Hujan Setelah Senja

 Hujan Setelah Senja





Judul: Hujan Setelah Senja

Genre: Romantis Dewasa, Drama, Kehidupan Pernikahan
Rating: 21+


Sinopsis:

"Apa yang kau cari ketika semua yang kau miliki terasa kosong?"

Rania, 32 tahun, editor majalah mode, menikah 7 tahun dengan Reza, suami yang baik namun semakin asing. Saat bertemu Arian, fotografer muda penuh pesona, hidupnya kembali bergelora. Ini bukan sekadar kisah perselingkuhan. Ini cerita tentang kehilangan diri, keberanian memilih, dan harga dari sebuah kebebasan.


BAB 1: Senja di Balik Jendela

Senja selalu datang diam-diam, seperti rindu yang enggan pamit.

Rania menatap jendela apartemennya yang berembun. Hujan turun pelan-pelan, membasahi kota Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur. Di ruang tengah, suara berita malam menyela keheningan. Reza duduk di sofa, masih mengenakan jas kerja, fokus pada layar laptop. Seperti biasa.

"Udah makan?" tanya Rania pelan sambil berdiri di ambang dapur.

"Hmm? Belum. Nanti aja sekalian," jawab Reza tanpa menoleh.

Rania menarik napas panjang. Ia tahu 'nanti' berarti 'tidak'. Sudah dua minggu mereka tak makan malam bersama. Sudah berbulan-bulan mereka tak saling sentuh dengan kehangatan. Dan sudah bertahun-tahun, Rania merasa seperti hanya bagian dari rutinitas rumah tangga, bukan pasangan.

Ia berjalan perlahan ke kamar, mengganti pakaiannya dengan kaus tidur tipis berwarna abu-abu. Dulu, Reza akan menggodanya. Sekarang, tidak ada reaksi apa pun. Ia duduk di ranjang, membuka ponselnya, dan membaca ulang undangan pemotretan besok. Proyek edisi spesial bertema "Natural Intimacy." Tema yang ironis, mengingat betapa asingnya keintiman di hidupnya.

Fotografer barunya datang dari Bali. Namanya Arian. Baru direkomendasikan oleh stylist. Belum pernah bertemu. Tapi hasil portofolionya membuat jantung Rania berdetak sedikit lebih cepat.

Dan tanpa Rania sadari, takdir mulai mengalihkan arah.


BAB 2: Tatapan yang Mengganggu

Studio itu dipenuhi aroma kopi dan parfum mahal. Musik jazz pelan terdengar dari speaker tersembunyi di langit-langit. Rania memeriksa storyboard pemotretan sambil sesekali melirik jam tangan. Fotografer barunya belum datang.

"Maaf, saya telat." Suara itu hangat, serak, dan percaya diri.

Rania menoleh dan melihat seorang pria berusia sekitar akhir dua puluhan, dengan rambut cokelat acak-acakan dan tatapan yang menelanjangi pikiran. Arian.

"Saya Rania, editor kreatif di sini," ucapnya profesional, menjulurkan tangan.

"Arian. Saya tahu," jawab pria itu dengan senyum samar. "Saya sudah lihat semua hasil kerja Mbak Rania. Saya penggemar diam-diam."

Rania sedikit tersenyum. "Semoga proyek kita lancar. Tema kali ini cukup... personal."

"Justru itu yang saya suka. Yang jujur, yang nggak dibuat-buat. Foto yang bisa bikin orang merasa dilihat."

Tatapan mereka bersinggungan. Ada listrik aneh yang menyengat sekejap. Arian menatapnya seolah bisa membaca kekosongan yang sudah lama dia sembunyikan.

Sesi pemotretan dimulai. Arian bekerja dengan fokus tinggi. Ia memberi arahan pada model dengan tenang namun tegas. Tapi di sela-sela itu, dia sesekali melirik Rania. Tatapan yang membuat kulitnya merinding. Bukan takut, tapi hidup. Sudah lama sekali Rania tidak merasa hidup.

Di akhir sesi, Arian menyodorkan hasil preview dari kameranya.

"Lihat ini, Mbak. Saya pengen tangkap sesuatu yang... raw."

Rania menatap layar kecil itu. Sebuah potret close-up model wanita yang sedang menatap ke cermin, telanjang dari ekspresi. Bukan sensualitas tubuh, tapi ketelanjangan emosi. Dan entah kenapa, Rania merasa itu adalah potret dirinya sendiri.

"Kamu tahu cara menangkap sunyi," ucap Rania lirih.

Arian menatapnya dalam. "Karena saya pernah hidup di dalamnya."

BAB 3: Kopi Tanpa Gula

Hari berikutnya terasa berbeda. Rania tiba lebih pagi dari biasanya. Ia menyukai ketenangan sebelum kantor benar-benar sibuk. Tapi tak disangka, Arian sudah lebih dulu ada di pantry kecil dengan kamera tergantung di leher dan secangkir kopi di tangan.

"Mbak Rania suka kopi pahit, ya?" tanyanya, seolah-olah mereka sudah teman lama.

"Iya. Manisannya cukup di tempat lain," jawab Rania cepat, lalu mengerutkan kening. Kenapa dia bicara begitu?

Arian tertawa pelan. "Keren juga jawabannya. Saya jadi ingin tahu lebih banyak."

Mereka duduk di kursi pantry yang sempit. Obrolan yang awalnya ringan berubah menjadi percakapan panjang tentang hal-hal pribadi—tentang pekerjaan, mimpi yang tertunda, tentang kesepian yang menyamar sebagai kesibukan.

"Kamu pernah merasa... kayak hidupmu tuh sebenarnya bukan milikmu?" tanya Arian.

Rania terdiam. Itu bukan pertanyaan. Itu adalah perasaan yang sudah lama tinggal di dadanya.


BAB 4: Hujan di Balkon Hotel

Pemotretan berlanjut ke luar kota, sebuah vila di Puncak dengan pemandangan lembah berkabut. Malam itu hujan turun deras. Setelah briefing selesai, Rania berdiri di balkon kamar hotelnya, mengenakan sweater hangat, menatap kabut yang menelan lampu-lampu kota.

"Ngopi lagi?" Arian muncul tiba-tiba, membawa dua gelas kopi dari bawah. Ia hanya mengenakan kaus tipis dan celana tidur. Hujan membasahi ujung rambutnya.

"Kamu bisa sakit," kata Rania, tapi tetap menerima kopi itu.

"Risiko kecil demi suasana yang pas," Arian tersenyum, berdiri di sampingnya.

Mereka diam. Hanya suara hujan, dan detak jantung yang semakin tak teratur.

"Kamu tahu nggak, kadang orang cuma butuh ditemani diam, nggak ditanya-tanya," ujar Arian.

Rania menoleh. Tatapan mereka bertemu. Dalam diam, tangan Arian menyentuh jemarinya. Tidak buru-buru. Tidak memaksa. Tapi juga tidak bisa diabaikan.

Malam itu, Rania tidak tidur sendirian. Dan di antara rintik hujan dan embusan angin pegunungan, mereka tenggelam dalam pelukan yang tak lagi bisa ditarik mundur.


BAB 5: Setelah Itu

Jakarta kembali panas dan sibuk. Tapi bagi Rania, dunia sudah berubah. Ia sering termenung. Di rumah, Reza seperti tak menyadari apa pun. Rutinitas terus berjalan. Seolah tak ada celah untuk bertanya apakah hati pasangannya masih tinggal di sana.

"Apa kamu bahagia, Za?" tanyanya suatu malam saat makan malam bersama—momen langka belakangan ini.

Reza menoleh, sedikit heran. "Tentu. Kita punya semua yang kita butuhkan, kan?"

Jawaban itu membuat dada Rania sesak. Karena kebutuhannya bukan lagi tentang rumah, uang, atau status. Tapi tentang rasa. Tentang menjadi hidup. Dan dengan Arian, ia menemukan potongan dirinya yang selama ini hilang.


BAB 6: Pilihan

Proyek mereka selesai. Arian bersiap kembali ke Bali. Rania mengantarnya ke bandara.

"Aku nggak akan minta kamu ninggalin apapun," kata Arian sebelum masuk gate. "Tapi aku juga nggak bisa pura-pura ini nggak berarti."

Rania menggenggam tangannya erat. "Aku juga nggak bisa pura-pura ini cuma sekadar pelarian. Tapi aku butuh waktu."

Arian mencium keningnya pelan. "Hidupmu milikmu, Ran. Waktumu, pilihanmu. Tapi ingat, kamu berhak bahagia."


EPILOG: Hujan Setelah Senja

Dua tahun kemudian.

Rania duduk di kafe kecil di Ubud, membuka laptop. Majalah digital miliknya baru saja menang penghargaan nasional. Ia kini tinggal di Bali. Perceraiannya dengan Reza berjalan damai, meski menyakitkan.

Arian muncul dari dapur, membawa dua gelas kopi.

"Masih suka pahit?" tanyanya sambil menyodorkan gelas.

"Iya. Tapi sekarang hidupku nggak lagi," jawab Rania sambil tersenyum.

Di luar, hujan kembali turun. Tapi kali ini, tidak dingin. Tidak sendiri. Ia bukan lagi senja yang tenggelam dalam kehampaan. Ia adalah awal dari segalanya.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh