My Boss, My Obsession

 My Boss, My Obsession


💼 My Boss, My Obsession

🖤 Bab 1 – Wawancara di Lantai 33

Aku tidak pernah menyangka akan berdiri di depan lift eksklusif dengan angka 33 menyala merah menyala—lantai yang tidak ada di denah kantor, dan tidak semua pegawai tahu keberadaannya.

Namaku Zaira Nadhira, 24 tahun, baru lulus cum laude dari universitas bisnis terbaik di kota ini. Hari ini adalah hari pertamaku... sebagai calon sekretaris pribadi Leonard Aryasatya—CEO termuda dan paling ditakuti di Arya Corp.

Kata orang, dia dingin, kejam, dan tidak suka diganggu. Tapi juga jenius, menggoda, dan berbahaya.

Pintu lift terbuka. Langit-langit ruangan yang kusambut temaram, elegan, dan sunyi. Karpet hitam, dinding kaca buram, dan aroma parfum pria mahal memenuhi udara.

Lalu aku melihatnya.

Berdiri membelakangi jendela besar, tubuhnya tegap dalam jas Armani gelap, satu tangan memegang segelas wine, dan mata tajamnya menatapku dengan... penilaian.

"Zaira Nadhira," katanya lirih, seolah sudah tahu segalanya tentangku.
"Ya, Tuan Leonard."
"Kenapa kau melamar jadi sekretarisku?"
"Karena saya butuh pengalaman dan—"

Ia memotongku.
"Bukan. Maksudku, kenapa kau... berani?"

Aku terdiam. Entah karena pertanyaannya, atau karena caranya melihatku seolah aku sudah telanjang di hadapannya.

"Karena saya tahu cara bekerja. Dan saya tidak takut dengan reputasi Anda."
Senyum tipisnya muncul.
"Bagus. Karena siapa pun yang masuk ke lantai ini tidak akan keluar... sebagai orang yang sama."

Deg. Apa maksudnya?

"Mulai besok, kamu bekerja di sini. Jam enam pagi. Jangan telat."
"Lalu kontraknya—"
"Kontrak akan kamu tandatangani... setelah makan malam bersamaku malam ini."

Napas tercekat di tenggorokanku.
Apakah ini... bagian dari pekerjaan? Atau awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

🖤 Bab 2 – Makan Malam Sang Serigala

Restoran itu tersembunyi di rooftop gedung pencakar langit, hanya bisa diakses dengan kartu akses khusus. Langit malam membentang luas, dan lampu kota terlihat seperti gugusan bintang yang jatuh di bumi.

Aku duduk di seberang Leonard Aryasatya. Jarak kami tidak sampai satu meter, tapi entah kenapa rasanya seperti terjebak dalam perang psikologis yang sunyi.

Ia mengenakan kemeja hitam dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Wajahnya tenang. Tatapannya dalam. Napasnya ritmis seperti irama lagu klasik di latar belakang.

“Kenapa kau terlihat gugup, Zaira?”
“Saya tidak terbiasa makan malam dengan atasan…” jawabku jujur, sambil meraih gelas air. Tanganku sedikit gemetar.

Ia menyilangkan tangan, lalu menyandarkan punggung di kursinya. “Aku bukan atasanmu malam ini.”

Jantungku mencelos.

"Aku... tidak mengerti," kataku pelan.

Leonard mencondongkan tubuhnya sedikit. Cahaya lilin membingkai wajahnya, dan aku bisa melihat garis rahang tajamnya jelas.
"Kontrak kerja akan kamu tandatangani besok pagi. Jadi malam ini... kau bebas. Tidak ada hierarki."

“Lalu, kenapa saya diundang ke sini?”

Ia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku seolah sedang membaca isi pikiranku—menelanjangi rahasia yang bahkan belum kuakui pada diri sendiri.

"Karena aku penasaran," katanya akhirnya. "Ada ratusan pelamar sekretaris. Tapi aku hanya memilih satu. Yang tidak menunduk waktu aku melihat matanya."
Aku menggigit bibir bawahku. “Itu hanya refleks.”
“Tapi refleks itulah yang memikatku.”

Aku ingin berdiri dan pergi. Tapi kakiku tak bergerak.

Dia menatapku lagi, kali ini dengan senyum menggoda.
“Tenang saja, Zaira. Aku tidak akan menyentuhmu. Bukan malam ini.”

Deg. Kalimatnya menampar lebih keras dari sentuhan.

"Tapi kamu harus tahu satu hal," lanjutnya. "Bekerja denganku tidak pernah hanya soal pekerjaan. Di lantai 33, semua hal akan terasa... kabur."

“Dan jika saya tidak siap?”

Leonard menatapku serius. “Maka sekarang adalah kesempatan terakhirmu untuk mundur.”

Aku meneguk air. Lalu menatapnya balik, meski dalam hati aku menggigil.

“Saya tidak datang sejauh ini hanya untuk mundur, Tuan Leonard.”

Senyumnya mengembang. Tapi kali ini, senyum itu menyimpan sesuatu. Bahaya? Keinginan? Atau keduanya?

“Bagus, Zaira. Maka kita mulai… permainan ini.”

🖤 Bab 3 – Lantai 33: Bukan Sekadar Kantor

Hari pertama.

Aku tiba pukul lima empat puluh lima pagi. Kemeja putih rapi, rok pensil hitam, sepatu hak rendah, dan rambut disanggul setengah. Tanganku membawa map berisi dokumen pribadi. Napasku berat, tapi wajahku harus netral.

Aku menekan tombol lift khusus lantai 33.

Deg. Lagi-lagi ruang sunyi dan mewah itu menyambutku. Kali ini lebih terang, tapi tidak kalah dingin. Kursi kerja elegan menunggu di sudut ruangan. Tak ada cubicle. Tak ada suara keyboard. Hanya satu meja besar dengan laptop yang masih menyala dan... aroma kopi hitam yang baru diseduh.

Dan di ujung ruangan, pintu kaca buram dengan tulisan:
PRIVATE – Mr. Leonard Aryasatya

Pintu itu terbuka otomatis. Dan dia ada di sana.

Rambutnya masih basah. Jas belum dikenakan. Hanya kemeja putih yang menggantung terbuka beberapa kancing. Dan... pandangan tajam yang membuatku ingin menunduk, tapi kucegah.

“Kau datang tepat waktu,” katanya tanpa menoleh.
“Sudah saya bilang, saya disiplin.”

Leonard tersenyum tipis. “Tapi di sini, disiplin saja tidak cukup.”

Ia menyerahkan sebuah tablet. “Hari ini, kamu akan mendampingi rapat internal, menyusun ulang proposal merger, dan—”
Ia berhenti. Matanya jatuh pada pergelangan tangan kiriku.
“Kau tidak memakai jam tangan.”

“Saya terbiasa membaca waktu dari ponsel,” jawabku.
Ia berdiri, lalu mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah kotak beludru hitam.

“Mulai hari ini, waktu milikmu ada di bawah kendaliku.”

Ia membuka kotak itu. Sebuah jam tangan elegan berwarna perak gelap dengan logo kecil "LA" di ujung jarumnya.

Aku terpaku.

“Hadiah?”

“Bukan. Ini simbol. Kau milikku, Zaira. Setidaknya selama kau bekerja di sini.”

Tanganku gemetar saat ia memasangkan jam itu di pergelangan tangan kiriku. Sentuhan kulitnya membuat jantungku berdetak lebih cepat dari detak jam itu sendiri.

“Dan satu hal lagi,” katanya sambil membungkuk sedikit ke arahku.
“Senyum palsu dan topeng profesional bisa kau tinggalkan di luar pintu itu. Di ruangan ini, aku ingin melihat wajah asli Zaira.”

“Kalau saya tidak siap memperlihatkannya?”

Leonard mendekat. Jarak kami hanya beberapa inci. Aku bisa mencium wangi sabunnya yang segar, dan hawa tubuhnya yang hangat.

“Maka aku akan mengupasnya satu per satu. Dengan perlahan. Dengan sabar. Sampai kau sendiri lupa siapa dirimu sebelumnya.”

Deg.

Apa sebenarnya tempat ini? Kantor... atau perangkap?

🖤 Bab 4 – Eksekusi Tanpa Ampun

Ruang rapat lantai 33 sangat berbeda dari bayanganku. Tidak ada meja oval besar atau karpet tebal yang biasa kulihat di drama kantor. Ruangannya steril, kaca hitam, lampu putih dingin, dan layar digital raksasa di tengah.

Leonard duduk di kursi utama. Aku berdiri tepat di belakang bahunya, tablet di tangan, jantung berdetak tak teratur.

Satu per satu, para direktur masuk. Jas mahal, parfum tajam, dan ekspresi kaku seolah semua sedang berdiri di hadapan algojo.

“Langsung saja,” kata Leonard begitu semua duduk. Suaranya tenang, tapi menusuk. “Proposal merger ini—” ia menunjuk layar dengan jari panjangnya, “—sampah.”

Seorang pria tua di sudut ruangan berkeringat. “T-tapi ini rancangan awal, Tuan Leonard. Kami bisa perbaiki—”

“Terlambat. Waktu saya tidak untuk memperbaiki kesalahan bodoh.”

Semua terdiam. Hawa di ruangan menurun drastis.

“Zaira,” panggilnya tiba-tiba.
Aku tersentak. “Ya, Tuan?”
“Tunjukkan diagram perbandingan cost breakdown dan potential value per segmen. Bagian dari presentasi versi yang kau edit semalam.”

Mataku melebar. “Saya… saya hanya membaca versi itu untuk—”

“Zaira.” Nada suaranya rendah. Tapi tatapannya membuat leherku kaku. “Tunjukkan.”

Dengan tangan gemetar, aku buka file yang kumodifikasi diam-diam karena menurutku angkanya terlalu dipoles. Dan saat kutampilkan ke layar, semua mata menoleh padaku.

“Ini… data yang lebih logis, menurut asisten baru saya,” kata Leonard.

Beberapa orang berbisik. Lainnya terkejut. Pria tua yang tadi menyela tampak semakin pucat.

Lalu Leonard menoleh padaku. Senyumnya muncul—tajam seperti pisau dapur yang baru diasah.
“Selamat, Zaira. Kau baru saja menggulingkan satu kepala direktur.”

Aku menahan napas. Apa yang barusan terjadi?

Rapat selesai tanpa ada satupun orang yang berani bertanya.

Saat semua keluar, Leonard masih duduk, menyilangkan kaki, lalu menatapku.

“Kau merasa bersalah?”
Aku mengangguk pelan.

“Bagus,” katanya datar. “Karena hanya orang yang tahu rasa bersalah yang bisa belajar kapan harus menjadi kejam.”

Aku diam. Tapi ada sesuatu yang tumbuh di dadaku—takut... dan ketertarikan. Campuran beracun yang seharusnya tidak kubiarkan mengendap, tapi kini mulai merasuki tubuhku pelan-pelan.

Lalu ia berdiri dan berjalan melewatiku. Tapi sebelum pergi, ia berbisik di dekat telingaku:

“Kau melakukan tugasmu dengan baik hari ini, Zaira. Tapi jangan terlena. Di sini... satu kesalahan bisa berarti kau kehilangan segalanya. Termasuk dirimu sendiri.”

🖤 Bab 5 – Makan Malam Tanpa Meja

Undangan makan malam kali ini datang lewat pesan singkat.
[20.45 – Suite 3301 – Dress code: Hitam. Datang sendiri.]

Aku menatap ponselku cukup lama. Jantung berdetak tak normal. Dress code? Suite pribadi? Ini bukan sekadar makan malam biasa.

Tapi aku datang.

Gaun hitam panjang selutut, tanpa lengan, rambut digerai lembut. Aku tidak mengenali diriku di cermin—lebih mirip wanita dalam film, bukan sekretaris biasa.

Saat pintu dibuka, aku disambut cahaya temaram dan aroma wine merah yang menggoda. Leonard berdiri di sana, mengenakan kemeja satin abu gelap yang hanya dikancingkan separuh.

Dia menatapku tanpa senyum. “Masuk.”

Suite itu luas. Tidak ada meja makan. Hanya ruang duduk elegan, lilin kecil menyala, dan satu botol wine terbuka di meja kaca.

“Kau tidak lapar?” tanyaku hati-hati.
“Aku ingin sesuatu yang lain malam ini,” jawabnya datar. “Bukan makanan.”

Aku diam.

Ia menuangkan dua gelas wine dan menyerahkan satu padaku.
“Kau gugup,” katanya.
“Tidak.”
“Berbohong.”

Ia duduk. Menatapku dalam.

“Aku ingin tahu, Zaira… apa yang kau pikirkan sejak kau bertemu denganku?”

“Bahwa Anda berbahaya.”
“Dan?”
“Bahwa saya seharusnya menjauh.”
“Lalu kenapa masih di sini?”

Aku terdiam. Anggur terasa panas saat kutelan.

Lalu, tiba-tiba, suara klik terdengar. Leonard mengaktifkan sebuah remote. Layar monitor besar di ruang itu menyala, menampilkan… seorang wanita. Cantik. Matanya kosong. Wajahnya seperti sedang merekam video testimonial.

“Aku... menyerah. Aku pikir aku bisa bertahan di sisi dia. Tapi ternyata aku cuma mainan.”

Aku membeku.
“Siapa itu?”
“Sekretarisku sebelum kau,” jawab Leonard, tenang. “Dia mengundurkan diri tiga bulan lalu. Tanpa jejak.”

“Apa maksudmu menunjukkan ini padaku?”

Leonard berdiri. Dekat. Terlalu dekat.

“Aku ingin kau tahu, Zaira. Aku tidak pernah memaksa siapa pun. Tapi sekali kau masuk ke hidupku, akan sulit untuk keluar... tanpa kehilangan sesuatu.”

“Lalu kenapa saya?” tanyaku pelan.

Ia menatapku. Lalu jemarinya menyentuh daguku, mengangkat wajahku.

“Karena kau bukan seperti mereka. Kau melawan. Dan aku menyukai perempuan yang... bisa bertahan di dalam badai.”

Detik berikutnya, ia mengecup keningku.

“Dan jika kau jatuh... pastikan bukan karena kau tidak diberi peringatan.”

🖤 Bab 6 – Jejak yang Tidak Dihapus

Aku tidak bisa tidur malam itu.

Kepalaku penuh dengan wajah perempuan di layar tadi—matanya kosong, suaranya pecah seperti patahan kaca. Dan cara Leonard memutarnya… seolah itu bukan tragedi, tapi pelajaran.

Aku menatap jam tanganku. Masih berkilau, elegan. Tapi sekarang, rasanya seperti borgol.

Pagi harinya, aku datang lebih awal ke kantor. Leonard belum tiba.

Untuk pertama kalinya, aku merasa leluasa menjelajah lantai 33. Aku menyentuh meja panjang di ruang utama. Lalu komputer pribadiku. Lalu... mataku tertuju ke satu pintu kecil di ujung, tanpa papan nama.

Pintu itu terkunci. Tapi kartu aksesku—entah kenapa—berhasil membukanya.

Ruang arsip pribadi.
Ruangan sempit, dingin, dan sunyi. Di dalamnya, kotak file. Data. Hard drive.

Dan satu folder bernama:
"INTERNAL – M.D / K.A / Z.N"

Tanganku bergetar. Inisial Z.N... Zaira Nadhira. Aku.

Tapi sebelum sempat membukanya, suara berat terdengar dari belakangku.
“Sedang mencari sesuatu?”

Jantungku mencelos. Leonard berdiri di ambang pintu. Wajahnya tidak marah. Justru... tenang. Sangat tenang.

“Pintu ini tidak terkunci,” jawabku gugup.
“Tentu tidak. Karena aku ingin tahu... kapan kau akan membukanya.”

Aku menatapnya, merasa terjebak.

“Jadi semua ini… ujian?”
“Bisa dibilang. Aku ingin tahu apakah kau akan menuruti rasa penasaranmu. Dan ya, kau melakukannya. Seperti mereka yang lain.”

“Aku bukan seperti mereka.”

Leonard mendekat. Tapi kali ini bukan dengan senyum. Wajahnya gelap. Rahangnya mengeras.

“Buktikan.”

Lalu ia menarik folder itu dariku, melemparkannya ke meja, dan menekanku ke dinding. Tapi bukan secara fisik—secara mental.
Kedekatannya, intensitas matanya, dan napasnya di leherku... semuanya menekan.

“Kau tidak tahu apa yang sedang kau sentuh, Zaira.”
“Lalu beritahu aku.”
“Tidak semudah itu.”

Ia berbisik di telingaku.
“Kau ingin tahu siapa perempuan dalam video itu?”
Aku mengangguk.
“Dia mencintaiku. Terlalu dalam. Sampai lupa batas. Dan ketika aku mulai jenuh... dia mulai hancur.”

“Kau mainkan dia?”

Leonard menatapku.
“Tidak. Aku hanya memperlihatkan siapa diriku sebenarnya. Dan tidak semua orang bisa bertahan di sisi monster, Zaira.”

“Dan kau pikir aku bisa?”

Kali ini, ia menyentuh wajahku. Lembut. Tapi dengan mata yang mengandung badai.

“Kita lihat saja.”

🖤 Bab 7 – Suara dari Masa Lalu

Malam itu hujan turun deras. Lampu-lampu kota seperti terdistorsi di balik kaca jendela lantai 33, dan aku sendirian di ruangan Leonard. Ia sedang dalam rapat luar kota, meninggalkanku untuk "mengatur segalanya" sesuai yang dia mau.

Tapi aku tidak bisa fokus bekerja.

Pikiran tentang wanita dalam video itu terus membayangiku. Matanya kosong, tapi... bukan karena kehilangan. Lebih seperti… direnggut.

Aku kembali ke ruang arsip. Kali ini dengan tekad.

Folder berinisial "Z.N." ternyata terkunci digital. Tapi aku menemukan satu flashdisk kecil di laci terpisah, tersembunyi di balik buku tua berjudul "Behavioral Control in High Power Dynamics."

Flashdisk itu tidak dikunci. Dan isinya hanya satu file:
[REKAMAN_AUDIO_2103.MP3]

Kupasang headphone, lalu tekan play.

“Leo... aku tidak bisa begini lagi. Aku merasa... hilang. Seperti semua pikiranku bukan milikku. Kau bilang kau hanya mengarahkan, tapi aku... aku bahkan tidak tahu siapa aku sekarang.”

“Kau bilang kau mencintaiku... tapi yang kau lakukan hanyalah mengikatku perlahan. Seperti hewan jinak.”

Aku terisak pelan.

“Jika aku menghilang... anggap saja aku memilih untuk membebaskan diriku. Dari kamu.”

Tiba-tiba pintu terbuka. Aku menoleh cepat.

Leonard berdiri di ambang pintu. Basah kuyup. Hujan masih menetes dari rambutnya.

Aku panik. Melepas headphone. Tapi sudah terlambat. Dia tahu.

“Kau mendengarkannya.”

Aku mundur satu langkah. “Kau menghilangkan dia.”

Leonard tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan ke arahku, pakaian basah meneteskan air ke lantai marmer.

“Dia pergi,” katanya. “Karena dia terlalu lemah untuk bertahan.”

“Atau karena kau mengontrol pikirannya sampai dia lupa bagaimana menjadi dirinya sendiri!”

Ia berhenti tepat di depanku. Wajahnya tajam. Tapi ada sesuatu dalam matanya—bukan marah. Lelah. Hampa.

“Apakah kau takut padaku, Zaira?”

Aku menatap matanya. Dalam. Gelap. Berisi.

“Ya,” jawabku pelan. “Tapi... aku juga tertarik. Dan itu yang paling menakutkan.”

Dia mengangkat tanganku. Membawa pergelangan tanganku ke bibirnya. Mengecup bagian yang tertutup jam pemberiannya.

“Bagus.”
Bisiknya pelan.
“Karena obsesi selalu dimulai dari rasa takut yang dikemas sebagai rasa ingin tahu.”

Lalu ia melepaskannya, dan pergi meninggalkanku sendiri di ruangan itu. Meninggalkan pertanyaan besar di dadaku.

Siapa sebenarnya yang sedang dikendalikan? Aku... atau dia?

🖤 Bab 8 – Kamar yang Tak Pernah Dibuka

Tiga hari berlalu sejak malam hujan itu. Leonard tidak muncul. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Lantai 33 sunyi, seakan ia ikut menghilang bersama pria yang biasanya mengisi ruangan itu dengan aura dominasi.

Hingga malam keempat.
Sebuah pesan masuk:

[Datang. Tanpa suara. Tanpa pertanyaan. 21.00 – Kamar 27, Lorong Bawah, Gedung Timur.]

Aku hampir tak percaya dengan pesannya. Kamar 27? Di lorong bawah? Bahkan staf gedung ini tidak pernah menyebutkan adanya “Lorong Bawah.”

Tapi aku datang.

Lorong itu gelap dan lembap. Pintu kamar 27 berbeda. Besi tua, kunci manual, tanpa lampu sensor.

Dan saat pintu terbuka—Leonard berdiri di sana. Wajahnya letih, rambutnya kusut, matanya merah seolah tidak tidur selama berhari-hari.

Ruangan itu… bukan kamar biasa.

Dinding penuh foto-foto hitam putih. Potret wanita. Sebagian wajah yang kukenal—sekretaris terdahulu. Sebagian lainnya... bukan.

Di tengah ruangan ada kursi kayu tua, dan di atasnya: kotak kecil berisi puluhan surat.
Surat-surat tangan. Semua dengan tinta hitam, dan satu kesamaan:

Ditujukan pada Leonard Aryasatya.

“Apa ini…?” tanyaku, nyaris berbisik.

Ia duduk di lantai. Bersandar pada dinding. “Surat dari mereka semua. Yang mencintaiku. Yang kubuat jatuh. Dan yang pergi… setelah kehilangan.”

Aku tidak bisa bicara.

“Salah satu dari mereka… bunuh diri.”

Aku menutup mulutku.

Leonard menatapku—tatapan hancur, kosong. “Dia yang pertama memanggilku monster. Dan saat itu… aku tidak menyangkalnya.”

“Kau… membiarkannya?”
“Bukan. Aku mengira aku sudah memperingatkan. Tapi ternyata… peringatan itu tidak cukup.”

Aku terduduk di depannya. “Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?”

“Karena kau masih di sini,” jawabnya lirih. “Dan aku takut... kau akan jadi surat berikutnya.”

Hening menyelimuti ruangan. Hanya napas kami yang terdengar.

Aku menyentuh tangannya. Lembut. Gemetar.
“Aku belum pergi, Leonard.”
“Tapi kau akan.”
“Tidak kalau kau berhenti mendorongku.”

Ia menarik tangannya. Berdiri. Menatapku dengan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya: ketakutan.

“Kalau kau ingin selamat, Zaira… jangan mencintaiku.”

🖤 Bab 9 – Pecah di Tengah Rapat

Setelah malam itu di Kamar 27, segalanya berubah. Leonard tak lagi memanggilku ke ruang pribadinya. Ia tidak bicara banyak. Tidak mengucap selamat pagi. Tidak menyentuh tanganku seperti dulu.

Seolah malam penuh pengakuan itu… hanya angin yang lewat.

Tapi bagiku, tidak.

Aku mulai merasa… kosong. Kosong karena ia hadir, tapi menjauh. Kosong karena aku melihat luka, tapi tidak diberi hak untuk menyembuhkannya.

Hingga hari itu.

Rapat besar investor. Semua jajaran hadir, termasuk klien dari luar negeri yang ingin menyuntikkan dana besar ke Arya Corp. Leonard duduk di kursi utama, wajahnya kembali dingin dan tak tergoyahkan. Seolah dia belum pernah menangis di hadapanku. Seolah dia bukan pria yang menyimpan surat kematian di kamar bawah tanah.

Aku berdiri di samping layar presentasi. Tablet di tanganku gemetar. Slide ke-15 belum muncul.

“Slide berikutnya, Zaira,” perintahnya, tenang.

Tanganku beku.

“Slide-nya,” ulangnya, kali ini dengan tatapan menusuk.

Aku tak bisa. Ada sesuatu di dalam diriku yang memberontak.
Dan entah dari mana keberanian itu muncul, aku bicara:

“Slide berikutnya tidak ada.”

Semua mata menoleh.

Leonard menegakkan tubuhnya. “Apa maksudmu?”

“Karena saya tidak bisa berpura-pura lagi,” kataku, lirih namun jelas. “Tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja. Termasuk Anda.”

Hening. Terlalu sunyi untuk ukuran ruang berisi lima belas orang.

“Zaira. Di luar ruangan. Sekarang.”

Aku keluar. Nafasku terengah. Tapi langkah Leonard cepat, dan sebelum aku sempat membuka mulut, ia menarikku ke ruangan kecil di belakang layar.

Pintu tertutup. Napas kami tajam. Matanya merah.

“Apa yang kau lakukan?!”

“Aku ingin kau melihat aku, Leonard!” teriakku. “Bukan sebagai bawahanmu. Bukan sebagai korbanmu. Tapi sebagai—”

“Sebagai apa? Kekasih? Obsesimu?”

“Sebagai satu-satunya orang yang... masih bertahan.”

Ia mendekat. Tangannya menekan dinding di dekat wajahku.
Wajahnya hancur. Tapi bibirnya gemetar menahan kata.

“Jangan jatuh cinta padaku, Zaira…” bisiknya lirih. “Aku tidak pantas.”

“Terlambat.”

Dan saat aku mengucapkannya… dia menciumnya.

Bukan ciuman lembut. Tapi brutal. Emosional. Meledak.

Tubuh kami saling bertabrakan, tangan menarik, bibir berbenturan. Segala kemarahan, kerinduan, rasa bersalah, dan hasrat yang tertahan selama ini… pecah tak tertahan.

Tapi di antara napas yang tersengal, dia berbisik:

“Kalau kau tetap memilihku… kau akan kehilangan dirimu.”

Aku menatap matanya, penuh air mata.

“Mungkin. Tapi kalau aku menjauh sekarang… aku sudah kehilangannya dari awal.”

🖤 Bab 10 – Luka yang Dipeluk

Satu minggu.
Itu waktu yang Leonard butuhkan untuk kembali menghilang setelah ciuman itu.

Ia membatalkan semua jadwal kantor, mematikan nomor pribadinya, bahkan lantai 33 dikunci total. Hanya satu pesan yang ia kirim padaku:

"Kalau kau mencintaiku, lepaskan aku. Kalau kau mengerti aku, jangan cari aku."

Tapi aku tidak bisa berhenti.

Sampai akhirnya, sebuah amplop coklat muncul di mejaku, dikirim tanpa nama. Di dalamnya: satu foto lama—seorang wanita muda, cantik, mengenakan seragam rumah sakit jiwa. Di baliknya tertulis:
"M.D – Maira Devina. Kakak Leonard. Kasus bunuh diri, 2013."

Dadaku sesak.

Bukan kekasih. Tapi kakaknya.
Dan surat-surat itu—bukan dari sekretaris. Tapi dari pasien-pasien klinik psikiatri tempat Leonard pernah magang sebelum mewarisi perusahaan ayahnya. Semua yang "jatuh cinta" padanya… adalah bagian dari masa lalu yang terus menghantuinya.

Aku menunggu. Dan menunggu.

Hingga hari itu datang.

Pintu lantai 33 terbuka. Leonard berdiri di sana. Lebih kurus. Lebih letih. Tapi kali ini, tidak lagi menyembunyikan siapa dirinya.

“Aku menyakiti semua orang yang dekat denganku,” katanya lirih. “Karena setiap kali seseorang mulai mencintaiku, aku mengira itu awal dari kehancuran.”

“Kau tidak harus menyakiti untuk menjaga jarak, Leonard,” kataku pelan.

Ia menatapku. Dalam.
“Aku bisa mencoba berubah… tapi aku tidak tahu bagaimana cara mencintai tanpa menghancurkan.”

Aku tersenyum tipis, mendekatinya.
“Maka biarkan aku mengajarimu cara mencintai… sambil merawat luka.”

Ia tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, ia menangis. Bukan air mata kemarahan atau kelelahan. Tapi air mata ketakutan. Bahwa untuk pertama kalinya… seseorang benar-benar ingin bertahan.

Aku memeluknya. Bukan sebagai sekretaris. Bukan sebagai bawahan. Tapi sebagai satu-satunya manusia yang melihat luka di balik semua kekuasaan, dan tetap memilih untuk tinggal.


🖤 Epilog – Milik Luka

Satu tahun kemudian.

Lantai 33 tak lagi sunyi. Ruangannya diubah menjadi pusat kesehatan mental mini bagi seluruh karyawan. Leonard berdiri di belakang semua itu. Bukan hanya sebagai CEO… tapi sebagai manusia yang sedang belajar menebus.

Kami tidak menyebut diri kami pasangan. Tidak ada label.
Tapi setiap pagi, saat ia menggenggam tanganku dan berkata,
"Masih bertahan?"
Aku akan menjawab,
"Selalu. Untukmu. Untuk kita."

Karena cinta… tidak selalu tentang menyelamatkan.

Kadang, cinta hanya tentang menemani seseorang yang belum siap diselamatkan, tapi layak diperjuangkan.


🖤 TAMAT



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh