Istri Sementara, Selir Selamanya ( 21+ )

 Istri Sementara, Selir Selamanya


Judul: "Istri Sementara, Selir Selamanya"

Genre: Romance Dewasa, Affair, Drama, Arranged Marriage
Rating: 21+ (konten seksual, konflik psikologis, bahasa dewasa)


Sinopsis:

Nayla hanya ingin tenang menjalani hidup sederhana. Namun hidup berubah drastis saat ia dipaksa menikah demi menyelamatkan utang keluarganya. Pria itu—Raditya Al Ghazali, seorang pengusaha muda yang terkenal dingin, tampan, dan... sudah memiliki istri sah yang tidak pernah ia sentuh.

Pernikahan mereka bersifat rahasia. Hanya kontrak tiga bulan—itu pun hanya sebatas di atas kertas.

Tapi tubuh Nayla tak bisa membohongi apa yang ia rasakan saat disentuh Radit. Dan Radit pun, perlahan kehilangan kendali akan dirinya yang selama ini membeku.

Namun ketika cinta dan hasrat mulai terlibat, Nayla justru menemukan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Radit punya masa lalu, dan ia tidak akan melepaskan Nayla semudah itu.


Bab 1: Kontrak Malam Pertama

Langit malam Jakarta terlihat kelabu, hujan turun rintik-rintik membasahi jendela penthouse lantai 33. Di dalam, suasana begitu sunyi. Hanya denting sendok di gelas kristal yang terdengar.

Nayla duduk di ujung meja makan panjang, tubuhnya kaku, matanya tak berani menatap lelaki di depannya. Raditya Al Ghazali — pria yang kini secara hukum menjadi suaminya.

Meski begitu, semua terasa seperti mimpi buruk. Bukan pernikahan impian, tidak ada gaun putih, tidak ada tamu, hanya tanda tangan di kertas kontrak dan cincin dingin di jari manis.

Radit berdiri, membuka jasnya perlahan. Lengan bajunya digulung santai, memperlihatkan urat-urat maskulin di lengannya.

“Kamu masih bisa mundur kalau mau,” ucapnya pelan, suaranya berat dan tenang, tapi dingin menusuk.

Nayla mengangkat wajah. “Kalau aku mundur, Ayahku akan kehilangan rumah dan mungkin masuk penjara karena utangnya.”

“Itu konsekuensi. Aku hanya menawarkan solusi… dengan bayaran yang sangat murah.” Mata Radit menajam, penuh perhitungan.

Nayla terdiam. Ia tahu ini bukan cinta. Ini semacam… tawaran iblis. Tapi ia juga tahu, ia tak punya pilihan lain.

“Baik,” ucap Nayla akhirnya, “Aku akan ikut aturanmu.”

Radit melangkah perlahan, menghampiri. Tangannya terulur, menyentuh dagu Nayla, mengangkat wajahnya agar menatapnya langsung.

“Aturan pertama,” bisiknya. “Di hadapan publik, kamu adalah istri legalku. Tapi di rumah ini… kamu bukan siapa-siapa. Kecuali kalau aku memintamu jadi sesuatu.”

“Apa maksudmu?”

Radit menatap bibir Nayla dengan cara yang membuat jantungnya berpacu.

“Malam ini, kamu akan tidur di kamarku.”

 

Bab 2: Sentuhan yang Tak Bisa Dipalsukan

Langkah-langkah Radit menggema di koridor penthouse, berat dan mantap. Nayla mengikutinya dari belakang dengan langkah pelan, seolah kakinya menolak melangkah lebih jauh.

Pintu kamar terbuka. Bukan kamar—lebih seperti ruang pribadi mewah dengan ranjang besar, jendela setinggi langit-langit, dan aroma maskulin yang samar-samar menguar dari bantal dan lemari kayu gelap.

“Masuk,” perintah Radit tanpa menoleh.

Nayla masuk, jantungnya seperti akan pecah. Suasana terasa terlalu sunyi... atau mungkin terlalu panas.

“Kamu gugup?” tanyanya tiba-tiba, berdiri di depan jendela, menyalakan sebatang rokok.

“Tidak,” jawab Nayla singkat. Bohong. Ia bahkan gemetar.

Radit menoleh, matanya tajam mempelajari tubuh Nayla yang berdiri canggung, mengenakan gaun tipis yang ia pinjam dari lemari istri orang—istrinya sekarang.

“Jangan pernah bohong soal hal-hal seperti ini,” katanya pelan, membuang napas rokok. “Gugup itu manusiawi. Tapi berbohong, apalagi di ranjang, itu masalah.”

Nayla memalingkan wajah. “Apa kau akan... menyentuhku malam ini?”

Radit mendekat. Perlahan. Seolah menelanjangi Nayla hanya dengan tatapan.

“Kamu pikir kontrak itu mainan?” tanyanya, membelai lembut rambut Nayla. “Aku membayar dengan nama baikku, bisnis, dan reputasi. Aku tidak menyewa istri untuk sekadar dekorasi rumah.”

Tangannya turun, menyentuh pipi Nayla. Lembut, tapi penuh tekanan. Ia menunduk, membisikkan sesuatu tepat di telinga Nayla:

“Tapi aku tidak akan memaksamu. Kalau kamu bilang tidak... aku berhenti malam ini. Tapi ingat, sekali kamu menyerah, aku akan memilikimu seluruhnya. Tubuhmu. Suaramu. Dan bahkan hatimu, kalau kamu tak hati-hati.”

Nayla menutup mata. Hatinya menjerit, tapi tubuhnya… menjerit hal lain.

Ia tidak pernah disentuh seperti ini. Sentuhan yang tidak sekadar fisik, tapi seperti sedang membuka pintu-pintu tersembunyi dalam dirinya. Rasa takut, penasaran, dan nafsu bercampur dalam satu tarikan napas.

“Aku tidak tahu bagaimana... caranya,” ucap Nayla pelan, hampir tak terdengar.

Radit tersenyum. Senyum kecil yang berbahaya.

“Bagus,” bisiknya. “Artinya kamu tidak akan bisa memalsukannya.”

Lalu ia mencium Nayla—bukan lembut, bukan kasar. Tapi dalam. Dalam dan lambat, seperti mencicipi sesuatu yang sudah lama diidamkan. Dan Nayla, tanpa sadar, membalas ciuman itu.

Untuk pertama kalinya… ia merasa seperti milik seseorang. Dan bukan hanya di atas kertas.

Bab 3: Saat Tubuh Bicara

Malam semakin larut, dan hujan di luar jendela berubah menjadi gerimis yang menggoda.

Kamar Radit remang. Hanya lampu meja yang menyala, menyinari sebagian wajahnya yang kini duduk di tepi ranjang, memandangi Nayla yang berdiri terpaku beberapa langkah darinya.

“Lepas bajumu,” ucapnya lirih, suara dalam itu mengalir seperti perintah, tapi juga seperti permohonan.

Nayla menelan ludah. Ini nyata. Tidak ada lagi sandiwara. Tidak ada ruang untuk kabur.

Dengan tangan gemetar, ia mulai melepas satu persatu kancing gaunnya. Radit tidak bergerak, hanya memandang. Tatapannya menyapu lembut lekuk tubuh Nayla seolah menghafal setiap inci kulit yang terpapar.

Saat gaun itu jatuh ke lantai, Nayla berdiri hanya dalam balutan pakaian dalam tipis berwarna krem pucat. Nafasnya cepat, dan pipinya memerah, bukan hanya karena malu… tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai menyala.

Radit berdiri. Tanpa berkata-kata, ia menyentuh bahunya, lalu menurunkan tangannya perlahan… menyusuri lengan, pinggang, sampai berhenti di punggung Nayla.

“Kamu menggigil...” bisiknya.

“Aku takut,” jawab Nayla jujur.

“Takut padaku?”

“Takut... kehilangan kendali.”

Radit tersenyum samar. Tangannya lalu membuka kait bra-nya dengan sekali gerakan. Nayla memejamkan mata, jantungnya nyaris pecah. Tapi yang datang bukan amukan gairah brutal… melainkan sentuhan lembut, seperti belaian hangat di kulit dingin.

Ia membaringkan Nayla di atas ranjang. Tidak tergesa. Tidak kasar. Setiap sentuhan, setiap ciuman, seolah ditulis dengan tinta sabar. Nafas mereka saling menyatu, panas tubuh menyelimuti malam.

Lalu... desah pertama itu lolos dari bibir Nayla, lirih, tak terkendali.

Radit menatapnya. “Biarkan tubuhmu bicara. Malam ini... kamu bukan milik siapa-siapa. Kamu milikku. Hanya milikku.”

Dan malam pun berlanjut dengan desahan, peluh, dan pelukan yang begitu dalam, hingga batas antara dua tubuh dan dua hati itu mulai mengabur.

Bab 4: Pagi Setelahnya

Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui tirai linen tipis. Hangat, tenang... tapi juga menyilaukan.

Nayla membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram, tubuhnya terasa berat, hangat... dan nyeri di beberapa titik. Tapi bukan nyeri menyakitkan. Melainkan sisa dari malam yang tidak akan bisa ia lupakan.

Ia menoleh.

Radit masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya damai, nafasnya teratur. Bahkan dalam tidur pun, pria itu memancarkan wibawa dan kekuasaan. Tapi ada sesuatu yang lain pagi ini—ketelanjangan emosional yang tak Nayla duga akan datang begitu cepat.

“Apa yang sudah kulakukan...?” bisik Nayla dalam hati.

Ia menarik selimut, membungkus tubuhnya. Bukan karena dingin, tapi karena malu. Atau mungkin takut. Ia telah melanggar batas. Ia bukan lagi sekadar istri kontrak. Malam tadi, ia bukan sekadar ‘tugas’.

Ia telah membiarkan diri merasa.

Dan itu jauh lebih berbahaya dari hubungan fisik mana pun.

Perlahan ia bangkit, mengambil gaunnya, mengenakannya tanpa suara. Tapi saat ia melangkah ke luar kamar...

“Kau mau kabur?”

Suara itu pelan, serak, tapi cukup untuk membuat Nayla membeku.

Radit duduk di ranjang, menatapnya tajam. Sepasang mata itu bukan hanya bangun, tapi... membaca isi kepalanya.

“Aku hanya tak ingin canggung...” jawab Nayla cepat, menghindari tatapannya.

“Canggung?” Radit berdiri. Telanjang dada, hanya mengenakan celana tidur. “Setelah semalam, kamu pikir kita masih bisa saling canggung?”

Nayla menunduk. “Aku tak tahu aturan main setelah... itu.”

Radit menghampirinya, berdiri sangat dekat hingga Nayla bisa merasakan detak jantungnya sendiri memukul tulang rusuk.

“Dengarkan aku baik-baik,” katanya, suaranya rendah dan gelap. “Aku tidak menyesal. Dan kamu juga tidak seharusnya.”

“Kita hanya kontrak, Radit. Kamu sudah punya istri—”

“Dia istri sah, iya. Tapi dia tidak tidur di ranjangku. Dia tidak membuatku kehilangan kendali. Kamu... yang melakukannya.”

Hening. Sejenak, waktu seolah berhenti.

Lalu, Radit membungkuk, mencium dahi Nayla dengan pelan. Lembut. Bukan ciuman bergairah seperti semalam, tapi sesuatu yang lebih menakutkan—tender. Nyata. Seperti perasaan.

“Jangan lari, Nayla. Karena sekali kamu pergi... aku akan menarikmu kembali. Lebih dalam.”

 

Bab 5: Perempuan Pertama

Siang itu, penthouse terasa terlalu sunyi.

Nayla berdiri di balkon, mengenakan kemeja Radit yang kebesaran, memeluk secangkir teh hangat. Tapi yang tidak hangat—adalah pikirannya.

"Apa yang kulakukan semalam? Apa yang sedang kujalani?"

Radit pergi pagi-pagi untuk rapat. Ia bahkan meninggalkan ciuman di pelipisnya sebelum pergi—hal kecil yang malah membuat hati Nayla semakin rumit.

“Ini bukan cinta. Ini cuma kontrak. Seks. Permainan.”

Tapi mengapa hatinya terasa semakin terikat?

Saat ia melangkah masuk kembali ke ruang tamu, suara bel berbunyi. Nayla memicingkan mata. Siapa?

Ia membuka pintu.

Dan di sanalah dia berdiri—Arumi.

Cantik. Elegan. Dingin seperti patung porselen. Sepasang mata tajam itu langsung menelusuri tubuh Nayla… dan berhenti di kemeja Radit yang dikenakannya.

“Kau siapa?”

Nayla terdiam. Hatinya berdegup cepat. Ia tak tahu Radit belum memberi tahu Arumi… atau pura-pura belum.

“Aku—”

“Jangan bohong,” potong Arumi cepat. Ia tersenyum kecil, dingin. “Kau tidur di sini, memakai bajunya… mungkin juga tidurnya. Jadi, siapa kau dalam hidup suamiku?”

"Suamiku." Kata itu menampar.

Nayla ingin bicara, menjelaskan… tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia istri sah secara hukum, tapi hanya berdasarkan kontrak? Bahwa ia mulai jatuh cinta pada pria milik wanita ini?

Arumi melangkah masuk tanpa izin. Hak sepatunya berdetak di lantai marmer.

“Kau tahu kenapa aku tidak pernah tidur di ranjang Radit?”

Nayla menatapnya.

“Karena aku tidak mau. Karena aku tahu… tubuh bisa dibagi. Tapi kendali? Itu milikku. Dan aku tidak suka saat perempuan lain mencoba merusaknya.”

Ia mendekat, berbisik tepat di telinga Nayla:

“Kau bisa tidur bersamanya. Tapi kau takkan pernah memiliki hatinya. Karena dia... rusak. Dan kalau dia hancur, dia akan menyeretmu bersamanya.”

Lalu Arumi melangkah pergi, seolah kemenangannya telah ditentukan.

Nayla berdiri kaku. Bibirnya bergetar. Ia tidak tahu yang mana yang lebih menyakitkan: tatapan Arumi… atau kemungkinan bahwa semua kata-katanya benar.

Bab 6: Di Balik Topeng Radit

Raditya Al Ghazali duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke layar laptop yang menyala. Namun pikirannya tidak ada di sana.

Pagi ini, Arumi datang ke penthouse. Ia tahu itu bukan kunjungan biasa. Arumi selalu punya tujuan tersembunyi.

Tapi yang membuatnya resah bukan kedatangan Arumi… melainkan tatapan Nayla yang ia bayangkan.

Tatapan itu, campuran antara ketakutan, kebingungan, dan… cinta yang mulai tumbuh.

Radit menutup laptopnya, lalu berdiri, berjalan ke jendela. Kota Jakarta membentang di bawahnya, tapi dalam hatinya justru gelap tak bertepi.

“Aku menciptakan kontrak ini untuk mengendalikan semuanya. Tapi malah aku yang kehilangan kendali.”

Ia ingat malam-malam bersama Nayla: sentuhan lembut, ciuman yang dalam, napas yang saling bertaut. Untuk pertama kalinya, Radit merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu dan penguasaan.

Tapi Arumi… istri sahnya, bukan hanya wanita dingin tanpa perasaan. Ia adalah pengingat bahwa dunia Radit adalah perang yang penuh tipu daya.

“Kalau aku memilih Nayla, aku hancurkan segalanya.”

Radit menatap cincinnya di jari manisnya. Cincin yang selama ini dianggap hanya simbol formalitas.

Ia tahu: Nayla bukan hanya 'proyek' yang bisa dibuang setelah kontrak habis. Ia sudah masuk ke dalam dinding pertahanannya yang selama ini ia bangun untuk melindungi dirinya.

Dan sekarang, Radit harus memilih: melanjutkan perang atau membuka hati yang sudah lama terkunci.

Bab 7: Perang Tanpa Suara

Radit berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengenakan setelan jas hitam tanpa dasi. Matanya tajam, penuh keputusan.

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Arumi:
"Aku tahu kau bersamanya. Jangan kira aku akan diam."

Radit mengetik balasan singkat:
"Aku akan lakukan apa yang harus kulakukan."


Di sisi lain kota, Nayla duduk di ruang tamu rumah kecil keluarganya. Ibunya menatapnya penuh harap tapi juga ada kekhawatiran.

"Nayla, kau yakin bisa terus bertahan? Radit itu bukan pria biasa. Kau sudah tahu Arumi ada di situ."

Nayla menghela napas, "Aku tak punya pilihan, Bu. Ini bukan soal aku atau mereka. Ini soal keluarga."

Ibunya menangis pelan. "Tapi hati anak ibu… jangan sampai terluka terlalu dalam."


Kembali di penthouse, Radit mematikan ponsel dan menatap jendela.

“Aku harus melindungi Nayla. Bukan karena kontrak, tapi karena aku tidak bisa kehilangan dia.”

Ia tahu ini bukan hanya soal kekuasaan, tapi hati yang mulai rapuh.


Malam itu, Nayla mendapat telepon dari Radit.

“Jangan pergi ke mana-mana malam ini. Aku ingin bicara—tanpa drama, tanpa kata-kata kasar.”

Nayla menatap layar ponsel. Untuk pertama kalinya sejak lama, suara Radit terasa... tulus.

Bab 8: Malam yang Jujur

Radit menunggu di ruang tamu penthouse, lampu redup hanya menyinari wajahnya yang serius. Ketika Nayla masuk, ia tersenyum tipis.

“Aku ingin kita bicara. Bukan soal kontrak, bukan soal masa lalu, tapi soal kita.”

Nayla duduk di kursi, menatapnya penuh tanda tanya.

“Kau tahu, selama ini aku mengira aku cuma ‘pengganti’,” ucapnya pelan, “tapi aku mulai sadar… aku ingin lebih.”

Radit mengangguk, matanya lembut tapi tegas.

“Aku juga merasakannya. Tapi kita harus jujur. Ini bukan cuma tentang aku dan kamu, tapi tentang luka lama yang harus kita hadapi.”

Nayla menggigit bibir. “Aku takut, Radit. Takut kehilangan diriku sendiri.”

Radit meraih tangan Nayla, menggenggamnya erat.

“Kita akan lewati ini bersama. Tidak ada yang akan aku biarkan menyakitimu. Aku… aku mencintaimu, Nayla.”

Kata itu menggema di ruangan. Nayla terdiam, matanya berkaca-kaca.

“Aku juga mencintaimu,” jawabnya lirih.

Malam itu bukan hanya tentang keintiman fisik yang dulu, tapi tentang membuka hati, menyembuhkan luka, dan memulai sesuatu yang baru.

Bab 9: Badai yang Tak Terhindarkan

Beberapa hari setelah percakapan malam itu, suasana di penthouse berubah tegang.

Arumi muncul tiba-tiba, dengan senyum dingin dan mata penuh perhitungan.

“Radit, aku datang untuk menyelesaikan semuanya. Ini pernikahan kita, dan aku tidak akan membiarkan perempuan lain merusaknya.”

Radit berdiri, menatap Arumi tanpa ragu.

“Aku sudah memilih. Nayla bukan sekadar pelarian, dia… bagian dari hidupku.”

Arumi tertawa kecil, sinis.

“Kau pikir ini mudah? Aku punya cara untuk menghancurkan semuanya. Kau dan perempuan itu.”

Nayla yang berdiri di sudut ruangan merasakan udara seperti membeku. Hatinya berdebar. Ini bukan hanya soal cinta lagi—ini perang.

Radit menggenggam tangan Nayla erat, menatap Arumi.

“Kalau kau ingin perang, aku siap. Tapi ingat, aku tak sendiri.”

Arumi menyeringai, lalu pergi dengan langkah anggun, meninggalkan aura ancaman yang pekat.

Bab 10: Di Persimpangan Rasa

Malam itu, Nayla duduk di sudut kamarnya, memeluk lututnya erat. Suara hujan pelan terdengar di jendela, menambah sunyi yang memenuhi ruang.

Pikiran Nayla penuh dengan bayang-bayang Arumi—kata-kata dingin yang menusuk hati dan ancaman yang belum jelas bentuknya.

“Apakah aku benar-benar bisa bertahan? Atau aku cuma ilusi yang akan segera lenyap?”

Air mata jatuh pelan, tapi Nayla segera menghapusnya. Ia tahu, jika kali ini menyerah, ia takkan pernah mendapatkan kesempatan lagi.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan dari Radit:
"Aku di luar. Buka pintu. Aku tidak akan biarkan kau sendiri malam ini."

Nayla bangkit, membuka pintu, dan Radit masuk dengan langkah cepat. Tanpa kata, ia memeluk Nayla erat, seperti ingin melindunginya dari dunia.

“Aku tidak akan biarkan mereka menghancurkan kita,” bisik Radit.

Di pelukan Radit, Nayla merasa sedikit kuat kembali. Tapi ia tahu, pertempuran sebenarnya baru saja dimulai.

Bab 11: Darah dan Dosa

Pagi itu, Nayla menerima telepon dari ibunya. Suaranya terdengar aneh, tegang.

“Nay, kamu bisa pulang sebentar? Ada yang perlu dibicarakan.”

Nayla tahu nada itu. Bukan permintaan biasa. Ia datang ke rumah dengan jantung berdegup.

Di ruang tamu, ayahnya duduk dengan wajah muram. Di meja, tergeletak beberapa lembar print-out. Nayla menatap dan… hatinya mencelos.

Foto-foto dirinya dan Radit. Diambil diam-diam. Ada satu yang sangat buruk: saat Radit menciumnya di depan penthouse.

“Ini… apa maksudnya semua ini, Nayla?” tanya ayahnya. Wajahnya keras, tapi suaranya pelan, nyaris patah.

“Itu... hanya fitnah. Ada yang sengaja menyebarkannya.” Nayla mencoba menjelaskan, tapi suaranya bergetar.

Ibunya menggenggam tangan Nayla. “Kami tahu kamu menikah secara sah. Tapi... ini tidak sekadar gosip. Ada yang ingin kamu jatuh.”

Arumi. Siapa lagi kalau bukan dia?

“Kami dipanggil ke kelurahan, Nay,” kata ayahnya. “Ada pihak yang mempertanyakan legalitas pernikahanmu. Ada yang menggugat… statusmu.”

Hati Nayla mencelos. Ini bukan lagi tentang hubungan. Ini tentang identitas hukum dan kehormatan keluarga.

“Aku akan selesaikan semuanya, Ayah. Aku janji.”

Tapi malam itu, saat ia kembali ke penthouse dan memberitahu Radit, lelaki itu berubah wajah.

“Dia mulai main kotor…”

Radit mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.

“Kalau dia ingin perang, aku akan buka semua. Termasuk rahasia yang selama ini dia sembunyikan.”

Bab 12: Rahasia yang Terkuak

Radit membuka laci rahasia di ruang kerjanya. Di dalamnya ada sebuah map merah tua, tertutup rapat. Ia menatapnya beberapa detik—ragu, marah, lalu mengambilnya dengan tangan gemetar.

"Kalau ini yang harus kulakukan untuk melindungi Nayla... maka biarlah semuanya terbuka."

Ia menyerahkan map itu pada Nayla malam itu. Tangannya dingin.

“Ini... catatan medis Arumi. Lima tahun lalu, saat dia mengalami keguguran dan terapi psikologis setelahnya.”

Nayla menatap lembaran itu dengan mata membesar.

“Arumi tidak pernah ingin punya anak dariku,” kata Radit datar. “Dia... menjalani kontrak dengan pihak asing untuk kariernya di luar negeri. Dan untuk itu... dia harus steril. Dia pakai nama gadisnya agar tidak diketahui siapa suaminya.”

Nayla menelan ludah.

“Lalu kenapa kamu tetap bersamanya?”

“Karena perusahaan ini. Karena keluargaku memaksa pernikahan itu untuk menggabungkan dua nama besar. Tapi yang mereka tidak tahu: aku hanya boneka dalam pesta keluarga besar itu.”

Ia menatap Nayla, sorot matanya serius namun lembut.

“Denganmu, aku bebas memilih.”

Nayla menatap Radit lama, hingga air matanya menetes.

Namun sebelum malam benar-benar tenang, Nayla merasa mual. Ia berlari ke kamar mandi dan muntah hebat. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah pucat dan tangan gemetar.

“Radit... aku rasa aku... hamil.”

Sunyi.

Radit membeku. Wajahnya tak bisa dibaca. Lalu perlahan... ia menghampiri Nayla, berlutut di depannya, memegang tangannya dengan lembut.

“Kalau ini kenyataan... maka ini adalah awal yang baru. Untuk kita.”

 

Bab 13: Ledakan di Tengah Cahaya

Arumi berdiri di depan cermin besar kamar penthouse pribadinya, memandangi bayangannya sendiri dengan senyum dingin yang merayap di bibir.

“Jadi, dia hamil…”

Tangannya meremas ponsel, berita itu baru saja ia dapat dari sumber ‘tak resminya’. Tapi informasi itu cukup membuat dadanya membara.

"Dia pikir bisa mengikat Radit dengan anak? Aku akan buat dia tahu... aku masih istri sahnya."


Sementara itu, Radit berdiri di depan deretan mikrofon dalam sebuah konferensi pers darurat. Wartawan berkumpul, kilatan kamera menyambar tiap detik.

“Hari ini, saya ingin menyampaikan sesuatu sebagai pribadi, bukan sebagai CEO.”

Semua hening.

“Saya menikah diam-diam beberapa waktu lalu. Wanita itu... Nayla Syahputri. Dia bukan selingkuhan. Dia istri saya yang sah, dan kini... sedang mengandung anak saya.”

Suara meledak dari para wartawan.

“Lalu bagaimana dengan Ny. Arumi Wicaksono?” seru salah satu jurnalis.

Radit menatap kamera.

“Perjanjian keluarga kami dengan pihak Wicaksono tak lagi relevan. Saya akan mengurus proses hukum. Saya tidak akan diam jika kebahagiaan saya diancam.”


Di tempat lain, Nayla duduk di ruang periksa rumah sakit, menatap hasil tes kehamilannya. Matanya berkaca-kaca, tangan gemetar.

“Selamat ya, Bu Nayla. Usia kandungan Anda sekitar 5 minggu. Tapi…”

Nayla langsung menoleh. Dokter terlihat ragu.

“Ada sedikit ancaman keguguran. Tekanan darah Anda tidak stabil. Saya sarankan istirahat total.”

Jantung Nayla mencelos.


Malam itu, saat Radit kembali ke penthouse, ia menemukan kamar kosong. Di meja, ada secarik kertas:

"Radit, aku harus menjauh sebentar. Untuk bayimu... untuk hatiku sendiri. Aku tahu aku mencintaimu. Tapi sekarang, aku harus memilih keselamatan di atas segalanya."
Nayla

Radit membacanya berulang-ulang. Lalu terdengar suara langkah kaki... dari arah pintu. Ia menoleh.

Seorang pria paruh baya masuk, mengenakan jas gelap. Wajahnya familiar. Terlalu familiar.

“Sudah lama, Radit.”

“Paman Faiz…”

“Kau pikir rahasia keluarga ini bisa kau tutupi selamanya?”

 

Bab 14: Dosa yang Diwariskan

Radit menatap pria di hadapannya—Faiz, adik dari ayahnya, sosok yang menghilang lebih dari satu dekade lalu setelah sebuah skandal besar mengguncang keluarganya.

“Apa maumu muncul sekarang, Paman?”

Faiz duduk santai di sofa, melemparkan map tua ke atas meja. “Aku mau yang seharusnya menjadi milikku sejak awal. Harta, nama besar… dan kehancuran kakakku. Ayahmu, yang membuatku dibuang seperti sampah.”

Radit membuka map itu. Matanya menyipit.

“Kontrak kepemilikan saham…”

Faiz tertawa pelan. “Arumi membantuku. Dia kirim dokumenmu. Sebagai gantinya, dia dapat kesempatan terakhir menyingkirkan Nayla dari hidupmu—secara permanen.”

Jantung Radit mencelos.


Di tempat lain...

Nayla duduk sendirian di rumah peristirahatan kecil di luar kota. Ia pikir tempat itu aman, atas bantuan seseorang yang mengaku dikirim oleh Radit. Tapi kini, semuanya terasa salah.

Ponselnya hilang. Dan tak ada sinyal.

“Aku di mana sebenarnya…?”

Pintu rumah terkunci dari luar. Dan seseorang mengawasinya dari kejauhan—mata tajam, kamera di tangan, dan senyum dingin.

Arumi.

“Kau mau main kotor, Nayla? Ini giliranku.”


Kembali ke Jakarta...

Radit menghubungi nomor ponsel Nayla—tak aktif. Ia mencoba melacak sinyal terakhir, memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk turun ke lapangan.

“Jika terjadi sesuatu pada Nayla dan anakku… aku akan hancurkan semuanya. Termasuk kalian, Faiz… dan Arumi.”

Faiz berdiri, matanya dingin.

“Beranikah kau melawan darahmu sendiri, Radit?”

Radit menatapnya tajam.

“Jika darahku beracun, maka akan kucuci sampai bersih.”

 

Bab 15: Pelarian dan Penyergapan

Nayla berhasil membuka jendela kamar sempit itu. Tubuhnya lemah, kandungannya masih muda, tapi nalurinya untuk bertahan lebih kuat dari rasa sakit.

Di luar, malam gelap dan sunyi. Tapi ia berlari—menuju hutan kecil di belakang bangunan tua itu. Suara langkah mengejarnya tak jauh di belakang.

Tiba-tiba—sebuah mobil hitam berhenti di tengah jalan berlumpur. Seorang pria keluar. Matanya tajam, janggut tipis.
Reyhan. Mantan tunangan Nayla yang pernah hilang bertahun lalu.

“Masuk, Nay. Ini bukan saatnya tanya-tanya.”

Tanpa pikir panjang, Nayla melompat masuk.


Bab 16: Kebenaran Meledak

Radit sampai di vila terbengkalai itu satu jam kemudian. Kosong. Tapi ada jejak: potret sobek Nayla, dan rekaman suara Arumi yang tak sengaja tertinggal.

“Buang dia pelan-pelan. Kalau sampai dia kehilangan bayinya… bagus. Kalau tidak, kita atur agar dia tak bisa kembali pada Radit.”

Darah Radit mendidih.

Ia menghubungi semua media. Hari itu juga, ia menggelar konferensi pers kedua:

“Saya punya bukti keterlibatan Arumi dan Faiz Ghazali dalam percobaan penculikan dan pembunuhan terhadap istri saya dan calon anak kami.”

Gempar.

Polisi dikerahkan. Saham perusahaan Faiz membeku. Arumi diburu.


Bab 17: Luka yang Disembuhkan

Reyhan membawa Nayla ke rumah sakit kecil. Ia tak tahu siapa lelaki itu sekarang, tapi ia tahu: Reyhan menyelamatkannya.

“Terima kasih… tapi kenapa kamu menolongku?” tanya Nayla.

Reyhan tersenyum pahit.

“Karena aku tahu... aku kehilanganmu bukan karena takdir, tapi karena kebodohanku. Dan karena… kau sedang mengandung cinta yang nyata. Aku hanya ingin menebus sedikit.”

Radit tiba 2 jam kemudian. Ia berlari ke ruang perawatan, memeluk Nayla dengan air mata yang tak bisa ditahan.

“Kau dan anak kita adalah rumahku. Maafkan aku... aku terlambat.”

Nayla menggenggam tangannya. “Kamu datang. Itu cukup.”


Bab 18: Api yang Padam

2 bulan kemudian.

Arumi ditangkap di Singapura. Ia mencoba kabur dengan identitas palsu.

Faiz dijatuhi hukuman atas penipuan dan upaya pembunuhan.

Perusahaan Ghazali diselamatkan, tapi Radit mundur dari posisi CEO.

“Aku ingin hidup sebagai suami dan ayah. Bukan mesin bisnis.”

Nayla tersenyum sambil mengelus perutnya yang mulai membesar.


Epilog: Cinta yang Bertahan

Setahun kemudian.

Seorang bayi laki-laki lahir dengan tangisan nyaring dan mata yang mirip Radit.

Namanya: Rayyan Alvaro Ghazali.

Di teras rumah baru mereka di pinggiran kota, Radit dan Nayla duduk berdua.

“Kita sudah lewati neraka,” kata Nayla pelan.

Radit mengecup keningnya. “Dan sekarang, kita punya surga kecil ini.”


TAMAT



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh