Langit yang Kupilih
Langit yang Kupilih
Judul: "Langit yang Kupilih"
Genre: Romantis, Drama, Sekolah, Slow Burn
Sinopsis:
Aku hanya ingin lulus dengan tenang dari SMA. Tapi semua berubah saat aku duduk di bangku paling belakang, tepat di sebelah Langit Adhyastra—cowok pendiam yang selalu terlihat dingin. Katanya dia punya rahasia. Katanya dia berbahaya. Tapi kenapa... hatiku malah tertarik padanya?
Bab 1: Bangku Belakang
Hari pertama kelas 12.
Kupikir semuanya akan biasa saja. Datang pagi, duduk di bangku tengah, lalu berpura-pura sibuk mendengarkan guru. Tapi hari ini, semuanya berubah hanya karena satu nama di kertas pembagian tempat duduk.
Langit Adhyastra.
Nama itu tertera tepat di sebelah namaku.
“Langit?” aku bergumam.
“Apa?” tanya Rani, sahabatku sejak SMP, yang sudah duduk manis di bangku depanku.
“Nggak, cuma... dia tuh siapa sih?” tanyaku penasaran sambil melirik cowok bertubuh tinggi yang baru saja masuk ke kelas.
Dia mengenakan jaket hitam di atas seragam, dengan ransel yang hanya disandang sebelah. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya... ya ampun. Wajahnya kayak karakter anime favoritku—dingin, datar, tapi justru bikin penasaran.
“Katanya dia anak pindahan semester lalu. Jarang banget masuk. Tapi pinter banget katanya,” bisik Rani.
Langit duduk tanpa berkata sepatah kata pun. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Aku menelan ludah. Ini bakal jadi tahun yang... menarik?
Atau justru bencana?
Bab 2: Suara Pertama dari Langit
Aku mencoba fokus ke papan tulis. Tapi percuma.
Bayangkan duduk di samping cowok yang bahkan belum pernah terlihat tersenyum... dan kini lengannya nyaris menyentuh punyamu setiap kali dia menulis. Otakku bising, padahal kelas setenang perpustakaan.
“Namaku Aira,” kataku pelan, memberanikan diri. Dia harus tahu aku bukan tipe yang suka diam membeku seperti es.
Langit menoleh sedikit. Mata abu-abu gelapnya menatapku seperti... menembus. Tapi tetap tak berkata apa-apa.
Astaga, dia cuek banget.
Aku tersenyum canggung. “Kita duduk bareng, jadi... ya, salam kenal, gitu.”
Dia mengangguk. Hanya itu. Diam lagi.
Ya sudah, kukira begitu saja. Sampai istirahat tiba.
Saat aku baru hendak berdiri, suara pelan itu terdengar.
“Aira.”
Aku langsung menoleh. Itu... suaranya?
Aku hampir lupa cara bernapas.
“Ada pensil?” tanyanya sambil mengangkat alis sedikit.
Kupandangi tangannya yang terbuka. Panjang, dengan jari-jari runcing. Dia cowok pertama yang bikin aku gugup hanya karena... minta alat tulis.
Aku mengangguk dan cepat-cepat mengambil pensil cadangan dari kotak.
“Thanks,” katanya singkat, sebelum kembali menatap bukunya.
Deg.
Suara itu... dalam, sedikit serak. Tapi entah kenapa bikin dadaku bergetar aneh.
Dan yang lebih aneh, aku merasa itu bukan pertama kalinya dia tahu namaku.
Bab 3: Jejak yang Tertinggal
Malam itu, aku nggak bisa tidur.
Bukan karena PR Matematika yang belum selesai. Bukan juga karena drama Korea yang lagi trending. Tapi karena satu suara...
"Aira."
Langit menyebut namaku, dan entah kenapa, itu terus terngiang seperti bisikan rahasia yang belum selesai diucapkan.
Besoknya, di kelas, aku memutuskan untuk bersikap normal. Seolah kemarin nggak ada apa-apa. Tapi ternyata... semesta punya rencana lain.
Jam pertama adalah pelajaran Sejarah. Pak Darto masuk kelas dengan map lusuh di tangannya dan langsung mengumumkan:
“Kita akan mulai proyek kelompok dua orang. Topiknya: Sejarah Lokal dan Jejak Masa Lalu.”
Rani langsung melirikku, siap untuk kode pasangan setia. Tapi sebelum sempat aku memberi sinyal, Pak Darto sudah menunjuk nama-nama di daftar.
“Aira Putri... Langit Adhyastra.”
What. The. Hell.
Aku menoleh ke arah Langit. Dia cuma menatap papan tulis. Lagi-lagi tanpa ekspresi.
Setelah kelas bubar, aku mengejarnya ke luar. “Langit, tentang tugas sejarah itu... kita mau bahas apa ya?”
Dia diam sejenak. Lalu menjawab pelan, “Ada satu tempat. Dulu rumah kakekku. Sekarang kosong. Bisa jadi bahan.”
“Di mana?” tanyaku penasaran.
“Jalan Mawar Tua. Nomor 17.”
Aku terdiam. Jalan Mawar Tua. Aku pernah dengar nama itu...
Tapi bukan dari peta.
Dari gosip.
"Rumah kosong di Jalan Mawar Tua itu berhantu."
"Dulu ada kecelakaan yang nggak pernah dijelaskan."
Aku menelan ludah. “Kita ke sana... kapan?”
Langit menatapku. Lama. Matanya menyiratkan sesuatu yang nggak bisa aku baca.
“Sabtu. Jam lima sore. Jangan telat.”
Dan sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, dia pergi.
Bab 4: Rumah yang Tak Tidur
Sabtu sore, aku berdiri di depan pagar berkarat dengan cat yang mengelupas. Di depanku, berdiri rumah tua berwarna abu pudar, dua lantai, dengan jendela besar yang terlihat... kosong. Seperti mata yang tidak berkedip.
Nomor 17, Jalan Mawar Tua.
Langit sudah menunggu di depan. Dia bersandar di pagar, mengenakan jaket hitam yang sama seperti hari pertama kami duduk bersebelahan. Wajahnya seperti biasa—tenang, nyaris dingin. Tapi ada sesuatu di sorot matanya sore ini.
“Telat dua menit,” katanya pelan.
“Maaf. Susah cari alamat ini.”
Dia tidak menjawab. Hanya membuka pagar dan berjalan masuk. Aku mengejarnya tanpa banyak kata. Rumput liar tumbuh tinggi di halaman, dan aroma tanah basah menyergapku begitu kami mendekati pintu utama.
“Rumah ini kosong sejak dua tahun lalu,” katanya tiba-tiba.
“Kakekmu...?”
“Meninggal.”
Singkat. Datar. Seolah kalimat itu sudah terlalu sering diulang.
Kami masuk ke dalam. Lantainya kayu, dan setiap langkahku menghasilkan bunyi berderit. Foto-foto lama masih tergantung di dinding—beberapa sudah miring. Salah satunya memperlihatkan seorang pria tua dengan sorot mata tajam... mirip Langit.
“Kenapa rumah ini ditinggalkan?” tanyaku hati-hati.
Langit menatap salah satu lukisan di dinding. “Karena ada yang hilang di sini. Dan belum ditemukan sampai sekarang.”
Aku menelan ludah. “Hilang?”
“Anak kecil. Adik sepupuku. Malam itu, listrik mati. Semua orang sibuk. Saat lampu menyala... dia nggak ada.”
Aku terdiam. Jantungku berdebar tak karuan. Ini bukan cuma tugas sejarah lagi. Ini sesuatu yang lebih dalam. Lebih pribadi.
Langit berjalan menuju tangga, lalu berbalik menatapku. “Kamu masih mau lanjut proyek ini?”
Aku mengangguk, walau sebagian diriku ingin lari keluar.
Dia tersenyum tipis untuk pertama kalinya. “Oke. Kita mulai dari lantai dua.”
Dan saat aku mengikuti langkahnya menaiki tangga yang berderit pelan... perasaan aneh menyelimuti dadaku.
Bukan takut.
Tapi seolah rumah ini... sedang memperhatikan kami.
Bab 5: Lantai Dua Tidak Pernah Diam
Tangga tua itu mengeluh setiap kali diinjak. Suara deritannya seperti keluhan hantu yang terbangun dari tidur panjang.
Aku berjalan di belakang Langit. Jantungku masih belum tenang sejak dia menceritakan soal anak yang hilang. Suasana rumah ini aneh... seperti berhenti di satu titik waktu dan menolak untuk lanjut hidup.
Di lantai dua, lorong panjang terbentang di hadapan kami. Cahaya senja masuk dari jendela kecil, memantulkan debu yang menari di udara. Langit berhenti di depan salah satu pintu.
“Ini kamar adik sepupuku, Nayla,” katanya pelan.
Aku memperhatikan tangan Langit yang menggenggam gagang pintu. Sedikit bergetar.
“Kalau kamu nggak siap, kita bisa—”
“Aku harus.”
Dia membukanya perlahan.
Ruangan itu kecil, dengan wallpaper bergambar bunga yang mulai mengelupas. Boneka beruang duduk di pojok, berdebu, dengan mata kancing yang terasa... terlalu nyata. Meja kecil penuh kertas gambar yang sudah menguning.
Satu dari gambar itu menarik perhatianku.
Aku mengambilnya dan menatap lebih dekat. Seorang anak kecil berdiri di bawah pohon besar. Di belakangnya ada siluet... seorang anak laki-laki. Tapi wajahnya... buram. Dihapus paksa dengan krayon hitam tebal.
“Langit... ini kamu?”
Dia memandangi gambar itu. Lama. Napasnya mulai berat.
“Aku... nggak ingat. Aku ada di rumah malam itu, tapi semuanya kabur.” Ia menatapku, nadanya berubah. Lebih lembut. “Makanya aku mau ke sini lagi. Mungkin kamu bisa bantu lihat sesuatu yang aku lewatin.”
Aku membuka mulut untuk bicara—tapi tiba-tiba...
Ketuk. Ketuk. Ketuk.
Kami berdua menoleh bersamaan.
Suaranya datang dari ujung lorong.
Salah satu pintu... bergerak. Sedikit terbuka. Tidak ada angin. Tidak ada orang.
Aku menggenggam lengan Langit refleks.
Dia menatapku sebentar—matanya tak lagi dingin. Untuk pertama kalinya, aku melihat ketakutan kecil dalam sorot matanya.
“Kita nggak sendirian di sini.”
Bab 6: Nama yang Tertulis di Cermin
Lorong itu terasa panjang sekali sekarang.
Setiap langkah seperti dihantui bayangan, dan keheningan di rumah ini tidak pernah benar-benar sunyi. Ada suara-suara kecil. Detak. Napas. Ketukan. Tapi semuanya... tidak berasal dari kami.
Langit berjalan pelan ke arah pintu yang terbuka tadi. Aku tetap di belakangnya, menggenggam ujung jaketnya tanpa sadar. Jantungku berdetak kencang—bukan cuma karena takut, tapi juga karena aku mulai peduli. Padanya.
Dia membuka pintu itu.
Ruangan ini berbeda. Tidak seperti kamar Nayla yang penuh warna, ruangan ini abu-abu, kosong, hanya ada satu benda: cermin tinggi di dinding seberang. Bingkainya dari kayu tua, berukir daun kering. Permukaannya buram, seolah menolak memantulkan bayangan.
Langit melangkah masuk duluan. Aku menyusul dengan ragu.
Tiba-tiba, cermin itu mulai berembun...
Padahal tidak ada uap. Tidak ada udara hangat. Tapi di sana, perlahan... terbentuk tulisan.
Seolah jari tak kasat mata sedang menulis dari dalam:
NAYLA BUKAN SENDIRI.
Aku mundur setengah langkah. “Langit... kamu lihat itu?”
Dia mengangguk. Wajahnya tegang.
Lalu tulisan itu berubah. Menghapus sendiri, dan muncul yang baru:
DIA MENGAMBILNYA.
Langit menatapku. “Siapa... ‘dia’?”
Sebelum aku bisa menjawab, kaca cermin itu retak—garis panjang membelahnya tepat di tengah. Kami sama-sama terlonjak mundur.
Dan di lantai, sesuatu jatuh. Sebuah kunci kecil, berkarat, dengan angka 09 terukir di kepalanya.
Langit mengambilnya. “Ini... dari ruang bawah tanah.”
Aku mengerutkan alis. “Rumah ini punya ruang bawah tanah?”
Dia mengangguk pelan, suaranya nyaris bisikan. “Tempat yang bahkan aku nggak pernah boleh masuk.”
Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Tapi kali ini, bukan sekadar dingin atau datar. Dia takut.
Tapi juga... marah.
“Langit,” kataku pelan. “Kita bisa berhenti kalau kamu—”
Dia menatapku tajam. “Nggak. Aku harus tahu. Dan kalau kamu masih mau bantu... jangan lepas tanganku.”
Aku menatap tangannya yang terbuka.
Dan aku tahu... sejak hari itu, aku tidak lagi berdiri di luar cerita ini. Aku ada di dalamnya.
Bab 7: Tangga Menuju Kebenaran
Ruang bawah tanah.
Dua kata itu membuat langkahku terasa berat saat mengikuti Langit menuruni lorong belakang rumah, ke pintu kecil di balik lemari tua. Lembap. Gelap. Seperti tempat di mana rahasia dikubur... dan kadang bangkit.
Langit memasukkan kunci ke lubang tua berkarat.
Klik.
Pintu terbuka dengan bunyi gesekan panjang.
“Siap?” bisiknya tanpa menoleh.
Aku mengangguk, walau tenggorokanku terasa kering. “Aku nggak ninggalin kamu.”
Tangga menuju bawah sempit dan curam, hanya disinari cahaya redup dari senter ponsel. Bau debu dan besi tua menyambut kami. Langit menuruni tangga duluan. Aku mengikuti, tanganku mencengkeram tali ranselku erat-erat.
Setelah beberapa langkah... kami tiba.
Ruang bawah tanah ini tidak kosong. Justru sebaliknya.
Ada kursi kecil di tengah ruangan. Dikelilingi coretan di dinding—tulisan anak-anak.
Ada gambar pohon. Sosok hitam. Dan... nama yang ditulis berulang-ulang.
NAYLA. NAYLA. NAYLA.
Tiba-tiba, Langit mematung.
“Aku... pernah ke sini,” katanya pelan. “Waktu kecil. Tapi... aku lupa. Aku... disembunyikan.”
Aku menatapnya. “Langit, kamu yakin nggak ada yang bohongin kamu selama ini?”
Dia tidak menjawab. Tapi tangannya gemetar saat ia menyentuh dinding. Lalu, dia menemukan sebuah kotak kayu kecil tersembunyi di balik batu bata yang longgar.
Dengan hati-hati, dia membukanya.
Isinya: rekaman kaset tua, beberapa foto keluarga, dan selembar surat yang pudar.
Kami duduk di lantai dingin. Langit membuka surat itu dan membacanya pelan.
“Jika kau membaca ini, berarti kamu sudah cukup kuat untuk tahu... bahwa Nayla tidak hilang. Dia diambil. Oleh seseorang yang ingin menghapus bagian dari keluargamu.”
“Dan kamu, Langit... kamu adalah satu-satunya yang bisa mengingat apa yang terjadi malam itu.”
Langit terdiam lama. Matanya berkaca-kaca. Suatu hal yang tidak pernah aku lihat dari dia sebelumnya.
“Jadi... ini bukan kecelakaan,” bisikku.
Langit menatapku—kali ini bukan sebagai teman sekelas. Tapi sebagai satu-satunya orang yang berdiri bersamanya di tengah kegelapan ini.
“Kalau aku ingat... semua... kamu bakal tetap di sini, ‘Ra?”
Jantungku mencelos. Tapi aku menjawab tanpa ragu.
“Iya. Selama kamu tetap jujur padaku.”
Dan untuk pertama kalinya... dia mengangguk, perlahan. Dengan percaya.
Bab 8: Rekaman yang Tidak Pernah Diputar 🎞️
Kami kembali ke atas. Hari sudah mulai gelap. Rumah tua ini kini benar-benar terasa seperti jantung dari sesuatu yang besar… dan mengerikan.
Langit membawa kotak kayu itu seperti sesuatu yang rapuh—atau mungkin berbahaya. Kami duduk di ruang tamu, berhadapan dengan tape recorder tua yang ditemukan bersamaan dengan kaset tadi.
“Ini kayak... bagian dari teka-teki terakhir,” kataku pelan.
Langit menatap kaset itu. “Atau awal dari semuanya.”
Ia memasukkan kaset. Suara klik kecil terdengar, lalu derit mekanik saat rekaman diputar. Ada dengung pelan, lalu—
“Hari ke-38. Nayla masih bicara pada sosok itu.”
“Kami pikir ini teman khayalan. Tapi malam-malam, dia bicara dalam bahasa yang bukan milik kami.”
Suaranya adalah suara perempuan. Lelah. Takut. Seperti sedang mencatat sesuatu yang tidak berani ia ceritakan pada siapa pun.
“Langit kadang ikut mendengar. Tapi anehnya, setiap kali kami tanya... dia bilang tidak ingat.”
Langit menggertakkan gigi. Tangannya mengepal.
“Kami menyembunyikan Langit untuk melindunginya. Tapi mungkin... mungkin kami salah. Mungkin dia bukan yang harus disembunyikan.”
Suara itu berhenti mendadak, lalu disusul suara tangis pelan—anak kecil.
Aku langsung menoleh ke Langit. Dia pucat. Kaku.
“Aku... aku pernah mimpi suara itu,” katanya perlahan. “Tiap malam pas kecil. Aku pikir itu cuma... mimpi.”
Aku menggenggam tangannya. “Mungkin itu bukan mimpi, Git. Mungkin... kamu tahu lebih dari yang kamu kira.”
Ia menarik napas dalam-dalam. “Keluargaku... selalu nutup mulut soal malam itu. Dan aku ngerti sekarang kenapa. Mereka takut aku ingat sesuatu yang... mungkin seharusnya tetap terkubur.”
Tiba-tiba, suara kaset menyala lagi.
“Kalau kamu menemukan ini, Langit... jangan datang ke loteng.”
Klik. Kaset berhenti otomatis.
Kami saling menatap.
“Ada loteng?” tanyaku.
Langit berdiri perlahan, wajahnya mulai berubah. Tidak lagi ketakutan. Tapi tekad.
“Ada.”
Bab 9: Jangan Naik Saat Malam
Rumah itu sunyi. Tapi bukan sunyi yang biasa. Sunyi ini berat. Seperti menahan napas.
Langit berdiri di bawah loteng. Tangga kayu tua menempel di dinding, hampir tak terlihat di balik bayangan malam. Aira berdiri satu langkah di belakangnya, tangannya masih menggenggam lengan Langit seperti jangkar terakhir ke realita.
“Aku nggak ngerti,” bisik Aira. “Kalau dia bilang jangan naik... kenapa kita justru ke sini?”
Langit menatap ke atas. “Karena jawabannya... pasti di sana. Dan aku capek jadi orang yang cuma tahu setengah dari ceritanya.”
Dia menarik tangga lipat perlahan. Suaranya—krek-krek-krek—seperti lolongan peringatan dari rumah itu sendiri.
Setelah semuanya siap, Langit naik duluan.
Aira ragu sepersekian detik, lalu ikut, satu tangan tetap pada tangga, satu lagi membawa ponsel sebagai penerang.
Loteng itu kecil, gelap, dan dingin.
Ada peti kayu di tengah ruangan.
Langit membuka tutupnya. Perlahan.
Isinya... aneh.
Ada boneka rusak tanpa mata. Sebuah bingkai foto terbakar setengah, dan satu buku gambar anak-anak.
Aira meraih buku itu, membuka halaman pertamanya.
Gambar anak kecil. Berpegangan tangan dengan sosok hitam tinggi tak berbentuk. Di halaman lain: gambar sebuah pohon besar dengan wajah. Lalu...
Sebuah halaman kosong dengan tulisan:
"Dia memilih Langit."
Aira menatap Langit. “Apa maksudnya ini?”
Langit diam. Lalu matanya melebar. Ia menoleh ke pojok loteng.
“Aira… kamu lihat itu?”
Aira mengikuti arah pandangnya.
Di sudut ruangan, di balik tumpukan kardus...
ada cermin. Sama seperti yang di lantai dua. Tapi kali ini, bukan retak.
Cerminnya gelap, seperti kolam malam. Tapi perlahan... bayangan mulai muncul.
Seorang anak kecil. Menatap balik dari dalam cermin. Bukan bayangan mereka.
Dia membuka mulutnya…
dan tanpa suara, mengucapkan satu kata:
"Ingat."
Langit terhuyung ke belakang. “Itu... Nayla.”
Aira mengulurkan tangan. “Git, kamu—”
Tiba-tiba lampu ponsel Aira mati.
Semuanya gelap total.
Dan dari dalam cermin, terdengar suara... tawa kecil.
Bab 10: Mata di Balik Cermin
Gelap. Hening. Dingin.
Setelah ponsel Aira mati, dunia di dalam loteng seperti berubah. Tidak ada suara kecuali... napas Langit yang tercekat. Dan sesuatu lagi.
Langkah kecil.
Aira menyentuh bahu Langit. “Git…?”
“Aku lihat dia,” bisik Langit. “Dia... di balik cermin itu. Nayla.”
Cermin itu tak memantulkan mereka. Hanya ruangan kosong, tapi dengan sepasang mata kecil yang menatap mereka... dari sisi lain.
Dan di antara suara detak jantung yang kencang, tiba-tiba—cermin berembun.
Tulisan mulai muncul:
Bukan Langit yang lupa. Tapi dia disuruh lupa.
Aira merinding. “Disuruh?”
Langit mengangguk pelan. “Mereka... mereka bilang aku mimpi. Bilang Nayla kecelakaan. Tapi aku... aku tahu sekarang. Aku ada di sana.”
Aira menarik napas. “Dan kamu lihat apa?”
Langit tak menjawab langsung.
Tapi tiba-tiba, dia menjatuhkan diri ke lantai. Tubuhnya gemetar. Matanya terbuka, tapi kosong.
“AIRA...” katanya, suaranya berubah. Lebih kecil. Lebih seperti... anak-anak.
Aira panik. “Langit?! Hey! Langit!”
Lalu ia mulai bicara sendiri. Suara lirih seperti gumaman:
“Aku gak mau main sama dia... dia marah... dia marah banget... terus Nayla jatuh... dia bilang itu salahku…”
Aira mendekat, memeluknya dari belakang. “Langit! Ini Aira. Kamu di sini, oke? Di sini sama aku.”
Tapi cermin itu bergetar pelan. Seperti menahan sesuatu di baliknya. Suara tawa kecil kembali terdengar. Kali ini lebih dekat.
Dan Aira... tiba-tiba merasa hangat di ujung jarinya.
Cermin itu menyentuh balik. Seperti ada tangan dari sisi lain... menempel pada permukaan.
Langit menarik napas tajam. “Itu bukan Nayla…”
Aira menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Dia menatapnya. Mata Langit kembali jernih. Tapi kini ada ketakutan murni.
“Yang di cermin itu… bukan Nayla.”
Bab 11: Seseorang Telah Menggantikan
Malam itu, setelah kejadian di loteng, semuanya terasa berbeda.
Langit duduk termenung di sudut ruang tamu, wajahnya pucat dan mata kosong seperti tersedot ke dalam dunia lain. Aku tahu ada sesuatu yang salah—bahkan lebih dari sebelumnya.
Aku mencoba menyentuh bahunya, tapi dia menghindar.
“Aira... kau harus berhati-hati,” katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan angin. “Dia... dia bukan Nayla. Bukan anak yang hilang. Seseorang sudah menggantikannya.”
“Apa maksudmu?” Aku menatapnya, tapi dia menunduk, suaranya pecah.
“Di balik cermin itu ada sesuatu yang mengambil tempat Nayla. Sesuatu yang bisa meniru, bisa menyamar... tapi tujuannya bukan hanya tinggal. Dia ingin mengambil semuanya. Kenangan, jiwa... bahkan hidup.”
Aku merasa ada sesuatu yang dingin merayap di tulang belakangku.
“Tapi kenapa dia melakukan itu? Dan kenapa sekarang?” tanyaku.
Langit menghela napas panjang. “Karena aku mulai ingat. Ingatan itu seperti kunci yang membukakan pintu gelap ini. Dan setiap kali aku ingat, dia jadi takut kehilangan tempatnya.”
Aku mendekat, berusaha menguatkan dia. “Kita harus cari tahu siapa dia sebenarnya.”
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari lantai dua.
Kami berdua saling berpandangan. Ketukan itu berulang, semakin keras dan teratur.
“Aira... kita tidak sendirian,” katanya.
Aku mengangguk, mengambil senter.
“Kita harus hadapi ini, bersama.”
Bab 12: Bayang-Bayang yang Mengintai
Ketukan itu kini berubah jadi suara langkah kaki yang berat, menuruni tangga dengan perlahan tapi pasti.
Aku dan Langit berdiri di pintu ruang tamu, napas kami tertahan.
“Siapa itu?” bisikku, tapi suaraku serak dan hampir tak terdengar.
Langit menggenggam tanganku, matanya tajam menatap ke arah pintu.
Tiba-tiba, bayangan muncul di ujung lorong.
Sosok itu tinggi, mengenakan jaket lusuh, tapi yang membuatku merinding adalah wajahnya—sebuah wajah yang seharusnya tidak bisa aku lihat lagi.
Wajah itu milik… nenek Langit.
Dia menatap kami dengan mata yang dingin, tapi ada sesuatu yang lain—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik keriputnya.
“Nenek?” Langit hampir tak percaya.
Nenek itu mengangguk pelan, suaranya pelan tapi penuh kewaspadaan.
“Aku sudah lama menunggu kalian menyadari kebenaran. Semua ini lebih besar dari yang kalian bayangkan.”
Dia berjalan mendekat, lalu mengeluarkan sebuah buku kulit tua.
“Ini adalah catatan keluargamu, Git. Catatan tentang bayang-bayang yang mengintai dan rahasia yang harus dijaga agar tidak menghancurkan kita semua.”
Aku mengintip buku itu. Halamannya penuh dengan simbol aneh dan tulisan tangan yang hampir tak terbaca.
“Bayang-bayang itu bukan hanya satu,” neneknya memperingatkan. “Mereka datang dalam banyak wujud. Dan sekarang, mereka tahu bahwa kalian sudah mulai mengingat.”
Langit menghela napas berat. “Jadi, apa yang harus kami lakukan?”
Neneknya menatap kami dengan tegas.
“Kalian harus bersatu. Karena hanya dengan bersatu, bayang-bayang itu bisa dikalahkan.”
Bab 13: Warisan yang Terlupakan
Nenek Langit duduk di kursi goyang tua di pojok ruang tamu. Dia membuka buku kulit itu perlahan, seperti membuka pintu ke masa lalu yang terlupakan.
“Setiap generasi di keluargamu diberi tugas,” katanya dengan suara bergetar, “untuk menjaga rumah ini dan rahasia yang ada di dalamnya.”
Aku dan Langit saling berpandangan. “Rahasia apa, Nek?”
Nenek menatap ke arah jendela yang remang-remang. “Ada sebuah entitas—bayang-bayang yang mengintai sejak lama. Mereka bukan makhluk biasa, tapi roh yang bisa mengambil wujud dan menyerap ingatan.”
Langit menggenggam tanganku erat. “Itu yang menggantikan Nayla?”
“Iya. Mereka mengincar jiwa-jiwa lemah untuk bertahan. Keluargamu sudah lama menjadi benteng terakhir.”
Aku terdiam. “Tapi kenapa Nayla? Dan kenapa sekarang?”
“Karena entitas itu merasa mulai kehilangan kekuatan. Dan denganmu, Langit, yang mulai mengingat, mereka merasa terancam.”
Nenek menutup buku itu. “Sekarang, kalian harus memilih. Melanjutkan warisan ini dan berhadapan dengan bayang-bayang, atau lari dan membiarkan mereka mengambil alih.”
Langit menatapku. “Aku nggak mau lari.”
Aku mengangguk. “Aku juga nggak.”
Nenek tersenyum kecil. “Bagus. Kalian tidak sendirian.”
Bab 14: Persiapan Melawan Bayang-Bayang
Nenek Langit membawa kami ke sebuah ruang rahasia di bawah rumah. Pintu kayu tua terbuka pelan, menampilkan ruangan penuh dengan benda-benda kuno—pedang berukir, jimat, dan gulungan kertas tua.
“Ini adalah warisan keluarga kalian,” kata nenek sambil menunjuk satu pedang berkilau di dinding. “Pedang ini dibuat untuk melawan entitas seperti bayang-bayang.”
Langit mengangkat pedang itu dengan hati-hati, merasakan berat dan kekuatan yang mengalir dari logamnya.
Aku melihat sekeliling, menemukan jimat kecil berbentuk bulan sabit yang berpendar samar.
“Kalau senjatanya seperti ini, aku jadi lebih percaya kita bisa lawan mereka,” kataku.
Nenek tersenyum tipis. “Tapi kekuatan terbesar bukan hanya senjata. Kalian harus kuat secara batin. Saling percaya. Itulah kunci untuk mengusir bayang-bayang.”
Kami mulai berlatih, nenek mengajarkan cara mengayunkan pedang dan cara menggunakan jimat sebagai perlindungan. Walau aku belum pernah berurusan dengan hal seperti ini, aku merasa ada sesuatu yang membangkitkan kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam diriku.
Langit juga terlihat berbeda. Matanya lebih fokus, tapi ada rasa gentar yang tersisa.
Setelah latihan, nenek memberikan kami gulungan kertas berisi mantra perlindungan.
“Kalian harus membacanya setiap malam,” katanya. “Dan jangan pernah meremehkan bayang-bayang.”
Aku menatap Langit. “Kita akan hadapi ini. Bersama.”
Dia mengangguk mantap.
Bab 15: Bayang-Bayang Menggigit
Malam itu, setelah latihan, aku dan Langit kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan campur aduk—semangat sekaligus ketakutan.
Tapi rasa tenang itu tidak bertahan lama.
Aku terbangun oleh suara bisikan pelan yang menyelinap masuk lewat jendela yang terbuka sedikit. Suara itu seperti menyebut namaku, mengundang dengan nada menggoda tapi dingin.
Aku melangkah ke jendela dan melihat bayangan gelap yang melayang di halaman belakang. Bentuknya samar, tapi matanya berkilat merah menatap langsung ke arahku.
Jantungku berdebar kencang. Aku meraih jimat bulan sabit yang nenek berikan dan menggenggamnya erat.
Langit muncul di sampingku, juga waspada. “Aira, jangan keluar. Itu bukan main-main.”
Bayangan itu mendekat, seperti mencoba menembus batas dunia kami.
Aku membaca mantra perlindungan dengan suara pelan tapi mantap. Bayangan itu bergetar, seolah tersiksa oleh kata-kata itu.
Tiba-tiba, bayangan itu mengeluarkan suara tawa yang menggema. “Kalian tidak bisa lari. Aku sudah menunggu lama.”
Langit mengayunkan pedangnya, cahaya biru menyala dari bilahnya. Bayangan itu mundur, tapi tak hilang.
Pertarungan itu hanya berlangsung sebentar, tapi aku tahu ini baru permulaan.
Bab 16: Di Antara Dua Dunia
Setelah pertempuran singkat itu, kami kembali ke ruang bawah, tempat yang sekarang terasa seperti satu-satunya tempat aman di rumah ini.
Langit duduk di lantai, pedang di sampingnya, tubuhnya gemetar meski tidak ada luka fisik.
Aku duduk di depannya. “Kamu gemetaran,” bisikku.
Dia menggeleng. “Aku nggak takut sama mereka… aku takut kehilangan kendali. Takut kalau mereka ternyata benar. Kalau semua ini salahku.”
Aku menggenggam tangannya. “Langit, kamu bukan penyebab semua ini. Kamu adalah alasan kenapa kita bisa melawan.”
Matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau sesuatu terjadi sama kamu, Aira…”
Aku menggeleng cepat. “Aku nggak akan ke mana-mana. Kamu nggak sendirian.”
Untuk pertama kalinya, dia menyandarkan kepalanya ke pundakku.
Dan saat itu juga, sesuatu aneh terjadi.
Cahaya dari jimat di leherku menyala lembut—lalu… bayangan mulai muncul di dinding, bukan menyerang, tapi menggambarkan sesuatu. Seperti potongan-potongan masa lalu.
Kami melihat siluet dua anak kecil bermain di halaman belakang. Langit kecil. Dan seorang gadis kecil.
“Nayla…” bisik Langit.
Tapi tiba-tiba siluet itu digantikan oleh sosok tinggi tanpa wajah… lalu kegelapan menyapu segalanya.
Aku terdiam. “Bayangan itu tidak hanya menyerang kita. Dia menunjukkan sesuatu.”
Langit berdiri perlahan. “Dia ingin kita tahu... bahwa ini belum selesai. Dia masih menyimpan bagian terakhir dari kebenaran.”
Aku menatapnya, lalu mengangguk. “Dan kita akan ambil kembali. Apapun yang dia sembunyikan.”
Bab 17: Gerbang yang Terbuka
Malam itu, rumah terasa sunyi secara tidak wajar. Bahkan suara jangkrik pun hilang.
Aku tahu… gerbang itu sedang terbuka.
Nenek Langit berdiri di depan loteng dengan raut wajah serius.
“Gerbang di cermin… tidak hanya menampilkan. Ia menghubungkan dunia kita dengan dunia mereka,” katanya. “Jika kalian masuk, tidak ada jaminan kalian akan bisa keluar dengan utuh.”
Langit memegang pedangnya. “Tapi kalau kita nggak masuk, kita nggak akan pernah tahu kebenaran tentang Nayla. Atau tentang siapa sebenarnya yang mengendalikan semua ini.”
Aku berdiri di sampingnya. “Dan mereka nggak akan berhenti sampai kita menyerah. Aku nggak akan biarkan itu.”
Nenek mengangguk pelan. “Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Saat kalian masuk ke dunia bayangan, waktu berjalan berbeda. Ingatan bisa terpecah. Kalian hanya bisa kembali kalau kalian tetap mengingat satu hal...”
“Apa itu?” tanya Langit.
“Siapa kalian sebenarnya.”
Dia membuka buku tua itu. Halaman terakhir, yang selama ini kosong, mulai terisi dengan sendirinya.
Mantra. Simbol. Gambar gerbang bercahaya yang terpantul dari cermin.
Dan saat kami membaca mantra itu bersama…
Cermin mulai bergetar.
Dari dalam permukaannya yang datar, muncul celah hitam yang melingkar seperti pusaran air. Dan dari dalamnya… suara Nayla kecil memanggil:
“Langit… kamu ingat aku, kan?”
Langit menahan napas. Tangannya terulur ke arah pusaran itu.
Aku menggenggam tangannya.
“Siap?”
Dia menatapku.
“Siap.”
Dan kami melompat masuk.
Bab 18: Jalan yang Terpecah
Saat kami melompat masuk ke dalam cermin, segalanya terasa seperti terbalik. Tidak ada suara. Tidak ada warna. Hanya kabut kelabu dan jalan tanpa ujung.
Kami berdiri di sebuah lorong panjang, dindingnya seperti pantulan kaca yang rusak. Setiap langkah kami menghasilkan gema yang bukan hanya satu... tetapi tiga.
“Aira…” Langit menatap ke sekeliling. “Tempat ini... terasa seperti mimpi yang salah arah.”
Tiba-tiba, jalan di depan kami bercabang dua.
Di kanan: sebuah taman penuh ayunan yang berderit sendiri.
Di kiri: sebuah kamar tua dengan foto-foto keluarga Langit, tapi semua wajahnya dihapus.
Dan di tengah-tengah cabang itu…
Nayla kecil.
Tapi dia tak bicara. Matanya hanya kosong, menatap kami tanpa emosi.
Langit melangkah ke arahnya. “Nayla? Kamu… kamu ingat aku?”
Tapi saat dia menyentuh bahunya—Nayla menghilang. Dan jalan itu mulai bergetar. Cermin-cermin di dinding mulai pecah, memunculkan potongan-potongan masa lalu:
-
Langit menangis sendirian di taman.
-
Seorang ibu membacakan cerita, wajahnya perlahan mengabur.
-
Aira kecil… berdiri di sudut sekolah, sendirian, menatap sesuatu yang tidak terlihat orang lain.
“Ini bukan hanya tentang Nayla,” bisikku. “Ini… tentang kita semua.”
Lorong itu menggema dengan suara serak:
“Semakin jauh kalian melangkah… semakin kalian lupa siapa diri kalian…”
Dan tiba-tiba—jalan itu terbelah.
Aku dan Langit terseret ke arah berlawanan.
“AIRA!”
“LANGIT!”
Semuanya gelap.
Bab 19: Cermin Diri Sendiri 🪞🖤
Aku terbangun di sebuah ruangan putih. Terlalu putih. Tidak ada bayangan, tidak ada suara.
Hanya aku. Dan… diriku sendiri.
Tapi bukan aku yang sekarang.
Dia mengenakan seragam sekolah—seragam yang dulu pernah kupakai waktu SMP. Wajahnya pucat. Senyumnya… aneh.
“Aira,” katanya dengan suara datar. “Akhirnya kamu datang.”
Aku mundur setapak. “Siapa kamu?”
Dia tertawa kecil, mirip aku… tapi dingin. “Aku kamu. Bagian yang kamu kunci rapat-rapat. Ingatan yang kamu kubur. Luka yang kamu pura-pura lupa.”
Lalu cermin besar muncul di tengah ruangan.
Dan di sana… aku melihat diriku menangis, duduk di pojok kamar, tangan menggenggam surat yang sudah lecek.
Itu… surat dari Ayah. Surat terakhir sebelum dia pergi dan tak pernah kembali.
Aku membeku.
“Aku ingat ini…” bisikku. “Tapi aku pikir sudah selesai.”
Sosok “Aira” lain itu menatapku tajam. “Tidak pernah selesai. Kamu melarikan diri. Ke Langit. Ke rumah itu. Ke bayang-bayang yang lebih besar… karena kamu takut menghadapi milikmu sendiri.”
Air mataku mulai turun, tapi aku tak bisa menghindar. Cermin itu memaksaku melihat. Semuanya.
“Tapi kamu kuat,” katanya. Suaranya mulai berubah, lebih lembut. “Kamu bertahan. Dan sekarang, kamu harus bangkit. Karena Langit… sedang menghadapi bagian tergelap dari dirinya juga.”
Cermin itu mulai pecah. Retakan menyebar, lalu semuanya runtuh.
Aku menutup mata.
Saat aku membukanya… aku kembali berdiri di lorong abu-abu. Sendiri, tapi dengan jimatku yang menyala terang di dada.
“Aku nggak akan lari lagi,” bisikku.
Bab 20: Bayangan Masa Kecil Langit 🌫️🧸
Langit terbangun di sebuah kamar anak-anak. Kecil, berantakan, penuh mainan tua dan lukisan jari di dinding. Tapi semuanya… membeku dalam waktu.
Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki duduk di lantai. Punggungnya menghadap Langit. Tangannya memeluk boneka beruang tua yang sudah robek.
Langit mendekat perlahan. Napasnya tercekat saat melihat wajah anak itu.
“Itu… aku,” bisiknya.
Anak kecil itu menatap ke arah Langit. Tapi matanya… kosong.
“Kenapa kamu tinggalkan aku?” suara bocah itu parau. “Kamu janji nggak akan lupa…”
Langit gemetar. “Aku nggak tahu harus bagaimana waktu itu… semuanya terlalu cepat. Ayah pergi. Ibu… berubah. Nayla—”
“Nayla meninggal karena kamu!” teriak suara anak itu tiba-tiba, menggema di seluruh ruangan.
Langit terhuyung ke belakang.
“Kalau kamu nggak manggil dia ke taman malam itu… dia nggak akan hilang. Kamu tahu, kan? Kamu tahu kamu penyebabnya.”
Langit menutup telinganya. Tapi suara itu tetap terdengar — di dalam pikirannya sendiri.
“Berhenti!” teriaknya. “Aku tahu aku salah! Tapi aku masih di sini, aku masih mencoba memperbaiki semuanya!”
Lalu, perlahan… anak kecil itu menurunkan bonekanya. Wajahnya melunak. Dan air mata menetes dari matanya.
“Kamu ingat aku sekarang?” bisiknya.
Langit mengangguk. “Aku ingat. Aku… aku janji nggak akan lari lagi.”
Ruangan itu mulai bersinar. Mainan, lukisan, semua bergerak kembali. Waktu kembali berjalan. Dan dari jendela kecil di kamar itu… cahaya terang masuk.
Di tengah cahaya itu, suara Aira menggema:
“Langit… kamu dengar aku?”
Dia menoleh. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka terpisah… Langit melihat jalan bercahaya yang mengarah keluar dari kamar itu.
“Aira…” bisiknya.
Bab 21: Pertemuan di Tengah Bayangan
Aku berlari. Menyusuri lorong yang terus berubah bentuk, seolah mencoba menghalangiku. Tapi jimat di leherku bersinar terang, membuka jalan saat aku meneriakkan nama itu berulang-ulang:
“Langit! LANGIT!!”
Dan saat aku belok di sudut yang tiba-tiba muncul…
Aku melihatnya.
Langit berdiri di ujung lorong, tubuhnya diselimuti cahaya keperakan. Wajahnya lelah, tapi matanya… penuh tekad.
Aku langsung berlari ke arahnya. Tanpa pikir panjang, kami saling berpelukan.
Untuk pertama kalinya sejak masuk ke dunia ini, aku merasa nyata.
“Aku kira aku kehilangan kamu,” bisikku.
Dia menggeleng. “Kita janji bareng. Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Tiba-tiba, lantai bergetar. Cermin-cermin di dinding mulai retak lagi, tapi kali ini… bukan karena kenangan.
Seseorang—atau sesuatu—sedang mendekat.
Dari balik bayangan, muncul sosok tinggi tanpa wajah. Tapi sekarang, tubuhnya pecah-pecah seperti kaca rusak. Suaranya gemetar:
“Kalian seharusnya… lupa. Kalian seharusnya... hancur oleh bayangan kalian sendiri.”
Langit melangkah maju. “Kami ingat. Dan itu kekuatan kami.”
Aku meraih tangannya. Jemari kami saling menggenggam erat.
Cermin terakhir di ujung lorong menampilkan Nayla kecil, tersenyum dari taman. Dia melambai pelan.
Langit tersenyum kecil, dan membisikkan, “Maafkan aku, Nayla.”
Dan saat kami melangkah menembus cermin terakhir itu—bayangan itu menjerit keras, sebelum pecah menjadi ribuan cahaya hitam yang menghilang ke dalam lorong waktu.
Kami terjatuh ke tanah.
Tanah rumput yang lembut.
Udara malam yang segar.
Kami… kembali.
Bab 22: Bayangan yang Tertinggal
Kami duduk di halaman belakang, berdua, di bawah langit malam yang terang oleh bintang. Rumah nenek tenang. Terlalu tenang.
Langit memandangi tangannya. “Aira… menurutmu semua ini benar-benar selesai?”
Aku ingin menjawab ya. Tapi saat aku menoleh, aku melihat sesuatu.
Bayangan.
Kecil. Pendek. Seperti bayangan anak kecil… berdiri diam di bawah pohon mangga, tempat Nayla biasa bermain dulu.
Tapi kali ini, dia tidak tersenyum.
Dia hanya berdiri. Menatap kami.
Lalu menghilang.
Aku menelan ludah. “Kadang, tidak semua bayangan bisa hilang. Ada yang tetap tinggal. Tapi selama kita ingat siapa kita… mereka nggak akan mengendalikan kita lagi.”
Langit mengangguk pelan. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi besok… tapi selama kamu di sini, aku siap.”
Aku tersenyum dan menggenggam tangannya.
Dari jendela, nenek memperhatikan kami. Di tangannya, buku tua itu sudah tertutup… tapi di sampulnya kini muncul ukiran baru:
"Bayangan Pertama. Bab Satu."
Dan di bawahnya, terukir samar-samar:
“Bayangan Kedua akan datang… ketika langit mulai berubah.”
Komentar
Posting Komentar