Dalam Diam Aku Menginginkanmu

 Dalam Diam Aku Menginginkanmu



Judul: Dalam Diam Aku Menginginkanmu

Genre: Romansa Dewasa, Drama, Office Romance

Rating: 21+


Sinopsis:

Naya, 29 tahun, adalah seorang asisten pribadi CEO muda yang tampan, dingin, dan sangat perfeksionis: Arga Mahendra. Selama tiga tahun bekerja, ia menyimpan perasaan dalam diam. Namun semuanya berubah ketika Arga bertunangan dengan wanita dari keluarga konglomerat, pilihan orang tuanya.

Suatu malam, karena satu kesalahan, Naya dan Arga melewati batas profesional mereka. Rasa bersalah, ketegangan, dan godaan muncul di antara mereka. Apakah itu hanya pelarian? Ataukah ada cinta yang sesungguhnya tersembunyi di balik dinginnya sikap sang bos?


Bab 1: Senyuman yang Tak Pernah Ditujukan Padaku

Aku selalu datang lebih pagi dari siapa pun di kantor ini. Karena aku tahu, Tuan Mahendra tidak pernah suka menunggu. Dan aku, Naya Anindya, tahu persis bagaimana membungkus ketidaksukaannya sebelum menjadi kemarahan.

Hari ini pun sama. Pukul 06.45 pagi, aku sudah duduk di meja kerjaku. Membuka laptop, menyortir email, memesan kopi khas kesukaannya dari kafe dua blok dari kantor. Setiap detil, aku hafal. Bahkan lebih dari aku menghafal keinginanku sendiri.

Lalu dia datang. Tegap, berjas gelap, rambut hitam yang disisir rapi, dan mata yang tak pernah memancarkan hangat. Setiap langkahnya membuat semua orang menahan napas. Tapi tidak denganku. Sudah biasa. Begitu aku pikir. Sampai mataku menangkap satu hal yang tidak biasa pagi ini.

Dia... tersenyum.

Bukan padaku.

Melainkan pada wanita yang berjalan di sampingnya—dengan cincin berlian mencolok di jari manisnya.

“Kenalkan. Ini tunanganku, Nayla,” katanya tanpa menoleh padaku.

Hatiku berdesir aneh. Seolah aku baru saja melihat masa depanku terkubur hidup-hidup.

Bab 2: Cincin Berlian dan Luka yang Tak Terucap

Hari itu, sepanjang pagi, aku menjalankan tugasku seperti biasa. Tapi setiap kali aku mengantar dokumen ke ruangannya, mataku tak bisa lepas dari jemari wanita itu—Nayla—yang kini duduk santai di sofa kantornya, tertawa kecil sambil memainkan cincin di jarinya.

“Ada apa?” suara Arga memecah lamunanku. Nadanya tajam seperti biasa, tapi sorot matanya tidak sekeras biasanya.

“Tidak, Pak. Ini jadwal meeting hari ini.” Aku menyerahkan map tanpa menatapnya langsung. Rasanya dadaku penuh, tapi tak bisa kubiarkan terlihat.

Ia menerima map itu tanpa berkata apa-apa. Hanya itu. Tapi saat jemarinya menyentuh tanganku sekilas, aku menahan napas. Bukan karena sentuhannya, tapi karena aku tahu, itu tidak akan berarti apa-apa baginya.


Bab 3: Di Antara Dua Dunia

Tiga hari setelah pengumuman pertunangannya, Nayla mulai sering datang ke kantor. Dia terlalu manis. Terlalu sempurna. Bahkan tidak tampak seperti wanita yang menyombongkan status.

“Aku tahu kamu asistennya sudah lama,” katanya padaku saat kami tanpa sengaja bertemu di pantry. “Terima kasih ya... sudah menjaga Arga selama ini.”

Aku hanya tersenyum tipis. Menjaga? Andai kau tahu bagaimana aku berjuang menahan rasa, mengubur rindu setiap malam, dan bersikap seolah aku bukan siapa-siapa.

“Aku cuma melakukan pekerjaanku,” jawabku, netral.

“Hmm,” dia mengangguk. “Tapi kamu tahu... dia bukan pria yang gampang didekati. Jadi aku tahu, pasti kamu spesial di matanya.”

Kalimat itu... membuatku ingin tertawa. Atau menangis.


Bab 4: Malam Itu

Acara gala tahunan perusahaan menjadi awal dari semuanya. Aku tidak berniat datang. Tapi Arga sendiri yang menyuruhku hadir—"Itu kewajiban sebagai staf senior," katanya.

Kupakai gaun hitam sederhana. Riasan tipis. Tak bermaksud mencuri perhatian.

Namun saat aku tiba di ballroom, mata itu langsung menemukanku. Bukan milik rekan kerja. Tapi mata Arga Mahendra.

Dia berjalan mendekat, meninggalkan tunangannya yang sibuk dengan para investor. Wajahnya datar. Tapi ketika berdiri di depanku, suaranya rendah dan hanya cukup untuk kudengar.

“Kau cantik malam ini.”

Untuk pertama kalinya... kalimat itu keluar dari mulutnya. Dan itu menghancurkanku lebih dalam.


Bab 5: Dosa yang Tidak Kami Sesali

Hujan turun deras ketika acara usai. Semua orang berpamitan. Tapi aku terjebak hujan. Ponselku mati. Tak ada taksi.

Dan dia muncul. Mengulurkan payung.

“Naik bersamaku.”

Aku ragu. Tapi lelah, basah, dan perasaanku yang selama ini kutahan, membuatku menyerah.

Malam itu, kami tak langsung pulang. Ia membawaku ke penthouse-nya. Awalnya hanya untuk berteduh, begitu katanya. Tapi tidak ada kata yang cukup untuk menjelaskan detik-detik setelah itu.

Ciumannya adalah api yang membakar semua logika. Sentuhannya adalah jurang yang kuterjuni dengan sadar. Kami melewati batas. Dengan kesadaran penuh.

Dan di pagi hari, hanya ada sunyi. Tak ada penyesalan. Hanya kenyataan: dia tetap milik orang lain.

Bab 6: Pagi Tanpa Pelukan

Pagi itu, aku bangun lebih dulu. Sinar matahari mengintip lewat tirai kamar penthouse yang mewah namun terasa dingin.

Di sebelahku, Arga masih tertidur. Tenang. Seolah semalam hanyalah mimpi tanpa makna.

Aku duduk di pinggir ranjang. Kemeja putihnya masih menempel di tubuhku—satu-satunya yang kupakai. Tanganku refleks menyentuh bekas ciuman di leherku, yang sekarang mulai memudar. Tapi hatiku... masih terbakar.

“Ini salah,” bisikku, lebih pada diriku sendiri.

Namun saat kutatap wajahnya, yang biasanya penuh ketegasan itu, dia terlihat... rapuh. Untuk pertama kalinya.

Tepat saat aku berdiri untuk pergi, tangannya menggenggam jemariku. Erat.

“Jangan pergi.”

Dan aku pun gagal untuk pergi.


Bab 7: Rahasia yang Menyesakkan

Kami sepakat tak membicarakan malam itu. Di kantor, semua kembali seperti biasa. Profesional. Dingin. Jaga jarak.

Tapi tidak mungkin semuanya biasa-biasa saja.

Tatapan Arga kadang terlalu lama tertahan padaku. Sentuhannya saat menyerahkan dokumen—terlalu dekat. Dan malam itu... terus menghantui setiap kali kami saling diam.

Namun yang membuatku tak bisa bernapas adalah... satu rahasia kecil yang mulai tumbuh di dalam tubuhku.

Dua garis merah.

Aku menatap alat tes kehamilan di kamar mandi kantor dengan tubuh gemetar. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.


Bab 8: Antara Hati dan Logika

Aku mencoba menyembunyikan semuanya. Bahkan dari sahabat terdekatku. Aku tetap bekerja seperti biasa. Tapi tubuhku mulai lemah. Pagi hari jadi mimpi buruk.

Dan dia menyadarinya.

“Naya, kamu pucat. Kamu sakit?” tanyanya suatu pagi.

“Tidak, Pak. Cuma kurang tidur,” jawabku cepat.

Tatapan matanya menyipit, seolah membaca kebohongan dalam wajahku. Tapi aku tidak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh.

Bagaimana mungkin aku bilang... aku hamil? Dengan tunangan orang?


Bab 9: Benteng yang Retak

Suatu malam, setelah semua staf pulang, dia memanggilku ke ruangannya.

“Duduk,” katanya singkat.

Aku duduk, jantungku berdebar kencang.

“Aku tahu ada yang kau sembunyikan.”

“Tidak ada.”

“Jangan bohong.”

Aku menahan napas.

“Aku tahu tubuhmu. Aku tahu matamu saat kau berusaha menyimpan luka. Kau pikir aku tak tahu kenapa kau menghindar akhir-akhir ini?”

Aku hampir menangis. Tapi tetap diam.

“Apakah... kau hamil?”

Aku menunduk. Dan diamku adalah jawaban.

Dia berdiri. Menutup mata sejenak, lalu mengacak rambutnya frustasi.

“Kenapa kau tidak bilang apa-apa?!”

“Karena kau akan menikah!” teriakku. “Karena ini semua... salah!”

Dia menatapku. Lama. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat amarah yang bukan karena pekerjaan—tapi karena patah hati.


Bab 10: Di Ambang Kehancuran

Tiga hari aku tidak masuk kerja. Mual makin parah. Mentalku makin lemah.

Dan kemudian, pesan itu datang.

“Aku sudah membatalkan pertunanganku.”

Aku menatap layar ponsel dengan tangan gemetar. Kalimat itu seharusnya membuatku lega. Tapi tidak. Karena kenyataan tak pernah sesederhana drama.

Aku tahu akan ada harga yang harus dibayar. Nama baik. Keluarga. Karier. Cinta ini akan menghancurkan banyak hal. Tapi mungkin... lebih menyakitkan jika terus menyangkalnya.

Bab 11: Perempuan yang Terluka Tapi Tersenyum

Aku datang kembali ke kantor setelah absen tiga hari. Pandangan semua orang seolah menelanjangi. Mungkin hanya perasaanku. Tapi bukan perasaanku ketika Nayla sudah menungguku di depan lift.

Cantik. Elegan. Tapi sorot matanya dingin seperti baja.

“Kita bicara,” katanya datar.

Kami duduk di kafe kecil dekat gedung. Tanpa basa-basi, dia meletakkan sebuah foto di atas meja.

Aku melihatnya.

Foto aku dan Arga. Di lobi hotel. Di hari malam itu.

"Aku tahu sejak malam itu," katanya. "Tapi aku diam. Kupikir... Arga hanya butuh pelarian. Tapi sekarang... dia membatalkan pernikahan kami."

Tanganku gemetar.

“Aku mencintainya,” bisikku akhirnya, lirih.

Dia menatapku tajam. “Dan aku mencintai harga diriku. Kau boleh menang kali ini. Tapi ingat, tidak ada kebahagiaan yang tumbuh dari luka orang lain.”


Bab 12: Tak Ada Jalan Pulang

Arga menemuiku malam itu. Tidak di kantornya. Tapi di depan rumah kecilku. Ia berdiri di bawah hujan yang mulai turun.

"Masuklah," kataku akhirnya, menyerah pada perasaan.

Di dalam, kami tidak banyak bicara. Hanya duduk bersebelahan. Napas kami berat, seperti beban dunia ada di dada.

“Aku sudah bilang ke ibuku,” katanya pelan.

Aku menoleh cepat. “Apa?”

“Aku bilang aku mencintaimu. Dan kau mengandung anakku.”

Dunia seperti berhenti.

“Arga, kau sadar... apa yang kau korbankan?”

“Segalanya,” jawabnya. “Tapi aku sudah kehilangan cukup banyak dengan menyangkalmu. Aku tidak akan kehilangan anakku juga.”

Aku menangis. Bukan karena lemah. Tapi karena untuk pertama kalinya, seseorang memilihku. Sepenuhnya. Dengan seluruh risikonya.


Bab 13: Harga dari Sebuah Pilihan

Keesokan harinya, dunia runtuh.

Berita pertunangan batal tersebar di media bisnis. Nama Arga dan perusahaannya dihantam skandal. Investor mulai menarik diri. Dan yang paling menyakitkan—ibunya datang menemuiku.

Ia memandangku dari atas ke bawah, seperti menilai barang murahan.

“Kamu pikir dia akan bahagia denganmu?” katanya tajam. “Kau pikir cinta cukup untuk membangun hidup? Dia hancur sekarang. Perusahaan ini tidak dibangun dari cinta picisan!”

Aku menatap wanita itu, perutku sudah mulai membuncit.

“Tidak, Bu. Cinta memang tidak cukup. Tapi kami tidak sedang membangun perusahaan. Kami sedang membangun keluarga.”

Matanya membelalak. Tapi aku tidak gentar.

Aku tidak takut lagi.

Karena untuk pertama kalinya, aku memilih diriku sendiri.

Bab 14: Saat Dunia Tidak Mengizinkan Kita

Hari-hari setelah kehamilanku diketahui publik adalah neraka.

Berita menyebutku “penggoda CEO,” “perusak rumah tangga yang belum jadi,” “wanita oportunis.” Arga kehilangan lebih dari sekadar saham—ia kehilangan nama baik, kepercayaan publik, dan hubungan dengan keluarganya.

Aku menyaksikannya hancur... setiap hari.

Lalu aku tahu: ini tidak bisa berlanjut.

Aku menunggu saat yang tepat. Malam itu, hujan deras turun. Seperti malam pertama kami melewati batas. Hanya kali ini... aku yang akan menarik garisnya kembali.

“Arga...” Aku menatap matanya. “Kau harus berhenti.”

Dia hanya diam. Tapi matanya berkaca-kaca.

“Pergilah. Kembali ke hidupmu. Ambil alih perusahaan. Bangun kembali semua yang hilang.”

“Aku tak butuh itu semua tanpa kau.”

Aku menggigit bibir. “Dan aku tak ingin anak kita tumbuh menyaksikan ayahnya membenci dunia karena memilih ibunya.”

Dia menangis. Dan itu lebih menghancurkan daripada semua cacian yang pernah kuterima.


Bab 15: Perempuan yang Pergi Tanpa Membawa Apa-Apa

Aku pergi diam-diam. Tanpa surat. Tanpa pesan.

Aku pindah ke kota kecil di luar Jawa. Melahirkan seorang anak laki-laki. Namanya Langit—karena hanya langit yang masih menghubungkan aku dan ayahnya.

Setiap malam, aku membaca cerita sebelum Langit tidur. Dan ketika dia bertanya tentang ayahnya, aku hanya berkata:

“Dia pria terbaik yang pernah Ibu kenal. Tapi terkadang, bahkan cinta yang paling indah pun tidak cukup untuk kita bisa hidup bersama.”


Epilog (5 Tahun Kemudian): Di Antara Dua Orang yang Pernah Memilih Satu Sama Lain

Aku sedang duduk di taman kota. Langit berlari mengejar balon.

Dan kemudian, aku melihatnya.

Arga.

Dia lebih kurus. Matanya lebih dalam. Tapi tatapannya... masih sama seperti dulu.

Dia berjalan pelan ke arahku. Kami berdiri beberapa langkah saja—tanpa pelukan, tanpa air mata. Hanya senyum kecil.

“Dia... anak kita?” tanyanya lirih.

Aku mengangguk. Langit berdiri memandangnya, seolah ada yang akrab tapi tak bisa dijelaskan.

Arga berjongkok, menatap mata anak kami.

“Hai... aku teman ibumu,” katanya lembut.

Langit tertawa kecil. “Namamu siapa?”

“Arga.”

Dia mengulurkan tangan kecilnya. Arga menggenggamnya, erat tapi singkat.

Dan saat anakku berlari lagi, aku berkata pelan:

“Terima kasih... sudah mencintaiku, meski dunia tidak mengizinkan kita.”

Dia menatapku. Lama.

Lalu pergi.

Dan aku tahu... itu terakhir kalinya aku melihatnya.


“Ada cinta yang ditakdirkan untuk abadi, tapi tidak untuk dimiliki. Dalam diam, ia tetap hidup.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh