Midnight Contract
Midnight Contract
🖤 Judul: "Midnight Contract"
Genre: Romance, Drama, Misteri, Billionaire, Enemies to Lovers
Tagline: "Kontrak itu mengikat kami di malam gelap—antara balas dendam dan cinta yang tak seharusnya ada."
🌃 Sinopsis:
Athalia Darya terpaksa menandatangani kontrak misterius dengan seorang pria dingin dan berkuasa bernama Kael Vinsen, demi menyelamatkan adiknya yang terlilit utang. Tapi Kael bukan pria biasa. Ia menyembunyikan masa lalu kelam, dendam lama, dan rahasia yang bisa menghancurkan keluarga Athalia.
Yang tak pernah Athalia duga, perlahan ia mulai jatuh pada pria itu. Namun, cinta mereka terancam ketika kebenaran terkuak—bahwa Athalia adalah bagian dari kehancuran masa lalu Kael.
🖤 Bab 1: Tanda Tangan di Tengah Malam
Athalia Darya menatap lembaran kertas di hadapannya dengan tangan gemetar. Jam menunjukkan pukul 23:47 saat pria itu—Kael Vinsen—meletakkan pena hitam di meja kaca.
"Ini satu-satunya cara menyelamatkan adikmu," ucapnya datar, seolah keputusan ini tak lebih penting dari memilih menu makan malam.
Athalia menggigit bibir bawahnya. Ruang kantor itu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dan degup jantungnya sendiri. Lelaki itu menatapnya tanpa emosi, berdiri tegak dalam balutan setelan Armani hitam yang menciptakan aura tak tersentuh.
"Kenapa aku?" bisiknya. "Dari semua orang, kenapa harus aku yang kau minta jadi... pacar kontrakmu?"
Kael menyeringai kecil, hampir sinis. "Karena kau tipe yang tidak akan jatuh cinta padaku. Dan aku benci komplikasi."
Athalia merasa dadanya sesak. Ini bukan hanya soal adiknya, tapi soal harga dirinya juga. Menjadi 'milik' pria asing demi uang—apa itu pilihan atau keputusasaan?
"Kontrak ini berlangsung enam bulan," Kael melanjutkan. "Selama itu, kau akan tinggal bersamaku. Tampil sebagai kekasihku di publik. Tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain. Tidak boleh membocorkan apapun tentangku, dan... jangan pernah mencoba menyentuh hatiku."
Tiba-tiba, Kael memajukan tubuhnya sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari Athalia. Tatapannya tajam, menusuk.
"Kalau kau melanggar satu pun pasal, aku tak segan membuang adikmu ke jalan. Kau tahu aku mampu."
Dengan napas berat, Athalia meraih pena. Jari-jarinya bergetar. Ia menuliskan namanya:
Athalia Darya.
Tertulis jelas di bawah tulisan "Kontrak Hubungan Sementara – Tidak Berlaku Cinta".
Dan saat tinta mengering, hidupnya berubah untuk selamanya.
🖤 Bab 2: Tuan Vinsen yang Tak Bisa Dicintai
Athalia berdiri di depan pintu rumah mewah berarsitektur modern yang berdiri di tengah perbukitan elit. Udara dingin menyusup ke kulitnya, tapi yang lebih menusuk adalah pandangan kosong dari pria di hadapannya.
Kael membuka pintu sendiri. Tanpa pengawal, tanpa asistennya. Seolah kehadiran Athalia tidak pantas disambut resmi.
"Masuk," katanya pendek, lalu membalikkan badan tanpa menunggu respons.
Athalia menarik napas dalam-dalam, melangkah masuk ke dalam dunia lelaki yang baru beberapa jam lalu membeli enam bulan hidupnya. Interior rumah itu dingin—maskulin, penuh garis tegas, hitam-putih, dan... sepi.
"Mulai malam ini, kau tinggal di kamar tamu sebelah kanan atas," Kael bicara sambil membuka jasnya, melemparnya asal ke sandaran sofa. "Pakai apa pun yang ada di lemari, tapi jangan sentuh ruang kerjaku."
Athalia berdiri di tengah ruang tamu dengan koper kecilnya, merasa seperti anak kecil yang dibuang ke rumah orang asing.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" suaranya pelan.
Kael menoleh dengan satu alis terangkat. "Tergantung."
"Kenapa kau butuh seseorang untuk berpura-pura jadi kekasihmu?"
Tatapan Kael menggelap, tajam seketika. "Itu tidak termasuk dalam kontrak."
"Tapi aku berhak tahu, bukan? Kalau aku harus pura-pura jatuh cinta padamu di depan publik—setidaknya beri aku alasan."
Kael berjalan mendekat. Setiap langkahnya terdengar berat dan tegas di lantai marmer. Ia berhenti tepat di depan Athalia, terlalu dekat.
"Aku tidak butuh cinta," bisiknya rendah. "Aku butuh alat. Dan kau... terlihat seperti alat yang cukup tenang untuk digunakan tanpa banyak drama."
Athalia menahan napas. Kata-katanya menusuk, kasar, tapi ada luka yang samar di balik sorot mata dingin itu. Luka yang ia sembunyikan di balik dinding sikap kejamnya.
Kael membalikkan badan. "Malam ini, istirahatlah. Besok kita akan mulai berpura-pura."
Dan Athalia tahu, mulai besok... ia harus hidup dalam kebohongan yang berbahaya.
Karena masalahnya bukan berpura-pura mencintai Kael Vinsen—masalahnya adalah bagaimana tidak benar-benar jatuh cinta pada pria yang sudah patah terlalu dalam.
🖤 Bab 3: Di Balik Pintu Kamar 306
Pagi pertama di rumah Kael Vinsen terasa seperti masuk ke dalam skenario yang terlalu tenang… terlalu sunyi untuk disebut normal.
Athalia turun dengan langkah ringan, mengenakan sweater putih polos dan celana kain yang dipinjam dari lemari di kamarnya. Rumah itu seakan tak bernyawa—seperti penghuninya.
Sampai sebuah suara dari dapur membuat langkahnya terhenti.
"Kurasa kau bangun terlalu siang untuk standar kekasih seorang pengusaha besar," suara itu datang dari Kael—tanpa senyum, seperti biasa—sambil menyeduh kopi sendiri, tak menggunakan bantuan siapapun.
Athalia menelan ludah. “Maaf. Aku tidak tahu jadwalmu.”
"Mulai sekarang, kau akan tahu semuanya," katanya sambil meletakkan satu cangkir di meja dapur. “Minum. Kita harus ke Hotel Ardence dalam dua jam. Ada gala amal.”
"Gala?" alis Athalia terangkat. “Sudah langsung tampil sebagai kekasihmu?”
Kael menatapnya sejenak. "Lebih cepat kita menyatu dalam peran, lebih baik. Media suka membuat spekulasi. Dan aku tak suka memberi mereka ruang."
Athalia mengambil cangkir itu dan menghirupnya. Kopinya pahit, sama seperti ekspresi pria di hadapannya.
Dua jam kemudian, mereka sudah sampai di lantai paling atas Hotel Ardence, salah satu hotel paling mewah di kota. Di balik pintu bertanda 306, terdapat ruang persiapan pribadi yang disiapkan untuk Kael.
Saat pintu ditutup, ruangan itu hanya diisi oleh mereka berdua.
Athalia berdiri mematung saat seorang penata busana menyerahkan gaun hitam elegan yang dibungkus rapi di gantungan. Kael menyuruh seluruh tim keluar tanpa penjelasan, lalu menatapnya.
"Pakailah ini. Aku tunggu di luar."
Athalia memegang gaun itu. Lehernya tinggi, bagian punggungnya terbuka lebar. Klasik tapi... sensual. Dan pilihan warna hitam? Seakan mencerminkan pria yang memberinya.
Ketika ia keluar dari ruang ganti dalam gaun itu, Kael sudah berdiri di dekat jendela dengan jas hitamnya yang sempurna. Tatapan matanya turun—memandangnya dari atas sampai bawah—tanpa kata.
Athalia merasa detak jantungnya naik, dan itu mengganggunya.
Kael akhirnya membuka suara. "Kau terlihat seperti seseorang yang pernah kucintai."
Kalimat itu menggantung di udara seperti petir yang tak jadi menyambar.
Athalia menatapnya, tapi Kael membalikkan badan seolah tak pernah mengatakan apapun.
"Jangan jatuh cinta padaku," katanya dingin. "Aku tidak akan pernah menoleh dua kali."
Di luar, kamera-kamera mulai menyala. Tapi di dalam, Pintu 306 menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya dari sorotan media—percikan yang belum mereka sadari, bisa membakar segalanya.
🖤 Bab 4: Dosa yang Tak Pernah Diampuni
Sorotan kamera menyala bertubi-tubi ketika Kael Vinsen dan Athalia muncul di panggung merah gala amal Ardence. Mereka tampak sempurna—sepasang kekasih yang seolah sudah lama menjalin hubungan.
Kael menggenggam tangan Athalia erat, seolah dunia tidak tahu bahwa hubungan mereka hanyalah tipuan yang ditulis dalam kontrak.
“Jangan lepaskan tanganku,” bisik Kael di sela senyum tipisnya kepada tamu.
“Sampai kapan?” Athalia bertanya lirih, menjaga bibirnya tetap tersenyum pada hadirin.
“Setidaknya sampai gala ini selesai. Atau sampai kau benar-benar bisa bersikap seolah mencintaiku.”
Athalia menoleh ke arahnya, ingin membalas pedas—tapi tatapan dingin itu menghentikannya. Ia bisa merasakan dinding tebal yang Kael bangun di sekeliling dirinya. Tapi ada retakan kecil di sana, sesuatu yang ia rasa… familiar. Seperti luka.
Acara berlangsung lancar. Sampai seorang wanita datang menghampiri mereka di meja makan VIP.
Perempuan itu cantik—rambut cokelat hangat, kulit porselen, senyum mematikan. Tapi yang membuat Athalia menggigil adalah bagaimana wajah Kael berubah saat melihatnya.
“Kael,” sapa wanita itu dengan suara lembut. “Sudah lama.”
Kael berdiri, wajahnya datar tapi rahangnya mengeras. “Elira.”
Athalia berdiri pelan, menatap mereka bergantian.
“Pacar barumu?” Elira menatap Athalia dari atas ke bawah. “Menarik. Dia mirip aku, tapi... lebih polos.”
Athalia ingin membuka mulut, tapi Kael menyentuh lengannya ringan—peringatan diam untuk tidak ikut campur.
“Sudah selesai, Elira?” tanya Kael dingin.
“Belum,” jawabnya manis. “Aku hanya ingin tahu... apakah kau sudah memaafkan dosa lamaku?”
Wajah Kael menggelap seketika. “Ada dosa yang tidak akan pernah bisa diampuni.”
Mata Elira berkaca-kaca. Tapi sebelum ia menjawab, Kael sudah menarik tangan Athalia dan membawanya pergi dari kerumunan, meninggalkan wanita itu berdiri di tengah tatapan tamu gala.
Di dalam mobil, suasana hening.
“Siapa dia?” tanya Athalia akhirnya.
Kael tak menjawab. Pandangannya kosong ke depan.
"Dia... yang dulu kau cintai?"
Kael memejamkan mata sejenak, lalu membuka perlahan. “Dia wanita yang dulu ingin kuberikan seluruh hidupku. Sampai dia menjualku.”
Athalia tercekat. Tapi ia tahu… malam itu, ia baru membuka pintu ke masa lalu pria yang berdiri di antara balas dendam dan cinta yang terkubur dalam.
🖤 Bab 5: Pelukan di Antara Rasa Bersalah
Athalia terdiam di kursi penumpang, memandangi siluet Kael yang menyetir dalam hening. Udara malam menyelimuti mereka dengan dingin yang aneh—bukan dari luar, tapi dari dalam hati masing-masing.
Satu kalimat dari Kael tadi masih terngiang di benaknya.
"Dia wanita yang dulu ingin kuberikan seluruh hidupku. Sampai dia menjualku."
Athalia menggenggam tangannya sendiri. Untuk pertama kalinya sejak kontrak itu ditandatangani, dia merasa... iba. Bukan karena takut. Bukan karena terpaksa. Tapi karena melihat Kael sebagai manusia—bukan monster dingin yang selalu memandangnya sebagai alat.
Mobil berhenti di pelataran rumah. Kael keluar lebih dulu tanpa berkata apa-apa. Athalia menyusul dengan langkah pelan.
Begitu pintu rumah tertutup, suasana berubah. Sunyi. Seperti malam pertama mereka di tempat ini—tapi lebih sesak. Lebih pribadi.
Kael melepas jasnya, melemparkannya ke sofa. Ia menatap Athalia sejenak, lalu melangkah ke dapur tanpa suara. Tapi tiba-tiba—di tengah ruangan gelap itu—Athalia bicara.
“Apakah... kau baik-baik saja?”
Kael berhenti di tempat. Bahunya kaku. “Jangan mulai.”
“Aku hanya—”
“Aku tidak butuh simpati, Athalia.”
Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya—matanya memerah. Tak ada air mata, tapi jelas... ada luka lama yang baru dirobek kembali.
Athalia maju perlahan. “Aku tahu ini bukan bagianku. Tapi aku juga bukan boneka yang bisa kau kendalikan seenaknya.”
Kael menatapnya, napasnya berat.
“Lalu kau mau apa?” suaranya rendah, retak.
Athalia berhenti tepat di hadapannya. “Aku hanya ingin kau tahu… kau tidak sendirian malam ini.”
Dan tanpa berpikir panjang, ia memeluknya.
Tubuh Kael menegang. Tapi tidak menjauh. Untuk sesaat—yang sangat singkat—ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Dalam kehangatan yang tidak ia tahu masih bisa dirasakan.
Athalia bisa merasakan detak jantungnya. Kuat. Terluka. Dan... nyata.
“Jangan terlalu baik padaku,” bisik Kael akhirnya. “Aku tidak pantas menerimanya.”
Athalia memejamkan mata. “Mungkin kau tidak butuh simpati. Tapi seseorang pernah bilang... luka yang tak diobati hanya akan menular pada orang lain.”
Kael tak membalas. Tapi pelukannya membalas. Sekilas. Pelan. Rapuh.
Dan di malam itu, di antara rasa bersalah dan kebohongan yang mereka mainkan, ada keheningan yang tak lagi dingin.
Hanya dua orang... yang diam-diam mulai meruntuhkan batasan yang mereka buat sendiri.
🖤 Bab 6: Rahasia Keluarga Darya
Malam itu, Athalia tidak bisa tidur. Bukan karena rumah itu terlalu sunyi, tapi karena pikirannya dipenuhi wajah Kael—dan kalimatnya.
"Jangan terlalu baik padaku. Aku tidak pantas menerimanya."
Ia duduk di balkon kamarnya, memandangi lampu-lampu kota di kejauhan. Tapi kemudian, ponselnya bergetar.
Pesan dari nomor tak dikenal.
“Dia tidak akan menyelamatkan adikmu selamanya. Kau tahu siapa Kael Vinsen sebenarnya?”
Athalia tercekat. Jemarinya gemetar. Ia hendak membalas, tapi pesan kedua langsung menyusul.
“Tanya pada ayahmu. Tanya kenapa keluarga kalian dulu nyaris bangkrut.”
Ponselnya hampir terjatuh dari tangannya. Ia berdiri, napasnya memburu. Kata-kata itu seperti pintu lama yang seharusnya sudah terkunci... kini dibuka paksa.
Keesokan paginya, ia menelepon sang ayah. Suaranya berat dan penuh kecemasan.
“Ayah… ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”
Di ujung telepon, ayahnya terdiam lama sebelum menjawab, “Kalau itu soal Kael Vinsen… ayah harap kau tidak terlalu dekat dengannya.”
Athalia mengernyit. “Kenapa? Apa ayah mengenalnya?”
Hening.
“Ayahmu pernah membuat kesalahan besar padanya. Dan keluarganya,” jawab sang ayah akhirnya. “Dulu... ayah berhutang budi, sekaligus… bersalah padanya.”
Athalia menahan napas. “Tunggu… maksud ayah, ini bukan soal kontrak? Bukan soal utang adik? Tapi soal dendam?”
“Kael Vinsen,” suara ayahnya mulai pecah, “adalah anak dari pria yang ayahmu—secara tidak langsung—ikut jatuhkan.”
Athalia terduduk lemas. Dunia seperti runtuh di sekelilingnya. Semua yang ia tahu... ternyata hanya permukaan dari sesuatu yang jauh lebih dalam.
Kael tidak hanya menjadikannya alat. Ia adalah bagian dari rencana panjang untuk membalas sesuatu yang telah terjadi bertahun-tahun lalu.
Dan pertanyaannya sekarang adalah:
Apakah semua yang terjadi antara mereka selama ini… hanya permainan balas dendam yang dibungkus dalam skenario cinta pura-pura?
🖤 Bab 7: Luka Lama Terbuka Lagi
Hari itu, Kael berdiri di ruang kerjanya, menatap papan kaca besar yang terisi catatan, foto, dan data-data keluarga Darya. Semuanya terencana, terstruktur… nyaris seperti operasi balas dendam yang sempurna.
Tapi ada satu masalah besar: Athalia.
Foto dirinya bersama Athalia dari gala malam kemarin menatap balik ke arahnya dari layar komputer. Senyuman gadis itu… terlihat tulus. Terlalu tulus untuk sebuah kontrak palsu.
Kael mengepalkan tangan. Kepalanya berat.
“Bodoh,” gumamnya. “Kau sedang mulai lemah.”
Sementara itu, Athalia berdiri di depan pintu ruang kerja Kael. Tangannya nyaris mengetuk... tapi ia ragu.
“Aku adalah bagian dari balas dendammu,” bisik batinnya. “Tapi kenapa... kau membuatku ingin mempercayaimu?”
Akhirnya, ia mengetuk. Pelan.
Pintu terbuka. Kael berdiri di sana, matanya langsung bertemu dengan miliknya.
“Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Kael, wajahnya kembali seperti baja. Tapi ada kegugupan yang tidak biasa di sorot matanya.
Athalia memberanikan diri masuk. Ia meletakkan ponsel di meja, menunjukkan pesan misterius malam tadi.
“Aku menerima ini,” katanya. “Dan ayahku… mengaku.”
Kael menegang. Sorot matanya berubah gelap.
“Jadi kau tahu.”
“Aku tahu,” jawab Athalia tenang, meski jantungnya berpacu. “Kau ingin menghancurkan kami. Kau pakai aku sebagai alat. Tapi yang aku tidak tahu adalah…”
Ia menatap Kael dalam-dalam.
“Kenapa kau mulai terlihat seperti orang yang terluka… bukan orang yang membalas dendam.”
Kael memalingkan wajahnya. “Karena aku memang terluka.”
Hening menyelimuti ruangan itu beberapa detik, sebelum Kael berkata pelan,
“Kau tahu apa rasanya kehilangan segalanya karena seseorang yang kau percaya? Aku tumbuh dengan nama keluarga yang hancur. Ibuku... mati bunuh diri karena tekanan. Aku hidup dengan satu tujuan—membalasnya. Dan kau... adalah kesempatan sempurna.”
Athalia menahan air mata. Bukan karena marah. Tapi karena ia mengerti. Luka Kael… nyata. Dan lebih dalam dari yang ia bayangkan.
Kael melangkah pelan ke arahnya.
“Tapi kenapa... saat aku harusnya menggunakanmu… aku justru takut kehilanganmu?”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Athalia terpaku. Tidak ada lagi sekat di antara mereka. Hanya dua jiwa yang sama-sama hancur... dan saling melihat ke dalam luka masing-masing.
Dan saat Kael meraih wajahnya pelan—menatapnya dengan mata penuh pergolakan—Athalia tahu.
Kontrak mereka sudah rusak.
Tapi perasaan yang tumbuh… terlalu kuat untuk dihentikan.
🖤 Bab 8: Kael Memilih Membenci
Kael menghilang selama dua hari. Tidak ada suara, tidak ada pesan, bahkan asistennya pun mengaku tidak tahu ke mana bosnya pergi.
Athalia gelisah. Setiap malam terasa seperti hukuman, karena tidak tahu apakah pria itu sedang menjauh... atau memang meninggalkannya.
Hingga pagi hari ketiga, pintu utama terbuka.
Kael muncul dengan mata lelah, rambut acak-acakan, dan jaket kulit gelap yang masih menempel di tubuhnya. Ia tampak seperti seseorang yang baru kembali dari pertempuran batin yang panjang—dan kalah.
Athalia berdiri di tengah tangga, menatapnya dari atas.
“Ke mana saja?” suaranya gemetar, tapi ditahan.
Kael mendongak pelan. “Tidak penting.”
“Penting bagiku,” bisik Athalia. “Kau meninggalkanku tanpa satu kata pun. Setelah—”
“Setelah aku hampir melakukan kesalahan,” potong Kael tajam. Tatapannya seperti baja. “Aku hampir jatuh padamu, Athalia. Dan itu—itu bukan bagian dari rencana.”
Athalia menelan ludah. Hatinya terasa ditusuk.
“Jadi kau pergi untuk meyakinkan dirimu... agar tetap membenciku?”
Kael tidak menjawab. Tapi dari sorot matanya, Athalia tahu—jawabannya iya.
Ia turun tangga pelan, mendekat. “Lalu apa sekarang? Kau ingin aku kembali menjadi boneka yang tidak tahu apa-apa? Kau akan paksa dirimu untuk membenciku, demi rencana dendammu?”
Kael mencengkeram tangan di sisi tubuhnya. “Kau tidak mengerti...”
“Aku mengerti,” potong Athalia. “Kau takut. Karena kau sudah terlalu lama menyimpan luka itu sendirian, dan sekarang ada orang yang melihatnya. Tapi Kael, rasa benci yang terus kau pelihara itu—sudah memakanmu hidup-hidup.”
Hening.
Kael menatapnya, matanya mulai memerah—tapi tidak ada air mata. Ia bukan tipe pria yang menangis. Ia lebih memilih terluka diam-diam.
“Aku tidak bisa,” bisiknya. “Aku tidak bisa melepaskan dendam ini. Itu satu-satunya alasan aku bertahan hidup.”
Athalia memejamkan mata sejenak.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “kau tidak perlu berpura-pura membenciku. Karena mulai sekarang… aku akan menjaga jarak. Bukan karena aku menyerah, tapi karena aku tahu... kau belum siap mencintai.”
Ia melangkah menjauh, meninggalkan Kael di sana—sendiri lagi.
Tapi kali ini, Kael merasakan sesuatu yang lebih menakutkan dari cinta.
Kehilangan.
Dan ia sadar, mungkin... ia baru saja menghancurkan satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari gelap masa lalunya.
🖤 Bab 9: Di Titik Terendah
Hujan turun deras malam itu.
Athalia berdiri di luar galeri tua tempat ia dulu bekerja paruh waktu—tempat yang kini kosong dan sunyi. Ia datang ke sana karena butuh ruang bernapas, menjauh dari rumah Kael, menjauh dari perasaan yang mulai menghancurkannya.
“Aku hanya bagian dari dendamnya,” katanya pada dirinya sendiri. “Dan aku bodoh karena berharap lebih.”
Ponselnya berdering. Nomor asing lagi.
“Kau pikir Kael Vinsen mencintaimu?”
“Dia hanya sedang membunuhmu perlahan. Sama seperti yang dia lakukan ke ayahmu.”
Pesan itu datang bersama lampiran:
sebuah dokumen rahasia—perjanjian lama berisi nama Kael Vinsen sebagai salah satu pemegang saham tersembunyi dalam perusahaan ayahnya yang dulu... membuat ayah Athalia jatuh bangkrut.
Athalia terpaku. Tangannya gemetar.
“Dia... bukan hanya korban. Dia juga pernah bermain di balik semua ini.”
Sementara itu, di sisi lain kota, Kael menatap foto Athalia di layar CCTV rumahnya. Ia tak tahu ke mana gadis itu pergi malam ini. Dan untuk pertama kalinya—ia merasa panik.
Lukanya terlalu dalam, tapi kehilangan Athalia terasa jauh lebih menyesakkan.
Jaxon, asistennya, masuk membawa berkas.
“Ini permintaan info darurat, Tuan. Terkait lokasi Athalia.”
Kael membaca sekilas… lalu tubuhnya menegang.
Athalia sedang dalam pengawasan seseorang—seseorang dari masa lalu Kael yang seharusnya sudah mati dalam api dendam.
Athalia hendak kembali pulang saat seorang pria bertubuh tinggi muncul dari balik bayangan gang di samping galeri. Wajahnya dikenal… tapi bukan wajah baik.
“Athalia Darya,” katanya pelan. “Kael Vinsen tidak bisa melindungimu dari semuanya.”
Athalia mundur satu langkah, napasnya tercekat.
“Ayahmu mencuri. Kael membalas. Tapi kau... kau hanya kolateral dari permainan kotor ini.”
Ia mencengkeram tasnya erat. Tapi sebelum ia bisa lari, tangan pria itu menarik lengannya kasar—
Dan dalam satu detik, Kael muncul.
Petir menyambar di langit saat tubuh tinggi itu berdiri di hadapan mereka. Matanya merah. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, dan tanpa peringatan—
BUG!
Kael menghantam wajah pria itu dengan tinjunya. Keras.
“Athalia bukan bagian dari ini!” teriak Kael marah. “Dia tidak akan disentuh siapa pun!”
Athalia terisak, tubuhnya gemetar. Kael meraihnya, memeluknya erat di tengah hujan dan kekacauan.
Untuk pertama kalinya, tidak ada kontrak. Tidak ada permainan.
Hanya Kael. Dan perasaannya. Nyata. Gila. Rusak. Tapi nyata.
“Maafkan aku,” bisiknya di telinga Athalia. “Karena terlalu sibuk membenci, aku hampir kehilangan satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup lagi.”
🖤 Bab 10: Cinta atau Dendam?
Athalia duduk di ruang tamu dengan tangan masih membalut luka kecil di lengannya. Di seberangnya, Kael berdiri dengan tangan di saku, menatapnya seolah mencari jawaban di balik tatapan matanya yang lelah.
Suasana sunyi. Tapi bukan sunyi yang nyaman. Ini adalah sunyi dari dua jiwa yang nyaris kehilangan satu sama lain… karena terlalu sibuk menghindar dari rasa sakit.
“Kael,” Athalia membuka suara pelan, “aku ingin tahu satu hal.”
Kael mengangguk. “Tanya.”
“Kalau semua ini tidak terjadi... kalau tidak ada kontrak, tidak ada balas dendam… apakah kau akan tetap memilihku?”
Kael tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekat. Suaranya lirih, namun tegas.
“Kalau semua ini tidak pernah terjadi… aku tidak akan pernah bertemu denganmu.
Dan mungkin itu lebih aman. Tapi juga lebih hampa.”
Ia berlutut di hadapan Athalia.
“Karena setelah semua luka ini… hanya kau yang bisa membuatku ingin sembuh.”
Air mata Athalia jatuh. Ia tidak tahu apakah itu bahagia… atau perih. Tapi hatinya hangat. Untuk pertama kalinya, ia tahu jawabannya.
“Jadi apa yang akan kau pilih sekarang?” bisiknya. “Cinta... atau dendam?”
Kael menatapnya dalam-dalam. “Aku sudah memilih. Malam saat aku menghantammu dengan kontrak, aku memilih dendam.
Tapi malam saat kau memelukku...
Aku tahu, aku ingin cinta.”
Athalia menyentuh pipinya. “Lalu mari kita sembuh… bersama.”
Beberapa minggu kemudian...
Kael menghapus seluruh file tentang keluarga Darya. Semua jejak dendam yang ia kumpulkan bertahun-tahun, ia bakar habis.
Bukan karena ia lupa. Tapi karena ia memilih memaafkan—bukan demi keluarga Darya, tapi demi satu nama:
Athalia.
Athalia kembali mengejar mimpinya sebagai seniman. Kali ini, bukan dengan rasa bersalah—tapi dengan kekuatan dari luka yang kini berubah menjadi lukisan… tentang penyembuhan.
Dan di tengah kanvas paling besar yang pernah ia buat, ada siluet dua bayangan: satu pria, satu wanita. Berdiri di bawah hujan.
Bersama.
✦ Epilog ✦
Tiga Tahun Kemudian
Athalia berjalan menyusuri lorong galeri seni miliknya sendiri, Arsa Artspace, yang berdiri di pusat kota Arvella. Dinding putih penuh karya lukisan dari berbagai seniman muda yang dulu—seperti dirinya—hanya bermimpi bisa memajang karya di tempat layak.
Hari itu spesial. Bukan hanya pembukaan pameran, tapi juga karena seseorang kembali dari perjalanan panjang luar negeri.
Kael Vinsen.
Pria yang dulu datang dengan dendam di matanya... kini kembali dengan ketenangan yang belum pernah Athalia lihat sebelumnya.
Ia menunggunya di tengah ruang galeri. Masih dengan jas gelap dan tatapan tenang—tapi kali ini, tidak ada lagi luka yang disembunyikan. Hanya cinta… yang tidak lagi pura-pura.
“Ini... untukmu,” kata Kael sambil menyerahkan sebuah kotak beludru kecil.
Athalia menatapnya. “Kael…”
“Bukan sebagai permintaan maaf,” bisiknya. “Bukan karena masa lalu. Tapi karena... aku ingin hidupku dimulai dari tanganmu.”
Ia membuka kotak itu. Bukan cincin mahal dengan berlian besar, tapi cincin sederhana, terukir satu kalimat kecil di dalamnya:
"Maaf. Pulang."
Athalia menahan air mata. Kata yang sederhana… tapi berarti banyak.
“Kalau aku menerima ini,” katanya pelan, “berarti aku harus melepas semua luka yang pernah kita punya.”
Kael tersenyum tipis. “Biar aku yang menyimpannya. Karena lukaku tak lagi mengendalikan aku. Tapi menjadi bagian dari cerita… tentang bagaimana aku bisa mencintaimu.”
Athalia mengangguk. Ia menyelipkan cincin itu di jari manisnya.
Dan di antara cahaya lampu galeri, di tengah karya-karya yang bercerita tentang luka dan harapan, mereka berdiri—bukan sebagai pria dan wanita yang saling menyakiti,
tapi sebagai dua orang yang akhirnya…
menyembuhkan satu sama lain.
Karena terkadang, cinta terbaik bukan yang datang tanpa luka. Tapi yang lahir dari luka, tumbuh dari kejujuran, dan bertahan karena keberanian untuk memaafkan.
Komentar
Posting Komentar