Kamu, Senyumnya, dan Musim Hujan
Kamu, Senyumnya, dan Musim Hujan
Judul: "Kamu, Senyumnya, dan Musim Hujan"
Sinopsis:
Alya tidak percaya cinta bisa tumbuh dari tatapan pertama. Sampai dia bertemu Arka—murid pindahan yang selalu duduk di bangku paling belakang, tenggelam dalam headphone dan lukisan hujan. Tapi siapa sangka, dari satu senyuman di bawah payung yang sama, dunia mereka mulai berubah.
Bab 1: Bangku Paling Belakang
Hujan selalu membawa cerita. Untukku, hujan adalah pengingat—tentang rindu, kehilangan, dan... awal dari semuanya.
Namaku Alya. 17 tahun. Siswa kelas 11 di SMA Negeri 5 Bandung. Hari itu, hujan turun sejak subuh, dan aku lupa bawa payung.
Kelas sudah hampir penuh ketika aku datang. Dan di bangku paling belakang, ada wajah baru. Dia duduk sendiri, dengan hoodie hitam dan headphone menempel di telinga. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah rintik hujan yang belum juga reda.
"Siapa dia?" bisik Dira, sahabatku, saat aku duduk di sebelahnya.
"Entahlah," jawabku sambil melirik sekilas. Tapi dia menangkap tatapanku. Dan untuk sepersekian detik—dia tersenyum.
Aneh. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Bab 2: Payung Arka
Namanya Arka. Arka Mahesa. Murid pindahan dari Jakarta. Katanya dia nggak terlalu suka bicara, lebih suka menggambar. Tapi hari itu, dia berbicara padaku—untuk pertama kalinya.
"Lo gak bawa payung?"
Aku hanya menggeleng, menggigil kecil di depan gerbang sekolah yang basah kuyup. Arka membuka payungnya, lalu tanpa banyak bicara, berdiri di sebelahku.
"Yuk. Bareng aja."
Dan seperti itu, aku berjalan di bawah payung yang sama dengannya. Satu sisi diriku bilang, ini cuma kebetulan. Tapi sisi lain—yang tak bisa dijelaskan—bilang, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Bab 3: Sketsa Tentang Aku
Sejak hari itu, aku jadi sering memperhatikan Arka.
Dia selalu duduk di bangku belakang, membuka sketchbook hitam yang lusuh, dan menggambar dalam diam. Entah kenapa, suasana di sekelilingnya selalu terasa... tenang. Seperti hujan rintik-rintik yang jatuh tanpa suara.
Sampai suatu sore, aku menemukan sesuatu di loker mejaku.
Sebuah kertas, dilipat rapi. Di dalamnya... ada gambar. Wajah seorang gadis—tersenyum, dengan rambut sedikit basah terkena hujan. Itu... aku.
Aku mematung.
Lalu, di sudut kertas itu, ada tulisan kecil:
"Kadang, kita menemukan keindahan tanpa harus mencarinya." – A
Hatiku berdegup lebih kencang dari biasanya.
Bab 4: Dira dan Rahasia yang Tak Sengaja
"Alya... kamu suka dia, ya?"
Pertanyaan Dira langsung membuatku tersedak susu kotak. Kami sedang duduk di kantin, makan bakso tahu favorit kami, saat dia menjatuhkan pertanyaan itu.
"Apa sih, Dir?"
"Tapi kamu sering ngeliatin dia. Dari jauh. Dan kamu senyum-senyum sendiri."
Aku diam. Tidak bisa menyangkal.
Dira tersenyum nakal. "Kalau kamu gak ngaku, aku bakal kasih tahu dia. Bahwa kamu—"
"Dir! Jangan!" potongku cepat.
Dia tertawa puas. Tapi kemudian menatapku serius. "Cuma... hati-hati ya, Ly. Gue denger kabar... Arka punya masa lalu yang agak gelap."
Aku menatapnya, bingung. "Maksudnya?"
Dira mengangkat bahu. "Belum tahu pasti. Tapi katanya... dia pindah karena sesuatu terjadi di sekolah lamanya."
Bab 5: Tentang Hujan, Luka, dan Diam
Aku memberanikan diri bicara padanya di perpustakaan. Sore itu, langit mendung. Lagi-lagi. Sepertinya hujan tahu kapan harus turun, kapan harus menciptakan suasana yang tepat.
"Arka..." panggilku pelan.
Dia menoleh, melepas headphone-nya. Untuk pertama kalinya, aku melihat matanya tanpa penghalang. Ada sesuatu di sana—sedih yang disembunyikan, luka yang belum sembuh.
"Kenapa kamu suka banget sama hujan?" tanyaku tiba-tiba.
Dia terdiam sejenak. Lalu menjawab, pelan.
"Soalnya hujan... nutupin suara tangis."
Aku tercekat.
Di balik semua ketenangan yang dia tunjukkan, ternyata ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang belum aku pahami, tapi ingin sekali aku pelajari.
Bab 6: Rahasia di Balik Sketchbook
Hari itu, Arka tidak masuk sekolah.
Entah kenapa, ada rasa sepi yang aneh tanpa dia. Bangku belakang kosong, dan aku terus melirik ke sana, berharap dia tiba-tiba muncul dengan hoodie hitam dan tatapan kosong yang diam-diam aku rindukan.
Sore harinya, aku tidak sengaja bertemu Bu Ayu—guru seni rupa—di koridor.
"Kamu dekat dengan Arka, ya?" tanyanya, sambil membawa map besar berisi karya murid-murid.
Aku mengangguk pelan.
Bu Ayu membuka satu sketchbook di tangannya, dan mataku membelalak. Itu milik Arka. Dan... semua gambar di dalamnya adalah aku.
Aku—duduk di kantin. Aku—tertawa dengan Dira. Aku—berjalan di bawah hujan.
"Dia anak yang sensitif. Pernah jadi korban bullying di sekolah lamanya karena... terlalu beda," ujar Bu Ayu, lirih. “Melukis jadi pelarian, mungkin juga penyembuhan.”
Bab 7: Kembali Saat Hujan Turun
Arka kembali ke sekolah dua hari kemudian. Dan anehnya, dia justru menghindariku.
Tidak ada lagi senyum di bawah payung. Tidak ada sapa. Bahkan matanya tak lagi menoleh ke arahku.
Sampai akhirnya aku menyeret langkahku ke bangku belakang, duduk di sebelahnya meski jantungku berdebar hebat.
"Kenapa kamu berubah?" tanyaku, suara gemetar.
Dia diam. Lalu berkata, lirih, "Karena aku takut bikin kamu kecewa."
"Kenapa harus takut?"
Dia menatapku, untuk pertama kalinya dengan mata yang benar-benar jujur. "Aku ini rusak, Alya. Aku bukan orang yang baik buat kamu."
Aku menggenggam tangannya, pelan. "Semua orang punya luka. Tapi bukan berarti kamu gak pantas disembuhkan."
Bab 8: Ujian, Ucapan, dan Payung yang Sama
Mendekati ujian akhir semester, semuanya jadi lebih sibuk. Tapi anehnya, hubungan kami justru jadi... lebih tenang.
Arka mulai membuka diri. Sesekali dia duduk bersamaku dan Dira saat istirahat. Kadang dia menggambar di hadapanku tanpa menyembunyikan sketchbook-nya lagi.
Suatu hari saat hujan turun deras dan aku lupa bawa jas hujan motor, dia menghampiriku dengan payung birunya yang sudah mulai pudar.
"Kita bareng lagi?" katanya, tersenyum.
Seperti kilas balik hari itu—hari pertama kami berjalan di bawah payung yang sama.
Dan entah kenapa, kali ini hatiku lebih yakin. Tentang dia. Tentang kami.
Bab 9: Surat dari Masa Lalu
Suatu pagi, Dira menyerahkan sebuah amplop kecil padaku. "Ini... dikasih Bu Ayu. Katanya kamu harus baca."
Isi amplop itu adalah surat. Ditulis dengan tulisan tangan yang familiar. Dari Arka.
Alya...
Kalau kamu baca ini, berarti kamu sudah tahu semuanya.
Maaf kalau aku sempat menjauh. Aku cuma takut sejarah terulang. Di sekolah lamaku, aku pernah suka sama seseorang juga. Tapi aku malah jadi bahan tertawaan. Sketsa wajah dia disebar. Aku dipermalukan.
Tapi kamu beda.
Kamu gak pernah nanya kenapa aku aneh. Kamu gak pernah suruh aku berhenti menggambar. Kamu cuma... hadir. Dan itu cukup.
Terima kasih.
Kalau kamu masih mau berjalan di bawah payung yang sama denganku... aku di taman belakang jam pulang nanti.— Arka.
Bab 10: Di Taman Saat Hujan
Aku lari ke taman belakang sekolah begitu bel berbunyi. Langit mendung, dan tetesan hujan mulai turun pelan. Di sana, dia berdiri. Dengan payung biru dan senyum yang membuat dadaku terasa hangat.
"Aku di sini," kataku pelan.
Arka membuka payungnya. Kami berdiri bersama, lagi-lagi di bawah payung yang sama.
Tapi kali ini... tanganku menggenggam tangannya lebih erat.
Dan untuk pertama kalinya, aku yakin—bahwa tidak semua hujan adalah tentang duka. Kadang, hujan juga membawa seseorang yang bisa menyembuhkan luka.
Bab 11: Surat yang Tertukar
Setelah hari di taman itu, aku pikir semua akan berjalan mulus. Aku dan Arka jadi lebih dekat. Kita bahkan duduk sebangku sekarang. Satu sekolah kayak udah anggap kita “couple”—meski aku gak pernah benar-benar bilang iya.
Sampai suatu siang, saat aku membantu Bu Ayu memindahkan barang di ruang seni.
"Alya, bisa taruhin surat-surat murid di laci, ya?" katanya.
Aku menuruti. Tapi satu surat terjatuh dari tumpukan. Bukan surat biasa. Itu surat dengan coretan nama: "Untuk Nayla."
Nayla?
Aku menoleh. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang... sangat mirip Arka.
Jantungku mencelos. Siapa Nayla?
Bab 12: Siapa Nayla?
Aku mencoba tenang. Tapi di dalam hati, rasanya seperti badai petir sedang menggulung.
Malamnya, aku iseng membuka media sosial Arka—yang sebenarnya gak aktif-aktif amat. Scroll. Scroll. Sampai akhirnya... aku menemukan satu foto lama. Caption-nya:
“Nayla, kamu masih satu-satunya warna di dunia kelabuku.”
Tiba-tiba semuanya jadi blur.
Apakah aku... cuma pelarian?
Keesokan harinya, aku bicara jujur ke Arka.
"Ada seseorang yang namanya Nayla, kan?"
Dia terlihat kaget. Hampir panik. Tapi dia tidak menyangkal.
"Iya... dia mantan aku."
Deg.
"Dia satu-satunya orang yang pernah ngerti aku. Tapi dia pergi—tiba-tiba. Kecelakaan motor. Sudah satu tahun lalu."
Aku menatapnya, bingung antara sedih dan... merasa dikhianati.
"Terus aku apa, Arka?"
Dia menggenggam tanganku, kali ini lebih erat dari sebelumnya.
"Kamu... bukan pengganti. Kamu penyembuh."
Bab 13: Di Antara Hujan dan Pelangi
Butuh waktu. Aku tidak langsung percaya.
Tapi aku tahu rasanya kehilangan, dan aku tahu... luka Arka belum sepenuhnya sembuh. Dan mungkin, itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi aku juga tahu, dia tidak hidup di masa lalu lagi.
Beberapa hari kemudian, saat aku sedang menunggu hujan reda di koridor, Arka datang. Membawa dua gelas coklat hangat dan... satu buku kecil.
"Ini buat kamu."
Aku membukanya. Isinya adalah kumpulan sketsa—semuanya aku. Tapi di halaman terakhir, ada satu gambar berbeda.
Arka dan aku. Di bawah payung. Dan pelangi di belakang kami.
"Karena kamu bukan hanya datang saat hujan," katanya. "Kamu yang ngajarin aku, bahwa setelah hujan, langit juga bisa indah lagi."
Komentar
Posting Komentar