Langit Tak Lagi Biru
Langit Tak Lagi Biru
Judul: Langit Tak Lagi Biru
Genre: Drama, Remaja, Keluarga, Emosional
Rating: Remaja 13+
Bab 1: Retakan di Dalam Rumah
Namaku Alena, usia tujuh belas tahun. Di luar aku mungkin terlihat seperti remaja biasa: rambut sebahu, jaket oversize favorit, dan buku harian yang selalu kubawa ke mana pun. Tapi di balik itu semua, aku menyimpan luka yang tak bisa sembuh hanya dengan waktu.
Dulu, rumahku penuh tawa. Ayah selalu punya lelucon konyol saat makan malam, dan ibu akan tertawa sambil menggeleng kesal. Aku suka momen itu. Tapi semua berubah sejak aku duduk di bangku SMP.
Pertengkaran mulai jadi hal biasa. Kadang tentang hal kecil seperti siapa yang lupa matikan kompor, kadang soal uang. Suara-suara keras, piring pecah, hingga air mata menjadi rutinitas. Aku sering menyumpahi tembok rumah yang terlalu tipis. Tak ada rahasia dalam rumah yang terlalu sering retak.
Dan akhirnya, hari itu datang. Hari saat ayah mengemasi barangnya tanpa menoleh. Ibu hanya berdiri di depan pintu, diam, tangannya gemetar sambil meremas kertas gugatan cerai. Aku? Berdiri di tangga, memeluk boneka lama yang bahkan sudah tak punya mata.
Sejak itu, aku berhenti percaya pada yang namanya ‘keluarga bahagia’.
Latar Cerita:
Alena kini tinggal bersama ibunya yang sibuk bekerja dan sering pulang larut. Di sekolah, dia berusaha keras menyembunyikan kondisi keluarganya. Namun, semuanya mulai berubah saat dia bertemu Raka, siswa pindahan yang tampaknya menyimpan luka yang tak jauh berbeda. Perlahan, mereka saling menyembuhkan... tapi masa lalu tak pernah benar-benar pergi.
Bab 2: Rumah Tanpa Suara
Sudah dua tahun sejak ayah pergi. Tapi jejaknya masih ada di mana-mana. Lemari di ruang tamu masih menyimpan dasi-dasi kerjanya. Ibu bilang terlalu malas untuk membuangnya, tapi aku tahu itu hanya alasan.
Di meja makan, hanya ada dua piring sekarang. Aku dan ibu. Tapi kami jarang duduk bersamaan. Ibu pulang malam, lebih sering membawa sisa stres kantor daripada makanan hangat.
Aku tumbuh dalam sunyi.
Dan dari semua hal yang aku rindukan, aku paling rindu suara. Suara tawa ayah, suara musik tua dari radio di dapur, bahkan suara ibu yang mengomel tentang kebiasaan jelekku. Sekarang, rumah ini hanya penuh dengan detik jam dan deru napasku sendiri.
Bab 3: Luka yang Sama
Hari Senin pagi, sekolah seperti biasa. Atau, seharusnya biasa.
Sampai guru memperkenalkan siswa baru.
"Anak-anak, ini Raka Aditya. Dia pindahan dari Surabaya. Harap diterima dengan baik."
Aku mengangkat kepala. Dia tinggi, kulitnya sawo matang, rambutnya agak berantakan tapi tidak terkesan jorok. Tapi yang paling mencolok adalah matanya—dingin dan jauh. Seperti menyimpan sesuatu yang berat.
Dia duduk di bangku kosong di sebelahku. Dan untuk beberapa detik, mata kami bertemu.
Ada sesuatu dalam tatapan itu. Sesuatu yang familiar. Seperti... kesepian yang sama.
Bab 4: Percakapan Pertama
Butuh waktu seminggu sebelum kami benar-benar berbicara.
Saat itu, hujan turun deras. Aku duduk sendirian di bangku taman sekolah, menunggu ibu yang terlambat menjemput karena lembur.
"Sendirian?"
Aku menoleh. Raka berdiri di sana, memegang satu payung.
Aku mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Biasanya, aku tak suka orang lain tahu bahwa aku anak yang sering dijemput terlambat.
Dia duduk di sampingku, diam. Kami tak bicara untuk waktu lama. Tapi anehnya, itu bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti... nyaman.
"Ayah gue ninggalin gue tiga tahun lalu," katanya tiba-tiba. Suaranya datar.
Aku menoleh, kaget.
"Kayaknya... kita punya luka yang sama."
Bab 5: Surat Tak Pernah Dikirim
Malam itu, aku membuka buku harian lama. Di dalamnya, banyak surat yang kutulis untuk ayah. Tapi tak pernah kukirim.
"Ayah, kenapa kamu pergi tanpa melihat mataku dulu? Kenapa kamu bisa tidur nyenyak sementara aku masih mimpi buruk setiap malam?"
Aku menangis. Tapi tidak keras. Tangis yang diam-diam, seperti biasa. Karena di rumah ini, tidak ada yang mendengar.
Besok, aku akan membawa satu surat ke sekolah. Entah kenapa, aku ingin menunjukkannya pada Raka.
Mungkin... karena dia satu-satunya yang bisa mengerti.
Bab 6: Surat untuk Orang yang Pergi
Aku menatap kertas surat yang telah lama kusimpan. Tulisannya pudar, tapi rasa sakit yang tergores di sana tetap terasa tajam. Di sekolah, aku menunjukkan surat itu pada Raka.
Dia membacanya tanpa banyak tanya. Setelah selesai, dia hanya berkata, "Gue juga punya satu surat. Tapi bukan buat bokap. Buat nyokap gue, yang milih pergi dan nggak pernah nyari gue lagi."
Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sendirian dalam rasa kehilangan.
Hari itu, kami duduk di bawah pohon mangga dekat lapangan. Tanpa suara, tapi banyak yang tersampaikan lewat diam.
Bab 7: Jejak yang Kembali
Pulang sekolah, aku menemukan ibu sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya tegang.
"Ayahmu telepon tadi siang," katanya lirih.
Dunia seperti berhenti berputar sejenak.
"Apa... dia mau kembali?"
Ibu hanya menggeleng. "Dia mau ketemu kamu. Sekali saja. Katanya dia sudah tinggal di luar kota, dan hidupnya... nggak sama lagi."
Aku tak tahu harus marah, sedih, atau berharap.
Malam itu aku tak bisa tidur. Kenapa dia muncul lagi? Setelah semua yang terjadi?
Bab 8: Ayah di Sebelah Jendela
Kami bertemu di sebuah kafe kecil, siang hari.
Ayahku tampak lebih tua, lebih kurus. Tapi senyumnya masih sama. Senyum yang dulu bisa membuatku merasa aman.
"Maaf," katanya, tanpa basa-basi.
Aku menggigit bibir. Ada terlalu banyak kata yang ingin kuucapkan, tapi semuanya macet di tenggorokan.
"Ayah nggak pernah berniat ninggalin kamu, Nak. Tapi ayah dan ibu... kita hancur. Dan aku pengecut."
Air mata menetes sebelum sempat kutahan. Tapi aku tak ingin menangis di depannya.
"Ayah telat. Terlalu telat."
Bab 9: Raka dan Pecahan Cermin
Besoknya aku menemui Raka di perpustakaan.
"Gue ketemu ayah gue kemarin," kataku.
Dia mengangguk. "Gue ngelihat nyokap gue minggu lalu. Sama suami barunya. Dia punya anak kecil. Kayak gue nggak pernah ada."
Aku meremas tangannya. Dia balas menggenggam. Tidak seperti sebelumnya, kali ini genggamannya erat. Hangat.
"Menurut lo... luka kayak gini bisa sembuh?" tanyaku.
"Enggak. Tapi mungkin... kita bisa belajar jalan sambil bawa lukanya. Bareng-bareng."
Bab 10: Rumah dengan Jendela Terbuka
Hari minggu itu, ibu pulang lebih awal. Dia memasak nasi goreng kesukaanku, sesuatu yang sudah lama tidak terjadi.
Kami makan malam bersama. Hening, tapi tidak setegang biasanya.
"Maaf kalau mama terlalu sibuk. Mama cuma... takut jatuh lagi," kata ibu pelan.
Aku menatapnya. Lalu perlahan, mengangguk.
Di kamarku, aku membuka jendela. Udara sore masuk, membawa aroma bunga melati dari taman sebelah.
Mungkin, pelan-pelan... langitku akan biru lagi.
Bab 11: Diam yang Mengerti
Sejak hari kami saling bercerita tentang orang tua masing-masing, aku dan Raka sering duduk bareng sepulang sekolah. Kami jarang bicara panjang, tapi setiap kalimat yang keluar, terasa penuh makna.
Hari ini, kami duduk di halte bus yang sudah tua dan catnya mulai terkelupas.
"Lo tahu nggak," kata Raka sambil menatap langit sore, "kayaknya kita cuma lagi saling nolong buat nggak gila."
Aku tertawa kecil. "Iya. Tapi gue bersyukur bisa gila bareng lo."
Raka menoleh, tersenyum. "Gue juga."
Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak ingin hari berakhir terlalu cepat.
Bab 12: Surat Panggilan dari Pengadilan
Tiga hari kemudian, aku pulang dan mendapati amplop putih di meja makan. Stempel pengadilan tertera jelas di sudutnya.
Ibu duduk di ruang tamu, menunduk. "Ayahmu... minta hak asuh."
Dunia langsung terasa kabur.
"Dia mau bawa kamu ikut dia ke Bandung. Katanya dia lebih mampu secara finansial. Dan kamu sudah cukup umur untuk memilih."
Aku menatap ibu yang berusaha keras terlihat tegar.
"Kenapa baru sekarang?" tanyaku pelan.
"Entah. Mungkin karena dia sadar kamu mulai bisa bahagia tanpanya."
Bab 13: Rasa yang Tak Bernama
Aku cerita pada Raka soal ayah yang ingin membawaku pergi.
Dia terlihat cemas. "Lo mau ikut?"
Aku menggeleng. "Gue... nggak tahu."
"Ada satu hal yang bikin gue pengen tetap di sini," kataku pelan.
Dia menatapku, matanya serius. "Apa itu?"
Aku menunduk, lalu menjawab, "Lo."
Raka terdiam. Tangannya perlahan menggenggam tanganku.
"Kalau lo pergi, jangan lupa bawa hati gue juga."
Dan saat itulah aku sadar: mungkin, aku mulai jatuh cinta.
Bab 14: Luka Baru, Harapan Lama
Sidang pertama dijadwalkan minggu depan. Ayah menghubungiku lewat telepon, membicarakan sekolah baru, rumah yang lebih nyaman, bahkan fasilitas lengkap. Tapi bukan itu yang aku butuhkan.
"Ayah tahu nggak... di rumah ini, meski kecil, gue belajar jadi kuat. Dan ayah nggak pernah jadi bagian dari proses itu."
Telepon diam. Lalu, ia menjawab dengan suara pelan, "Ayah cuma pengen memperbaiki semuanya."
"Tapi memperbaiki bukan berarti mengambil paksa yang bukan lagi milik ayah."
Bab 15: Pilihan yang Membebaskan
Hari sidang tiba.
Hakim bertanya, “Alena, kamu ingin tinggal dengan siapa?”
Ruangan hening. Semua mata menatapku.
Aku menarik napas dalam. “Aku ingin tinggal dengan ibuku. Dia mungkin nggak sempurna, tapi dia nggak pernah ninggalin aku.”
Ayah menunduk, wajahnya muram. Ibu meneteskan air mata pelan.
Aku menatap hakim. “Dan aku harap... ini jadi akhir dari perebutan. Karena aku bukan barang. Aku anak manusia.”
Hakim mengangguk pelan. Keputusan disahkan.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas. Bukan karena akhirnya dimenangkan—tapi karena aku memilih untuk tetap bertahan di tempat di mana aku tumbuh.
Bab 16: Saat Jarak Jadi Ujian
Setelah sidang, hidupku perlahan kembali ke jalur normal. Tapi, seperti langit yang kadang tiba-tiba mendung, hubungan dengan Raka pun tak lagi sama.
Dia mulai sering diam. Pulang lebih cepat. Kadang tak membalas pesanku. Bukan karena marah—aku tahu itu. Tapi seperti... dia sedang berjuang sendiri.
"Ada apa, Ka?" tanyaku suatu hari di taman belakang sekolah.
Dia menunduk. "Lo inget nyokap gue?"
Aku mengangguk.
"Dia sakit. Kanker stadium dua. Suami barunya ninggalin dia. Dan... dia minta gue balik buat jaga dia."
Aku menggenggam tangannya. Tapi dalam diam, aku tahu: waktuku dengan Raka akan diuji oleh jarak dan luka yang tak kumiliki kuasanya.
Bab 17: Janji di Bawah Pohon Mangga
Sore itu, kami duduk di bawah pohon mangga. Tempat kami dulu mulai saling mengenal.
"Aku nggak mau lo pergi," kataku jujur.
"Aku juga nggak mau. Tapi gue anaknya, Len. Sekacau apapun hubungan gue sama nyokap, gue nggak bisa ninggalin dia saat dia butuh."
Aku menahan air mata. Lalu bertanya, "Kalau lo pergi... kita gimana?"
Dia tersenyum tipis. "Kita tetap kita. Cuma jaraknya beda."
Kami berpelukan lama sekali. Dan sebelum pergi, dia menuliskan satu kalimat di buku harianku:
“Kita nggak harus selalu bersama untuk tetap saling punya.”
Bab 18: Aku, Tanpanya
Raka pindah ke kota sebelah. Tidak jauh, tapi cukup untuk membuat akhir pekanku sepi.
Tapi anehnya, aku tidak marah. Karena untuk pertama kalinya, aku merasa kuat. Aku tidak lagi bergantung. Aku mulai hidup sebagai diriku sendiri—bukan sebagai anak dari orang tua yang berpisah, bukan sebagai pacar Raka, tapi sebagai Alena.
Aku menulis. Banyak sekali. Cerita, puisi, bahkan mimpi-mimpiku yang dulu hanya kutulis di kepala.
Dan malam itu, aku mendaftar lomba menulis remaja nasional. Untuk pertama kalinya, aku ingin dilihat... oleh dunia.
Bab 19: Luka yang Menjadi Sayap
Seminggu kemudian, aku mendapat email balasan dari panitia lomba.
Selamat, naskahmu “Langit Tak Lagi Biru” lolos sebagai finalis.
Aku membaca pengumuman itu sambil menahan napas. Tanganku gemetar, mataku panas.
Aku langsung menelepon ibu. Ia menangis, tapi kali ini bukan karena sedih.
"Kamu akhirnya percaya sama dirimu sendiri," katanya.
Malam itu, aku berdiri di depan jendela kamarku. Melihat langit yang—meskipun tidak sepenuhnya cerah—tetap punya warna birunya sendiri.
Bab 20: Suara dari Kota Sebelah
Hari itu, aku menerima video call dari Raka.
Dia tampak lelah, tapi senyumnya masih sama.
"Apa kabar penulis favoritku?" katanya.
Aku tertawa. "Gue masuk final lomba menulis."
Matanya membelalak. "Gila! Gue bangga banget!"
Kami bicara lama. Tentang ibu masing-masing, tentang waktu, tentang bagaimana luka tidak harus dihapus—cukup diterima.
Sebelum menutup panggilan, dia berkata:
"Aku akan balik suatu hari nanti. Tapi kalaupun nggak, gue tahu lo bakal terus terbang. Dan gue... akan tetap jadi langit yang ngelihatin lo dari jauh."
Bab 21: Di Antara Dua Kota
Dua bulan berlalu. Naskahku resmi diterbitkan. Buku itu diberi judul yang sama dengan kisahku: Langit Tak Lagi Biru.
Namaku mulai dikenal di kalangan remaja penulis. Aku diundang ke Jakarta untuk bicara soal tulisanku dalam sebuah talkshow kecil. Ibu memelukku sebelum aku berangkat.
"Terima kasih karena kamu nggak pernah benar-benar hancur," bisiknya.
Aku hanya tersenyum, menahan tangis.
Di kota lain, Raka masih menjaga ibunya yang kini menjalani kemoterapi. Kami masih sering berbalas pesan. Tapi kami tahu: pelan-pelan, jarak bukan sekadar kilometer, tapi juga hidup yang mulai berbeda arah.
Bab 22: Keputusan Tanpa Janji
Raka datang ke acara peluncuran bukuku diam-diam. Aku melihatnya di barisan belakang, berdiri sambil mengenakan jaket lama yang dulu sering dia pakai waktu kami masih duduk di bawah pohon mangga.
Setelah acara selesai, kami bertemu di belakang panggung.
"Gue bangga sama lo," katanya, suaranya serak.
"Aku juga bangga... sama kita. Karena kita pernah saling menguatkan."
Dia tersenyum, tapi matanya berkaca.
"Kita bukan nggak cinta, Len. Tapi kadang, cinta harus belajar merelakan arah."
Dan saat itu, aku tahu: kisah kami tidak harus berakhir dengan 'bersama'. Karena yang paling indah... adalah saat cinta tahu kapan harus membebaskan.
Bab 23: Langit yang Baru
Setahun kemudian. Aku diterima di jurusan sastra universitas impianku. Aku menulis buku kedua, kali ini fiksi, tapi terinspirasi dari semua luka yang pernah ada.
Ibu sudah lebih sering tertawa, meski terkadang masih diam menatap foto lamanya bersama ayah.
Aku? Aku baik-baik saja.
Sesekali Raka mengirim pesan, berbagi kabar. Kami tetap saling mendukung, dari jauh. Tanpa komitmen, tanpa ikatan—tapi juga tanpa luka yang saling menyakiti.
Langitku kini bukan lagi biru sepenuhnya. Tapi aku tak apa. Karena aku tahu... aku bisa tetap berdiri, meski warnanya berubah.
Epilog: Luka yang Tidak Lagi Menyakitkan
Dulu, aku pikir rumah adalah tempat di mana dua orang tua tinggal dan saling mencintai.
Sekarang, aku tahu—rumah adalah tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri, dikelilingi cinta, meski bentuknya tidak sempurna.Dan langit… langit tidak selalu biru. Tapi bahkan langit yang paling kelabu pun bisa menyimpan pelangi setelah hujan.
- Alena, 18 tahun.
Komentar
Posting Komentar