Luka yang Tersembunyi

 Luka yang Tersembunyi




Sinopsis: Ayla dan Raka berasal dari dua dunia yang berbeda. Ayla adalah putri satu-satunya dari keluarga terpandang. Raka hanyalah seorang fotografer freelance yang hidup sederhana. Cinta mereka tumbuh dalam rahasia, hingga akhirnya terbongkar dan dihadapkan pada tembok restu keluarga yang tak kunjung roboh. Antara cinta dan keluarga, mana yang akan mereka pilih?


Bab 1: Pertemuan di Bawah Hujan

Jakarta sore itu basah oleh hujan yang turun tanpa tanda. Ayla berlari kecil di trotoar, melindungi kepala dengan tas tangan. Jas hujan tipis tak mampu melindungi tubuh rampingnya dari basah kuyup. Ketika kakinya terpeleset, sebuah tangan kuat menangkapnya.

"Awas, Mbak!" suara pria itu terdengar di tengah bisingnya kendaraan dan hujan.

Ayla menatap pria itu—matanya cokelat hangat, rambutnya basah, jaket lusuh menutupi tubuhnya. Tanpa banyak bicara, ia menyodorkan jaketnya untuk melindungi Ayla.

“Terima kasih,” bisik Ayla pelan.

Pertemuan itu sederhana, tapi cukup untuk menyalakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan di hati mereka.


Bab 2: Tawa yang Hilang

Sejak pertemuan itu, mereka sering bertemu. Awalnya kebetulan, lalu mulai direncanakan. Raka mengajak Ayla ke tempat-tempat tersembunyi di kota—taman kecil, kedai kopi tua, dan atap gedung tua tempat ia biasa memotret langit.

“Kenapa kamu suka langit?” tanya Ayla suatu sore.

“Karena langit nggak pernah protes, meski harus berubah warna setiap hari.”

Ayla tertawa. Itu tawa lepas pertama yang keluar darinya dalam bertahun-tahun. Bersama Raka, dunia terasa lebih ringan.


Bab 3: Masa Lalu yang Tersembunyi

Raka menyimpan rahasia. Ia pernah tinggal di panti asuhan, ayahnya meninggal di penjara karena kasus yang membuat nama keluarganya hancur. Ia tak pernah menceritakan semua itu kepada Ayla. Ia hanya ingin hidup sederhana, menjauh dari masa lalu.

Namun Ayla mulai curiga ketika ia menghindar bicara tentang keluarganya.

“Kalau aku tahu semua tentang kamu, kamu nggak takut aku pergi?” tanya Ayla suatu malam.

Raka diam lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Aku lebih takut kamu tinggal dan menyesal.”


Bab 4: Rahasia di Balik Senyuman

Ayla tahu perasaannya pada Raka bukan lagi sebatas ketertarikan. Tapi ia juga tahu, hubungannya dengan Raka bukan sesuatu yang bisa ia umumkan. Ayahnya, Bram Wijaya, adalah pengusaha konservatif yang sangat menjaga nama baik keluarga.

“Kalau ayahmu tahu tentang aku, dia pasti nggak akan setuju,” kata Raka suatu sore saat mereka duduk di bangku taman.

“Dia nggak harus tahu,” jawab Ayla cepat.

Raka menatapnya. “Sampai kapan kita sembunyi?”

Ayla tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Raka. Di balik senyuman itu, ada ketakutan yang ia pendam. Ia tahu cepat atau lambat, rahasia ini akan terbongkar. Tapi untuk saat itu, ia hanya ingin menikmati kebahagiaan kecil yang mereka punya.


Bab 5: Ultimatum

Semuanya berubah ketika Ayla lupa mematikan lokasi berbagi di ponselnya. Sang ayah, yang diam-diam memantau pergerakannya, mengikuti sinyal itu dan menemukan Ayla bersama Raka di sebuah kafe kecil di sudut kota.

Keesokan harinya, Ayla dipanggil ke ruang kerja Pak Bram. Wajah ayahnya tak menunjukkan amarah, hanya ketenangan yang lebih menakutkan.

“Siapa dia?” tanya Pak Bram, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Ayla dan Raka.

“Namanya Raka. Dia…” Ayla ragu, “dia orang yang aku cintai.”

“Orang yang kamu cintai? Ayla, kamu pikir cinta cukup untuk hidup?”

“Kalau bukan karena cinta, buat apa kita hidup, Ayah?”

Pak Bram bangkit dari kursinya, menghampiri putrinya. “Dengar baik-baik. Kamu putri keluarga Wijaya. Kamu punya tanggung jawab, Ayla. Kamu bukan gadis biasa yang bisa memilih hidup sembarangan.”

Lalu ia menunduk, suaranya lebih pelan namun tajam. “Putuskan dia, atau kamu kehilangan semuanya.”

Ayla menatap ayahnya dengan mata berkaca. “Semuanya... termasuk hak untuk mencintai?”

“Terutama itu.”


Bab 6: Keputusan yang Menyakitkan

Hari-hari berikutnya, Ayla tampak murung. Pikirannya kacau. Ia menghindari Raka, tak mengangkat telepon, tak membalas pesan. Ia tahu bahwa memilih Raka berarti kehilangan segalanya—keluarga, masa depan yang sudah dirancang, dan seluruh kenyamanan hidupnya.

Sementara itu, Raka gelisah. Ia berdiri di depan apartemen Ayla hampir setiap malam, berharap pintu itu akan terbuka. Namun yang ia dapat hanya sunyi.

Akhirnya, Ayla memberanikan diri untuk menemui Raka di tempat pertama kali mereka bertemu: taman kecil di bawah jembatan.

“Kamu baik-baik saja?” Raka bertanya pelan.

Ayla hanya mengangguk. Lalu ia mengeluarkan selembar kertas kecil dari saku jaketnya.

“Apa ini?”

“Tiket ke Paris. Ayahku bilang aku bisa ke sana untuk melanjutkan kuliah... dan melupakan kamu.”

Raka terdiam.

“Aku belum memutuskan,” lanjut Ayla. “Tapi aku ingin kamu tahu, apapun pilihanku nanti... itu bukan karena aku berhenti mencintaimu.”

Mata mereka bertemu dalam diam. Tak ada pelukan, tak ada tangis. Hanya dua hati yang perlahan-lahan menyadari bahwa cinta kadang bukan soal bersama, tapi soal melepaskan dengan cara yang paling manusiawi.


Bab 7: Hujan yang Sama, Luka yang Berbeda

Hari keberangkatan Ayla semakin dekat. Ia mencoba tersenyum setiap harinya di hadapan ibunya, sahabat-sahabatnya, dan bahkan dirinya sendiri di cermin. Tapi ia tahu, senyum itu tak pernah benar-benar sampai ke mata.

Sementara itu, Raka larut dalam dunianya sendiri. Kamera yang biasanya menjadi temannya kini hanya tergeletak di sudut kamar. Ia tak lagi memotret langit, tak lagi menyapa anak-anak jalanan yang dulu sering ia bantu potretkan secara gratis.

Suatu malam, hujan kembali turun di Jakarta. Raka, tanpa tujuan, berjalan menyusuri jalanan yang dulu sering ia lewati bersama Ayla. Ia berhenti di bawah jembatan yang sama—tempat pertemuan mereka yang pertama. Hujan deras mengguyur tubuhnya, tapi ia tak peduli.

Tiba-tiba langkah kecil menghampiri dari kejauhan. Di antara tirai hujan, sosok Ayla muncul dengan payung di tangannya. Wajahnya basah, entah karena hujan atau air mata.

“Aku nggak jadi ke Paris,” katanya tanpa basa-basi.

Raka menatapnya dengan mata terbelalak. “Kenapa?”

“Karena aku sadar... aku bisa kehilangan semuanya, tapi aku nggak siap kehilangan kamu.”

