Hujan di Balik Jendela Kelas 3A
Hujan di Balik Jendela Kelas 3A
🧡 Judul: "Hujan di Balik Jendela Kelas 3A"
Genre: Romance, Drama, School Life, Mystery
Rating: Remaja - Dewasa Muda (13+)
Status: On-Going
Pena: domino88
💬 Sinopsis:
"Namaku Raya. Sejak kelas 2 SMA, aku jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah sekalipun menatapku."
Jendela kelas 3A adalah saksi bisu bagaimana Raya menunggu. Tak pernah absen melihat punggung Arkana setiap hujan turun. Namun saat sebuah kejadian aneh membuat Arkana duduk di bangku sebelahnya, hidup Raya tak lagi biasa.
Apalagi ketika Arkana menyebut satu kalimat yang membuat dunia Raya runtuh:
"Kenapa kamu bisa melihatku?"
Bab 1: Jendela Kelas 3A
Langit sore itu kelabu. Awan menggantung rendah, seolah menekan atap sekolah yang sudah mulai retak di sana-sini. Hujan turun dengan tenang, seperti lagu pengantar tidur yang terlalu pilu untuk didengarkan sendirian.
Aku menatap jendela kelas 3A—jendela yang selalu menjadi tempat favoritku duduk sejak semester baru dimulai. Dari sudut itu, aku bisa melihat lapangan basket yang basah oleh hujan dan... punggungnya.
Arkana.
Laki-laki itu duduk sendiri di ujung selasar lantai tiga. Seragamnya selalu rapi, dasi abu-abu terikat sempurna, dan rambutnya basah, entah karena sengaja dibiarkan atau memang dia suka hujan.
"Raya!" panggil Tika, sahabatku, sambil meletakkan bekal di meja.
Aku menoleh sekilas, menyembunyikan wajahku agar tidak terlihat bodoh karena terlalu lama menatap seseorang yang bahkan tak tahu aku ada.
"Arkana lagi?" bisik Tika sambil tersenyum nakal. "Dia itu aneh, tahu. Katanya enggak pernah ikut upacara, enggak pernah ada di daftar piket. Tapi selalu duduk di sana pas hujan."
Aku mengangguk kecil. Bukan karena setuju, tapi karena aku juga tidak tahu kenapa aku memperhatikannya. Hanya saja... ada sesuatu dari punggung Arkana yang membuatku merasa damai. Seperti sudah lama kukenal. Seperti—aku pernah kehilangannya.
"Dia duduk di kelas mana, sih?" tanya Tika, masih penasaran.
Aku menggeleng.
Tak ada yang tahu.
Arkana tak pernah masuk ke kelas manapun. Tak ada nama "Arkana" di daftar siswa. Tapi dia selalu ada. Duduk di tempat yang sama setiap kali hujan turun.
Dan aku—selalu menunggu.
Bab 2: Payung Hitam dan Nama yang Terlupakan
Hari berikutnya hujan kembali turun. Deras. Seolah langit tahu aku menunggu.
Tapi kali ini berbeda.
Arkana tidak di tempat biasanya.
Aku berdiri gelisah di balik jendela, mataku menyapu setiap sudut selasar. Kosong.
Namun, saat aku hendak duduk kembali, pintu kelas terbuka perlahan. Dingin merambat masuk bersama suara hujan.
Dan dia berdiri di sana. Di ambang pintu kelas 3A.
Arkana.
Dengan rambut basah dan payung hitam terlipat di tangannya.
"Raya, ya?" tanyanya, tanpa ekspresi.
Hatiku mencelos. Bagaimana dia tahu namaku?
"A-aku... iya," suaraku nyaris tak terdengar.
Dia berjalan mendekat. Hujan seperti meredup saat ia lewat.
"Aku boleh duduk di sini?" tanyanya, menunjuk bangku kosong di sampingku.
Aku hanya mengangguk. Dunia seperti berhenti bergerak saat itu.
Dan untuk pertama kalinya, punggung itu menghadap ke arahku. Matanya menatapku langsung. Tapi yang kulihat bukan tatapan biasa.
Mata itu kosong. Seperti menyimpan luka yang tidak bisa dijelaskan.
Bab 3: Surat Tanpa Pengirim
Keesokan harinya, aku menemukan selembar surat di laci mejaku.
"Kamu tidak seharusnya bisa melihatku. Tapi jika kamu bisa, tolong jangan tinggalkan aku sendirian."
—A
Tanganku bergetar. Surat itu ditulis tangan, dengan tinta yang sedikit luntur. Seperti bekas tetesan air mata.
Aku menoleh ke arah bangku sebelahku. Kosong.
Tidak ada jejak Arkana. Tidak ada payung hitam. Tidak ada apapun.
"Siapa yang duduk di sebelah kamu tadi?" tanya Bu Erna saat pelajaran dimulai.
Aku bingung. "Arkana, Bu."
Wajah Bu Erna berubah pucat. "Tidak ada siswa bernama Arkana di daftar kelas ini, Raya. Kamu baik-baik saja?"
Aku hanya diam. Kepalaku mendadak berat.
Lalu aku mulai bertanya pada diriku sendiri...
Apakah aku sedang jatuh cinta pada seseorang yang bahkan... tidak ada?
Bab 4: Aku dan Punggung Itu
Beberapa hari berlalu. Arkana tak muncul. Tidak ada hujan.
Namun aku tetap duduk di bangku yang sama. Menunggu.
Sampai akhirnya, sore itu, hujan turun lagi.
Dan seperti dipanggil oleh sesuatu, aku berlari ke lantai tiga. Ke selasar yang dulu.
Dan dia ada di sana. Duduk diam, menatap hujan.
"Aku mencarimu," kataku pelan.
Arkana menoleh. Senyum kecil menggantung di bibirnya. "Aku juga."
"Siapa kamu sebenarnya?"
Dia tak menjawab.
Hanya membuka telapak tangannya. Dan di sana, aku melihat sesuatu—liontin kecil berwarna perak, yang pernah aku miliki saat kecil.
"Ini... punyaku..." gumamku.
"Dan kamu pernah memberikannya padaku," jawabnya lirih.
Jantungku seperti diremas. Potongan memori mulai kembali. Suara tangisan. Sebuah kecelakaan. Sebuah... kehilangan.
Bab 5: Kenapa Kamu Bisa Melihatku
Hari itu langit lebih kelabu dari biasanya. Arkana datang lagi. Duduk di bangku kelas 3A, seperti biasa. Tapi kali ini, dia tidak diam.
"Aku mati lima tahun lalu, Raya."
Kalimat itu membuat napasku terhenti.
"Apa...?"
"Aku kecelakaan. Di depan sekolah ini. Kamu menangis saat itu. Kamu bahkan ikut membawaku ke rumah sakit. Tapi sudah terlambat."
Aku mematung.
"Kenapa... sekarang?" suaraku nyaris hancur.
"Aku tidak tahu. Tapi tiba-tiba... kamu bisa melihatku."
Mataku berkaca-kaca. Tenggorokanku tercekat.
"Aku tidak ingin pergi lagi, Raya. Aku takut..."
"Takut apa?"
"Takut kamu melupakanku. Takut kamu... berhenti menunggu."
Bab 6: Luka yang Tak Pernah Sembuh
"Aku ingat kamu," bisikku sore itu, saat hujan turun deras.
Arkana menoleh perlahan. "Kamu yakin?"
Aku mengangguk. "Waktu itu, kita berteman. Kamu suka main piano. Aku yang selalu duduk di pojok, diam. Tapi kamu... kamu sering tertawa."
Dia tersenyum miris. "Lucu ya, kenangan itu tersimpan di kamu. Bukan di dunia ini."
Aku memandangi jendela. "Arkana, kenapa kamu belum... pergi?"
Ia menghela napas. "Karena aku masih punya satu penyesalan. Dan... aku ingin kamu tahu sesuatu."
"Apa?"
Tapi saat itu, suara bel sekolah memotong pembicaraan kami. Dan saat aku menoleh lagi, Arkana sudah tak ada.
Yang tertinggal hanya kursi kosong, basah oleh jejak air.
Bab 7: Hari Ketika Semua Orang Berbohong
Aku mulai mencari. Di ruang guru, di arsip sekolah, bahkan ke kantor kepala sekolah.
Semua orang bilang: "Tidak ada siswa bernama Arkana."
Bahkan lebih dari itu.
Mereka bilang tidak pernah ada kecelakaan lima tahun lalu. Tidak ada berita. Tidak ada rekaman CCTV. Tidak ada pemakaman.
Tapi aku ingat. Aku ingat darah. Suara sirine. Suara ibu menangis. Aku ingat semua.
Aku tahu aku tidak gila. Tapi dunia seakan memaksa untuk membuatku meragukan diri sendiri.
Sampai aku menemukan satu foto lama di perpustakaan sekolah. Kelas 1C tahun 2020.
Dan di pojok kanan, duduk seorang anak laki-laki berambut acak.
Arkana.
Aku mengepal tangan.
"Aku akan membuktikan kamu nyata."
Bab 8: Di Antara Dunia
Malam itu aku bermimpi.
Aku berdiri di selasar yang sama, tapi dunia di sekitarku kelabu. Tak ada warna, hanya suara tangis samar.
Dan Arkana berdiri di sana, mengenakan seragam SMA yang sama, wajahnya pucat.
"Ini tempat aku terjebak, Raya," katanya pelan. "Antara dunia yang hidup... dan yang mati."
Aku mendekat, ingin menyentuhnya. Tapi tanganku tembus.
Dia menatapku dengan mata yang penuh luka. "Aku hanya bisa keluar... jika seseorang yang mencintaiku benar-benar mengikhlaskanku."
"Aku mencintaimu, Arkana..." bisikku.
Tapi dia menggeleng.
"Bukan cinta seperti itu, Raya. Kamu mencintaiku sebagai ingatan... bukan sebagai aku yang sebenarnya."
Bab 9: Hujan, Sekali Lagi
Hari-hari berikutnya berlalu tanpa hujan.
Aku mulai tak fokus. Aku menulis surat-surat untuk Arkana, menyimpannya di bawah meja kelas. Tika mulai khawatir, tapi aku hanya bilang aku sedang menulis novel.
Lalu, pada hari Senin itu, langit akhirnya menangis lagi.
Aku berlari ke kelas 3A, dan dia ada di sana. Duduk, menungguku.
"Aku takut ini hujan terakhir kita," ucapku, berdiri di hadapannya.
Arkana menatapku lama.
"Kamu tahu? Kamu adalah satu-satunya alasan aku masih bertahan di sini."
Aku menahan air mata. "Dan kamu adalah alasan aku mulai percaya pada sesuatu yang lebih dari sekadar logika."
Dia mengangguk, lalu membuka tangannya.
Liontin itu bersinar samar.
"Ini... akan membawaku pergi."
Bab 10: Di Bawah Langit yang Sama
Hujan deras. Aku dan Arkana berdiri di tengah lapangan sekolah, sendirian.
"Aku... tidak ingin melupakanmu," ucapku pelan.
Arkana tersenyum, lebih hangat dari sebelumnya.
"Kamu tidak akan lupa. Karena sebagian dariku, akan selalu tinggal di sini—"
Dia menunjuk dadaku, "—di hati kamu."
Aku menangis saat liontin itu mulai pecah perlahan di tangannya, jadi cahaya.
"Aku mencintaimu, Raya. Tapi waktuku sudah habis."
"Aku tahu," isakku.
Saat cahaya menelannya, aku sempat melihat satu senyuman terakhir. Dan ia pun menghilang, bersama suara hujan yang perlahan mereda.
Dan aku berdiri di sana, sendirian. Di bawah langit yang kini... tak lagi kelabu.
🌧️ Epilog: Surat dari Hujan
Tiga minggu setelah kepergian Arkana, hujan turun lagi.
Tapi kali ini, dia tidak datang.
Aku duduk sendiri di bangku kelas 3A, tempat yang menjadi saksi semua yang tak terlihat oleh orang lain. Laci meja yang biasanya kosong, hari itu terasa berat.
Dan di sana, terlipat rapi, sebuah kertas dengan tulisan tangan yang tak asing.
Untuk Raya, gadis yang menunggu dalam diam.
Jika kamu membaca ini, berarti aku telah pergi. Mungkin tidak sepenuhnya, karena aku percaya sebagian dari kita tinggal dalam ingatan orang lain.
Terima kasih telah melihatku, ketika dunia tidak bisa.
Terima kasih telah mengingatku, ketika dunia memilih lupa.
Dan terima kasih... karena pernah mencintaiku.
Jangan simpan hujan selamanya di matamu. Kamu berhak pada langit yang cerah, dan cinta yang membumi.
Aku tenang karena kamu ada.
Dengan cinta dari dunia yang berbeda,
— Arkana
Aku tersenyum kecil, meski air mata mengalir. Kali ini, bukan karena kehilangan. Tapi karena aku pernah diberi kesempatan untuk mengenal seseorang… bahkan hanya sebentar.
Dan aku tahu, di balik setiap hujan, dia mungkin masih duduk di sana—menjagaku dalam diam.
Komentar
Posting Komentar