Dalam Peluk Rahasia (21+)
Dalam Peluk Rahasia
📖 Dalam Peluk Rahasia
Bab 1: Kamar 512
Hotel itu tampak biasa dari luar—dinding kaca tinggi, lobby dengan aroma mawar sintetis, dan senyum resepsionis yang terlalu dilatih. Tapi bagi Nadia, tempat itu menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar kenyamanan: pelarian.
Ia berdiri di depan pintu kamar 512, mengetuk sekali, lalu membuka dengan kartu akses. Detak jantungnya tak pernah setenang langkah kakinya.
Arga duduk di sofa kulit dekat jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. Kemejanya sudah terbuka dua kancing atas, dasi digantung di leher seperti ia baru saja menyerah dari rapat panjang — atau dari hidup.
“Kau telat lima menit,” katanya, tanpa menoleh.
Nadia meletakkan tasnya di meja, melepas heels perlahan. “Lalu apa? Kau akan potong gaji per jam-ku?”
Arga tertawa pelan. “Aku tidak membayarmu, ingat?”
“Itulah bodohnya.”
Mereka tahu ini salah. Mereka bahkan tahu ini tak punya ujung. Tapi tetap saja, mereka datang. Berulang kali.
“Kau minum?” Arga menawarkan segelas wine, anggurnya merah tua—nyaris hitam.
“Tidak malam ini,” jawab Nadia, lalu berjalan ke arah tempat tidur, menyibak tirai pelan.
Hujan baru saja mulai turun. Lembut. Seolah kota ini pun enggan menyalahkan mereka.
Arga mendekat, berdiri di belakangnya. “Kenapa tetap datang?”
“Karena aku lelah berpura-pura kuat.”
Diam. Hanya suara hujan dan napas mereka yang terdengar.
Lalu jemari Arga menyentuh bahunya. Ringan, namun cukup untuk membuat Nadia memejamkan mata.
Malam itu, bukan tentang seks. Bukan tentang cinta.
Hanya tentang dua orang dewasa yang saling menemukan bayangan di tubuh masing-masing. Bukan untuk menghapus masa lalu, tapi untuk mengakui bahwa luka itu masih ada.
Dan kamar 512... menjadi saksi.
Bab 2: Garis yang Terhapus
Nadia belum menyesal. Belum. Tapi detik-detik setelah ia meninggalkan kamar itu, rasa sesak mulai menjalar seperti racun yang terlambat bereaksi.
Mobilnya melaju pelan menyusuri jalan basah, kaca jendela memantulkan lampu jalan yang lari bersama waktu. Tangannya menggenggam setir erat, seakan ingin mencengkeram kendali atas hidupnya sendiri—yang semakin hari terasa seperti tali kusut.
Ia tahu Arga bukan pria yang bisa ia bawa pulang, kenalkan ke ibunya, dan dibanggakan pada teman-teman. Hubungan mereka bukan cinta. Tapi juga bukan sekadar tubuh. Ada sesuatu yang lebih rumit: pengakuan diam-diam bahwa mereka berdua menyimpan luka dan memilih menenangkannya di dalam satu sama lain.
Setiap pertemuan dengan Arga selalu diakhiri dengan keheningan, seolah kata-kata hanya akan membuat semuanya menjadi terlalu nyata.
Tapi malam itu berbeda.
Saat Nadia membuka pintu apartemennya dan menyenderkan tubuhnya ke dinding, air matanya jatuh begitu saja. Bukan karena Arga tidak mencintainya. Tapi karena ia mulai mencintai seseorang yang bahkan belum tahu bagaimana caranya dicintai kembali.
Bab 3: Bayang-Bayang Pagi
Arga duduk sendiri di kamar hotel yang kini sunyi. Bekas tubuh Nadia masih tertinggal di seprai, aromanya masih melekat di bantal, dan gelas wine masih separuh penuh di meja kecil.
Ia menyesap wine itu perlahan. Dingin. Pahit. Tapi ia tak bisa menyalahkan rasa.
Ia ingat pertama kali bertemu Nadia. Sebuah seminar bisnis di Surabaya. Ia bicara soal risiko investasi, Nadia duduk di barisan tengah, menatapnya bukan seperti audiens biasa—tapi seperti seseorang yang bisa membaca luka tersembunyi di balik jas mahalnya.
Setelah acara selesai, mereka bertemu di lift. Kalimat pertamanya waktu itu, “Orang seperti Anda pasti punya banyak rahasia.”
Dan Arga, entah kenapa, tidak menyangkal.
Sejak itu, mereka bertemu. Awalnya atas nama penasaran. Lalu berlanjut jadi rutinitas. Dan kini... jadi candu.
Tapi pagi ini, kepergian Nadia menyisakan hampa. Ia baru sadar, yang selama ini ia kira bisa ia lepaskan kapan saja... ternyata telah menjadi bagian yang ingin ia simpan.
Bab 4: Luka Bernama Kenyataan
Seminggu. Dua minggu. Tiga.
Nadia tidak membalas pesan. Tidak mengangkat telepon. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan. Bertemu klien, meeting, lembur. Tapi setiap malam, matanya kembali menatap layar ponsel kosong, menunggu sesuatu yang sebenarnya ia tolak.
Saat itulah Reza datang. Mantan tunangan yang dulu menghancurkan dirinya dengan perselingkuhan yang begitu murahan—dengan sekretaris baru.
“Aku dengar kau kembali ke kota,” ucap Reza saat mereka tak sengaja bertemu di kafe kecil dekat kantor.
Nadia menatapnya datar. “Dan aku kira kau sudah cukup umur untuk tidak menyesali keputusanmu.”
Reza tersenyum. “Aku menyesali cara aku menyakitimu, Nad. Bukan keputusanku untuk mencintaimu.”
Nadia hampir tertawa. Tapi ia lelah membenci. Ia hanya berkata, “Aku sudah bukan perempuan yang dulu.”
Dan ia pergi.
Tapi luka masa lalu tak pernah benar-benar sembuh. Ia hanya berpindah tempat. Dan Reza—entah kenapa—muncul saat ia sedang rapuh-rapuhnya.
Bab 5: Saat Masa Lalu Mengetuk
Tak lama setelah pertemuan dengan Reza, Arga muncul.
Ia datang ke kantor Nadia. Tanpa janji. Hanya sebuah pesan dari resepsionis: “Ada yang menunggu Anda di lobby.”
Nadia turun dan menemukannya duduk di sofa, dengan jas abu-abu dan tatapan lelah.
“Aku tidak tahu bagaimana cara mencintai orang dengan benar,” kata Arga, membuka pembicaraan tanpa basa-basi. “Tapi aku tahu rasanya kehilangan sesuatu sebelum benar-benar memilikinya.”
Nadia hanya berdiri. Diam. Tangannya gemetar tapi ia tahan.
“Kau pikir hanya kamu yang hancur, Arga? Aku juga. Tapi setidaknya aku mencoba.”
“Aku... butuh waktu.”
Nadia mendekat, berdiri tepat di depannya. “Kau butuh waktu. Tapi aku butuh kejelasan. Dan kita tidak berjalan di garis yang sama.”
Lalu ia pergi. Lagi.
Tapi kali ini, Arga mengejarnya.
Bab 6: Pilihan yang Tak Sederhana
Hari-hari berikutnya, Arga mulai berubah. Ia tidak lagi mengajak bertemu di hotel. Ia mengundang Nadia makan siang di tempat terbuka. Ia membicarakan hidupnya, keluarganya, rasa bersalahnya atas kecelakaan yang merenggut istrinya—yang membuatnya takut jatuh cinta lagi.
Dan untuk pertama kalinya, Nadia melihat Arga sebagai manusia. Bukan hanya sebagai tempat ia bersembunyi dari realita.
Namun di saat yang sama, Reza juga mulai datang kembali ke kehidupannya. Ia tidak sempurna, tapi ia konsisten. Ia menunjukkan perbaikan, bahkan menawarkan untuk memulai dari awal.
Nadia berada di persimpangan.
Reza, yang dulu pernah ia cinta, dan kini ingin memperbaiki.
Arga, yang kini ia cinta, tapi takut mencintai.
Dan pada akhirnya, ia memilih... dirinya sendiri.
Bab 7 (Tamat): Peluk yang Tidak Lagi Rahasia
Dua bulan berlalu.
Nadia berdiri di depan cermin, mengenakan blus sederhana dan riasan ringan. Tidak untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Ia telah memilih meninggalkan keduanya. Ia pindah ke kota baru, mengambil pekerjaan baru, dan untuk pertama kalinya, merasa tidak bergantung pada siapa pun.
Sampai suatu sore, di sebuah kafe kecil yang tenang, saat hujan turun perlahan, seseorang menarik kursi di depannya.
Arga.
Ia tidak berbicara langsung. Hanya meletakkan secarik kertas di atas meja.
"Jika ini terakhir kalinya aku bisa melihatmu, aku ingin kau tahu satu hal: aku siap. Untuk mulai dari awal. Dari nol. Dari kita."
Nadia membaca tulisan itu perlahan, lalu menatapnya.
"Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Arga."
"Aku tidak minta janji. Aku hanya minta kesempatan."
Di luar jendela, hujan terus turun.
Dan di dalam kafe itu, dua orang akhirnya belajar bahwa beberapa pelukan tidak lagi perlu dirahasiakan.
Tamat.
Komentar
Posting Komentar