Payung itu terjatuh. Mereka berdiri di bawah hujan, dalam pelukan yang basah dan hangat. Untuk pertama kalinya, mereka tak lagi bersembunyi. Tapi mereka juga tahu, pelukan ini bukan akhir dari perjuangan. Justru, ini adalah awal dari pertempuran yang lebih besar—melawan restu yang belum datang, melawan ketakutan dalam hati mereka sendiri.

Namun untuk malam itu, di bawah hujan yang sama seperti pertemuan pertama mereka, luka yang mereka punya terasa sedikit lebih ringan.

Bab 8: Antara Dua Dunia

Setelah malam itu, Ayla dan Raka mencoba hidup tanpa bayang-bayang. Mereka mulai terbuka—setidaknya kepada orang-orang terdekat. Raka memperkenalkan Ayla pada sahabat-sahabatnya, pada dunia kecilnya yang sederhana tapi hangat. Ayla belajar menyeduh kopi di kedai kecil milik sahabat Raka, bahkan mulai memotret dengan kamera Raka.

Namun dunia mereka yang sederhana segera terusik.

Suatu sore, Ayla dipanggil oleh ibunya. Ibu Ayla tak segarang Pak Bram, tapi sorot matanya bisa lebih menyayat.

“Ayla, kamu pikir Ibu nggak tahu? Apa kamu pikir Ibu nggak mengerti rasanya mencintai seseorang yang tak direstui?”

Ayla terdiam.

“Dulu Ibu juga pernah begitu, Nak. Tapi akhirnya Ibu memilih keluarga. Karena hidup bukan cuma soal hati.”

Ayla menggenggam tangan ibunya. “Tapi Bu, kalau kita selalu menyerah demi keluarga, kapan hati kita punya rumahnya sendiri?”

Ibunya tak menjawab, hanya menatap Ayla dengan sorot sendu.

Di sisi lain, Raka mendapat telepon dari seorang kenalan lama yang dulu pernah bekerja dengan ayahnya. Ia ditawari pekerjaan dokumenter di Kalimantan—pekerjaan yang menjanjikan nama dan masa depan. Tapi ia harus pergi dalam waktu dekat.

Raka bimbang. Ia menatap foto Ayla di layar ponsel, lalu langit sore yang mulai berubah jingga. Cinta atau kesempatan? Dunia Ayla atau masa depan yang sudah lama ia kubur?

Mereka mulai menyadari: cinta saja mungkin tak cukup, tapi menyerah sebelum berjuang bukan pilihan.

Dan kini, pilihan-pilihan itu membentang di depan mereka, membawa mereka ke arah yang belum tentu sama.

Namun satu hal yang pasti—mereka mencintai. Sepenuh hati, sekeras mungkin.

Meski dunia mereka masih bertabrakan.

Bab 9: Titik Balik

Dua hari setelah perbincangan dengan ibunya, Ayla duduk sendiri di teras kedai kopi tempat Raka biasa bekerja. Hujan rintik turun pelan. Payung-payung warna-warni berjajar di trotoar seberang jalan, membuat suasana senja tampak lebih sendu daripada biasanya.

Ia memegang surat di tangannya—bukan dari ayahnya, bukan juga dari ibunya. Tapi dari kampus di Paris. Penerimaannya resmi, dan di dalam amplop itu tertera tanggal keberangkatan yang baru. Tiket sudah dipesan ulang oleh ayahnya tanpa sepengetahuannya.

Ayla menghela napas. Ia merasa seperti boneka di atas panggung sandiwara keluarga.

“Masih ingin pergi?” suara Raka tiba-tiba terdengar di belakangnya.

Ayla menoleh, tersenyum samar. “Aku nggak tahu. Paris atau Jakarta, semuanya sama kalau aku nggak tahu siapa diriku sendiri.”

Raka duduk di sebelahnya. Ia tampak lelah. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan di ujung bibirnya.

“Aku ditawari kerja di Kalimantan,” ucapnya akhirnya.

Ayla menoleh cepat. “Kalimantan?”

“Proyek dokumenter. Enam bulan. Mungkin lebih.”

Hening. Hanya suara hujan yang menemaninya.

“Jadi... kita berdua ditawari jalan keluar yang berbeda.”

“Bukan keluar,” ujar Raka pelan. “Mungkin... jalan untuk menemukan diri kita masing-masing.”

Ayla menggigit bibirnya. “Apa artinya ini? Kita menyerah?”

Raka menggenggam tangan Ayla. “Bukan menyerah. Tapi mungkin... ini cara kita untuk jadi lebih kuat. Kalau kita memang ditakdirkan, kita pasti kembali ke titik ini—ke bangku ini, ke hujan ini, ke cinta ini.”

Mata Ayla berkaca. “Aku takut, Rak. Takut saat kembali nanti, kamu bukan kamu lagi. Dan aku juga bukan aku yang sekarang.”

“Kalau begitu,” Raka tersenyum tipis, “kita kenalan lagi. Dari awal.”

Hati Ayla terasa perih. Tapi juga hangat. Mungkin cinta bukan selalu tentang bertahan dalam keadaan sekarang. Kadang cinta juga butuh jeda, untuk melihat apakah ia benar-benar hidup saat tak ada apa pun yang menahannya.

Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Tanpa janji, tanpa sumpah. Hanya keyakinan diam-diam bahwa mereka pernah benar-benar mencintai. Dan cinta itu, apapun bentuknya nanti, akan tetap tinggal.

Bab 10: Jarak yang Menyatukan

Enam bulan berlalu seperti mimpi yang panjang. Jakarta masih riuh dengan lalu lintas dan hujan mendadak. Tapi di sudut dunia yang berbeda, Ayla duduk di sebuah kamar kecil di pinggiran Paris, menatap layar laptop dengan mata lelah. Buku-buku kuliah menumpuk di meja, secangkir kopi dingin tersisa setengah.

Ia tak lagi sama seperti dulu—lebih mandiri, lebih sepi, dan kadang lebih kuat, meski kesepian datang seperti bayangan di balik dinding.

Setiap sore, ia berjalan menyusuri jalan kecil menuju kafe di dekat apartemen. Di sana, ia duduk di pojok ruangan dan menulis—tentang hujan Jakarta, tentang aroma kopi Raka, dan tentang rindu yang tak bisa dititipkan pada siapa pun.

Sementara itu, jauh di Kalimantan, Raka hidup di tengah hutan dan sunyi. Ia tinggal di rumah kayu sederhana bersama tim dokumenter. Hari-harinya diisi dengan merekam suara alam, menulis narasi tentang manusia dan tanah, serta mencoba melupakan bayangan seorang gadis yang tertinggal di bangku kedai kopi.

Kadang di malam hari, ia membuka folder bernama “Ayla” di laptopnya. Di dalamnya, ratusan foto tersimpan—tawa, senyum, dan mata yang dulu menatapnya tanpa ragu. Ia tahu, kenangan tak bisa digenggam. Tapi setidaknya bisa dikenang.

Mereka tak sering berkomunikasi. Hanya sesekali email, beberapa chat pendek, dan satu dua video call yang dipenuhi senyum kikuk. Tapi setiap kalimat yang singkat itu membawa lebih banyak arti daripada ribuan kata dalam novel.

Hingga suatu malam, Ayla menerima email dari Raka. Singkat. Satu kalimat.

"Langit di sini malam ini mirip langit waktu kita pertama kali bicara soal mimpi."

Ayla membalas.

"Aku masih ingat. Dan aku belum berhenti bermimpi tentang kita."

Tak ada balasan malam itu. Tapi Ayla tahu, jauh di Kalimantan sana, Raka juga tersenyum.

Jarak memang memisahkan tubuh mereka. Tapi justru dari jarak itu, mereka belajar satu hal: bahwa cinta tak harus selalu dekat, asal masih tumbuh di tempat yang sama—di hati yang terus menunggu, dan percaya.

Bab 11: Kepulangan

Musim gugur baru saja berganti di Paris saat Ayla menerima kabar dari Jakarta: ibunya sakit. Tak serius, tapi cukup untuk membuat hatinya bergetar. Setelah enam bulan merantau, ini alasan paling kuat untuk pulang—dan mungkin, alasan yang ia butuhkan untuk menghadapi semuanya.

Ia berdiri di jendela apartemennya, koper setengah terbuka di sisi ranjang. Tangannya menggenggam tiket pulang. Di luar, daun-daun musim gugur menari tertiup angin. Ia menutup matanya, membayangkan aroma hujan Jakarta, dan… wajah Raka.

Di hari yang sama, di Kalimantan, Raka menerima pesan dari timnya: proyek dokumenter selesai lebih cepat dari jadwal. Ia diberi waktu cuti dua minggu sebelum proyek selanjutnya dimulai. Tanpa banyak berpikir, ia membeli tiket ke Jakarta.

Dua perjalanan dimulai di dua ujung dunia, tanpa mereka tahu bahwa takdir sedang mempermainkan jarak sekali lagi.


Bandara Soekarno-Hatta ramai seperti biasa. Ayla melangkah keluar dari pintu kedatangan, menatap sekeliling, tanpa benar-benar berharap apa pun. Ia belum memberi tahu siapa pun bahwa ia pulang lebih awal.

Sementara itu, Raka turun dari penerbangan pagi dan langsung menuju taman kecil di bawah jembatan—tempat semuanya bermula. Ia berdiri di sana, menatap bangku yang kosong.

Seakan ada magnet yang menarik jiwa mereka, Ayla—yang memutuskan berjalan kaki dari halte dekat rumahnya karena ingin merasakan lagi udara Jakarta—melewati taman itu.

Langkahnya terhenti.

Raka menoleh.

Mata mereka bertemu. Diam.

Tak ada kata pertama. Hanya napas yang tercekat, dan senyum yang tak bisa disembunyikan.

Raka berjalan perlahan, seperti takut membangunkan mimpi. “Kamu... pulang?”

Ayla mengangguk. “Kamu juga?”

“Sudah waktunya.”

Sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Sunyi yang penuh arti.

Ayla menatap langit mendung. “Kamu tahu? Aku kira kita nggak akan ketemu di waktu yang tepat lagi.”

Raka tersenyum. “Mungkin nggak ada waktu yang benar-benar tepat. Yang ada, hanya keberanian untuk bertemu di waktu yang tersedia.”

Mereka duduk di bangku tua itu, hujan gerimis mulai turun. Tapi tak ada yang bergerak. Tak ada yang mencari tempat berteduh.

Karena mungkin, setelah sekian lama, keduanya menyadari: mereka tak sedang melawan dunia. Mereka hanya sedang belajar menunggu—dan sekarang, mereka menemukan bahwa waktu tidak selalu jahat.

Kadang, waktu hanya ingin tahu: seberapa besar cinta itu bertahan saat segalanya diuji.

Dan mereka masih di sini. Duduk berdampingan. Dengan luka yang masih ada, tapi tak lagi menyakitkan seperti dulu.

Bab 12: Meja Makan yang Sepi

Pagi itu, Ayla kembali duduk di meja makan rumah keluarga Wijaya. Ibunya sudah tampak lebih sehat, meski wajahnya tetap pucat. Mereka hanya berdua, seperti biasa saat ayahnya sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis.

“Mama senang kamu pulang,” ujar Ibu sambil menyuapkan bubur perlahan.

Ayla mengangguk. “Aku juga senang bisa lihat Mama lagi.”

Keheningan menggantung di udara. Ayla tahu percakapan ini akan datang, cepat atau lambat.

“Ayla…” Ibu menatapnya dalam-dalam. “Apa kamu masih berhubungan dengan Raka?”

Ayla tak menunduk. Kali ini, ia memilih jujur. “Iya, Ma. Aku masih cinta sama dia.”

Ibu terdiam sejenak, lalu menurunkan sendoknya. “Papa kamu belum berubah pikiran.”

“Aku tahu.”

“Dan kamu tetap memilih jalan ini?”

“Bukan soal memilih jalan, Ma,” jawab Ayla pelan. “Ini soal memilih siapa yang menemaniku di jalan itu.”

Ibu Ayla menatap putrinya lama. Di matanya, ada rasa bangga yang ia sembunyikan di balik kekhawatiran. Mungkin karena dulu, ia sendiri tidak pernah seberani Ayla.

“Kalau begitu,” katanya akhirnya, “kamu harus bersiap kehilangan banyak hal.”

Ayla tersenyum kecil. “Aku sudah kehilangan banyak saat aku mencoba hidup sesuai ekspektasi semua orang. Sekarang, aku ingin hidup yang aku pilih sendiri.”


Sementara itu, Raka berdiri di depan pintu rumah Ayla, mengenakan kemeja sederhana dan sepatu yang sudah lama tak ia pakai. Ia tahu, ia mungkin tidak diinginkan di sana. Tapi kali ini, ia tidak akan pergi tanpa mencoba.

Pintu dibuka oleh Ibu Ayla. Raka menunduk sopan.

“Sore, Tante. Maaf mengganggu.”

Ibu Ayla menatapnya, lama. “Kamu datang untuk apa, Raka?”

“Untuk bicara. Bukan untuk membela diri, tapi untuk menunjukkan bahwa saya serius dengan Ayla. Bukan karena saya ingin mengambilnya dari keluarganya, tapi karena saya ingin menjadi bagian dari hidupnya—dan, kalau bisa, keluarganya juga.”

Keheningan mengisi lorong rumah.

Ayla muncul di balik ibunya, menatap Raka dengan mata yang sedikit gemetar. Tapi ia tahu, ini langkah yang harus mereka ambil bersama.

Ibu Ayla menghela napas. “Masuklah.”

Untuk pertama kalinya, Raka melangkah ke dalam rumah keluarga yang selama ini menjadi tembok tinggi antara mereka.

Ia belum tahu bagaimana akhir dari pertemuan ini. Tapi satu hal pasti: cinta mereka sudah bukan lagi cinta yang bersembunyi.

Ini adalah cinta yang perlahan belajar berdiri.

Bab 13: Pertemuan yang Menentukan

Raka duduk tegak di ruang kerja Pak Bram, tangan terkepal di atas pahanya. Aroma kayu tua dan buku-buku tebal memenuhi ruangan, seperti menegaskan wibawa pemiliknya. Di depannya, duduk pria yang selama ini hanya ia dengar dari cerita Ayla—dingin, tegas, dan tak mudah ditembus.

Pak Bram menatap Raka dalam diam. Matanya tajam seperti belati. “Kamu tahu kenapa kamu di sini?”

Raka mengangguk. “Saya tahu, Pak. Dan saya siap mendengarkan.”

Pak Bram menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan. “Kamu datang bukan dari keluarga terhormat. Ayahmu punya sejarah kelam. Kamu bukan siapa-siapa. Kenapa kamu pikir kamu pantas untuk Ayla?”

Pertanyaan itu menghantam seperti palu. Tapi Raka menatap lurus ke depan.

“Karena saya tidak membawa masa lalu saya ke hidup Ayla. Saya datang sebagai diri saya sekarang. Dan karena saya mencintainya dengan jujur—bukan dengan janji, tapi dengan niat untuk menemani dia dalam suka dan duka.”

Pak Bram mengernyit. “Cinta? Cinta itu gampang diucapkan. Tapi saat dia sakit, kamu bisa bayar rumah sakitnya? Saat dia kecewa, kamu bisa jamin kamu nggak jadi alasan air matanya?”

Raka menarik napas dalam-dalam. “Saya tidak bisa janji Ayla tidak akan pernah menangis. Tapi saya bisa janji bahwa setiap kali dia menangis, saya akan jadi orang pertama yang memeluk dan menguatkannya.”

Untuk sesaat, ruangan itu sunyi. Lalu, pintu diketuk.

Ayla masuk, berdiri di sisi Raka. “Ayah… tolong berhenti melihat Raka dari kaca mata masa lalu. Lihat dia seperti Ayla melihatnya—sebagai laki-laki yang belajar dari luka, dan tetap memilih mencintai dengan utuh.”

Pak Bram menatap anak perempuannya, lama. Lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. Di luar, langit Jakarta berwarna abu-abu, seperti sedang menimbang hujan.

“Ayah tidak bisa memberikan restu begitu saja,” katanya akhirnya. “Tapi… Ayah juga tidak akan lagi jadi penghalang.”

Ayla menahan napas. “Maksud Ayah?”

“Kalau kamu yakin ini pilihanmu, maka kamu juga harus siap menanggung segala akibatnya. Termasuk kalau suatu hari, cinta ini diuji lebih berat dari sekarang.”

Ayla melirik Raka, lalu kembali menatap ayahnya. “Kami siap.”

Pak Bram tak menjawab. Tapi saat ia berjalan keluar ruangan, ia menepuk bahu Raka pelan. Isyarat kecil yang tak perlu kata.

Dan untuk pertama kalinya, Raka merasa ia diterima bukan karena siapa dia—tapi karena dia berani memperjuangkan apa yang ia yakini.

Bab 14: Janji di Bawah Langit yang Sama

Beberapa bulan telah berlalu sejak percakapan menentukan itu. Sejak hari di mana restu tak lagi jadi tembok yang mustahil dilewati, Ayla dan Raka menjalani hubungan mereka dengan lebih terbuka. Masih ada tantangan, tentu. Tapi kini, mereka tidak lagi harus bersembunyi di balik hujan atau diam-diam di sudut kota.

Raka mulai bekerja di sebuah rumah produksi kecil sebagai fotografer dokumenter. Meski sibuk, ia tetap menyempatkan diri menemani Ayla yang kini mulai membuka kelas seni fotografi untuk anak-anak di salah satu sanggar.

Suatu sore, mereka kembali ke tempat yang telah menjadi saksi banyak hal—atap gedung tua tempat Raka dulu sering memotret langit.

“Masih ingat tempat ini?” tanya Raka sambil meletakkan tripod kameranya.

Ayla tertawa. “Kalau aku lupa, berarti aku juga harus lupa rasanya jatuh cinta.”

Raka mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. Tangan Ayla langsung terdiam di udara. Matanya membesar.

“Raka…”

Pria itu tersenyum. “Aku nggak punya cincin mahal. Tapi aku punya niat yang lebih besar dari apapun yang pernah kumiliki.”

Ia berlutut di hadapan Ayla. “Maukah kamu menjalani hidup bersamaku, dalam susah dan senang, di bawah langit yang sama seperti kita pernah berteduh dan saling menemukan?”

Ayla menatap mata Raka yang penuh harap. Tak ada musik romantis, tak ada dekorasi mewah. Hanya mereka berdua, dan langit yang perlahan berubah warna.

“Mau,” jawabnya pelan, hampir berbisik. “Selalu mau.”

Mereka tertawa. Pelukan itu bukan lagi pelukan rahasia. Ini adalah pelukan dua jiwa yang memilih untuk saling menetap, setelah lama menjadi pengembara dalam luka.

Dari kejauhan, matahari mulai tenggelam. Langit Jakarta mengukir senja paling indah yang pernah mereka lihat.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, masa depan terasa seperti rumah.

Bab 15: Rumah yang Akhirnya Ditemukan

Hari itu, langit cerah seolah ikut merayakan. Taman kecil di pinggir kota, tempat pertama Ayla dan Raka bertemu, kini dihias sederhana dengan lampu-lampu gantung dan bunga liar yang dirangkai oleh sahabat-sahabat mereka.

Bukan pesta mewah di hotel bintang lima seperti yang biasa dihadiri keluarga Wijaya. Tapi di sinilah, di tengah kesederhanaan dan ketulusan, Ayla dan Raka mengikat janji.

Ibu Ayla duduk di barisan depan, matanya berkaca-kaca saat melihat putrinya melangkah pelan ke altar kecil yang dibuat dari kayu pinus. Pak Bram berdiri di sampingnya, diam, tapi wajahnya lebih lunak dari biasanya. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi saat Ayla menyentuh tangannya sebelum bersanding dengan Raka, ia menggenggam jemari putrinya dengan kuat—itu cukup sebagai restu penuh makna.

Raka menatap Ayla, seperti pertama kali ia menatapnya di bawah hujan. Tapi kali ini, tak ada basah, tak ada rasa takut. Hanya cinta, dan keyakinan.

"Ayla Wijaya," ucap Raka dalam janji suci mereka, “aku tidak menjanjikan hidup tanpa masalah. Tapi aku berjanji akan selalu menghadapi semuanya bersamamu.”

Ayla tersenyum, air mata hangat membasahi pipinya. “Dan aku, Raka, berjanji untuk menjadi rumahmu, tempat kamu pulang meski badai datang.”

Ketika mereka saling menyematkan cincin, gemuruh kecil tepuk tangan terdengar. Bukan sekadar merayakan pernikahan, tapi merayakan keberanian—untuk mencinta, untuk memperjuangkan, dan untuk bertahan.

Beberapa anak kecil dari sanggar tempat Ayla mengajar berlarian di antara tamu. Sahabat Raka memainkan gitar di sudut taman. Malam jatuh perlahan, dan lampu-lampu kecil menyala hangat.

Dalam pelukan keluarga yang kini mulai menyatu, dalam tawa para sahabat yang ikut meneteskan air mata, Ayla dan Raka tahu satu hal:

Cinta mereka tak lagi tersembunyi.

Dan luka yang dulu mereka simpan rapat-rapat, kini telah sembuh—digantikan oleh harapan, dan awal baru.

Karena pada akhirnya, mereka menemukan rumah. Dalam satu sama lain.

Epilog: Di Balik Lensa, Setelah Semua Luka

Beberapa tahun telah berlalu sejak hari pernikahan mereka. Ayla dan Raka kini tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, dikelilingi pohon kamboja dan suara burung tiap pagi. Bukan rumah mewah, tapi cukup untuk membesarkan satu anak laki-laki yang suka menggambar langit—sama seperti ayahnya.

Ayla tetap aktif mengajar fotografi dan kini juga menjadi pembicara di komunitas perempuan muda yang berjuang untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Ia tak lagi takut menyuarakan apa yang ia yakini, karena ia pernah tahu rasanya hidup dalam diam dan rahasia.

Raka telah menerbitkan buku foto pertamanya, berjudul Langit yang Tak Pernah Menolak. Ia bercerita dalam gambar tentang cinta, keberanian, dan tentang seorang perempuan yang mengajarinya bahwa luka bukan untuk disembunyikan—tapi untuk diterima dan disembuhkan bersama.

Pak Bram, meski masih kaku dalam cara mencintai, kini sering datang berkunjung. Ia menyuapi cucunya, tertawa pelan saat melihat Ayla dan Raka berdiskusi soal kamera dan mainan anak. Tak ada permintaan maaf yang eksplisit, tapi pelukannya saat pamit cukup menjelaskan bahwa hatinya pun telah belajar menerima.

Suatu sore, Raka mengajak Ayla dan anak mereka ke atap gedung tua yang dulu sering ia datangi. Mereka duduk bertiga di tepi, menatap langit senja.

“Masih ingat?” tanya Raka.

Ayla mengangguk. “Tempat di mana cinta kita pernah disembunyikan.”

Anak kecil mereka menunjuk langit jingga. “Itu warnanya kayak peluk, ya?”

Mereka tertawa. Raka mengambil kameranya, memotret pemandangan itu—dan untuk sekali lagi, langit menjadi saksi bahwa luka mereka tak lagi bersembunyi.

Karena kini, mereka hidup di bawah langit yang sama, dengan hati yang sepenuhnya pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh