Di Balik Tatapan Tajam

 Di Balik Tatapan Tajam




Bab 1: Bayangan yang Menjaga

Namanya Alya. Usianya 32 tahun, seorang pemilik galeri seni di Jakarta yang kariernya sedang melejit. Beberapa bulan terakhir, Alya menerima ancaman anonim setelah ia menolak menjual salah satu lukisan langka kepada kolektor asing berpengaruh. Demi keamanan, keluarganya memaksa untuk menyewa seorang bodyguard.

Lalu datanglah Damar.

Pria tinggi dengan postur tegap, rahang kokoh, dan mata yang tak pernah tersenyum. Ia adalah mantan anggota pasukan khusus, dibayar mahal, dan hampir tak pernah bicara lebih dari yang diperlukan.

Awalnya Alya terganggu dengan kehadirannya. Ia merasa diawasi setiap saat, tak bebas, bahkan saat di ruang studio pribadinya. Tapi seiring waktu, dia mulai memperhatikan hal-hal kecil: cara Damar berdiri selalu membelakangi cahaya agar matanya bisa melihat lebih jelas, bagaimana ia selalu berdiri setengah meter di belakangnya—cukup dekat untuk melindungi, tapi cukup jauh untuk memberi ruang.

Suatu malam, setelah sebuah pameran yang berlangsung hingga larut, Alya merasa lelah dan gugup. Ancaman baru saja datang lewat surat, lebih jelas dan mengerikan. Ia duduk di sofa galeri, memandangi lukisan abstrak buatannya sendiri. Damar berdiri diam di sudut ruangan, tapi matanya terus memperhatikan.

"Kenapa kamu nggak pernah bicara padaku, kecuali soal protokol dan rute pelarian?" tanya Alya tiba-tiba, nadanya letih.

Damar menatapnya. Hening sejenak. "Karena tugas saya melindungi, bukan mendekati."

Alya tersenyum tipis. "Lalu kalau aku ingin kamu mendekat?"

Damar tak langsung menjawab. Ia melangkah pelan, duduk di sofa seberang Alya. Untuk pertama kalinya, ia menatapnya bukan sebagai klien, tapi sebagai perempuan.

"Kalau kamu minta... aku bisa berhenti jadi penjagamu," katanya pelan. "Tapi kalau tidak, aku harus tetap menjaga jarak."

Alya menatapnya lekat. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Rasa takut, rasa ingin, dan mungkin... rasa yang tak pernah ia beri nama sejak lama.

Bab 2: Jarak yang Semakin Tipis

Keesokan harinya, suasana di galeri sedikit berbeda. Alya bangun lebih awal, membuat kopi sendiri, dan menata ulang beberapa lukisan di dinding. Ia tahu Damar sudah berada di area rumah, mengawasi dari jauh. Selalu seperti itu — tak terlihat, tapi terasa.

Saat ia turun dengan kemeja putih longgar dan rambut setengah basah, Damar berdiri di dapur dengan ponsel di tangan. Ia langsung memalingkan wajahnya saat melihat Alya, nyaris refleks. Namun, mata mereka sempat bertemu. Dan kali ini, tak satu pun berpaling.

"Aku akan ke studio siang ini. Mau ikut, atau tetap jaga di luar?" tanya Alya sambil menuang kopi ke cangkir kedua.

Damar menerima cangkir itu, ragu, tapi menerimanya juga. "Saya tetap ikut."

"Baik," katanya dengan nada lebih lembut dari biasanya. "Tapi jangan berdiri di luar. Temani aku."

Studio itu berlokasi di sebuah bangunan kecil di belakang rumah — sunyi, penuh aroma cat minyak, kain kanvas, dan debu kayu. Di sana, hanya ada mereka berdua.

Beberapa jam berlalu tanpa kata. Alya melukis, Damar duduk diam membaca buku yang ia bawa sendiri. Namun, udara di antara mereka menghangat. Di sela-sela goresan kuas, Alya melirik Damar. Lengan-lengan tegap itu disilangkan di dada, garis rahangnya menegaskan ketegangan yang ia pendam.

"Aku selalu penasaran... pernahkah kamu jatuh cinta pada seseorang yang kau jaga?" tanyanya tiba-tiba, pelan, seperti gumaman.

Damar menutup bukunya. "Saya tidak boleh."

"Itu bukan jawaban."

Ia berdiri. Langkahnya perlahan. Mendekat ke kanvas Alya, lalu berdiri tepat di belakangnya. Nafasnya terdengar. Hangat. Berat.

"Sekali," katanya pelan. "Dan itu berbahaya."

Alya berbalik. Damar berdiri begitu dekat kini. Terlalu dekat untuk hanya sekadar penjaga. Dan tak cukup jauh untuk pura-pura acuh.

Ia menatap matanya. Lalu, tanpa aba-aba, jemarinya menyentuh wajah Alya. Lembut. Ragu. Namun tetap tinggal di sana, seperti tak ingin pergi lagi.

"Apa kamu takut?" tanya Damar, suaranya serak.

Alya tak menjawab. Tapi dia menutup matanya. Dan saat Damar mencium dahinya — bukan bibirnya, belum — ada gemetar halus dalam pelukannya. Bukan karena takut.

Tapi karena akhirnya, dua orang yang terlalu lama menahan diri... mulai mengakui perasaan mereka.

Bab 3: Malam Tanpa Bayangan

Hujan turun sejak sore. Deras dan tanpa jeda, membasahi jendela studio tempat Alya dan Damar masih berada. Mereka tak berniat pulang. Entah karena hujan... atau karena keduanya merasa, malam itu memang belum boleh berakhir.

Alya duduk di lantai kayu, membelakangi jendela. Kaos tipisnya sudah terkena noda cat, dan rambutnya ia kepang malas. Damar berdiri tak jauh, punggungnya bersandar ke dinding, tapi pandangannya tak bisa lepas darinya.

"Kenapa kamu selalu terlihat seperti kamu sedang menahan sesuatu?" tanya Alya, lirih.

Damar mendekat. Setiap langkahnya terasa berat, seolah menapaki batas yang tak seharusnya dilanggar. Tapi malam ini, tak ada garis yang ditarik. Tak ada protokol.

"Aku menahan semuanya, Alya," bisiknya.

Ia duduk di depan Alya, berlutut. Jemarinya menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya agar mereka bisa saling menatap. Hujan jadi senyap. Hanya ada napas, tatapan, dan keinginan yang tak lagi bisa disangkal.

Alya menyentuh lengan Damar. Perlahan. Lalu membiarkan jemarinya menyusuri garis bahunya, lalu dadanya. Merasakan ketegangan, kehangatan, dan detak yang nyata di balik kulit dan otot yang selama ini hanya jadi perisai.

"Kamu nggak harus menahan malam ini," ucap Alya, nyaris seperti doa.

Damar menarik napas dalam. Lalu mendekat. Bibir mereka akhirnya bertemu — pertama kali, namun terasa seperti akhir dari penantian panjang. Ciumannya lembut, namun berisi. Seperti ia mencurahkan semua yang selama ini ditahan: rasa, kerinduan, ketakutan.

Punggung tangan Damar menyusuri garis rahang Alya, turun ke lehernya. Ia memperlakukannya seperti karya seni—perlahan, penuh hormat. Tak tergesa. Karena tak ada yang perlu diburu malam itu.

Saat Damar memeluknya, tubuh mereka menyatu bukan hanya karena gairah, tapi karena keterhubungan. Kulit bertemu kulit, tapi yang terasa lebih dalam adalah kepercayaan yang tumbuh di tengah bahaya, dan cinta yang lahir tanpa pernah direncanakan.

Di lantai kayu yang dingin, mereka menghangatkan satu sama lain. Tak ada kata yang diucapkan setelah itu. Hanya detak jantung yang seirama, napas yang melebur, dan pelukan yang terasa... seperti rumah.

Malam itu, tidak ada bayangan. Tidak ada masa lalu. Hanya dua jiwa yang akhirnya saling menerima. Sepenuhnya.

Bab 4: Setelah Senyap

Pagi datang pelan-pelan, tapi tak mampu menghapus jejak malam itu. Matahari menyelinap lewat celah jendela studio, menyinari kanvas, cat kering, dan dua sosok yang masih berdiam dalam diam.

Alya membuka matanya lebih dulu. Ia masih bersandar di dada Damar, mendengar detak jantungnya yang tenang. Untuk sesaat, semuanya terasa seperti dunia tak lagi berbahaya.

Damar membelai pelan rambutnya. Tak bicara, hanya menghela napas panjang. Tak ada penyesalan, tapi ada pertanyaan dalam tatapannya — apakah ini akan mengubah segalanya?

“Pagi,” ucap Alya dengan suara serak.

Damar membalas dengan ciuman singkat di dahinya. Hangat. Namun tatapannya tak sepenuhnya tenang. Ia sudah berpakaian rapi, jaket hitamnya tergantung di kursi studio.

"Aku harus bilang sesuatu," katanya akhirnya.

Alya duduk tegak, menarik selimut yang tadi hanya jadi alas. “Kalau kamu akan bilang ini salah… jangan. Aku tidak menyesal.”

Damar menggeleng. “Aku juga nggak menyesal. Tapi... aku pernah kehilangan seseorang karena aku gagal jadi penjaga, karena aku terlalu dekat. Dan sejak itu, aku bersumpah nggak akan biarkan perasaan ganggu instingku lagi.”

Alya menatapnya. “Kamu pikir aku akan membuatmu gagal?”

“Tidak. Justru itu masalahnya. Aku terlalu ingin menjagamu bukan karena tugas. Tapi karena kamu…” Ia berhenti. Mencari kata. “...karena kamu satu-satunya hal yang terasa lebih penting daripada aturan yang kupatuhi.”

Suasana kembali sunyi. Tapi kali ini, bukan canggung. Melainkan rapuh. Jujur.

Sebelum Alya sempat membalas, ponsel Damar bergetar. Ia melihat layar — ekspresinya langsung berubah.

“Ada ancaman baru?” tanya Alya, tajam.

Damar berdiri. “Ada orang tak dikenal terekam kamera depan rumah. Mereka datang malam tadi, waktu hujan. Mungkin tahu kamu ada di studio. Tapi... mereka pergi begitu saja.”

Alya berdiri, tubuhnya masih diselimuti kain tipis. “Kenapa tidak bilang dari tadi?”

Damar menatapnya lekat. “Karena aku lebih takut kehilangan kamu... daripada semua itu.”

Diam. Tatapan mereka bertabrakan. Tapi bukan karena marah — karena perasaan yang kini tak bisa lagi disangkal. Cinta yang tumbuh di tengah bahaya, dan makin kuat justru karena ancaman itu nyata.

Alya melangkah mendekat. Menyentuh wajah Damar. “Kita tidak bisa pura-pura nggak terjadi apa-apa. Tapi kita juga tidak bisa berhenti merasa. Aku nggak mau jadi bebanmu, Damar. Tapi aku juga nggak mau kehilanganmu hanya karena kamu takut peduli terlalu dalam.”

Damar memejamkan mata. Lalu menarik Alya ke dalam pelukan, seolah berjanji — bukan dengan kata-kata, tapi dengan pelukan yang menolak melepaskan.

Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi pagi itu, setelah malam yang mengubah segalanya, satu hal pasti:

Mereka bukan lagi hanya penjaga dan yang dijaga.
Mereka adalah dua jiwa... yang saling memilih, meski dunia mungkin menolaknya.

Bab 5: Bayangan dari Masa Lalu

Sudah tiga hari sejak malam itu. Tiga hari di mana Alya dan Damar hidup dalam dunia kecil mereka — sunyi, penuh ketegangan lembut, dan pelukan yang terasa lebih bermakna dari kata-kata.

Namun, bayangan masa lalu mulai menyusup lewat celah kenyamanan.

Pagi itu, Damar menerima paket kecil tanpa nama di teras rumah Alya. Isinya: sebuah USB drive dan selembar kertas kosong, kecuali satu kalimat tercetak rapi:

“Kau gagal sekali. Jangan ulangi.”

Damar menyembunyikannya dari Alya.

Tapi pikirannya tak bisa tenang.


Malam harinya, mereka duduk di balkon rumah. Angin malam bertiup pelan, aroma bunga melati dari taman Alya menyusup di antara percakapan ringan.

Alya menyender pada bahu Damar. "Kamu lagi jauh," katanya pelan. "Sejak pagi."

Damar menatap langit gelap. “Kamu percaya kalau semua orang bisa menebus kesalahan?”

Alya mengangkat wajah. “Kamu masih dihantui masa lalu itu, ya?”

Ia mengangguk.

“Aku kehilangan seseorang dalam misi,” katanya akhirnya. “Wanita. Dia bukan pacar. Tapi dia… mempercayakan hidupnya padaku. Dan aku… lambat.”

Alya terdiam. Lalu menggenggam tangan Damar.

“Kamu tidak harus menebus semuanya dengan menyiksa diri. Apa yang kamu lakukan sekarang… itu sudah cukup.”

Damar menoleh padanya. “Belum. Karena orang yang bertanggung jawab atas kematian dia… sekarang mendekat ke kamu.”

Alya membeku. “Apa maksudmu?”

Ia bangkit, masuk ke kamar, dan kembali dengan laptop serta USB. Ia tunjukkan video dari rekaman drive itu. Seorang pria, wajahnya sebagian tertutup topi dan bayangan, berdiri di luar pagar rumah. Namun suara di latar jelas:

“Kamu sudah main terlalu dekat dengan targetmu, Damar. Kau ulangi kesalahan itu, dan dia pun akan hilang.”

Alya menatap layar, lalu menatap Damar. “Siapa dia?”

Damar duduk perlahan, seperti beban lama kembali merangkak ke pundaknya. “Namanya Ray. Dulu rekan. Sekarang... orang yang hidup dari kekacauan. Dia tahu kelemahanku. Sekarang dia tahu... kamu itu.”

Alya menggigit bibirnya. “Kamu harus pergi dariku. Sekarang juga.”

Damar berdiri, marah. “Jangan bilang itu lagi. Aku nggak akan pergi. Aku pernah kehilangan orang yang tak bisa kubilang aku cintai... dan sekarang, aku nggak akan kehilangan yang benar-benar aku cintai.”

Keheningan jatuh. Kata cinta itu menggantung di udara.

Alya menatapnya lama. “Kamu yakin ini cinta?”

Damar berjalan ke arahnya. Memeluknya dari belakang. Bibirnya menyentuh bahu Alya dengan lembut. “Yakin. Aku baru tahu bagaimana rasanya takut kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar tugas.”

Alya menutup matanya. Ketakutan dan cinta bersatu dalam satu tarikan napas.


Malam itu, mereka tidur dalam pelukan. Tapi Damar tidak benar-benar terlelap. Ia duduk di pinggir ranjang, berjaga, satu tangan di balik punggungnya menggenggam pistol kecil.

Dan di luar rumah, di balik bayang pepohonan, seseorang sedang memperhatikan dari jauh.

Menunggu waktu.
Menunggu celah.

Dan Damar tahu... ini baru permulaan.

Bab 6: Saat Bayangan Menyerang

Malam ketujuh.

Rumah Alya telah dilengkapi sistem keamanan baru. Kamera di setiap sudut, sensor gerak, dan akses hanya dengan sidik jari. Tapi bagi seseorang seperti Ray, teknologi hanya tantangan — bukan penghalang.

Damar tahu itu. Sebab Ray tidak seperti penjahat biasa. Ia mantan seperti dirinya. Terlatih. Pintar. Dan yang paling berbahaya: ia tidak punya apa-apa untuk hilang.

Damar menyimpan semua file tentang Ray di dalam laptop terenkripsi. Tapi malam itu, saat ia membuka salah satu arsip lama, ia menemukan sesuatu yang membuat dadanya menegang:

Denah rumah Alya — lengkap, termasuk jalur masuk rahasia dari sisi barat.

Dia langsung bangkit. Berlari keluar kamar. “Alya!” panggilnya.

Tak ada jawaban.

Pintu studio belakang terbuka sedikit, berayun karena angin. Hujan turun lagi. Seolah malam itu ditulis dengan naskah yang sama seperti malam-malam kelam di masa lalu Damar.

Damar mencabut pistolnya. Nafasnya ditahan, langkahnya senyap.

Lalu, suara pelan terdengar dari balik studio: derak kayu, lalu suara samar— suara seseorang menyebut nama Alya, seperti bisikan.

Dan itu bukan suaranya.

“Ray…” gumamnya.


Di Dalam Studio

Alya terbangun karena suara kaca pecah. Kepalanya terasa berat, ada kabut di pikirannya. Sebuah kain tergeletak di dekat hidungnya—bau kimia menyengat. Obat bius.

Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya lemas.

Dari balik bayangan, seseorang muncul.

“Selalu kamu, ya, yang bikin dia lemah…” suara itu serak, familiar, tapi asing. “Dulu si Maya. Sekarang kamu.”

Alya mengenali namanya. Maya — wanita yang dulu pernah disebut Damar.

“Kenapa kamu lakukan ini?” gumam Alya dengan sisa kekuatan.

Ray tersenyum miring. “Karena dia harus tahu. Cinta membuatnya lambat. Cinta bikin dia ceroboh. Dan aku... akan jadi pengingatnya.”

Tiba-tiba — DOR!

Suara tembakan memecah studio. Ray tersentak. Peluru hanya menggores bahunya, tapi cukup untuk menjatuhkannya.

Damar menerobos masuk, tubuhnya basah karena hujan. Sorot matanya dingin, seperti kembali jadi prajurit — tapi kali ini, dengan alasan yang jauh lebih pribadi.

“Lepaskan dia,” desisnya.

Ray tertawa, walau darah mengucur. “Akhirnya kamu datang juga… Tapi kamu tahu, kan? Kamu sudah kalah dari detik kamu jatuh cinta padanya.”

Damar tidak menjawab. Ia maju, menendang pistol dari tangan Ray, lalu menarik Alya ke pelukannya. “Kamu oke?” tanyanya cepat.

Alya hanya mengangguk, tubuhnya lemas tapi sadar. Ia melihat wajah Damar — penuh luka, tapi juga ketakutan. Bukan karena Ray. Tapi karena nyaris kehilangan dirinya.

Beberapa detik kemudian, suara sirene mulai terdengar. Damar sudah memanggil bantuan sebelum masuk. Ray hanya duduk, darah di bajunya, tersenyum tipis.

“Kalian cocok,” katanya sebelum dibawa keluar. “Dua orang yang pikir cinta bisa melindungi semuanya.”


Setelah Penyerangan

Damar membersihkan luka Alya di ruang tamu. Tangannya gemetar sedikit saat menempelkan kapas ke luka kecil di pelipisnya.

“Kamu masih bisa pergi,” kata Alya pelan. “Tapi kalau kamu tetap di sini, kamu akan selalu... jadi sasaran.”

Damar menghentikan tangannya. Menatapnya. “Kalau aku pergi, itu karena aku pengecut. Dan aku bukan pengecut.”

Ia menggenggam tangan Alya. “Kamu bukan beban. Kamu tujuan. Dan kalau aku harus bertarung lagi dan lagi... aku akan lakukan. Asal kamu tetap hidup. Tetap bersamaku.”

Alya tersenyum. Menahan air mata.

“Kita mungkin nggak pernah punya hidup yang normal, Damar. Tapi aku lebih pilih hidup yang berbahaya bersamamu... daripada aman tanpamu.”

Mereka berciuman. Kali ini bukan pelampiasan, bukan pelarian. Tapi janji. Bahwa apa pun yang terjadi... mereka akan berdiri berdampingan.

Dengan luka.
Dengan cinta.
Dan keberanian untuk memilih satu sama lain.

Bab 7: Luka, Luka yang Bertaut

Dua hari setelah penyerangan, rumah Alya jadi hening. Tidak lagi mencekam seperti malam itu, tapi juga belum kembali seperti semula.

Alya duduk di taman belakang, mengenakan hoodie kebesaran milik Damar, menyesap teh hangat. Pandangannya kosong. Tapi pikirannya sibuk. Setiap detik kejadian itu masih berputar seperti film patah-patah di kepalanya.

Damar muncul dari dalam rumah, membawa dua handuk kecil dan selimut. Ia sudah lebih pulih, tapi ada bekas luka gores di pelipis dan lengannya — kenang-kenangan dari malam yang mengubah segalanya.

Ia duduk di samping Alya. Memberikan selimut tanpa bicara.

“Damar,” kata Alya akhirnya, lirih. “Kamu tahu... aku juga punya luka.”

Damar menoleh.

“Bukan yang kamu bisa lihat,” lanjutnya. “Sebelum kamu jadi pengawalku, sebelum semua ini... aku pernah pacaran sama seseorang yang terlihat sempurna di mata publik. Artis. Aktor. Semua orang bilang kami pasangan ideal.”

Damar mendengarkan. Wajahnya tenang, tapi fokus.

“Dia juga pengontrol. Manipulatif. Kalau aku senyum di depan umum, dia bilang aku genit. Kalau aku diam, dia bilang aku dingin. Aku pernah diancam. Dipermalukan. Tapi tak pernah ada yang tahu. Karena aku terlalu pintar menyembunyikannya. Aku terlalu takut orang melihat aku lemah.”

Damar menyentuh tangan Alya. Menggenggamnya perlahan, seolah berkata: kamu tidak sendiri.

“Jadi waktu kamu muncul… tenang, kuat, tapi juga sabar… aku takut. Aku pikir kamu akan jadi dia. Atau lebih buruk... aku yang akan menghancurkan kamu.”

Damar menggeleng. “Aku nggak datang untuk menyelamatkan kamu, Alya. Kamu bukan korban. Kamu orang paling kuat yang pernah aku kenal.”

Ia mencondongkan tubuh, mencium tangan Alya. “Tapi kalau kamu mau, aku akan jadi tempat kamu bersandar. Di saat kamu lelah... bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu layak dijaga juga.”

Air mata Alya mengalir tanpa suara.

Dan malam itu, di antara cahaya lampu taman dan langit gelap yang mulai jernih, mereka saling bicara tanpa suara. Hanya dengan genggaman. Dengan dada yang perlahan tak sesak lagi.

Mereka bukan dua orang yang sempurna. Tapi mereka saling memahami luka. Dan dari sanalah cinta itu tumbuh — bukan dari kesempurnaan, tapi dari keberanian untuk tetap tinggal meski tahu isi luka masing-masing.

Bab 8: Hening Sebelum Badai

Sudah satu minggu sejak insiden itu.

Alya dan Damar mencoba kembali hidup — bukan seperti sebelumnya, tapi versi baru: lebih sadar, lebih jujur, dan lebih… saling menjaga.

Studio Alya kembali terang. Ia mulai melukis lagi, dan Damar—meski masih memasang sistem pengamanan ganda—lebih sering duduk di dalam ruangan, membiarkan dirinya menjadi bagian dari proses Alya.

Pagi itu, hujan turun tipis. Alya berdiri di depan kanvas, mengenakan tank top longgar dan celana linen putih. Lukisannya belum selesai — hanya garis kasar tubuh seseorang. Tegas, namun ada kelembutan di tiap goresannya.

“Lukisan itu… aku?” tanya Damar dari ambang pintu.

Alya tersenyum. “Separuh kamu. Separuh imajinasiku tentang kamu sebelum aku kenal kamu lebih dalam.”

Damar melangkah pelan ke arahnya. Tangannya menyentuh punggung Alya, lalu turun ke pinggangnya. “Dan sekarang, kamu kenal aku sepenuhnya?”

Alya menoleh. “Belum. Tapi aku ingin.”

Ciuman mereka pelan. Tidak terburu. Tidak meledak. Hanya dua orang yang mulai belajar memeluk rasa, tanpa takut lagi disakiti oleh masa lalu.

Damar mengangkat tubuh Alya ke atas meja kerja, tubuh mereka saling menyatu tanpa kata. Bukan pelarian. Tapi pengakuan.

Keringat, bisikan, tarikan napas yang saling mencari ritme.

Setelahnya, mereka hanya berbaring di lantai studio, saling memandang dalam diam. Udara masih basah oleh hujan. Dunia terasa tertahan.


Namun kedamaian itu tak lama.

Ponsel Alya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Cantik lukisanmu, Alya. Tapi yang kulihat lebih indah adalah cara dia menyentuhmu. Kamera kecil di atas jendela lupa kau bersihkan."

Alya langsung duduk, wajahnya pucat.

Damar membaca pesan itu. Ekspresinya berubah — rahangnya mengeras, mata penuh api. Ia berlari ke jendela, memanjat sisi luar rumah, dan menemukan sebuah kamera kecil tersembunyi di celah ventilasi studio.

Ia cabut alat itu, matanya gelap.

“Alya, dia belum selesai. Ini belum berakhir.”


Malamnya, Damar menghubungi kontak lamanya — seseorang dari unit khusus yang dulu satu tim dengannya. Hanya ada satu pesan yang ia kirim:

“Ray punya kaki tangan. Dia main lebih dalam. Butuh akses penuh. Kali ini... kita bawa pulang semuanya.”

Lalu ia menoleh ke Alya, yang kini duduk di tangga rumah, bungkam, tapi tak lagi terlihat takut.

“Aku nggak akan lari, Damar,” katanya.

Damar mengangguk. “Dan aku nggak akan biarkan kamu sendirian lagi.”

Dalam keheningan malam itu, ada badai yang sedang merayap pelan ke arah mereka.

Tapi Alya dan Damar kini berdiri berdampingan.
Tak lagi sebagai pengawal dan yang dijaga.
Melainkan sebagai dua jiwa yang siap bertempur — untuk cinta, dan untuk kebebasan dari masa lalu mereka.

Bab 9: Jejak dalam Bayangan

Damar menatap layar laptopnya, sorot mata penuh fokus. Di sebelahnya, Alya duduk diam. Ia tak lagi menjadi penonton pasif dalam hidupnya sendiri. Kini, ia ingin tahu. Ingin ikut. Karena bahaya ini bukan lagi milik Damar saja — ini milik mereka berdua.

“Ada IP address aktif terhubung ke kamera itu dua hari lalu,” gumam Damar, mengetik cepat. “Dilacak ke server anonim. Tapi pola datanya familiar.”

“Ray?” tanya Alya.

“Bisa dia, bisa orangnya. Tapi satu hal pasti: mereka ada di kota ini. Dekat. Dan mereka tahu setiap gerakan kita.”

Damar menatap Alya sejenak. “Mulai sekarang, kamu nggak keluar rumah tanpa aku. Bahkan ke taman.”

Alya menahan napas. “Aku nggak suka dikurung, Dam…”

“Aku tahu. Tapi ini bukan tentang mengurung. Ini tentang menjagamu tetap hidup.” Nadanya tegas, tapi penuh ketulusan.

Alya mengangguk pelan. Tak suka, tapi percaya.


Malamnya, Damar pergi menemui seseorang. Seorang mantan analis data di unit khusus: Raka, yang kini hidup di bawah radar.

Raka membuka pintu apartemennya dengan waspada. “Lama nggak lihat kamu, Dam. Kupikir kamu udah mati di luar negeri.”

“Masih hidup. Tapi sekarang ada yang lebih penting dari nyawaku sendiri.”

Raka mengangkat alis. “Cewek?”

“Bukan cuma itu. Dia jadi target. Dan Ray masih hidup.”

Kalimat itu membuat Raka terdiam. Tangannya otomatis membuka komputer pribadinya.

“Kalau Ray aktif lagi… kita harus siapin skenario terburuk.”


Di rumah, Alya membuka lukisan yang ia sembunyikan lama — lukisan dirinya, duduk membelakangi kaca, dengan bayangan seorang pria berdiri jauh di belakangnya. Ia melukis ini saat masih bersama pria yang dulu menyakitinya.

Lukisan itu menyedot emosi yang belum sempat ia keluarkan. Luka yang mengeras tanpa pernah dijahit.

Kini, ia berdiri. Mengambil kuas, dan mulai melukis ulang. Menutup bayangan pria itu. Mengubah pose dirinya — bukan lagi membelakangi dunia, tapi menghadap cahaya.

Dan saat Damar kembali malam itu, ia melihatnya.

“Lukisan yang sama?”

“Tidak,” jawab Alya. “Ini lukisan baru. Tentang seseorang yang tidak takut lagi.”


Dini hari, 02.43 WIB.

Sebuah mobil hitam tanpa plat berhenti 200 meter dari rumah Alya.

Dari dalamnya, seorang pria muda, tubuh kurus, wajah seperti baru lulus pelatihan militer, turun. Di tangannya, selembar foto Alya dan Damar, diambil dari sudut tersembunyi — dari malam mereka berpelukan di balkon.

Pria itu bicara lewat earphone kecil.

“Target masih utuh. Perintah?”

Sebuah suara menjawab. Serak, dingin. “Buat dia takut. Tapi jangan sentuh dia… dulu.”

Pria itu berjalan ke arah pagar rumah Alya, menempelkan satu benda kecil di bawah jendela studio — alat perekam suara.

Lalu menghilang dalam bayangan, seperti angin malam yang tak bersuara.


Pagi berikutnya

Damar bangun lebih cepat dari biasanya. Nalurinya memberontak. Ada sesuatu yang terasa tidak benar.

Ia memeriksa jendela studio. Dan menemukannya.

Alat perekam suara. Aktif. Baru.

Ia meremas alat itu, matanya menyala marah. Kali ini, mereka benar-benar melewati batas.

“Alya!” serunya.

Alya keluar dari dapur. “Ada apa?”

“Kita harus pindah. Sekarang. Mereka nggak cuma mengintai. Mereka main psikologis.”

Alya menatapnya. “Kamu yakin kamu sanggup menghadapinya? Bukan hanya sebagai bodyguard. Tapi sebagai orang yang... bisa kehilangan segalanya.”

Damar mendekat. Mencengkeram wajah Alya lembut, menatap matanya dalam.

“Aku nggak akan kalah. Bukan kali ini. Karena sekarang, aku punya sesuatu yang layak aku perjuangkan sepenuhnya.”

Bab 10: Pelarian dan Pengkhianatan

Mobil SUV hitam itu melaju tanpa suara di jalanan pedalaman, meninggalkan rumah Alya — dan seluruh rasa aman yang pernah melekat padanya — di belakang.

Damar mengemudi dengan satu tangan, tangan satunya memegang ponsel berisi daftar koordinat tempat persembunyian yang hanya diketahui oleh satu orang: Raka.

“Kamu yakin tempat ini aman?” tanya Alya, menatap hutan pinus yang menjulang di luar jendela.

“Kalau Raka bohong, kita udah ditangkap sejam lalu,” jawab Damar.

“Dan kalau dia pengkhianat?”

Damar tak langsung menjawab. Tapi rahangnya mengeras.


Tiga jam kemudian, mereka tiba di sebuah vila kecil tersembunyi di antara lembah. Bekas markas observasi dari era militer yang tak pernah tercatat resmi. Raka sudah menunggu, mengenakan jaket kulit dan menyalakan api unggun di dalam.

“Ada sinyal aneh waktu kalian keluar Jakarta,” katanya tanpa basa-basi. “Kamu dibocorkan seseorang dari dalam.”

“Dari dalam mana?” tanya Damar.

Raka mengangkat bahu. “Bisa orang yang pernah kerja bareng kamu. Bisa... seseorang dari masa lalu Alya juga.”

Mata Alya menegang.

“Siapa maksudmu?” bisiknya.

Raka menatapnya sebentar. “Mantan kamu itu, artis yang doyan citra... Arya?”

Alya menghela napas, wajahnya langsung dingin. “Mustahil. Dia sibuk main film, keliling negeri, image-nya bersih.”

“Justru itu. Kalau bersih, dia punya banyak yang disembunyikan.”


Malam itu, Damar duduk sendirian di beranda vila. Senjata di sampingnya. Tapi pikirannya tak sepenuhnya fokus ke ancaman luar.

Ia berpikir soal Alya. Soal bagaimana hubungan mereka melaju begitu cepat — tapi juga terasa begitu nyata. Cinta yang lahir dari kejujuran, bukan kenyamanan.

Alya keluar membawakan teh. Ia duduk di sebelah Damar, bersandar di bahunya.

“Kalau aku ternyata punya bagian dari masa lalu yang... bisa membahayakan kamu, kamu akan tetap bertahan?”

Damar menatapnya. “Aku jatuh cinta ke kamu, bukan ke masa lalumu.”

Alya memejamkan mata, pelan. “Mungkin kita butuh lebih dari cinta kali ini.”


Keesokan paginya, Raka pergi keluar sebentar untuk mengamankan sinyal komunikasi. Tapi dua jam lewat, ia tak kembali.

Damar mulai curiga. Ia memeriksa peralatan di ruang tengah.

Satu hal membuatnya menggigil:

Server pengaman Raka telah disusupi — 36 menit yang lalu.

“Dia dijebak,” gumamnya. Atau... lebih buruk: Raka menjebak mereka.

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara deru mesin terdengar dari kejauhan. Empat motor trail mendekat cepat.

Damar menarik tangan Alya. “Ke belakang! Sekarang!”

Mereka lari ke gudang tua di belakang vila. Di dalamnya: terowongan rahasia — Raka pernah menyebutnya sebagai sisa saluran pelarian zaman dulu.

Saat mereka masuk dan menutup pintu belakang, suara ledakan mengguncang vila.

Alya menoleh ke Damar. “Kalau Raka berkhianat…”

“Aku bunuh dia sendiri,” sahut Damar, dingin.


Di ujung terowongan, mereka menemukan kendaraan darurat: sepeda motor tua, tapi cukup untuk dua orang.

Saat menyalakan mesin, ponsel Damar bergetar.

Satu pesan.

Dari nomor tak dikenal.

“Arya ingin kau tahu: dia juga tahu cara mencintai. Tapi caranya... sedikit lebih abadi.”

Damar tak berkata apa-apa. Ia hanya menunjukkan pesan itu ke Alya.

Wajah Alya langsung pias.

“Itu… kalimat yang pernah dia bisikkan ke aku. Dulu. Waktu dia pertama kali marah besar.”

Damar tahu, pertempuran mereka barulah dimulai. Dan musuh kali ini tidak sekadar Ray, bukan cuma jaringan. Tapi orang-orang yang tahu cara menyakiti dari dalam.

Bab 11: Cinta di Tengah Target

Sepeda motor tua meluncur deras di jalanan berliku, melewati hutan dan perbukitan. Damar memacu laju kendaraan, sementara Alya menatap jauh ke depan, wajahnya tegang namun bertekad.

“Kita nggak bisa terus lari,” ucap Alya pelan.

Damar mengangguk, mata tak lepas dari jalan. “Aku tahu. Kita harus balik dan hadapi ini. Biar semuanya selesai.”

“Kalau kita salah langkah, aku bisa hilang lagi, Dam,” suara Alya bergetar. “Tapi kalau kita terus lari, aku cuma menunda kematian.”

Damar menghela napas, lalu menggenggam tangan Alya di tangannya. “Kita nggak akan biarkan itu terjadi. Kita hadapi, bareng-bareng.”


Malam itu, mereka tiba di sebuah gudang kosong di pinggir kota — markas baru yang disiapkan Raka sebelum pengkhianatan.

Di dalam, mereka mulai menyusun rencana. Damar membuka laptop, menampilkan peta kota dan lokasi-lokasi strategis.

“Arya pasti ada di balik semua ini,” kata Damar serius. “Dia pengkhianat paling licik yang pernah aku kenal.”

Alya mengangguk. “Dia juga yang pernah aku cintai… dan mungkin masih ada sisa-sisa itu.”

Damar menatapnya. “Apa kamu siap menghadapi dia? Bukan cuma sebagai musuh, tapi juga sebagai masa lalu yang ingin kau lawan?”

Alya menatap balik, penuh tekad. “Aku nggak bisa lari dari masa lalu, tapi aku bisa tentukan masa depan. Bersamamu.”


Mereka berbagi ciuman dalam keheningan, penuh arti.

Namun tiba-tiba, suara notifikasi ponsel memecah keheningan.

Pesan dari nomor tak dikenal:

“Tahu di mana kalian sekarang. Siapkan diri.”

Damar dan Alya saling bertatapan. Ini bukan ancaman kosong.

Mereka tahu, waktu mulai berjalan mundur.


Selama beberapa hari berikutnya, mereka menyelinap, mengumpulkan informasi, dan menjalin komunikasi dengan kontak lama Damar. Setiap langkah penuh risiko, tapi mereka belajar saling percaya lebih dalam.

Suatu malam, saat mereka sedang berdiskusi strategi, Alya mengelus wajah Damar pelan.

“Kita ini seperti dua petarung yang saling terluka tapi tetap bertahan, ya?”

Damar tersenyum kecil. “Dan luka itu yang bikin kita kuat.”

Mereka saling peluk, membiarkan kehangatan itu menjadi tameng dari dunia yang kejam di luar sana.


Namun, dalam kegelapan malam, bayangan seseorang mengawasi mereka dari kejauhan. Senyum tipis terukir di wajahnya.

“Pertarungan sebenarnya baru saja dimulai,” bisiknya.

Bab 12: Bayangan Masa Lalu

Gelap malam menyelimuti sebuah gudang tua di pinggir kota. Lampu-lampu redup menerangi bayangan dua sosok yang berdiri saling berhadapan. Di satu sisi, Alya dengan mata penuh keberanian. Di sisi lain, Arya, pria dengan senyum dingin yang membawa luka lama kembali menganga.

“Aku nggak pernah menyangka kamu bakal muncul di sini,” suara Arya serak tapi penuh sindiran.

Alya menatap tajam. “Aku nggak datang untuk nostalgia, Arya. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.”

Arya melangkah mendekat, wajahnya berubah serius. “Kamu pikir kamu sudah bebas? Dari aku? Dari masa lalu yang kita bagi?”

Alya menggenggam tangan Damar yang berdiri di belakangnya. “Aku bebas dari kamu, dan aku punya seseorang yang benar-benar menjagaku sekarang.”

Arya tertawa sinis. “Dia cuma pengawalmu. Aku adalah bagian dari dirimu yang tak bisa kau hindari.”

Damar melangkah maju, berdiri sejajar dengan Alya. “Kalau begitu, Arya, sekarang aku yang berbicara. Berhenti mengganggu hidup mereka.”

Konfrontasi itu bukan hanya tentang tiga orang di ruang itu. Itu adalah pertarungan antara masa lalu yang mencoba mengikat dan masa depan yang ingin dibangun.


Suara langkah kaki mendekat dari balik pintu. Beberapa pria berbadan besar muncul, membawa senjata. Mereka adalah kaki tangan Arya, siap menyulut konflik.

Damar menarik Alya ke belakang. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”

Alya menggigit bibirnya. “Aku nggak mau lari lagi.”

Damar menatapnya penuh pengertian. “Kalau kita bertarung, kita harus siap. Bersama.”

Dalam sekejap, mereka menyusun rencana untuk melawan sekaligus mencari jalan keluar dari situasi berbahaya ini.


Pertarungan meletus dengan cepat. Damar dan Alya bergerak sinkron, mengandalkan kecepatan dan insting. Meski Arya dan anak buahnya banyak, keberanian dan tekad Alya yang kini kuat dari luka masa lalu membuatnya berbeda.

Saat Arya terpojok, Alya maju selangkah. “Ini akhir dari semua itu, Arya. Lepaskan aku dari bayang-bayangmu.”

Arya memandangnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Kau kuat, Alya. Aku... aku memang salah.”

Dengan itu, ia menghilang ke kegelapan, meninggalkan Alya dan Damar berdiri tegak, bahu membahu.


Setelah pertarungan, Alya dan Damar duduk di luar gudang, menatap langit malam yang mulai cerah.

“Kamu tahu?” Alya tersenyum lelah. “Bayangan masa lalu memang menakutkan. Tapi aku belajar, kita bisa melawannya... selama kita bersama.”

Damar menggenggam tangannya erat. “Dan aku nggak akan pernah membiarkan kamu menghadapi bayangan itu sendiri.”

Bab 13: Cahaya Baru

Udara pagi membawa sejuk yang berbeda di rumah kecil mereka. Setelah segala gelombang yang menghantam, Alya dan Damar kini duduk berdampingan di teras, menikmati secangkir kopi tanpa perlu tergesa-gesa.

Alya memandang wajah Damar yang terlihat lebih rileks. “Kita akhirnya dapat napas, ya?”

Damar mengangguk. “Napasku terasa lebih ringan, sejak kau berada di sisiku.”

Mereka saling bertukar senyum, sebuah senyum yang penuh janji dan harapan.


Hari-hari berikutnya, Alya mulai kembali melukis dengan semangat baru. Setiap goresan kuasnya membawa warna-warni harapan dan keberanian. Damar menjadi pengawal sekaligus pendukung terdekat, menjaga bukan hanya keselamatannya, tapi juga impian Alya.

Namun, di balik kedamaian itu, telepon Damar bergetar. Sebuah pesan masuk:

“Ini belum selesai. Mereka menunggu di balik cahaya.”

Damar menatap pesan itu panjang, lalu meletakkan ponsel. “Sepertinya kita harus siap-siap lagi.”

Alya menggenggam tangannya erat. “Apapun yang datang, aku siap hadapi, selama kita bersama.”


Mereka tahu, cahaya baru yang mereka sambut bukan berarti kegelapan benar-benar hilang. Tapi kini, dengan cinta dan keberanian, mereka siap menantang segala bayang-bayang.

Bab 14: Titik Balik

Malam itu, suasana di rumah terasa tegang, meskipun lampu temaram menerangi ruangan. Damar duduk di depan meja kerja, wajahnya serius menatap peta dan data yang baru saja diterimanya. Alya berdiri di dekat jendela, menatap ke luar, pikirannya berkecamuk.

“Titik balik kita sudah dekat, Alya,” suara Damar berat. “Mereka nggak akan berhenti sampai kita menyerah.”

Alya membalik badan, matanya menyiratkan keteguhan. “Kalau begitu, kita harus siap melakukan apa pun. Tapi aku nggak mau kehilangan dirimu.”

Damar berdiri dan melangkah mendekat. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu. Tapi kalau kita mau bebas, ini saatnya kita bertaruh besar.”

Mereka saling bertatapan, tahu bahwa keputusan yang akan mereka ambil mungkin jadi penentu nasib mereka.


Keesokan harinya, mereka menghubungi beberapa sekutu lama Damar untuk menyusun strategi. Ini bukan lagi soal bertahan, tapi menyerang balik dengan penuh perhitungan.

Namun, di balik layar, seseorang memantau setiap langkah mereka dengan penuh minat—seorang tokoh baru yang berambisi mengambil alih permainan ini, membawa bahaya yang jauh lebih besar.


Malamnya, saat Alya dan Damar berbincang tentang rencana berikutnya, ponsel Alya bergetar. Sebuah pesan tanpa nama muncul:

“Hati-hati dengan mereka yang tampak membantu. Tidak semua sekutu adalah teman.”

Mata Alya melebar. Ia segera menatap Damar. “Ada yang salah, Dam. Kita nggak bisa percaya siapa pun begitu saja.”

Damar mengangguk pelan, kesadaran itu menusuk hati.

Bab 15: Permainan Bayangan

Lampu-lampu kota berpendar redup saat malam merayap masuk ke dalam ruang rahasia di balik sebuah gedung tua. Di sana, Alya dan Damar duduk berhadapan dengan dua sosok yang sebelumnya mereka anggap sekutu. Namun, tatapan dingin dan senyum penuh tipu muslihat dari kedua orang itu segera menghilangkan ilusi kepercayaan.

“Apa kalian pikir kami benar-benar di pihak kalian?” salah satu pria itu bertanya sambil menyunggingkan senyum sinis.

Damar meremas tangan Alya di bawah meja, memberikan sinyal bahwa mereka harus tetap tenang.

“Kami sudah tahu tentang rencana kalian. Dan kami punya rencana sendiri,” lanjut pria itu.

Alya menatap tajam. “Jadi kalian ini... pengkhianat?”

Pria lain tertawa pelan. “Lebih dari itu. Kami adalah bayangan yang mengendalikan permainan ini.”


Ketegangan meledak seketika ketika suara tembakan pecah di luar ruangan. Mereka semua tersentak, dan Alya serta Damar sadar, jebakan ini lebih dalam dari yang mereka bayangkan.

Dengan cepat, Damar menggerakkan Alya ke tempat persembunyian kecil yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Kita harus keluar dari sini. Sekarang!” bisiknya.

Mereka melesat keluar gedung melalui lorong rahasia, sementara suara langkah kaki dan teriakan mulai memenuhi udara.


Di luar, hujan mulai turun deras, membasahi jalanan sempit yang mereka lalui. Alya dan Damar berlari tanpa henti, menembus gelap dan basahnya malam.

Namun, di balik bayangan, sosok misterius mengawasi langkah mereka dengan mata yang penuh niat jahat.


“Permainan ini belum selesai, Alya. Belum sama sekali,” gumam sosok itu, sebelum lenyap ke dalam malam.

Bab 16: Kepercayaan dan Luka

Damar dan Alya duduk berhadapan di sebuah ruangan kecil yang terlindung jauh dari hiruk-pikuk kota. Udara dingin malam menyusup di celah jendela yang terbuka sedikit, namun keheningan itu terasa penuh arti.

Setelah semua pengkhianatan, pelarian, dan pertarungan, mereka tahu satu hal pasti: kepercayaan adalah pondasi satu-satunya yang bisa menyelamatkan mereka.

“Berapa kali kita hampir kehilangan segalanya?” tanya Alya, suara pelan namun tegas.

Damar menatapnya, matanya penuh penyesalan dan keyakinan. “Terlalu banyak. Tapi aku tak akan pernah menyerah untuk kamu.”

Alya menggenggam tangan Damar erat. “Aku juga. Luka kita bukan alasan untuk mundur. Tapi justru pengingat bahwa kita harus lebih kuat.”


Beberapa minggu kemudian, mereka merangkai kembali hidup yang sempat terpecah.

Damar resmi berhenti sebagai bodyguard, memilih menjadi pelindung dan partner Alya dalam segala hal — bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional.

Alya, dengan semangat yang baru, membuka pameran lukisan berjudul “Cahaya Setelah Gelap”, yang menceritakan perjalanan cinta, luka, dan keberanian.


Di malam pembukaan pameran, mereka berdiri bersama di tengah keramaian, saling bertukar pandang penuh arti.

“Kita sudah melalui badai terberat,” kata Damar, menggenggam tangan Alya.

“Dan kita masih berdiri,” jawab Alya dengan senyum.


Mereka tahu, masa depan tidak akan selalu mudah. Tapi selama mereka bersama, cinta dan kepercayaan menjadi cahaya yang takkan padam.

Epilog: Awal yang Baru

Beberapa bulan setelah pameran lukisan “Cahaya Setelah Gelap”, kehidupan Alya dan Damar berubah dalam cara yang sederhana tapi penuh makna.

Mereka menetap di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dunia yang dulu penuh bahaya. Pagi-pagi mereka memulai hari dengan secangkir kopi dan tawa ringan, menikmati kebersamaan yang dulu terasa sulit didapat.

Alya kembali mengejar impian melukis dengan bebas, tanpa bayang-bayang masa lalu menghantui. Sedangkan Damar, kini bukan hanya pelindungnya, tapi juga sahabat dan pasangan sejati yang selalu ada dalam suka dan duka.

Suatu sore, saat matahari mulai turun perlahan, Damar mengajak Alya berjalan di taman yang rindang. Di bawah pepohonan yang menari diterpa angin, mereka duduk berdua, tangan saling menggenggam erat.

“Kita sudah melewati banyak hal, ya,” kata Alya dengan senyum hangat.

Damar menatapnya, “Dan aku yakin, selama kita bersama, tidak ada yang tidak bisa kita lalui.”

Alya mengangguk, menatap langit yang mulai berwarna jingga keemasan. “Ini bukan hanya akhir dari sebuah kisah. Ini adalah awal yang baru — untuk kita, dan untuk semua mimpi yang akan kita raih bersama.”

Mereka saling tersenyum, merasakan damai yang selama ini mereka cari.


Di dunia yang penuh ketidakpastian, cinta dan kepercayaan menjadi satu-satunya cahaya yang abadi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh