku berdiri. Tubuhku kini berhadapan langsung dengan tubuhnya yang hangat dan padat.

“Kalau kau ragu,” bisiknya lagi, “biar aku yang ambil alih.”

Lalu bibirnya menyentuh leherku.

Dan aku… membiarkannya.


ARVIN

Dia tidak menolak.

Dia bahkan gemetar saat aku menyentuhnya.

Bukan karena takut. Tapi karena dia ingin.

Bukan karena kontrak. Tapi karena sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perjanjian — sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan.

Apakah ini awal kehancuranku?

Atau awal penyelamatanku?

Bab 7 — Batas yang Pecah

⚠️ Konten eksplisit dewasa. Untuk pembaca usia 21+.

HANA

Kulitku terbakar di bawah sentuhan tangannya.

Dunia mengecil jadi ruang sempit antara tubuhku dan tubuhnya. Nafasnya mengalir di leherku, membuat kulitku meremang. Tangannya menyentuh pinggangku, menarikku lebih dekat — terlalu dekat. Aku bisa merasakan detak jantungnya… keras… berat… seirama dengan milikku.

"Aku akan memberimu kesempatan terakhir," bisiknya pelan, suaranya serak, mengancam sekaligus memohon. "Kalau kau bilang 'berhenti' sekarang, aku akan pergi. Tapi setelah ini... tidak ada jalan kembali."

Aku menatap matanya — mata pria yang dulu kuanggap monster. Tapi malam ini, aku tak melihat monster. Aku melihat… pria yang nyaris hancur, yang ingin dihancurkan lagi — bersamaku.

Aku menjawab pelan. “Jangan berhenti.”

Dia mendekat, menciumku — tidak seperti sebelumnya. Bukan mencuri, bukan menguji, tapi menguasai. Bibirnya dalam, panas, lidahnya menyusuri milikku seperti ingin menandai rasa yang tak boleh kulupakan.

Tangannya menyelinap ke bawah blouse, membuka satu kancing demi satu tanpa terburu-buru. Jari-jarinya menyentuh kulitku, lembut… tapi tegas. Seperti membaca rahasia tubuhku yang bahkan belum kukenal.

“Kau gemetar,” katanya saat tangannya menyentuh bagian dadaku, membuat napasku tercekat.

“Karena kau menyentuhku seperti aku berharga…”

Dia berhenti. Menatapku. “Karena kau memang berharga.”

Kalimat itu… menusukku lebih dalam dari ciumannya.

Lalu semuanya jadi kabur — blouse terlepas, bra terhempas ke lantai, dan tubuhku tertarik ke sofa empuk di ruang tengah penthouse.

Dia mencium setiap bagian dari tubuhku seolah ingin mengingat semuanya. Tangannya tak pernah berhenti menyentuh, menjelajahi, menuntut — tapi selalu memberi waktu untuk tubuhku menjawab.

Ketika dia masuk ke dalamku, perlahan… penuh, dalam… aku nyaris menangis.

Karena malam ini bukan tentang seks.

Tapi tentang dua jiwa rusak… yang menemukan jeda dari luka masing-masing di dalam tubuh satu sama lain.

Kami bergerak dalam ritme pelan, lalu cepat, lalu pelan lagi — seperti menari di antara batas antara kuasa dan kerelaan, antara rasa bersalah dan… cinta yang belum diakui.

Saat dia mencapai klimaks, dia menyebut namaku — bukan sebagai perintah, tapi sebagai pengakuan.

Dan aku menyerah.

Bukan pada tubuhnya. Tapi pada diriku sendiri.


ARVIN

Aku sudah memiliki banyak wanita.

Tapi tak ada yang membuatku merasa seperti malam ini.

Ketika dia menggenggam tanganku, bukan karena takut, tapi karena percaya.

Aku sadar…

Jika ini adalah kehancuranku, maka biarlah aku hancur di antara napas dan suara gemetar Hana.

Bab 8 — Dendam yang Mengintai

HANA

Sudah dua hari sejak malam itu — malam ketika aku dan Arvin melepaskan batas, membiarkan tubuh dan rasa bersatu tanpa pertahanan.

Tapi pagi ini… suasananya berbeda.

Arvin lebih diam dari biasanya. Tatapannya kosong. Tangannya dingin saat menyerahkan dokumen, dan suaranya kembali seperti perintah: datar, tajam, dan nyaris asing.

“Ada yang salah?” tanyaku pelan di ruang kerjanya.

Dia tidak langsung menjawab.

Lalu akhirnya:
“Jangan tanya hal yang tidak bisa kau tangani jawabannya.”

Aku menelan ludah.

“Kalau kau kembali menyesal soal malam itu…”

Dia berdiri. Menatapku tajam.

“Aku tidak menyesal. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kau hanya satu langkah dari kehancuranku.”

“Kenapa?” bisikku.

Dia berjalan ke rak buku, menarik sebuah berkas tua dari laci tersembunyi. Melemparnya ke mejaku.

“Buka.”

Tanganku gemetar saat membuka berkas itu. Ada foto-foto lama… seorang wanita muda. Cantik. Matanya mirip mataku. Lalu dokumen polisi. Dan sebuah foto buram pria dengan luka bakar di leher.

“Siapa ini?”

Arvin duduk.

“Wanita itu… ibuku. Pria itu… pembunuhnya. Dia bebas sekarang. Dan dia mencari aku.”

Aku menahan napas.

“Kenapa kamu menunjukkan ini ke aku?”

Karena jawabannya tak masuk akal.

“Karena aku tidak tahu siapa lagi yang bisa kupercaya… selain kau.”


ARVIN

Semua berjalan terlalu cepat.

Aku sudah merencanakan hidup tanpa cinta. Tanpa hati. Tanpa risiko.

Lalu dia datang. Dengan mata keras kepala, luka dalam, dan bibir yang memberiku rasa… yang tak pernah kupikir masih mungkin.

Aku tak bisa menahannya.

Tapi membiarkannya terlalu dekat… berarti menyeretnya ke neraka yang selama ini kusembunyikan.


MALAM HARI
Penthouse senyap. Hana tertidur di kamarnya. Tapi aku tak bisa.

Saat aku berdiri di balkon, sebuah pesan masuk ke ponselku.

"Masih ingat wajahku, Arvin kecil?"
"Kau bisa sembunyi di gedung tinggi. Tapi ibumu dulu juga tak bisa kabur."
"Sekarang gilirannya wanita itu."

Tanganku mengepal. Nafasku membeku.

Tidak. Kau tidak akan menyentuhnya.

Tapi yang paling kutakutkan bukan pria itu.

Yang paling kutakutkan…

Adalah jika aku sendiri yang akhirnya menghancurkan Hana.

Bab 9 — Pelindung atau Pemusnah

HANA

Ada yang berubah dari Arvin.

Bukan karena dia menjauh secara fisik. Dia masih ada. Tubuhnya hangat. Ciumannya masih terasa tiap malam — lebih intens, lebih dalam, lebih... penuh rasa.

Tapi hatinya seperti mulai membentengi diri lagi.

Dan pagi ini, aku mengetuk pintu ruang kerjanya. Dia bilang jangan masuk, tapi aku tidak tahan.

“Arvin, apa kau benar-benar baik-baik saja?”

Dia mengangkat wajah dari layar laptopnya. Tatapannya dingin. Tapi aku tahu... itu hanya topeng.

“Keluar, Hana. Ini bukan waktunya.”

“Berhenti dorong aku menjauh!” suaraku nyaris berteriak. “Kau pikir aku bodoh? Aku tahu ada yang kau sembunyikan. Aku tahu seseorang mengancammu. Aku—”

Dia berdiri. Menghampiriku. Menekan tubuhku ke pintu, menatap mataku dalam-dalam.

“Justru karena aku tahu siapa musuhku, aku harus jaga jarak dari satu-satunya hal yang bisa jadi kelemahanku.”

“Dan itu aku?” bisikku.

Dia mengangguk pelan. “Kau... terlalu berarti.”

Aku menatapnya. “Kalau begitu biarkan aku bertarung bersamamu, bukan disingkirkan.”

Arvin menarik napas berat. Tangannya membelai pipiku, lalu turun ke daguku, mengangkat wajahku perlahan.

“Kalau pria itu berhasil menyentuhmu… bahkan hanya dengan satu jari… aku akan membakar dunia.”

Aku menggigil. Bukan karena takut.

Tapi karena aku tahu…
Arvin tidak main-main.


ARVIN

Dia tidak pergi.

Hana tetap di sini. Meski sudah kuberi cukup alasan untuk lari. Tapi bukan dia namanya kalau gampang menyerah.

Malam ini dia tertidur di ranjangku, lengannya melingkar di dadaku.

Dan aku... tidak bisa tidur. Karena aku tahu siapa yang mengintai di luar sana.

Dimas A. Rengga. Pria yang membunuh ibuku, yang menghilang dua belas tahun… dan sekarang kembali. Mengancam wanita satu-satunya yang membuatku merasa hidup lagi.

Keesokan harinya, aku menelepon seseorang.

“Panggil semua tim. Full intel. Aku ingin jejak terakhir Dimas, semua CCTV, semua relasinya. Dan satu lagi...”

“Apa, Tuan?”

“Lindungi Hana seperti kau melindungi jantungku. Karena itulah dia sekarang.”


MALAM ITU

Arvin berdiri di jendela, memandang kota dari lantai 42. Hana mendekat pelan dari belakang.

“Kalau dunia memburuku,” katanya pelan, “kau tetap mau memelukku?”

Dia menoleh. Mata mereka bertemu.

“Kalau dunia memburumu, aku akan membunuh semuanya.”

Lalu dia mencium bibir Hana — keras, tergesa, tapi penuh rasa.
Bukan ciuman manis. Tapi ciuman dari pria yang tahu waktunya makin sedikit… dan rasa makin tak bisa disangkal.

Bab 10 — Api yang Membakar Dendam

HANA

Aku tak bisa berhenti menatap foto pria itu — Dimas A. Rengga.

Tatapannya dingin, matanya sempit, dan bibirnya…
Astaga.

Aku kenal senyuman itu.

Bukan dari televisi. Bukan dari arsip polisi.

Tapi dari masa kecilku.

Aku menggenggam foto itu erat, berjalan pelan ke ruang kerja Arvin. Dia sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Suaranya tegang.

“…kalau dia mendekati penthouse ini, tembak. Jangan beri peringatan.”

Saat dia melihat wajahku, ekspresinya langsung berubah.

“Ada apa?”

Aku meletakkan foto itu di mejanya. Tanganku gemetar.

“Aku pernah mengenal dia.”

Wajah Arvin menegang. “Apa maksudmu?”

“Dia… dia bukan orang asing. Dia pria yang dulu sering datang ke rumah ibuku, sebelum ibu meninggal.”

Matanya membulat. Rahangnya mengeras.

“Berarti... kau ada dalam targetnya sejak awal.”

Aku menggeleng. “Arvin… dia bukan orang asing. Dia mungkin... ayah kandungku.

Ruangan seketika menjadi sunyi seperti kuburan.

Arvin berdiri pelan. Matanya menatapku tajam. Bukan karena marah.

Tapi karena hatinya baru saja runtuh.

“Kau bilang apa…?”

Aku hampir tak bisa bicara. “Ibuku… pernah bilang soal pria yang membantunya bertahan hidup. Tapi dia menghilang sebelum aku lahir. Namanya Dimas.”

Arvin memukul meja dengan keras, membuat bingkai foto terjatuh. Napasnya berat.

“Jadi... wanita yang paling ingin kulindungi, adalah anak dari pria yang paling ingin kubunuh?”

Aku menutup wajah. Aku juga ingin muntah. Tak tahu harus merasa apa.

Darah yang sama mengalir di tubuhku, ternyata milik pria yang membunuh ibunya.

“Aku tidak tahu, Arvin… aku tidak tahu!” air mataku tumpah. “Tapi tolong… jangan lihat aku seperti musuhmu.”

Dia berbalik. Berjalan ke arah jendela. Punggungnya gemetar.

“Ini bukan salahmu, Hana.”

Aku menoleh. Jantungku hampir berhenti.

Dia menatapku dengan mata merah. “Tapi sekarang aku tak yakin… apakah bisa terus mencintaimu… tanpa menyakiti diriku sendiri.”


ARVIN

Cinta dan dendam menyatu di satu tubuh.

Tubuh Hana.

Haruskah aku memilih membunuh pria itu… meski berarti menghapus darah yang sama yang mengalir dalam dirinya?

Atau… membiarkan dendam ini mati?

Tapi jika aku lepaskan dendam… apa artinya semua rasa sakit selama ini?

Aku hanya tahu satu hal…

Aku mencintainya. Tapi mencintainya membuatku takut akan menjadi monster seperti pria yang kucari selama ini.

Bab 11 — Pilihan yang Membunuh

ARVIN

Aku duduk di ruang bawah tanah vila milikku — tempat paling tersembunyi, dan paling sunyi. Di atas meja besi, ada satu pistol. Di layar monitor, wajah Dimas muncul dari CCTV rahasia. Dia ada di kota. Dekat. Terlalu dekat.

Dan di ruangan lain… Hana menangis. Aku tahu. Karena dia mendengar semua.

Darah pria itu mengalir di tubuhnya. Tapi dia… tidak bersalah.

“Cinta itu rumit,” bisikku pada bayangan di cermin. “Dan aku kehabisan waktu untuk membuatnya sederhana.”


Bab 12 — Darah dan Air Mata

HANA

Aku berdiri di depan Arvin dengan tubuh gemetar. Dia memegang pistol. Tangannya keras, tapi matanya… kosong.

“Kalau aku bunuh dia, Hana… apa kau masih bisa melihat aku seperti kemarin?”

Aku menahan napas. “Aku lebih takut kalau kau kehilangan jiwamu.”

“Dia pantas mati,” katanya datar.

“Mungkin. Tapi jangan biarkan tanganku menjadi pemicu kematian dua orang tua dalam hidupku.”

Aku mendekat. Memeluknya. Pelan. Tangannya akhirnya jatuh, pistol tergelincir ke lantai.

“Aku memilihmu, Arvin. Bukan dia. Bukan dendam. Bukan masa lalu.”


Bab 13 — Akhir Tanpa Darah

ARVIN

Aku menemui Dimas malam itu.

Tanpa pistol. Tanpa pengawal. Hanya aku.

“Jadi kau anaknya,” kata Dimas sambil tertawa pahit.

Aku menatap matanya. “Dan kau pembunuh ibuku.”

Kami bicara. Lama. Tentang masa lalu. Tentang pengkhianatan. Tentang Hana.

Di akhir percakapan, dia memberi satu kalimat:

“Bunuh aku, kalau itu satu-satunya cara kau bisa hidup tenang.”

Tapi aku tidak menembaknya.

Aku memilih hidup. Dan membiarkannya hidup — tapi di penjara, bersama semua beban masa lalu.


Epilog — Ciuman Terakhir

HANA

Setahun kemudian.

Kami menikah. Bukan di gedung mewah. Tapi di tepi danau kecil, tempat kami pertama kali bicara jujur — tanpa jabatan, tanpa dendam, tanpa masa lalu.

Arvin menciumku dengan lembut. Dan untuk pertama kalinya, ciuman itu bukan karena emosi… tapi karena kedamaian.

“Ciuman pertama kita penuh benci,” katanya. “Tapi biarkan ini jadi yang terakhir, dan penuh cinta.”

Aku tertawa. “Tidak akan jadi terakhir. Kau milikku sekarang.”

Dia menarik pinggangku. “Selamanya.”


TAMAT


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta yang Tak Tersentuh

Di Balik Meja Rapat

Cinta di Waktu yang Salah