Langit untuk Aruna

 Langit untuk Aruna



🕊 Judul: “Langit untuk Aruna”
Genre: Drama, Keluarga, Emosional, Slice of Life

Sinopsis:
Arlena adalah seorang ibu tunggal berusia 29 tahun yang bekerja serabutan di kota besar demi satu-satunya tujuan dalam hidupnya—memberikan masa depan terbaik untuk anak perempuannya yang menderita penyakit jantung bawaan. Dalam setiap tetes keringat, pengorbanan, dan luka batin, Arlena terus melangkah, meski dunia seperti tak pernah memihaknya. Tapi demi Aruna, ia tidak akan menyerah.


Bab 1: Harga Sebuah Senyuman

Hujan deras membasahi atap rumah kontrakan kecil berukuran 3x4 meter di gang sempit belakang pasar tradisional. Di dalamnya, Arlena duduk di lantai, bersandar pada dinding lembab sambil memeluk tubuh kecil Aruna, anaknya yang baru berusia 6 tahun.

“Ma, aku enggak mau bolos sekolah lagi,” suara kecil itu bergetar, namun penuh harap.

Arlena menggigit bibirnya sendiri, menahan perih. Ia tahu Aruna tak akan kuat jalan kaki di tengah dinginnya hujan dan kondisi tubuhnya yang lemah. Tapi ongkos angkot yang cuma lima ribu rupiah pun terasa terlalu mewah baginya hari ini.

“Iya, sayang… besok kita sekolah, ya. Mama janji,” bisiknya sambil mengelus kepala Aruna yang sudah mulai demam.

Aruna tersenyum kecil, lalu memejamkan mata di pangkuan Arlena. Detik itu juga, Arlena menatap langit-langit rumah dengan mata sembab. Di kepalanya, hanya satu hal berputar: Uang. Rumah sakit. Obat. Makanan. Masa depan.

Arlena bekerja sebagai pencuci piring di sebuah warung makan. Kadang, jika sedang beruntung, ia mendapat pekerjaan tambahan menjadi buruh cuci atau mengantar pesanan makanan. Semua dilakukan diam-diam, karena warung tempatnya bekerja melarang pekerja merangkap kerja lain. Tapi kalau tidak begitu, dari mana ia bisa beli obat Aruna?

Malam itu, setelah memastikan Aruna tertidur, Arlena keluar rumah. Dengan jas hujan bekas yang sobek di bahu, ia berjalan kaki ke warung tempat ia biasa bekerja, mengendap-endap masuk ke dapur belakang. Warung sudah tutup, tapi ia harus membersihkan semua piring kotor sebelum pagi.

Tangannya bergerak cepat, sabun mencair di air kotor, tapi pikirannya sibuk. Ia sedang mempertimbangkan satu hal: meminjam uang dari rentenir.

Ia tahu risikonya. Tapi Aruna semakin sering batuk, semakin lemas. Ia sudah mengundur jadwal kontrol selama dua bulan. Dan sekarang, ia nyaris tak punya pilihan lain.

Tepat ketika tengah malam datang dan ia selesai bekerja, seorang perempuan tua penjaga warung muncul dari balik dapur. Namanya Bu Inah, dan sudah lama diam-diam mengamati Arlena.

“Kamu belum pulang juga, Len?” tanyanya dengan nada tenang.

Arlena tersenyum kaku. “Iya, Bu. Tadi datang telat, jadi nyicil cuci piring.”

Bu Inah mendekat, lalu menyelipkan sesuatu ke kantong celemek Arlena. Uang lima puluh ribu.

“Buat beli susu anakmu. Aku tahu kamu butuh,” ujarnya pelan.

Arlena terpaku. Matanya berkaca-kaca, tapi ia hanya bisa menunduk dan berucap lirih, “Terima kasih, Bu…”

Langit malam yang mendung di atas kota tak membuat langkah Arlena terasa berat. Dalam pelukannya nanti, ia tahu Aruna akan tersenyum melihat ada susu kesukaannya pagi nanti.

Dan untuk senyum itu, Arlena rela melawan dunia.

Bab 2: Di Ujung Harga Diri

Pagi hari di kota selalu datang tanpa ampun. Suara bising kendaraan, teriakan pedagang pasar, dan aroma gorengan bekas semalam menyambut Arlena saat ia membuka pintu rumah. Aruna masih tidur lemah di atas kasur tipis yang hanya dilapisi selimut kumal.

Arlena menatap wajah anaknya. Bibir Aruna sedikit pucat. Napasnya cepat, dan di sela-sela itu sesekali terdengar suara batuk kering yang membuat dada Arlena serasa remuk.

Ia harus ke rumah sakit hari ini. Tidak ada pilihan lagi.


Di Puskesmas rujukan, dokter yang biasa menangani Aruna tampak serius membaca hasil pemeriksaan terakhir.

“Bu Arlena, saya harus bicara jujur. Kondisi Aruna menurun. Saturasi oksigennya rendah dan jantungnya bekerja terlalu keras,” ucap dokter itu.

Arlena hanya diam. Tangannya menggenggam kuat sisi bangku.

“Dia butuh dirujuk ke rumah sakit besar segera. Operasi jantung harus dijadwalkan ulang. Dan itu… tidak bisa ditunda lagi.”

“Kalau saya belum punya uangnya?” tanya Arlena, suaranya seperti bisikan.

Dokter menatapnya prihatin. “Saya akan bantu buatkan surat rujukan. Tapi soal pembiayaan… Ibu perlu segera mengurus BPJS atau bantuan sosial. Karena tanpa itu, biayanya akan sangat besar.”

Arlena hanya mengangguk. Padahal di dalam dirinya, ia ingin menjerit.


Sore hari, Arlena duduk di bangku terminal lama, menatap matahari yang mulai tenggelam. Di sebelahnya, Aruna bersandar dalam pelukannya, lelah setelah menunggu antrean panjang dari pagi.

Uang di dompetnya hanya tersisa dua lembar sepuluh ribuan. Bahkan tak cukup untuk naik angkot dan membeli makan malam.

Sambil berpikir keras, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Butuh pekerjaan cepat dan dibayar langsung? Datang ke Cafe Intan jam 7 malam. Tanya Lia.”

Ia menatap pesan itu lama. Tidak ada nama pengirim. Tapi ia tahu tempat itu. Cafe Intan bukan tempat yang baik. Tempat gelap penuh asap rokok, tawa palsu, dan wanita-wanita dengan pakaian minim.

Tangan Arlena bergetar saat menaruh ponselnya kembali ke tas. Tapi lalu ia menatap Aruna yang terlelap di pangkuannya, napasnya makin berat, tubuhnya terasa dingin.

“Mama akan cari cara, Nak,” bisiknya sambil memeluk erat tubuh kecil itu.


Jam tujuh malam, Arlena berdiri di depan Cafe Intan. Lampu neon kelap-kelip dan musik keras menyambutnya. Hatinya gemetar. Langkahnya ragu.

Namun sebelum sempat melangkah masuk, seorang perempuan keluar. Rambut panjang disemir merah, dengan lipstik mencolok dan baju ketat. Wajahnya keras tapi matanya menyiratkan lelah.

“Arlena?” tanya perempuan itu.

Arlena menoleh. “Lia?”

“Ya. Aku yang kirim pesan. Aku dulu juga sepertimu.” Lia menatapnya dari atas ke bawah. “Masih bersih. Itu bagus. Tapi kau harus tahu, tempat ini bukan cuci piring. Mereka cari ‘teman minum’.”

Arlena menggigit bibirnya. “Berapa bayarannya?”

“Kalau tamunya kaya dan lo mau nurut, bisa dapat sejuta semalam. Tapi ada harga yang harus kau bayar: harga dirimu.”

Arlena terdiam.

Di pikirannya, wajah Aruna terbayang. Senyum kecil yang pagi tadi muncul saat ia membuka susu kotak. Tawa kecil saat mendengar cerita dongeng. Wajah pucat itu… tubuh mungil itu… hidup anaknya bergantung pada satu hal—uang.

Tangannya mengepal. Matanya bergetar. Tapi ia masih berdiri diam di sana, di ambang keputusan yang bisa mengubah segalanya.

“Aku…” Suaranya tercekat. “…aku cuma butuh untuk pengobatan anakku.”

Lia menatapnya lama. Lalu berkata pelan, “Kau bisa ikut aku malam ini. Tapi setelah itu, kau yang tentukan sendiri jalanmu. Dunia ini kejam, Arlena. Tapi kau masih bisa memilih jenis luka yang ingin kau terima.”

Arlena mengangguk. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya.

Malam itu, ia melangkah masuk. Bukan sebagai perempuan biasa, tapi sebagai ibu yang mempertaruhkan kehormatannya demi sepotong harapan untuk anak yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri.

Bab 3: Luka yang Tak Bisa Dilihat

Pagi menjelang dengan langit mendung menggantung. Udara lembab menyelimuti gang sempit saat Arlena pulang dengan langkah pelan. Kakinya terasa berat, bajunya masih tercium aroma parfum asing dan asap rokok. Di tangannya, sebuah amplop berisi uang lima ratus ribu tergenggam erat, hampir bergetar.

Matanya sembab. Bibirnya kering. Tapi ia tetap pulang.

Rumah kontrakannya masih gelap saat ia membuka pintu. Di dalam, Aruna terbaring di kasur tipis, masih tertidur dengan batuk kecil menyelingi napasnya. Arlena mendekat, menyentuh dahi anaknya. Masih panas, tapi tidak separah semalam.

“Maaf, Nak…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Ia meletakkan uang itu dalam kotak plastik bekas makanan, tempat ia biasa menyimpan semua harapan kecilnya—uang kontrol dokter, resep obat, dan daftar kebutuhan yang belum pernah benar-benar tercukupi.

Hari itu, Arlena tidak pergi bekerja. Ia hanya duduk memeluk lutut di pojok kamar, diam selama berjam-jam. Kepalanya penuh suara-suara—tawa laki-laki tadi malam, sentuhan asing yang menusuk harga dirinya, dan suara Lia yang berbisik:

"Kalau mau lanjut, pintu akan selalu terbuka."

Tapi di antara semuanya, hanya satu suara yang paling keras—suara Aruna memanggilnya, “Mama…”


Tiga hari kemudian, Arlena kembali bekerja di warung. Wajahnya disambut sinis oleh beberapa karyawan lain. Rupanya kabar soal dirinya bekerja “malam” sudah sampai ke telinga mereka.

“Katanya sekarang si Arlena udah ‘naik kelas’ ya? Dapat duit gampang, enggak perlu nyuci piring lagi,” bisik salah satu.

Arlena menunduk. Ia tak menjawab. Hanya meneruskan mencuci piring satu per satu, tangannya cepat tapi gemetar.

Bu Inah, pemilik warung, menatapnya lama dari kejauhan. Lalu mendekat dan membisikkan satu kalimat singkat:

“Kamu sudah jatuh terlalu dalam, Len?”

Arlena menoleh perlahan. Untuk sesaat, ia ingin menangis di pelukan Bu Inah, menceritakan semuanya—tentang rasa jijik pada diri sendiri, tentang malam yang membuatnya merasa bukan lagi manusia.

Tapi yang keluar hanya jawaban pelan, “Saya cuma ingin anak saya hidup.”


Malam itu, Arlena duduk di depan rumah, menatap langit yang tak berbintang. Aruna tertidur di pangkuannya. Udara terasa dingin, tapi pelukan anaknya menjadi penghangat yang tak tergantikan.

Tiba-tiba, suara sepeda motor berhenti di depan gang. Seorang pria turun dan berjalan mendekat. Ia tinggi, berkacamata, mengenakan jaket kerja.

“Arlena?”

Arlena memandangnya. Matanya menyipit, mencoba mengenali wajah itu.

“Aku… Damar. Dulu kita satu angkatan di SMA.”

Baru setelah beberapa detik, Arlena mengingatnya. Damar, si kutu buku yang dulu selalu duduk di pojok kelas, yang diam-diam pernah memberinya sepucuk surat cinta yang tak pernah ia balas.

“Aku dengar tentang Aruna. Dari teman yang kerja di Puskesmas,” lanjut Damar. “Aku kerja di LSM yang bantu pasien tidak mampu. Kalau kau bersedia, aku bisa bantu urus pengajuan bantuan medis buat Aruna.”

Arlena menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Tapi aku… aku…” Ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Karena dalam hatinya, ia merasa tak pantas menerima bantuan lagi. Ia sudah terlalu kotor, pikirnya.

Tapi Damar tersenyum. “Kau ibu. Dan kau sudah berjuang lebih dari siapa pun yang kukenal. Itu yang terpenting.”

Air mata Arlena jatuh tanpa suara. Kali ini bukan karena hancur… tapi karena secercah harapan yang datang, bahkan setelah ia merasa tak pantas mendapatkannya.

Malam itu, langit tetap gelap. Tapi di dalam dada Arlena, ada cahaya kecil yang mulai menyala lagi.

Bab 4: Jalan yang Tidak Lurus

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Damar benar-benar datang kembali. Kali ini membawa berkas-berkas pengajuan bantuan dari lembaganya—formulir, surat keterangan tidak mampu, dan rekomendasi medis dari Puskesmas.

“Aku sudah bicara dengan dokter Aruna,” ujar Damar sambil menyodorkan map ke tangan Arlena. “Kalau semua berkas lengkap dan diterima, kita bisa rujuk dia ke Rumah Sakit Harapan dalam dua minggu.”

Arlena menatap lembaran-lembaran itu dengan jemari gemetar. Baru kali ini ada seseorang yang datang membawa solusi, bukan pertanyaan, bukan penghakiman.

“Kenapa kamu bantu aku?” tanyanya pelan.

Damar menatapnya dengan senyum tulus. “Karena kau ibu. Karena kau pernah jadi alasan aku percaya bahwa orang baik itu masih ada.”

Arlena menunduk. Ia ingin percaya bahwa dirinya masih pantas disebut ‘orang baik’. Tapi luka malam itu belum sembuh. Ia masih bisa mencium aroma cafe itu setiap kali memejamkan mata.


Dua hari kemudian, saat ia pulang dari mengurus surat kelurahan, seseorang berdiri di depan pintu rumah kontrakannya. Seorang pria, sekitar 40-an tahun, bertubuh besar dengan tato di leher—Bayu, rentenir kecil-kecilan yang sering memberi pinjaman ke ibu-ibu pasar dengan bunga mencekik.

“Arlena. Kita perlu bicara.”

Arlena menegang. “Saya sudah enggak minjam lagi, Bang.”

“Gue tahu. Tapi Lia bilang lo kerja semalam bareng dia. Itu artinya lo udah masuk lingkaran kita.” Senyum Bayu menyeringai menjijikkan. “Kita bisa ‘kerjasama’ lebih jauh. Kalau lo butuh duit buat anak lo, tinggal ngomong. Nanti gue atur tamu kelas atas.”

Arlena merasa dingin menjalari tulang belakangnya.

“Aku enggak akan balik ke sana,” jawabnya tegas.

Bayu mendekat, berbisik, “Lo pikir duit bantuan itu cukup buat operasi anak lo? Hah? Kalau enggak lolos seleksi, lo mau apain Aruna? Liat anak lo mati pelan-pelan di depan mata lo?”

Tamparan kata-kata itu terasa lebih sakit dari benturan apa pun. Arlena memejamkan mata. Ia ingin menjerit, ingin marah, tapi tahu—apa yang dikatakan Bayu… sebagian ada benarnya. Tidak semua bantuan dijamin cair. Tidak semua janji pasti ditepati.

“Tinggalkan rumah saya,” ucap Arlena dengan suara menahan tangis. “Atau saya panggil warga.”

Bayu tertawa sinis, lalu berbalik pergi. Tapi sebelum meninggalkan gang, ia menoleh dan berkata lantang, “Nanti kalau lo butuh, pintu tetap terbuka. Tapi harga naik.”


Malam itu, Arlena duduk menatap kotak plastik tempat ia menyimpan uang. Isinya sekarang hanya ada sisa dari malam itu dan beberapa lembar uang warung. Tak cukup untuk biaya rawat inap jika bantuan gagal. Dan Aruna hari ini muntah darah saat batuk.

Pikirannya kacau. Ia ingin percaya pada Damar. Ia ingin percaya bahwa bantuan akan datang tepat waktu.

Tapi waktu tidak pernah berpihak pada orang miskin.

Ponselnya berdering. Nama “Lia” muncul.

Arlena hanya menatap layar itu, tanpa menjawab. Lalu matanya berpindah ke Aruna yang tertidur dengan alat bantu pernapasan kecil dari Puskesmas.

Anak itu… napasnya tipis, tubuhnya semakin kurus.

Arlena berdiri. Mengambil ponsel. Jari-jarinya menggantung di atas layar. Lalu, dengan perlahan… ia menekan tombol hapus kontak.

Tidak. Kali ini, ia tidak akan kembali.


Keesokan harinya, Arlena pergi ke rumah Damar. Membawa semua dokumen yang diminta.

“Aku sudah lengkapi semuanya,” ucapnya. “Dan aku akan tunggu. Karena kali ini… aku ingin tetap utuh saat menuntun anakku hidup.”

Damar tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Arlena merasa bahwa mungkin… mungkin langit itu belum sepenuhnya tertutup.

Bab 5: Saat Langit Menguji Lagi

Sudah seminggu sejak berkas pengajuan bantuan dikirimkan ke LSM. Hari-hari Arlena dipenuhi dengan perjalanan bolak-balik ke Puskesmas, mengisi formulir tambahan, dan mengurus dokumen Aruna. Damar hampir setiap hari datang membantu. Ia bahkan sering membawa makanan sehat untuk Aruna dan mengantar mereka ke klinik dengan motornya.

Kehadirannya seperti tiang yang menopang dunia Arlena yang rapuh.

Tapi pagi itu, satu pesan masuk ke ponsel Arlena. Dari LSM.

“Dengan sangat menyesal, pengajuan bantuan Aruna belum memenuhi syarat karena RS rujukan telah melebihi kuota pasien subsidi untuk bulan ini. Pengajuan dapat diajukan ulang bulan depan.”

Arlena membeku. Tangannya terkulai, ponsel hampir jatuh dari genggamannya.

Sebulan lagi? Tapi dokter bilang jantung Aruna tidak boleh menunggu lebih dari dua minggu.

Mata Arlena langsung mencari Aruna, yang sedang menggambar dengan pensil tumpul di lantai. Wajah kecil itu tersenyum polos, tidak tahu bahwa hidupnya sedang digantung di benang yang nyaris putus.


Damar datang setengah jam kemudian. Arlena menunjukkan pesan itu dengan tangan gemetar.

“Aku sudah coba lobi internal. Tapi aturannya ketat. Kuota subsidi habis. Kalau kamu mau… kita bisa cari jalur lain.”

Arlena menatapnya penuh harap. “Jalur lain?”

Damar terlihat ragu. “Ada satu rumah sakit swasta. Biaya mandiri. Tapi aku punya kenalan dokter di sana. Kalau kita bisa bayar uang muka lima juta, dia akan bantu usahakan diskon dan rawat duluan.”

Lima juta.

Jumlah yang lebih mustahil dari bulan ke langit.

Arlena menunduk. Napasnya berat. Ia tahu apa artinya itu. Ia tahu satu-satunya cara tercepat untuk dapat uang sebanyak itu.

Damar memegang tangannya. “Kalau kamu percaya aku, kita cari jalan lain. Aku juga bisa bantu cari donatur, crowdfunding, apa pun. Tapi jangan sakiti diri sendiri lagi, Len.”

Air mata Arlena menetes. “Tapi waktu kita sempit.”

“Aku akan temani kamu cari semua kemungkinan,” ucap Damar tegas. “Tapi janji satu hal: jangan kembali ke jalan gelap itu.”

Arlena menatap mata Damar. Ia ingin percaya. Ia sungguh ingin percaya. Tapi ketika malam tiba dan Aruna demam lagi, dengan batuk yang membuat tubuh kecilnya kejang, Arlena nyaris kehilangan akal sehatnya.


Malam itu, Arlena kembali duduk di depan Cafe Intan.

Bukan karena ingin masuk.

Tapi karena ingin tahu… apakah dirinya benar-benar sudah selesai dengan semua itu.

Tapi saat ia berdiri menatap pintu cafe yang berkelap-kelip dalam musik dan suara tawa laki-laki asing, ia tahu satu hal pasti:

Ia membenci tempat itu. Bukan karena bau alkohol atau tatapan tamu-tamu pria, tapi karena itu membuatnya kehilangan martabat yang susah payah ia pertahankan untuk Aruna.

Saat ia berbalik pergi, seseorang berdiri di sana—Damar.

Ia memandang Arlena dengan mata yang marah… tapi lebih banyak luka di sana.

“Kamu bohong,” ucapnya pelan. “Kamu janji mau bertahan.”

Arlena menangis. “Aku cuma lihat… bukan masuk… aku cuma takut… takut Aruna enggak sempat.”

Damar menghela napas. “Kalau kamu jatuh lagi, aku enggak akan bisa tarik kamu keluar. Dunia ini enggak akan punya ampun dua kali.”

Lalu, perlahan, ia menggenggam tangan Arlena.

“Kalau kamu masih percaya sama aku… mari kita coba sekali lagi. Kita akan buat kampanye penggalangan dana. Kita akan buka semua luka kita ke publik. Bahkan kalau itu artinya kau harus menceritakan semuanya—kau pernah menjual tubuhmu demi anakmu.”

Arlena terdiam. Itu bukan hal kecil.

Itu bukan aib yang mudah dihapus.

Tapi demi Aruna…

Ia angguk perlahan.

“Aku akan cerita. Aku akan buka semuanya… asalkan anakku bisa hidup.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, langit Arlena benar-benar mulai terbuka. Bukan karena semuanya membaik, tapi karena ia tak lagi sendirian dalam memperjuangkan hidup anaknya.

Bab 6: Harga Sebuah Kebenaran

Video berdurasi dua menit yang direkam oleh Damar telah tayang di media sosial lembaga bantuan tempatnya bekerja. Dalam video itu, Arlena menceritakan semuanya—tentang menjadi ibu tunggal, pekerjaan serabutan, penyakit jantung Aruna, dan malam kelam yang pernah ia lewati demi bisa membeli obat.

Tidak ada suara musik latar, tidak ada efek dramatis. Hanya wajah seorang ibu yang lelah, tapi penuh cinta. Dan tatapan kosong yang telah melewati badai terlalu banyak untuk bisa lagi takut pada penghakiman manusia.

“Namaku Arlena. Aku seorang ibu. Dan aku pernah menjual harga diriku demi menyelamatkan anakku.”

Kalimat terakhir itu membelah dunia maya.


Dua hari setelah video itu tayang, jumlah penonton mencapai puluhan ribu. Donasi mulai masuk, perlahan tapi nyata. Seratus ribu, dua ratus ribu, bahkan lima ratus ribu dari seorang ibu rumah tangga yang menulis pesan singkat:

“Kamu ibu yang lebih kuat dari apa pun. Jangan menyerah.”

Tapi tak semua reaksi penuh empati.

Di kolom komentar mulai muncul suara tajam:

“Cari simpati karena aib sendiri? Banyak ibu di luar sana bisa bertahan tanpa jual diri!”
“Kalau benar sayang anak, kenapa enggak kerja halal aja?”
“Jangan ajarkan anakmu jadi lemah dengan air mata.”

Arlena membaca semuanya. Setiap huruf menghantam dadanya seperti pukulan. Tapi ia tidak memalingkan mata. Ia menatapnya. Ia menelan semuanya.

Karena kali ini, ia memilih menghadapi.

Damar menemaninya setiap hari. Ia membantu mengatur akun donasi, menjelaskan kepada media lokal, dan bahkan menemani Arlena saat ia diwawancarai oleh salah satu jurnalis kemanusiaan.

“Arlena, kamu yakin ingin ini jadi publik?” tanya Damar suatu malam, ketika mereka duduk di luar rumah sambil memandangi langit yang mulai bersih dari awan.

“Aku malu. Tapi aku lebih takut kehilangan Aruna.”

Suara Arlena pelan, tapi tegas. Ia telah melewati titik di mana takut menjadi alasan untuk diam.


Minggu berikutnya, uang donasi mencapai hampir empat juta rupiah. Tak cukup memang, tapi cukup untuk membuat rumah sakit menerima Aruna untuk perawatan awal. Dokter pun langsung menjadwalkan observasi sebelum operasi.

Hari itu, Arlena mendampingi Aruna di ruang rawat, melihat anaknya dipasang selang infus, dengan tubuh mungilnya terbaring diam di kasur putih bersih. Matanya tak lepas dari jendela.

“Mama…” suara kecil Aruna membuatnya menoleh.

“Ya, Sayang?”

“Kalau Aruna sembuh… Aruna boleh main di taman lagi, ya?”

Arlena tersenyum, air matanya jatuh tanpa sempat ia tahan.

“Tentu boleh. Kita bahkan bisa piknik. Bawa roti, jus, dan… layang-layang.”

Aruna mengangguk pelan. Lalu matanya menutup kembali, tenang.

Dan Arlena—untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama—berdoa. Bukan lagi doa tergesa di sudut gang, bukan doa putus asa di balik piring kotor. Tapi doa tulus dari hati yang sudah tidak punya apa pun lagi, kecuali cinta dan harapan.


Tapi ketika semua mulai terasa tenang… badai lain datang.

Esoknya, seseorang menempelkan selebaran di warung tempat Arlena bekerja. Foto wajahnya dari video disandingkan dengan tulisan besar:

“INI DIA WANITA YANG MENJUAL DIRI DEMI DONASI. AKUI AIBNYA, SEKARANG MINTA DIKASIHANI. APAKAH UANG KITA UNTUK ORANG BEGINI?”

Suasana warung ricuh. Beberapa pelanggan pergi. Teman kerjanya menghindar. Bahkan Bu Inah pun terlihat cemas.

Dunia yang dulu ia hindari—penghakiman, cibiran, stigma—kembali menghampiri. Kali ini tidak di malam gelap. Tapi siang hari, di depan semua orang.

Tapi Arlena berdiri.

Ia tidak lari.

Ia datang ke warung. Mengambil selebaran itu. Menatapnya.

Lalu berkata lantang, “Ya, itu aku. Dan kalau kalian ingin tahu… aku akan cerita lagi, lebih jujur, lebih dalam. Tapi bukan untuk memohon belas kasihan. Untuk mengingatkan, bahwa kadang… yang kalian sebut aib adalah satu-satunya cara seseorang bertahan hidup.”

Dan keheningan menyambutnya.


Malam itu, saat Arlena pulang dan mendapati Aruna sudah bisa duduk dan menggambar lagi, ia tahu satu hal pasti:

Cinta seorang ibu akan selalu lebih keras dari hinaan dunia.

Bab 7: Cinta di Tengah Ruang Operasi

Hari operasi akhirnya tiba.

Pagi itu, rumah sakit penuh dengan ketegangan. Aruna dipindahkan ke ruang tindakan pukul tujuh pagi. Arlena tak bisa berhenti menggenggam tangan kecil anaknya saat perawat mendorong tempat tidur menuju ruang operasi.

“Mama tunggu di sini ya?” tanya Aruna pelan.

Arlena tersenyum, meski bibirnya kaku. “Iya, Sayang. Mama akan ada di sini. Mama enggak kemana-mana.”

Aruna mengangguk kecil. Lalu ia dibawa pergi.

Dan saat pintu ruang operasi tertutup, dunia Arlena seperti ikut dikunci di balik dinding putih itu.


Damar datang setengah jam kemudian, membawa dua gelas kopi panas dan jaket untuk Arlena yang sudah menggigil sejak tadi.

Ia duduk di samping Arlena, diam. Tidak ada kata-kata penghibur. Karena mereka tahu—tidak ada kalimat seindah apa pun yang bisa mengurangi ketakutan seorang ibu yang sedang menunggu hidup anaknya dipertaruhkan di balik pintu tertutup.

Tiga jam berlalu.

Lima jam berlalu.

Dan pada jam keenam, dokter keluar. Wajahnya serius, tapi senyumnya akhirnya merekah.

“Operasi berjalan lancar. Aruna selamat. Tapi kita perlu beberapa hari observasi.”

Arlena tidak menjawab. Ia hanya menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis. Bukan lagi karena takut… tapi karena syukur yang terlalu besar untuk ditampung hati kecilnya.

Damar memeluk bahunya. Diam-diam, ia ikut menghapus air matanya sendiri.


Hari-hari berikutnya terasa seperti hidup kembali.

Aruna mulai belajar duduk, mulai makan bubur dengan lahap, bahkan mulai menggambar lagi—kali ini bukan hanya matahari dan rumah, tapi juga gambar seorang pria berkacamata berdiri di samping sosok perempuan berambut panjang yang memeluk anak kecil.

“Ini siapa?” tanya Arlena sambil tersenyum.

“Om Damar. Sama Mama. Sama aku.”

Arlena menatap Damar yang sedang tertidur di kursi di sudut ruangan, lalu kembali menatap gambar itu dengan perasaan yang sulit ia definisikan. Hangat… sekaligus menakutkan.


Malam itu, saat Aruna tidur dan rumah sakit mulai sepi, Damar keluar ke taman rumah sakit. Arlena ikut duduk di bangku panjang, mengenakan jaket Damar karena udara mulai dingin.

“Aku… mau bilang sesuatu,” ujar Damar, pelan.

Arlena menoleh, menunggu.

“Aku tahu kamu sudah melewati banyak luka. Dan kamu mungkin belum siap menerima hal baru. Tapi aku juga tahu… bahwa setiap malam aku mendoakan Aruna, bukan cuma karena aku peduli padanya.”

Arlena diam.

Damar melanjutkan, suaranya sedikit gemetar. “Aku jatuh cinta sama kamu, Len. Bukan karena kamu sempurna. Tapi justru karena kamu pernah hancur, tapi tetap memilih berdiri.”

Arlena tertawa kecil. Pahit, lembut, namun jujur.

“Kalau kamu jatuh cinta pada aku karena luka-luka itu… apakah kamu siap melihat sisi gelapnya setiap hari?”

Damar menatapnya, dalam.

“Kalau harus mencintaimu dari tempat paling gelap sekalipun, aku siap. Asal kau tahu, aku enggak pernah minta kau sempurna. Aku cuma ingin jadi orang yang kamu tahu… akan tetap tinggal, bahkan saat semuanya buruk lagi.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arlena merasa bahwa mungkin… hanya mungkin… dirinya pantas bahagia.

Bukan karena ia tanpa dosa.

Tapi karena ia sudah cukup lama menderita, dan kini saatnya memberi ruang bagi cinta.

Bab 8: Ketika Luka Minta Ditenangkan

Aruna diizinkan pulang dari rumah sakit dua minggu setelah operasi. Tubuh kecilnya masih lemah, tapi senyumnya sudah kembali seperti dulu—murni, penuh cahaya, dan selalu dimulai dari mata.

Damar membantu menyiapkan tempat tidur baru untuk Aruna di rumah kontrakan sederhana itu. Ia bahkan membelikan kipas angin dan boneka beruang besar yang langsung dinamai Aruna: “Pak Beru”.

Semua terasa lebih ringan. Tapi tidak di hati Arlena.

Setiap malam, saat Aruna sudah tidur, ia termenung di ambang pintu. Menatap langit gelap yang kini tak lagi menakutkan, tapi justru membuatnya rindu. Rindu pada malam-malam sunyi, saat hanya dirinya sendiri yang memikul beban dunia. Saat tak ada yang tahu siapa dia, dan karena itu… tak ada yang bisa kecewa.


Suatu pagi, Damar datang dengan kabar baik.

“LSM-ku dapat proyek kerja sama jangka panjang dengan panti rehabilitasi. Mereka butuh tenaga administrasi. Jam kerja fleksibel, bisa remote. Gajinya cukup. Aku… ajukan namamu.”

Arlena tercengang. “Kamu—kamu serius?”

Damar mengangguk. “Aku enggak akan maksa. Tapi kalau kamu mau, itu bisa jadi awal baru. Kerja bersih. Di tempat yang menghargai kamu karena kemampuan, bukan masa lalumu.”

Arlena menggenggam map berisi tawaran itu. Ia tahu, ini adalah pintu. Tapi entah kenapa, kakinya berat untuk melangkah.

Karena bersih bukan berarti orang akan lupa. Karena masa lalu bukan lem, tapi bayangan. Dan bayangan tetap ada bahkan di bawah cahaya paling terang.


Sore harinya, Aruna duduk di lantai, menggambar lagi. Kali ini gambarnya rumit: dua orang perempuan, satu menangis, satu tersenyum, berdiri di jalan berbeda.

“Mama, ini siapa?” tanya Arlena.

“Yang kiri itu Mama dulu… yang sedih. Yang kanan Mama sekarang. Tapi Mama sekarang masih suka diam, ya?” Aruna memandang ibunya polos.

Arlena terdiam. Ia tidak tahu bahwa anaknya memperhatikan sedalam itu.

“Kenapa Mama masih sedih?” tanya Aruna lagi.

Dan untuk pertama kalinya, Arlena tidak tahu harus menjawab apa.

“Apa Mama… pernah nakal?”

Arlena menatap mata anaknya. Dunia seakan berhenti sejenak. Inilah ketakutannya selama ini: ketika Aruna cukup besar untuk bertanya. Ketika semua yang dikorbankannya demi Aruna malah menjadi luka yang mungkin tidak bisa dijelaskan pada Aruna kelak.

Tapi sebelum sempat menjawab, Aruna tersenyum dan berkata,
“Kalau iya… enggak apa-apa, kok. Soalnya Mama baik sekarang. Dan Aruna sayang Mama.”

Tangisan Arlena pecah dalam pelukan anaknya.


Malam itu, Damar datang membawa dua gelas teh jahe dan roti isi.

“Kamu belum jawab soal kerjaannya,” ucap Damar sambil duduk di samping Arlena yang sedang melipat baju.

Arlena menatapnya. “Aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut gagal. Takut orang tahu. Takut aku enggak cukup bersih untuk mulai lagi.”

Damar menghela napas panjang, lalu berkata, “Len, kau bukan kain yang perlu dicuci. Kau manusia. Kau tidak diciptakan untuk selalu bersih. Kau diciptakan untuk belajar. Luka itu bukan kotor. Luka itu pelajaran.”

Arlena menatapnya dalam. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia menjawab,

“Kalau aku ambil pekerjaan itu… kamu akan tetap ada?”

Damar tertawa pelan. “Aku ada bahkan sebelum kamu punya pekerjaan. Aku akan tetap ada bahkan kalau kamu menolak semua tawaran dunia… asal kamu tidak menolak aku.”

Dan di bawah langit malam itu, Arlena untuk pertama kalinya… bukan hanya merasa layak dicintai, tapi berani menerimanya.

Bab 9: Antara Pergi dan Bertahan

Sudah dua minggu sejak Arlena mulai bekerja sebagai staf administrasi lepas di proyek LSM milik Damar. Pekerjaan itu dilakukan sebagian besar dari rumah. Ia mengetik data pasien, memverifikasi berkas bantuan, dan terkadang mengoordinasikan jadwal lapangan.

Pekerjaan ini sederhana, tapi bermakna. Setiap nama yang ia ketik adalah seseorang yang sedang berjuang, seperti dirinya dulu. Itu membuatnya merasa terhubung, seperti memberi balasan kepada dunia yang dulu hanya memberinya luka.

Namun, lingkungan kerja bukan tanpa cobaan.

Di grup internal, seorang karyawan perempuan yang juga anggota senior mulai mempertanyakan latar belakang Arlena—tanpa menyebut nama, tapi jelas sekali sindirannya.

“Kita harus hati-hati rekrut orang yang viral karena aib, bukan karena kualitas.”

Komentar itu cepat menyebar. Beberapa staf membalas dengan dukungan untuk Arlena. Tapi ada juga yang diam. Dan di dunia profesional, diam bisa lebih menyakitkan dari serangan langsung.

Arlena tak menanggapi. Tapi malam itu, ia duduk lama di depan laptop, jari-jarinya mengambang di atas keyboard. Jauh di lubuk hatinya, rasa malu itu kembali menyelinap. Ia ingin kuat. Tapi kuat bukan berarti kebal.


Di saat yang sama, Damar datang dengan kabar berat.

“Aku ditawari posisi direktur cabang di program cabang LSM di Makassar,” ucapnya hati-hati.

Arlena menoleh pelan. “Itu bagus… selamat.”

“Tapi itu berarti aku harus pindah. Mungkin dua atau tiga tahun.”

Mata mereka bertemu. Di dalam dada Arlena, ada gemuruh. Ketika ia baru mulai percaya, dunia kembali menagih.

“Aku belum bilang ya atau tidak,” lanjut Damar. “Karena keputusanku tergantung padamu.”

Arlena menelan ludah. “Jangan bilang begitu. Ini hidupmu. Jangan bebankan ke aku.”

“Bukan beban,” Damar tersenyum kecil. “Aku cuma butuh tahu… kalau aku pergi, apa aku masih bisa kembali dan menemukanmu di sini?”

Diam.

Lalu Arlena berkata pelan, “Aku enggak tahu, Mar. Aku masih belajar percaya. Dan kepergian selalu membuatku takut.”

Damar meraih tangannya. “Kalau kamu belum siap janji, setidaknya izinkan aku percaya bahwa ini belum selesai.”

Arlena mengangguk pelan.

“Belum selesai.”


Malam itu, Aruna duduk di samping ibunya, menggambar dengan serius. Di kertas putih itu, ada gambar mereka bertiga. Aruna di tengah, Damar di kanan, Arlena di kiri. Mereka semua memegang benang layangan bersama.

“Kalau Om Damar pergi, benangnya putus, ya Ma?”

Arlena tersenyum sambil mengusap kepala anaknya.

“Kalau sayangnya kuat, benangnya tetap bisa terbang. Walau jauh.”


Beberapa hari kemudian, Arlena menghadiri rapat internal kantor secara daring. Ia ditunjuk untuk mempresentasikan alur proses donasi digital yang selama ini ia bantu bangun.

Saat presentasi selesai, moderator dari kantor pusat berkata, “Terima kasih untuk Ibu Arlena. Kisah hidup Anda memberi perspektif baru bahwa keberanian bukan hanya soal bertahan hidup… tapi soal memilih untuk tetap jujur bahkan saat dunia menutup pintunya.”

Seketika chat di meeting room penuh dengan emoji tepuk tangan dan dukungan.

Dan sore itu, Arlena menatap Aruna yang tertawa sambil mengejar kupu-kupu di halaman kecil kontrakan mereka.

Langit masih sama. Tapi rasanya sudah berbeda.

Kali ini, ia tidak takut kehilangan. Karena ia tahu, hatinya sudah cukup kuat untuk percaya bahwa tak semua kepergian berarti akhir.

Dan bahwa cinta sejati… akan selalu menemukan jalan pulang.

Bab 10: Ketika Cinta Tak Lagi Ditentukan Oleh Jarak

Tiga hari sebelum keberangkatan Damar ke Makassar, Arlena memintanya datang sore itu—bukan di rumah kontrakan, tapi di taman tempat Aruna dulu pernah meminta bermain layang-layang. Tempat yang jadi simbol mimpi kecil anak itu, dan sekarang, jadi simbol pertemuan terakhir mereka… sebelum dunia memisahkan jalan.

Damar datang dengan jaket kerja dan senyum yang tetap lembut, walau ada ketegangan di matanya. Arlena sudah duduk di bangku panjang, mengenakan gaun sederhana dan cardigan abu-abu, rambutnya diikat rapi, wajahnya tampak tenang tapi mata… menyimpan badai yang ia tahan dengan paksa.

“Aku akan tetap berangkat,” kata Damar pelan. “Dan aku ingin kamu tahu, ini bukan berarti aku memilih meninggalkanmu. Tapi aku memilih bertumbuh, dan semoga… kamu juga melakukan hal yang sama di sini.”

Arlena mengangguk. “Aku tahu. Dan aku enggak marah. Justru aku… bersyukur.”

Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, suaranya bergetar.

“Dulu aku pikir cinta itu harus selalu berarti bersama. Harus selalu berarti tinggal. Tapi sekarang aku tahu… cinta sejati kadang adalah memberi seseorang ruang untuk berjalan sejauh yang ia bisa.”

Damar menatapnya lama, lalu bertanya pelan, “Jadi… ini perpisahan?”

Arlena menatap langit senja yang mulai menguning.

“Bukan. Ini permulaan.”

Ia berdiri, mengambil amplop dari dalam tas kecilnya dan memberikannya pada Damar.

“Isinya surat kecil dari Aruna. Katanya… untuk dibaca di pesawat nanti.”

Damar menerimanya, matanya mulai berkaca-kaca.

Lalu Arlena mendekat, meraih tangannya, dan untuk pertama kalinya mencium kening Damar. “Terima kasih sudah datang di waktu paling gelap dalam hidupku. Sekarang aku sudah bisa nyalakan lilin sendiri.”

Damar memejamkan mata. Satu tetes air mata jatuh, tapi bibirnya tersenyum.

“Kapan pun kamu siap mencinta lagi… aku akan pulang.”

Arlena menatapnya, kali ini dengan kepercayaan yang utuh.

“Dan kalau pun kamu enggak kembali, aku akan tetap baik-baik saja. Karena aku sudah kembali mencintai diriku sendiri.”


Satu minggu setelah Damar pergi, Arlena menerima email resmi pengangkatan sebagai pegawai tetap LSM, dengan kontrak dua tahun.

Ia merayakan hari itu bukan dengan pesta, tapi dengan membeli tiga layang-layang dari pasar: satu biru untuk Aruna, satu putih untuk dirinya, dan satu kuning—ia tanam di pot kecil di depan rumah, sebagai lambang seseorang yang pernah mengisi hidup mereka dengan kehangatan dan keteguhan.

Aruna bertanya, “Mama, nanti kalau kita main layangan lagi, Om Damar ikut?”

Arlena tersenyum. “Mungkin. Mungkin tidak. Tapi yang pasti… langitnya masih sama. Dan layangan kita akan tetap terbang tinggi.”

Karena bagi Arlena, perjuangan telah mengubahnya. Dari seorang ibu yang pernah terjatuh dalam gelap, menjadi perempuan yang tidak lagi takut melangkah—meski sendiri.

Dan langit untuk Aruna… kini telah terbuka.

Epilog: Matahari Baru di Langit Aruna

Lima tahun kemudian.

Aruna berdiri di depan kelas, dengan senyum lebar dan mata penuh percaya diri. Ia baru saja selesai membacakan cerita pendek hasil karyanya sendiri — tentang seorang ibu yang berjuang tanpa kenal lelah demi anaknya, tentang malam-malam gelap yang akhirnya terganti sinar harapan.

Di kursi penonton, Arlena menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Tubuh Aruna sekarang sehat, tumbuh ceria dan kuat seperti yang ia impikan dulu. Tak ada lagi bayang-bayang penyakit yang membayangi.

Setelah acara, Aruna berlari ke pelukan ibunya.

“Ma, aku mau jadi penulis. Supaya aku bisa cerita tentang orang-orang yang hebat seperti Mama.”

Arlena mengusap rambutnya pelan, hatinya penuh rasa syukur yang tak terucapkan.

“Kalau kamu mau jadi apa pun, Aru… Mama akan selalu ada di sini, mendukungmu.”

Mereka menatap langit sore yang membentang luas, jingga dan ungu bercampur dalam satu lukisan indah.

Aruna melepaskan layang-layang kecil yang sudah ia buat sendiri. Perlahan-lahan, layang-layang itu naik tinggi, menari di udara bebas, melawan angin.

Di bawah langit itu, seorang ibu dan anak berdiri bersama. Tak ada luka yang tidak bisa sembuh, tak ada cinta yang sia-sia.

Karena langit… selalu memberikan ruang untuk harapan baru.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh