Di Antara Deadline dan Cinta
Di Antara Deadline dan Cinta
Genre: Romansa, Dunia Kerja, Drama
Sinopsis:
Nadia, seorang desainer grafis ambisius di sebuah agensi kreatif ternama di Jakarta, hanya punya satu tujuan: naik jabatan sebelum usia 30. Tapi semua berubah saat ia dipasangkan dengan Reyhan, manajer proyek baru yang datang dari cabang luar negeri—dingin, perfeksionis, dan tak pernah tersenyum. Di tengah tekanan pekerjaan, lembur tiada akhir, dan konflik ego, benih-benih perasaan mulai tumbuh. Namun, keduanya punya masa lalu yang belum selesai, dan di dunia profesional, cinta bisa jadi bumerang.
Episode 1: Hari Pertama Reyhan
Suara keyboard bergemuruh seperti hujan deras di lantai 15 kantor VisiKreatif. Senin pagi, kopi masih panas, dan tekanan sudah terasa. Nadia baru saja menyelesaikan revisi ke-empat dari klien paling cerewet minggu ini. Ia menghela napas panjang, meneguk kopinya, dan menatap layar laptop yang penuh dengan file presentasi.
"Semangat, Nad. Tinggal tiga hari lagi presentasi besar," bisiknya pada diri sendiri.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berat menghentikan alur pikirannya.
"Teman-teman, kenalkan, ini Reyhan, manajer proyek baru kita," ujar Bu Rina, kepala divisi, sambil menepuk bahu seorang pria tinggi bersetelan abu-abu. Wajahnya dingin. Tatapannya tajam. Dan... tidak ada senyum sama sekali.
Reyhan menatap ruangan sekilas, lalu berkata, "Saya harap kita bisa bekerja dengan efisien. Saya tidak suka drama, dan saya menghargai ketepatan waktu."
Nadia mengernyit. “Fix, orang ini bakal bikin stres,” gumamnya.
Namun saat mata mereka bertemu, ada sesuatu yang aneh. Seperti déjà vu. Tapi Nadia tak bisa mengingat dari mana.
Dan sayangnya, Bu Rina belum selesai.
"Nadia, kamu akan jadi desainer utama untuk semua proyek yang dikelola Reyhan. Kalian akan kerja bareng mulai hari ini."
Nadia tersedak kopinya.
"Kerja bareng... dia?"
Reyhan mengangguk pelan. "Saya harap kamu cepat belajar ritme kerja saya."
Mulai hari itu, bukan hanya lembur yang menjadi rutinitas Nadia. Tapi juga pertanyaan-pertanyaan dalam hati: siapa sebenarnya Reyhan? Dan... kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian, di balik sikap dinginnya itu?
Episode 2: Pria yang Sulit Dibaca
"Ini brief-nya. Aku mau konsep awal selesai besok sore," kata Reyhan sambil meletakkan map cokelat di meja Nadia tanpa banyak basa-basi.
Nadia menatap map itu seolah isinya adalah surat panggilan ke neraka. "Besok sore? Kita baru dapat brief pagi ini."
"Justru itu. Kita harus belajar kerja cepat. Dunia nggak nunggu kamu siap," jawab Reyhan tanpa menoleh, lalu berjalan pergi ke ruang meeting.
Nadia memelototi punggung pria itu. "Siapa sih dia? CEO?"
Di ruang kerja, rekan-rekannya mulai bisik-bisik.
"Katanya dia dulu kerja di Singapura, manajer termuda di sana."
"Nggak heran, tapi attitude-nya... ya ampun, dingin banget."
Nadia menatap layar, mencoba fokus pada desain. Tapi pikirannya malah terbang ke beberapa tahun lalu. Wajah Reyhan... entah kenapa familiar. Ia mengingat sosok di masa kuliah, senior yang pernah satu kali bantuin dia presentasi. Tapi tidak, yang itu ramah. Yang ini? Kayak es batu.
Sore harinya, Reyhan berdiri di belakangnya, mengamati hasil desain.
"Font-nya terlalu lembut. Brand ini butuh sesuatu yang lebih tegas. Kamu bisa revisi sekarang?"
Nadia menoleh, menahan jengkel. "Bisa. Tapi kalau semua kamu ganti sendiri, kenapa nggak bikin desainnya sekalian?"
Mata Reyhan menatap tajam, tapi bibirnya justru menyunggingkan sedikit senyum sinis. "Kalau aku yang desain, kamu jadi nggak belajar."
Itu pertama kalinya Reyhan tersenyum—meski menyebalkan.
Malam Itu...
Nadia masih di kantor jam 9 malam. Ia membuka map lama dari masa kuliahnya saat menunggu laptop render. Di situ, foto-foto dokumentasi kegiatan BEM, dan... matanya terhenti pada satu gambar. Seorang senior berdiri di podium, menyampaikan presentasi. Namanya: Reyhan Alka Mahendra.
"Jadi bener dia? Reyhan dari kampus?"
Tapi kenapa dia nggak ingat Nadia?
Sementara itu, di ruang kerja manajer proyek, Reyhan menatap layar komputer. Di sana, profil karyawan divisi kreatif terbuka. Ia mengeklik nama: Nadia Rahma Putri. Di bawahnya, sebuah catatan kecil: Alumni kampus yang sama. Dikenal perfeksionis. Ambisius.
Reyhan menyandarkan tubuhnya di kursi, menghela napas panjang.
“Jadi kamu di sini sekarang…”
Episode 3: Kamu Masih Ingat Aku, Nggak?
Hari ini kantor terasa lebih panas dari biasanya—bukan karena AC mati, tapi karena suasana di tim kreatif makin tegang. Presentasi besar tinggal dua hari lagi, dan Reyhan menekan semua orang seperti mereka prajurit dalam latihan militer.
“Timeline-nya geser. Semua bahan visual harus kelar hari ini, bukan besok,” ujar Reyhan pagi-pagi tanpa kalimat selamat pagi.
“Padahal semalam aku baru tidur tiga jam...” gumam Nadia sambil menyeduh kopi sachet ketiga pagi ini.
Reyhan berdiri di sebelah Nadia, memperhatikan progres desain banner utama. “Warna birunya terlalu pucat. Ganti tone-nya. Ini harusnya nunjukin kesan percaya diri, bukan pasrah.”
Nadia mendongak, menatapnya tajam. “Oke. Tapi kamu tahu nggak, kadang komentar kamu bisa lebih nyakitin dari klien paling galak.”
Reyhan mengangkat alis, tidak tersinggung sedikit pun. “Kamu bisa pakai itu buat tumbuh, atau buat ngeluh. Pilihan kamu.”
Nadia diam. Tapi dalam hatinya, ia merasa... terpancing. Bukan hanya karena kata-kata Reyhan yang menusuk, tapi karena tatapannya—datar tapi menyimpan sesuatu. Dan itu membuatnya ingin menantang... atau mendekati?
Malamnya...
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Kantor mulai kosong. Nadia masih di depan laptop, berusaha menyesuaikan tone warna seperti saran Reyhan. Tiba-tiba lampu di ruang Reyhan menyala. Pria itu keluar, membawa dua kaleng kopi dingin.
Ia berhenti di depan meja Nadia. "Kamu belum pulang?"
Nadia mendongak, lalu mengernyit. “Kamu juga belum.”
Reyhan menyodorkan satu kaleng kopi. “Anggap aja gencatan senjata.”
Nadia mengambilnya, sedikit terkejut. “Tumben baik.”
Mereka diam sejenak. Suara AC dan suara klik mouse jadi musik latar yang aneh.
Lalu Nadia bertanya, pelan, tapi cukup jelas:
“Kamu masih ingat aku, nggak?”
Reyhan diam. Matanya menatap wajah Nadia, lama, seperti mencari-cari memori yang hilang.
“Aku ingat kamu di kampus,” katanya akhirnya. “Tapi waktu itu kamu lebih... pemalu. Sekarang kamu lebih galak dari siapa pun yang pernah kerja sama aku.”
Nadia tertawa kecil. “Ya maklum. Dulu kita cuma beda dunia. Kamu anak BEM, aku anak desain. Kita cuma sekali ketemu pas bantuin presentasi lomba kampus.”
Reyhan tersenyum tipis. “Dan sekarang kita satu tim. Lucu, ya?”
Mereka terdiam. Tapi kali ini, bukan karena canggung. Ada sesuatu di antara mereka—bukan hanya kopi dingin di tangan masing-masing—tapi sesuatu yang perlahan mulai mencairkan jarak dan dingin yang membeku sejak hari pertama.
Episode 4: Bukan Cuma Kerja Sama
Hari presentasi pun tiba.
Nadia mengenakan blazer hitam favoritnya, rambut diikat rapi. Ia melihat bayangannya di lift dan menghela napas. “Hari ini harus sukses.”
Di ruang meeting, Reyhan sudah ada lebih dulu. Kemeja putih bersih, jam tangan logam, dan... ekspresi dingin seperti biasa. Tapi begitu Nadia masuk, pandangannya berubah sejenak—singkat, tapi cukup membuat jantung Nadia berdetak aneh.
"Desain final sudah kamu siapin di flashdisk cadangan?" tanya Reyhan sambil menatap layar laptop.
“Udah. Dua flashdisk. Satu di tas, satu di saku blazer. Aku nggak mau ambil risiko.”
Reyhan tersenyum kecil. “Pintar.”
Presentasi berjalan lancar. Klien terlihat puas. Bahkan Bu Rina yang biasanya super kritis tampak lega. Saat meeting selesai, semua saling bersalaman, tertawa, dan memberi ucapan selamat.
Nadia dan Reyhan berdiri agak menjauh dari kerumunan. Untuk pertama kalinya, tak ada ketegangan di antara mereka.
"Kamu keren tadi," kata Reyhan.
Nadia menoleh, sedikit kaget. “Kamu juga... nggak terlalu nyebelin hari ini.”
Mereka tertawa kecil.
Dan saat itu, suara yang familiar memanggil.
“Nadia?”
Nadia membalik badan. Wajahnya langsung berubah.
Seorang pria berdiri di pintu ruang meeting. Rambutnya rapi, kemeja abu-abu, dan senyum lebar.
“Raka...?” suara Nadia hampir berbisik.
Reyhan menatap pria itu, lalu Nadia. Ekspresi wajahnya menegang kembali.
“Kamu kerja di sini sekarang?” tanya Raka, mendekat. “Lama banget nggak ketemu. Aku sempat cari kamu waktu itu...”
Nadia terlihat canggung. “Iya… aku baru mulai beberapa bulan terakhir.”
Reyhan menyela, suaranya tenang tapi dalam, “Teman lama?”
Raka menjabat tangan Reyhan. “Raka. Dulu saya dan Nadia pernah... ya, bisa dibilang dekat.”
Reyhan hanya mengangguk kecil. Tapi dalam dadanya, ada rasa yang tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tidak profesional, tidak logis... dan sangat mengganggu.
Nadia, di sisi lain, menunduk pelan. Karena hari itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, masa lalunya yang tak pernah ia selesaikan kembali muncul—di hadapan orang yang mulai perlahan mengisi hatinya.
Episode 5: Bukan Sekadar Teman Lama
Dua hari setelah presentasi sukses itu, suasana kantor masih sibuk tapi lebih longgar. Nadia duduk di mejanya, mencoba menyelesaikan laporan mingguan, tapi pikirannya sibuk memutar ulang pertemuan dengan Raka.
Raka. Mantan semacam itu yang nggak pernah jadi pacar, tapi juga bukan cuma teman. Dulu dekat, hampir jadian, lalu tiba-tiba menghilang—karena alasan klasik: "aku harus fokus karier dulu."
Dan sekarang? Tiba-tiba muncul di depan Reyhan, seperti episode drama Korea yang terlalu niat.
Notifikasi WhatsApp masuk.
📩 Raka: “Bisa ketemu buat makan siang hari ini? Kangen ngobrol kayak dulu.”
Nadia menatap pesan itu lama. Lalu dengan ragu-ragu, dia menjawab:
“Oke. Ketemu di lobi jam 12?”
Sementara itu, di ruang kerja Reyhan...
Reyhan memandangi layar laptopnya, tapi pikirannya jelas tidak fokus. Tadi pagi dia melihat Nadia tersenyum kecil saat membalas pesan di HP. Dan itu bukan senyum yang biasa dia lihat.
Dia mengetik beberapa kalimat di dokumen, lalu menghapusnya. Lalu mengetik lagi. Lalu menghapus lagi.
Akhirnya, ia berdiri, berjalan ke luar ruangannya.
12.05 - Lobi Gedung
Raka sudah duduk di sofa tunggu dengan kemeja putih santai dan senyum mudah akrab itu. Nadia datang, mencoba bersikap biasa.
“Masih sama ya, datang lebih cepat dari orangnya,” canda Nadia.
“Biar bisa lihat kamu dari jauh duluan,” jawab Raka santai. Masih jago bikin suasana cair. Tapi entah kenapa, sekarang itu terasa... agak basi.
Saat mereka berjalan ke luar, pintu lift terbuka. Reyhan keluar dengan ponsel di telinga. Saat melihat mereka, langkahnya melambat. Matanya bertemu mata Nadia.
“Pak Reyhan,” sapa Nadia cepat.
Reyhan mengangguk pelan. Tapi kemudian ia berkata, masih dalam nada tenang:
“Laporan revisi proposal yang saya minta, bisa dikirim sebelum sore ini, ya?”
Nadia agak kikuk. “Iya, Pak. Nanti saya kerjain setelah makan siang.”
Reyhan menatap Raka sejenak. “Selamat makan siang.”
Lalu pergi begitu saja, dingin. Tapi mata itu—Nadia bisa rasakan—bukan tatapan profesional. Itu tatapan seseorang yang... terganggu.
Sore harinya
Nadia kembali ke meja. Di monitor, ada email masuk dari Reyhan:
📧 Subjek: Feedback Desain Landing Page
“Pekerjaanmu minggu ini cukup rapi. Teruskan seperti itu.”
Komentar yang tidak terlalu penting, tapi tidak biasanya Reyhan repot mengirimkan pujian lewat email.
Dan di akhir pesannya, ada satu kalimat pendek:
“Semoga makan siangnya menyenangkan.”
Nadia membacanya tiga kali.
Ia tersenyum kecil.
“Bapak manajer mulai nggak konsisten sama prinsip ‘nggak suka drama’, nih…”
Episode 6: Jaga Jarak, Tapi Dekat
Sejak makan siang dengan Raka, suasana antara Nadia dan Reyhan berubah—bukan secara dramatis, tapi cukup terasa. Reyhan jadi lebih pendiam saat bicara dengan Nadia, lebih to the point dari biasanya, dan… lebih menjaga jarak.
Tapi lucunya, setiap kali Nadia merasa mulai tenang, Reyhan muncul lagi—entah lewat chat kerjaan yang diketik terlalu sopan, atau komentar santai yang terdengar terlalu pribadi untuk ukuran manajer.
Seperti sore itu.
Nadia sedang sendiri di pantry, menyeduh teh, ketika Reyhan masuk sambil membawa gelas kopi kosong.
Mereka diam cukup lama sebelum Reyhan berkata, “Kamu kelihatan lelah.”
“Biasa. Efek dua meeting dan satu Raka,” jawab Nadia, tanpa pikir.
Reyhan mengangkat alis. “Kamu memang masih dekat sama dia?”
Nadia menoleh cepat. “Maksudnya?”
Reyhan memasukkan kapsul kopi ke mesin. “Nggak apa-apa. Cuma tanya.”
“Tanya... sebagai manajer, atau sebagai... Reyhan?”
Mesin kopi mendesis pelan. Tapi suasana justru makin sunyi.
Reyhan menatap Nadia, tajam tapi tenang. “Sebagai seseorang yang mungkin mulai peduli.”
Kata-kata itu sederhana. Tapi berhasil membuat Nadia terdiam sepenuhnya.
Ia menatap Reyhan. Tak ada senyum di wajah pria itu. Tapi tatapannya cukup jujur untuk membuat dada Nadia terasa aneh.
Reyhan menunduk, mengambil kopinya, lalu berkata pelan, “Tapi aku tahu diri. Kita masih kerja bareng. Dan aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Nadia sendirian. Dengan teh yang kini rasanya berubah… jadi sedikit lebih manis.
Malam Hari - Chat Masuk
📩 Raka: “Minggu ini free nggak? Aku mau ngajak kamu ngopi di tempat yang dulu kita sering datengin.”
Nadia menatap layar ponselnya.
Tapi untuk pertama kalinya, ia ragu. Karena pikirannya justru mengulang kalimat yang baru diucapkan seseorang tadi siang:
“Sebagai seseorang yang mungkin mulai peduli.”
Episode 7: Lembur dan Luka Lama
Malam itu kantor mulai sepi. Tapi dua orang masih duduk di ruang kerja: Nadia dan Reyhan.
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Nadia sambil mengetik sisa laporan.
Reyhan tersenyum kecil. “Aku yang harus tanya. Kamu kan biasanya pulang sebelum jam 9 sekarang.”
“Aku butuh suasana sepi buat berpikir.”
Reyhan tertawa pelan. “Sama.”
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya Nadia bertanya:
“Kamu pernah jatuh cinta di kantor sebelumnya?”
Reyhan menoleh. “Kenapa tanya itu?”
“Penasaran aja. Kamu orangnya terlalu disiplin, kayaknya nggak bakal nyampur urusan pribadi.”
Reyhan menatap layar, lalu berkata, “Pernah. Dulu. Di cabang Singapura. Sama satu tim juga. Tapi berakhir... jelek. Karena aku lebih sayang sama pekerjaan daripada orangnya.”
Nadia menunduk. “Aku juga pernah. Bukan di kantor, tapi di kampus. Namanya Raka.”
Mereka saling menatap. Tidak saling tanya lebih jauh. Tapi cukup tahu: luka itu masih ada, dan pelan-pelan mulai disembuhkan... oleh kehadiran yang baru.
Episode 8: Raka yang Tak Mau Pergi
Beberapa hari setelah malam lembur itu, Raka muncul lagi.
Kali ini lebih intens. Menunggu Nadia di depan kantor, mengirimkan bunga ke meja kerjanya, bahkan mengirim pesan ke Bu Rina untuk menawarkan kerja sama proyek pribadi.
Reyhan tidak berkomentar apa pun. Tapi Nadia tahu: pria itu menjauh. Bicara lebih sedikit. Tak pernah lagi mampir ke pantry saat Nadia ada di sana.
Hingga akhirnya, Nadia memutuskan menemuinya di rooftop kantor.
“Kenapa kamu menjauh?” tanya Nadia.
Reyhan tidak langsung menjawab. Angin malam menyapu rambutnya.
“Aku pikir... kalau kamu masih punya urusan yang belum selesai sama dia, aku harus mundur.”
Nadia tersenyum miris. “Kamu pikir aku butuh waktu untuk memilih?”
Reyhan menatapnya dalam. “Kamu nggak perlu jawab sekarang.”
Nadia menggeleng. “Aku nggak perlu waktu. Aku udah tahu. Sama dia aku pernah berharap. Tapi sama kamu... aku baru kali ini merasa dilihat, bahkan saat aku nggak ngomong apa-apa.”
Episode 9: Pilihan yang Pasti
Hari itu, Nadia memanggil Raka untuk bicara. Di sebuah kafe kecil di dekat kantor.
“Raka, terima kasih sudah datang lagi. Tapi kita udah jalan ke arah yang beda. Aku sudah bukan aku yang dulu... dan kamu juga bukan orang yang bisa aku tunggu lagi.”
Raka menunduk, lalu mengangguk. “Kamu bener. Maaf udah ganggu.”
Dan seperti itu, masa lalu akhirnya selesai—bukan dengan luka, tapi dengan kejelasan.
Episode 10 (ENDING): Di Antara Deadline dan Cinta
Beberapa minggu kemudian, proyek besar lain datang. Nadia dan Reyhan kembali bekerja dalam satu tim. Tapi kali ini, dengan ritme yang berbeda. Lebih tenang. Lebih jujur.
Suatu malam, mereka kembali lembur. Tapi kali ini, tanpa stres, tanpa tekanan.
Reyhan menyodorkan dokumen ke Nadia. “Final draft. Kita berhasil lagi.”
Nadia mengambilnya. “Tahu nggak, dulu aku pikir kamu nggak punya hati.”
Reyhan tersenyum. “Dulu aku pikir kamu cuma cewek ambisius yang susah diajak kompromi.”
Mereka tertawa.
Lalu Reyhan berkata, pelan, tapi pasti:
“Setelah proyek ini selesai… boleh nggak kalau kita jalan, bukan sebagai manajer dan staf, tapi sebagai aku dan kamu?”
Nadia menatapnya. Lama. Lalu mengangguk.
“Aku tunggu kamu bilang itu dari dulu.”
Dan akhirnya, di tengah deadline, revisi, dan lembur yang tiada akhir—cinta pun menemukan waktunya sendiri.
Penutup (Epilog)
Setahun kemudian, Nadia dipromosikan jadi kepala divisi kreatif. Reyhan pindah ke posisi regional. Tapi hubungan mereka tak lagi rumit—karena mereka sudah cukup dewasa untuk tahu, cinta yang tumbuh perlahan justru yang paling kuat.
Komentar
Posting Komentar