Rahasia di Balik Dinding Kamar 213 ( 21+ )

 Rahasia di Balik Dinding Kamar 213


 🖤 Judul: Rahasia di Balik Dinding Kamar 213

Genre: 21+, Romance, Drama, Psychological, Erotic
Setting: Hotel butik tua bergaya Eropa di pusat kota yang menyimpan banyak misteri
Gaya: Narasi sensual, atmosfer misterius, POV campuran (utama: wanita), dialog intens


Sinopsis:

Maya, seorang jurnalis investigatif, menyamar sebagai tamu di Hotel Bellavita, sebuah penginapan tua yang digosipkan menyimpan 'layanan khusus' untuk kalangan elite. Di balik dinding kamar 213, ia menemukan dunia penuh rahasia, kesenangan terlarang, dan seseorang yang mengubah cara pandangnya terhadap cinta, luka, dan kenikmatan.

Namun di tengah malam yang penuh bisikan, ia tak tahu siapa yang lebih berbahaya—lelaki misterius yang memanggilnya "boneka malam", atau perasaannya sendiri yang perlahan tenggelam dalam kenikmatan yang tak bisa dia lawan.


BAB 1 - Check-In

Suara bel klasik berdenting begitu Maya mendorong pintu kaca berbingkai kuningan itu. Aroma mawar kering dan kayu tua langsung menyambutnya, seperti mengunci waktu di antara dinding hotel berusia ratusan tahun itu.

"Selamat datang di Bellavita," sapa resepsionis wanita dengan senyum terlalu tenang untuk tempat semisterius ini.

Maya hanya mengangguk pelan, menyelipkan identitas palsunya dan kartu debit ke atas meja. Nama yang ia pakai malam itu: Clara N, penulis lepas.

"Kamar 213, lantai dua. Lift kami rusak. Tangga di sebelah kanan," ucap resepsionis dengan senyum menggoda yang tidak ia mengerti.

Langkah Maya terdengar bergema saat ia menaiki anak tangga berkarpet merah tua. Di tangan kirinya, sebuah koper kecil; di tangan kanan, ponsel tersembunyi yang siap merekam setiap suara.

Dia tidak sedang berlibur. Dia datang untuk membongkar sebuah cerita. Hotel Bellavita, katanya, punya sisi gelap yang tak tertulis di brosur wisata mana pun.

Kamar 213 ada di ujung lorong. Ketika kuncinya berputar di lubang tua, udara di dalam kamar seperti langsung menyambutnya—hangat, lembap, dan sedikit manis. Ada bau mawar. Ada sesuatu yang lain juga. Seperti aroma tubuh yang baru saja meninggalkan ranjang.

Di sudut kamar, ada sofa beludru merah. Meja dengan cermin antik. Dan ranjang dengan tiang-tiang besi yang... anehnya, memiliki bekas tambatan di setiap sudutnya.

Maya mengeluarkan kameranya. Klik. Klik.

Tapi saat dia mengarahkannya ke arah dinding kanan, flash kamera memantul. Dinding itu ternyata bukan dinding biasa—ada cermin besar di sana, tapi dari dalam kamar, ia hanya tampak samar.

One-way mirror.

Dan tiba-tiba, suara dari interkom kuno di dekat tempat tidur menyala.

"Clara... Kau akhirnya datang."
Suara pria, dalam, berat, dan memanggil namanya dengan cara yang membuat tubuh Maya bergetar.

"Siapa kamu?" tanyanya, refleks.

"Malam ini, kamu milikku."
Klik.

Maya menatap interkom itu, lalu cermin satu arah yang memantulkan bayangan samar tubuhnya sendiri.

Dia datang untuk mengungkap rahasia, tapi kini rahasia itu sedang memanggilnya… dan mengintainya dari sisi lain dinding.

BAB 2 - Suara dari Balik Cermin

Maya berdiri terpaku.

Hanya suara yang memanggil dari interkom tua, namun nyaris membuat lututnya melemas. Suara itu—dalam, pelan, dan penuh kendali—bukan suara biasa. Ada sesuatu dalam caranya menyebut nama samaran "Clara" seolah pria itu tahu persis siapa dirinya sebenarnya.

Padahal tidak mungkin. Tidak seharusnya.

Tangannya meraba cermin satu arah. Dingin. Diam. Namun Maya bisa merasakan bahwa dia sedang dilihat. Setiap lekuk tubuhnya, dari atasan putih tipis yang menempel di kulitnya, hingga paha telanjang di balik rok ketat yang sengaja ia pakai sebagai bagian penyamaran.

Dia mengaktifkan kamera kecil di tasnya, meletakkannya di sudut ruangan, lalu duduk di ranjang yang besar itu—ranjang dengan tali-tali kulit yang menggantung longgar di tiang besinya.

Dari interkom, suara itu kembali terdengar.

"Kau gelisah."
"Aku bisa mendengarnya dari napasmu."
"Kau tidak terbiasa ditelanjangi dengan tatapan saja, ya?"

Maya tak menjawab. Tapi tubuhnya mulai memanas.

"Aku hanya ingin tahu siapa kamu. Kenapa kau mengawasi kamar ini?" katanya tenang, meski napasnya sedikit bergetar.

"Karena kamar ini adalah milik kami. Tempat para jiwa lelah menanggalkan topengnya. Di sini… tak ada kebohongan, hanya keinginan."

Sebuah bunyi mekanis terdengar. Tiba-tiba, tirai tipis di dinding cermin itu membuka dari dalam. Sekilas, hanya kegelapan. Tapi lalu—gerakan samar. Siluet seseorang berdiri di balik dinding satu arah, seolah baru saja melangkah mendekat.

Maya bisa melihatnya sekarang. Sosok tinggi, hanya setengah tubuhnya yang terlihat dalam cahaya samar. Dia mengenakan setelan jas, dasi longgar, dan topeng hitam polos yang menutupi wajahnya sepenuhnya.

"Siapa kamu?" ulang Maya. Kali ini, tidak untuk mencari jawaban sebagai jurnalis. Tapi sebagai perempuan yang tak bisa membohongi getaran aneh yang mulai tumbuh di dadanya… dan turun ke perutnya.

Pria itu tidak menjawab. Tapi perlahan, dia mengangkat tangannya, dan memperlihatkan… sebuah remote.

Klik.

Lampu kamar Maya berubah menjadi cahaya merah redup.

Klik.

Speaker di sudut ruangan mengalunkan musik jazz lambat, sensual. Bukan lagu biasa. Ini semacam lagu perayaan dosa yang disengaja.

"Sekarang, Clara. Bangkitlah."
"Buka semua yang menutupi tubuhmu. Perlahan. Ini perintah."

"Dan kalau aku menolak?" suara Maya serak, bukan karena marah, tapi bingung dengan dirinya sendiri.

"Maka aku akan datang ke kamar 213 malam ini… dan melepaskannya satu per satu, dengan tanganku sendiri."

Ancaman itu... seharusnya menakutkan. Tapi entah kenapa, bagian terdalam dari dirinya justru menanti itu terjadi.

Dengan jari gemetar, Maya bangkit dari ranjang. Ia berdiri menghadap ke arah cermin besar, menatap bayangan samar dirinya yang kini diterangi cahaya merah. Perlahan, ia membuka kancing atas blusnya. Satu per satu.

Suaranya tak keluar, tapi napasnya jelas terdengar berat. Tidak ada kamera yang bisa menangkap detak jantungnya saat itu. Tidak ada mikrofon yang bisa memahami gejolak yang mendesak dari dalam dirinya.

Hanya dia. Dan pria bertopeng itu. Dua orang yang belum pernah saling mengenal, tapi terikat oleh hasrat yang liar dan tak terduga.

Dan di balik cermin itu… pria itu menyentuh dadanya sendiri. Membelai bagian tubuhnya yang menegang, seolah setiap gerakan Maya adalah miliknya. Seolah ia menyentuh tubuh wanita itu melalui jarak dan udara.

Maya melepaskan blusnya. Bra renda hitamnya kontras dengan kulit pucatnya. Jemarinya meraba kulit leher, turun ke perut. Ia menutup matanya sebentar, sebelum terdengar bisikan dari interkom lagi—lebih rendah, lebih dalam, nyaris seperti erangan tertahan.

"Besok malam, aku akan masuk ke kamar 213."
"Dan kamu akan membiarkanku membuka seluruh rahasiamu."

Klik.

Suara interkom mati.

Tirai tertutup kembali.

Dan Maya—berdiri dalam keheningan, setengah telanjang, dengan tubuh yang bergetar oleh sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan akan ia rasakan: hasrat terhadap seseorang yang bahkan belum ia lihat wajahnya.

BAB 3 – Jejak di Lorong Rahasia

Pagi di Hotel Bellavita terasa tak wajar. Terlalu tenang. Terlalu bersih, seolah malam sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa.

Tapi bagi Maya, jejak malam itu masih membekas di kulitnya.

Ia menatap cermin di kamar 213. Semalam, dari balik sana, seseorang telah menyentuh dirinya—tanpa menyentuh. Mengendalikan hasratnya hanya lewat suara, dan membuatnya membuka bagian dari dirinya yang selama ini tak tersentuh siapa pun.

Dia tahu ini bukan sekadar permainan erotis. Ada motif. Ada kekuasaan. Dan Maya, seorang jurnalis yang dilatih untuk menganalisis, kini malah kehilangan objektivitasnya.

Dia ingin tahu siapa pria itu… tapi bagian terdalam dari dirinya ingin dia tidak pernah tahu.


Maya meninggalkan kamar, menyusuri lorong hotel. Ia menyamar sebagai tamu biasa—pakaiannya kini lebih santai, tank top tipis, celana pendek longgar, dan kacamata hitam besar yang menyembunyikan ekspresinya.

Tujuannya: mencari lorong akses ke balik cermin satu arah itu.

Ia berhenti di ujung lorong lantai dua, di mana sebuah pintu kecil tanpa nomor terletak nyaris tersembunyi. Gagangnya terkunci. Tapi Maya punya alat—sebuah pick lock kecil yang ia sembunyikan di ikat pinggang.

Klik.

Pintu terbuka, dan hawa dingin menyambutnya. Tangga sempit menurun. Ruangan gelap, berdebu, dan remang. Tapi di ujungnya—terdapat serangkaian koridor pendek. Dinding-dindingnya dihiasi deretan jendela kaca satu arah dari balik kamar 213, 215, 217…

Di sinilah semuanya dikendalikan.

Maya melangkah pelan. Lalu berhenti. Di balik kaca kamar 213, dia melihat dirinya semalam—dalam rekaman. Video dirinya yang perlahan menanggalkan pakaian, berdiri gemetar di bawah cahaya merah.

Monitor menyala otomatis.

Dan di layar kecil lain—ada wajah pria bertopeng. Tapi kali ini, tanpa jas. Dia hanya mengenakan celana kain gelap, dada telanjang, dan topeng itu masih menempel. Ada kamera yang merekam dirinya juga. Tapi dari kamar lain.

Dia tahu Maya akan datang ke ruangan ini.

"Kau penasaran?"
Suara pria itu kembali, tapi bukan dari interkom. Dari speaker di langit-langit ruang kendali.

"Bagus. Karena aku hanya memilih wanita yang tahu kapan harus takut, dan kapan harus tunduk."

Maya menahan napas. Tangannya mengepal. Tapi tubuhnya kembali bereaksi… sensasi hangat menjalar dari perut ke paha, tanpa peringatan.

"Aku tidak takut padamu," bisiknya, meski tak yakin apakah dirinya percaya kata-kata itu.

"Tapi tubuhmu takut. Tubuhmu gemetar. Payudaramu mengencang hanya karena suaraku. Itulah yang kusukai darimu, Clara—kau bisa bohong dengan mulutmu, tapi tidak dengan kulitmu."

Tiba-tiba, sebuah pintu kecil di sisi ruangan terbuka otomatis. Di sana ada lorong dengan cahaya kuning lembut dan… aroma yang ia kenali. Mawar, dan keringat. Aroma kamar 213.

"Masuk ke sana. Atau tinggalkan tempat ini dan anggap ini mimpimu yang paling memalukan."
"Tapi jika kau masuk, Clara… malam ini, aku tidak hanya akan menyentuhmu lewat suara."


Maya menatap lorong itu.

Ini bukan lagi misi jurnalis. Ini bukan untuk artikel atau pengungkapan rahasia.

Ini tentang dirinya. Tentang hasrat yang bangkit dalam kegelapan, saat suara pria asing bisa membuatnya menggeliat tanpa sentuhan.

Dan langkahnya mulai maju. Perlahan. Masuk ke lorong itu. Menuju malam yang tak akan pernah sama lagi.

BAB 4 – Sang Pemilik Bayangan

Lorong sempit itu seperti tenggorokan bangunan tua, menelan Maya masuk lebih dalam ke inti rahasianya. Lampu-lampu kuning di langit-langit menyala satu per satu saat ia berjalan—seolah membimbingnya menuju sesuatu yang tak bisa ia tolak.

Saat sampai di ujung lorong, ada pintu hitam. Di atasnya, terukir angka yang tidak asing: 213. Tapi kali ini, dari sisi sebaliknya.

Maya mengangkat tangannya, hendak mengetuk… namun pintu terbuka sendiri dengan suara angin lembut.

Cahaya temaram menyambutnya. Ruangan itu luas, tak seperti kamar hotel biasa. Tidak ada jendela. Lantainya marmer gelap, dengan satu set ranjang besar di tengah ruangan, tiangnya menjulang dan… rantai-rantai menggantung dari langit-langit seperti ornamen seni.

Di sudut ruangan, berdiri seseorang.

Dia.

Lelaki bertopeng.

Kini tanpa jas. Hanya mengenakan celana hitam longgar, tubuhnya terukir seperti pahatan klasik—otot-ototnya tak berlebihan, tapi kencang. Di tangannya, seutas pita sutra hitam melilit jemarinya.

"Aku menunggumu," katanya. Suaranya dalam, seperti semalam, tapi kali ini… lebih lembut. Lebih intim.

Maya menelan ludah. Dia ingin bertanya banyak hal, tapi lidahnya kering. Dan tubuhnya sudah lebih dulu bereaksi sebelum pikirannya memutuskan.

“Apa tempat ini?” tanyanya akhirnya.

"Tempat di mana kau bisa menyerah. Bukan karena dipaksa. Tapi karena kau ingin menyerah. Kepada sensasi, kepada rasa… dan kepada seseorang yang tahu bagaimana menyentuhmu di tempat yang tak pernah kau buka untuk siapa pun.”

Dia melangkah maju. Setiap langkahnya mantap, namun tak mengancam. Saat jaraknya hanya tinggal setengah meter, Maya bisa merasakan hawa tubuhnya—hangat, menguapkan aroma kulit, parfum rempah halus, dan… dominasi.

“Pakai ini.”
Ia menyodorkan pita sutra hitam.

“Apa ini semacam... perbudakan erotis?”

Pria itu tersenyum samar di balik topeng. “Ini bukan tentang budak atau tuan. Ini tentang kau, Clara. Tentang tubuhmu yang ingin menyerah, dan egomu yang berusaha menahannya.”

Maya menatap pita itu. Jemarinya gemetar saat menyentuhnya, tapi ia tidak mundur. Ia mengangkat tangannya, menyerahkan pergelangan dengan perlahan.

Dengan tenang, pria itu melilit pita ke tangannya. Lembut tapi erat. Bukan untuk menyakitinya, tapi untuk membuatnya merasa… milik.

“Kau bisa berkata berhenti kapan saja,” bisik pria itu di telinganya. “Katakan ‘vanilla’, maka semua ini selesai. Tapi jika tidak—maka malam ini aku akan menyentuh bagian terdalam dari dirimu. Bukan hanya tubuhmu… tapi luka, ketakutan, dan fantasi yang kau simpan rapat-rapat.”

Jantung Maya berdetak liar. Kata itu, vanilla, seperti tali pengaman. Tapi ia tidak mengucapkannya.

Pria itu perlahan menurunkan tali tank-top Maya, memperlihatkan bahunya, kulit lehernya, hingga bra tipis hitam yang masih menyembunyikan payudaranya yang sudah mulai mengencang karena dingin… dan hasrat.

Lalu tangannya menyentuh perut Maya. Dingin. Halus. Tapi menekan dengan kendali.

"Aku akan mencium setiap inci tubuhmu nanti. Tapi sekarang..."
Ia mendorong Maya ke ranjang. Perlahan. Menidurkannya seperti benda berharga, bukan objek.

Maya menutup mata. Nafasnya berat.

Ia belum disentuh di bagian paling intim—belum. Tapi setiap kata, setiap helaan nafas pria itu, sudah membuat dirinya basah. Siap.

Dan ketika pria itu mulai membuka kancing celananya, tubuh Maya menegang.

Tapi dia tidak menyentuh bagian itu.

Sebaliknya, ia menunduk… mencium sisi leher Maya. Lalu turun ke dada, membiarkan bibirnya membelai di atas kain bra tipis. Gerakannya lambat, penuh niat. Seolah pria itu sedang menyembah tubuh yang sudah tak sabar disentuh.

"Aku akan membuka semuanya, Clara. Tapi bukan hanya pakaian. Aku akan buka jiwamu, lalu mengisinya ulang... dengan rasa yang tak pernah kau tahu bisa kau nikmati."

Dan malam pun bergulir dalam bisikan, decak napas, dan tali-tali yang mengikat tubuh serta pikiran Maya.

Dia bukan hanya penikmat tubuh Maya. Dia sedang mengubahnya. Membangkitkan sisi liar dan luka tersembunyi yang Maya bahkan tak tahu dia miliki.

BAB 5 – Tunduk dan Terbakar

Maya terbaring di atas ranjang dengan kedua tangan terikat pita sutra. Ia tidak menolak. Bahkan, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa lebih bebas saat tidak memiliki kendali.

Pria bertopeng menatapnya dari ujung ranjang. Tubuhnya berdiri tegap, namun tak tergesa. Seolah dia tahu: hasrat paling kuat bukan datang dari sentuhan pertama, melainkan dari penundaan yang disengaja.

“Kau cantik saat gelisah,” katanya serak, nada suaranya turun setengah oktaf lebih rendah. “Tubuhmu bertanya kapan akan kusentuh… tapi pikiranku lebih sabar dari nafsumu, Clara.”

Maya menggeliat. Bra-nya sudah dilepas. Putingnya tegang. Kulitnya menegang karena sentuhan udara. Celana dalamnya basah—ia bisa merasakannya sendiri. Tapi pria itu… belum menyentuh bagian paling panas dari tubuhnya.

Dia mendekat perlahan.

Menelusuri lekuk tubuh Maya dengan ujung jemari. Dari bahu, ke tulang selangka, lalu menyusuri tulang rusuknya. Saat jari itu menyentuh sisi payudara, Maya menahan napas. Tapi sentuhan itu hanya menyapu—melewati, menyiksa dengan kelembutan.

“Lepaskan aku,” bisik Maya, bukan karena ingin bebas… tapi karena ingin ditahan lebih keras.

“Kenapa? Ingin menyerangku?”

“Tidak. Ingin memelukmu saat kau mulai menghancurkan kendali terakhir yang kupunya…”

Dia tersenyum. Jemarinya turun. Menyentuh celana dalam Maya. Basah. Hangat. Ia menekannya dengan dua jari… pelan, lalu menahannya. Tidak menggosok. Tidak menggerakkan. Hanya tekanan. Dan justru itu membuat Maya melengkung, menahan desahan yang menekan dadanya.

“Sudah basah. Tapi kau belum disentuh, Clara.”

“Aku tahu.”

“Dan kau menyukainya.”

Ia menyibak celana dalam Maya ke samping.

Lidahnya menyentuh lipatan Maya. Lembut di awal, lalu menjadi eksploratif. Gerakannya teratur, berirama seperti musik jazz malam sebelumnya. Maya menggigit bibir. Tangannya mencoba mencengkeram sesuatu, tapi terikat. Yang bisa ia lakukan hanya menerima. Dan menerima. Dan menerima lagi.

Lidah itu seperti menghukum sekaligus membelai.

Dan ketika pria itu memasukkan dua jarinya dengan perlahan ke dalam, Maya menjerit kecil. Tidak karena sakit. Tapi karena akhirnya... ia disentuh.

Sementara pria itu menjilat klitorisnya pelan, jari-jarinya bergerak ritmis di dalam. Suara basah bergema di ruangan senyap. Napas Maya cepat, dada naik-turun, dan pinggulnya ikut bergerak tanpa sadar, menekan lebih dalam, lebih kuat ke tangan pria itu.

"Aku... akan... keluar..." desisnya, nyaris malu. Tapi pria itu menghentikan gerakan tepat saat ia mencapai puncaknya.

“Tidak sekarang. Aku memutuskan kapan kau boleh klimaks.”

“Brengsek,” desah Maya. Tapi matanya berkaca, tubuhnya gemetar. Tak ada amarah di sana. Hanya rasa ingin yang terlalu besar, terlalu sakit jika ditunda.

Pria itu membuka resleting celananya. Penisnya keras, besar, dan mengarah lurus padanya. Maya menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat.

Dia menaiki ranjang, menggeser tubuh Maya sedikit ke tengah, dan merentangkan kakinya. Saat kepala kemaluannya menyentuh bibir intim Maya, tubuh Maya menegang… lalu mengendur, pasrah.

Dan ia masuk.

Satu tarikan pelan, satu dorongan penuh. Dalam. Mengisi Maya sepenuhnya. Dan keduanya mendesah bersamaan.

Dia tidak tergesa. Gerakannya perlahan. Menyiksa. Setiap tusukan terasa penuh. Maya menggigit bahunya sendiri, menahan suara. Tapi pria itu memegang dagunya, menatapnya.

“Suarakan. Jangan sembunyikan kenikmatanmu. Aku ingin mendengarnya.”

Dan Maya pun mulai bersuara. Setiap desahan, erangan, nama yang ia bisikkan—“Tuan...”—semuanya mengalir bebas.

Seks ini… bukan sekadar pelepasan. Ini penaklukan. Tapi juga semacam pembebasan.

Ketika pria itu mempercepat gerakannya, Maya memeluknya dengan kaki. Mencakar punggungnya. Merasakan klimaks yang ditahan kini datang bagai badai. Dan saat itu datang—ia tak bisa menahannya lagi.

Tubuhnya melengkung, teriakannya pecah, dan air matanya menetes di pipi. Tapi ia tersenyum. Karena untuk pertama kalinya, Maya merasakan orgasme bukan hanya di tubuhnya… tapi di dalam jiwanya.

Dan pria itu mengejar klimaksnya sendiri. Saat ia menegang dan mengeluarkan isinya di dalam tubuh Maya, dia merintih. Lalu merebahkan tubuhnya di atasnya, masih di dalam, masih panas, masih berdenyut.

Beberapa menit mereka diam.

Napas perlahan tenang.

Pria itu membuka topengnya.

Tapi Maya menutup mata.

“Aku belum ingin tahu siapa kau. Biar tubuhku mengenalmu lebih dulu daripada mataku.”

Dan pria itu tertawa pelan.

“Lalu siapa kau sebenarnya, Clara?”

Maya membuka mata, menatap langit-langit ruangan, lalu berkata pelan:

“Seorang wanita yang kehilangan misi… dan mungkin sedang kehilangan dirinya juga.”

BAB 6 – Tidak Ada yang Bernama Clara

Pagi itu, Maya kembali ke kamarnya yang resmi, kamar 312. Ia berdiri di bawah pancuran air panas, mencoba menghapus sisa malam dari kulitnya. Tapi tubuh punya ingatan yang lebih kuat dari pikiran.

Jari-jari pria itu. Suara beratnya. Klimaks yang membuatnya menangis.
Semuanya seperti ukiran di dagingnya sendiri.

Ia tahu ini gila. Tapi bagian terdalam dari dirinya… menginginkannya lagi.

Setelah berpakaian, ia membuka laptop dan mulai mencari data. Ia bukan wanita biasa. Ia jurnalis. Dulu, Maya dikenal sebagai pembongkar skandal politik dan penyamar ulung di berbagai negara.

Dan sekarang, targetnya hanya satu: mencari tahu siapa pria bertopeng itu.

Pertama, ia coba lacak data tamu kamar 213 selama 72 jam terakhir.

Tidak ada.

Lalu ia coba lacak CCTV lorong lantai dua.

Hilang.

“Mustahil,” gumamnya. “Tidak mungkin ini semua kebetulan.”

Ia turun ke meja resepsionis. Dengan wajah ramah dan nama samaran ‘Clara Virmana’, ia minta konfirmasi.

“Maaf, Mbak Clara… tidak ada data Anda pernah menginap di kamar 213. Bahkan tidak ada tamu yang tercatat masuk ke sana selama dua minggu terakhir. Kamar itu sedang... dalam perbaikan sistem listrik.”

Maya menegang. “Kamar itu tidak rusak. Saya—”

“Kalau Anda merasa ada masalah, kami bisa periksa lagi, tapi… data digital dan manual kami tidak mencatat aktivitas di kamar itu.”

Ia mundur. Matanya menatap papan nama pegawai.
Daniel. Resepsionis muda yang baru. Terlihat gugup, terlalu lugu.

Dan saat Maya berjalan menjauh, ia melihat sesuatu: di bawah seragam Daniel, ada bekas garis merah di lehernya. Seperti… bekas tali.

Atau... kerah.

Dia bagian dari ini. Semua orang di hotel ini bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Sebuah jaringan? Kultus? Permainan kekuasaan bertopeng layanan hotel?

Maya mulai meragukan segalanya.


Di kamar, Maya kembali membuka file-nya sendiri.

Ia mencoba akses email pribadinya: Login failed.
Akses ke cloud report jurnalistiknya: Unauthorized access.
Bahkan saat ia mengecek namanya di database media tempat ia bekerja dulu…

Nama “Maya Kania” tidak muncul.

Tidak ada artikel. Tidak ada arsip. Tidak ada jejak.

Dia mengecek dompetnya. Identitasnya berubah. Namanya bukan Maya Kania. Tapi benar-benar tercetak rapi di kartu: Clara Virmana.

Tangannya gemetar.

Dia mencoba mengingat kembali. Tapi malam itu... saat pria itu menyebut dirinya “Clara”… kenapa dia tidak protes? Kenapa dia membiarkan identitas itu masuk?

Seolah nama Maya Kania sudah mati.

Dan Clara Virmana… lahir di kamar 213.

BAB 7 – Klub di Bawah Tanah

Pagi itu, Maya bangun dengan jantung yang berdebar tanpa sebab. Kotak kayu pemberian misterius itu masih ada di meja kecil. Lingerie merahnya belum tersentuh, tapi kalung choker berinisial C... sudah melingkar di lehernya sejak tadi malam.
Entah kenapa, ia tak ingin melepaskannya.

Tak ada pesan baru. Tak ada suara. Tapi perasaannya mengatakan bahwa malam ini… akan berbeda.


Saat senja, Maya mengenakan gaun hitam ketat tanpa lengan, sepatu hak tinggi, dan lingerie merah itu di baliknya. Ia tidak tahu kenapa ia mengikuti dorongan ini, tapi tubuhnya seperti bergerak sendiri.

Di lift, ia menekan lantai B3. Sebuah lantai yang tak tertera dalam daftar tombol lift biasa. Tapi ketika ia menempelkan ujung choker ke panel tombol, angka B3 menyala... dan lift mulai bergerak ke bawah.

Ia tidak tahu seberapa jauh lift itu turun. Tapi saat pintu terbuka, Maya melangkah ke dunia lain.


Lorong bawah tanah itu hangat, wangi, dan dihiasi cahaya merah temaram. Musik slow jazz terdengar samar dari kejauhan, dan di dinding… lukisan erotik menggambarkan tubuh-tubuh dalam berbagai posisi penyerahan.

Di ujung lorong, terdapat dua pintu besar. Di atasnya tertulis dengan ukiran logam:

The Crimson Room
For those who dare to feel beyond flesh.

Dua penjaga bertopeng berdiri di sisi pintu. Tanpa bicara, mereka membukakan jalan. Dan Maya melangkah masuk.

Apa yang ia lihat di dalam membuat napasnya tertahan.

Ruang utama seperti galeri seni sekaligus altar sensual. Di sisi kiri, seorang wanita berkulit gelap sedang terbaring di atas meja marmer, tubuhnya telanjang dan dilukis dengan tinta emas oleh dua pria bertelanjang dada.
Di kanan, seorang pria sedang dirantai di tiang gantung, matanya ditutup kain, sementara seorang wanita mengenakan pakaian dominatrix menari mengelilinginya, mencambuk pelan tapi presisi.

Dan di tengah ruangan... seorang pria bertopeng putih berdiri di bawah lampu sorot.

Maya mendekat.

Namun saat pria itu berbicara... suaranya bukan suara pria yang menidurinya.

"Selamat datang kembali, Clara."

Maya tertegun. “Kau... bukan dia.”

"Benar. Tapi aku adalah penjaga gerbang. Dan kamu telah terpilih. Apa yang kau rasakan di Kamar 213 hanyalah pembuka. Tuanmu—yang sesungguhnya—masih menunggu. Di balik permainan yang lebih dalam. Jika kau siap.”

"Siapa kalian?" Maya menatap sekeliling. “Apa ini semacam sekte? Klub seks? Kultus psikologis?”

Pria itu hanya tertawa. “Kami bukan sekte. Kami bukan kultus. Kami adalah pengingat... bahwa tubuh manusia lebih jujur dari pikirannya. Dan kamu, Clara, telah membuka pintumu sendiri.”

Lalu ia mendekat. Jemarinya menyentuh dagu Maya.

“Sekarang kau harus memilih. Apakah kau ingin mundur, dan melupakan semuanya… atau kau ingin melangkah ke dalam ruang pribadi, di mana sang Tuan menunggu untuk membawamu ke batas terakhir dari kepasrahanmu?”

Maya terdiam.
Tubuhnya gemetar. Tapi bukan karena takut—melainkan karena dorongan yang lebih dalam. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika wartawan, apalagi etika.

“Bawa aku padanya.”

Pria bertopeng putih tersenyum.

Dia mengangguk ke arah dua wanita bertelanjang dada yang datang membawa jubah sutra merah dan kain penutup mata. Mereka memakaikannya ke Maya dengan lembut, mencium dahinya sebelum menuntunnya masuk ke balik tirai beludru hitam.

Dan saat tirai terbuka...

Ruangan itu kosong.

Tapi di tengahnya ada kursi, rantai beludru, dan sepasang tangan terentang… menunggu untuk menyentuh.

Lalu dari bayangan, suara itu muncul.
Suara yang dikenalnya.

“Akhirnya kau datang lagi, Clara.”

Dan Maya tersenyum, walau tubuhnya menegang.

Karena kali ini, dia tahu… ia tak hanya akan disentuh,
tapi dipecahkan.

BAB 8 – Mata yang Tak Terpejam

Suara pintu ditutup perlahan. Ruangan itu sepi, tapi bergetar.
Ada sesuatu dalam udara yang tidak bisa dijelaskan—panas, intens, menunggu.

Maya berdiri di tengah ruangan, masih dalam jubah merah dan mata tertutup kain hitam. Tapi telinganya mendengar langkah itu.

Pelan. Berat.
Penuh kendali.

“Kau masih memanggilku Tuan?” suara itu rendah. Tertahan di kerongkongan, seperti bara.

Maya mengangguk pelan. “Ya.”

Seketika kain di matanya ditarik.
Cahaya remang membuat pandangannya buram sesaat. Namun sosok itu tampak jelas: tubuh tinggi, dada bidang, dan topeng beludru hitam yang membingkai matanya seperti iblis aristokrat dari neraka pribadi.

“Lepaskan jubahmu.”

Maya menuruti. Perlahan. Jubah jatuh ke lantai, meninggalkannya hanya dalam lingerie merah dan kalung choker.
Ia berdiri tegap, walau hatinya berdegup cepat.

Tuan berjalan mengelilinginya. Jemarinya menyentuh kulit leher Maya, turun ke bahu, lalu ke punggung. Lembut, tapi ada tekanan yang mengintai.

“Sudah berapa kali kau menyentuh dirimu sendiri sejak malam itu?” tanyanya tiba-tiba.

Maya terdiam.

“Ayo, Clara. Jawab aku.”

“Tiga kali,” bisiknya. “Dan tak satupun berhasil membuatku keluar.”

Ia tertawa pelan. “Tentu tidak. Karena tubuhmu sudah dikunci. Kau tak akan bisa melepas apapun tanpa perintahku.”

Dan malam itu pun dimulai.


Maya dirantai pelan pada kursi beludru. Tangan di atas kepala, kaki mengangkang lebar di sandaran yang diposisikan khusus. Tubuhnya terbuka—rentan, terpapar, tapi anehnya… justru merasa kuat.

Tuan mengambil sesuatu dari meja: seutas tali hitam halus, dan sebuah vibrator kecil seukuran jari.

Ia tempelkan alat itu tepat di atas klitoris Maya. Menyalakannya di level rendah. Maya menggigit bibir.
Tubuhnya mulai menggeliat.

Namun saat ia mulai mendekati puncak, alat itu dimatikan.

Ia meringis. “Tuan…”

“Bukan saatnya. Kita baru mulai.”

Tali hitam itu dililitkan ke sekeliling pahanya. Mengencang, lalu mengendur. Ujungnya dimasukkan ke dalam mulutnya, menjadikannya pengganti kata-kata.

Kini hanya suara desah dan napas berat yang terdengar.

Maya tak tahu berapa lama permainan itu berlangsung. Ia dibuat hampir klimaks… lalu ditarik mundur. Berkali-kali. Hingga tubuhnya gemetar tanpa kendali, berkeringat, air matanya mengalir, bukan karena sakit…
tapi karena rasa lapar yang tak kunjung dipuaskan.

Akhirnya, Tuan mendekat, membuka celananya, dan memasuki Maya dengan satu dorongan yang dalam.

Maya menjerit—bukan karena sakit, tapi karena akhirnya… ia mendapatkan apa yang selama ini ditahan.

Gerakannya cepat, dalam, dan intens. Tuan memegang lehernya, mempercepat irama hingga tubuh Maya bergetar seperti dawai. Dan ketika akhirnya ia diperbolehkan mencapai klimaks, Maya menangis dalam orgasmenya.

Itu bukan sekadar pelepasan.

Itu kehancuran.

Dan dari kehancuran itu, lahir sesuatu yang lebih aneh: ketenangan.


Beberapa saat kemudian, ketika Maya tertidur dalam pelukan Tuan…

…kamera kecil di sudut ruangan menyala diam-diam.
Lensa mengatur fokus.
Cahaya infra merah berkedip.

Dan di ruangan lain, seseorang sedang menonton.

Pria berjas duduk di depan monitor. Di sekitarnya, layar-layar lain menampilkan gambar wanita-wanita berbeda dalam ruangan serupa. Tapi layar Maya—yang diberi nama sandi “Clara X-17”—adalah satu-satunya yang disorot penuh.

Pria itu menyalakan rekaman suara. Lalu berkata pada seseorang lewat radio:

“Subjek Clara menunjukkan kecanduan mental dan respons puncak terhadap stimulasi pengendalian.
Lanjutkan fase berikutnya.
Siapkan tahap pelepasan kendali.
Dan… pastikan dia tidak tahu bahwa eksperimen ini terekam.”

Layar kembali redup.
Dan Maya, masih dalam tidur lelahnya, tak tahu bahwa malam ini... adalah awal dari pengkhianatan terbesar terhadap dirinya sendiri.

BAB 9 – Wanita Bernama Salma

Maya terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya.
Kamar itu kosong. Tuan telah pergi tanpa jejak seperti biasanya.
Namun kali ini... ada bekas tangan di lengannya. Bukan satu, tapi dua.
Dan bukan milik Tuan.

Ia duduk. Napasnya tersengal.
Kenangan semalam terasa seperti mimpi basah yang dibumbui kabut racun.
Kepuasan, ya. Tapi... ada yang aneh.

Saat ia melangkah ke sudut kamar untuk mengambil jubah, ia melihat benda asing di lantai.
Sebuah lipstik.

Warna merah gelap.
Bukan miliknya.

Ia membungkuk, mengambilnya. Dan di bagian bawah lipstik itu, terukir huruf kecil:

"S."

Maya menatapnya lama, lalu menyembunyikannya di dalam bra. Sesuatu memberitahunya bahwa lipstik ini bukan sekadar barang kosmetik. Ini... sinyal.


Hari itu, Maya tidak kembali ke kamarnya. Ia berkeliaran di lorong bawah tanah yang sama, menghafal jalur-jalur tersembunyi. Di satu titik, ia menemukan ruang kecil dengan pintu kayu tua tanpa penjaga.

Ia mengetuk dua kali.

Tak ada jawaban.
Tapi saat ia hendak pergi—pintu itu terbuka sendiri.

Di dalamnya ada seorang wanita.
Tengah duduk, menyisir rambut panjangnya yang berwarna hitam pekat. Kulitnya sawo matang, matanya gelap tajam. Wajahnya asing, tapi sorot matanya... seolah mengenal Maya sejak lama.

"Masuklah, Clara," katanya pelan.

Maya waspada. “Siapa kau?”

Wanita itu tersenyum miris. “Namaku Salma. Dulu aku sepertimu. Dianggap ‘terpilih’. Dipuja. Dipakai.”

Maya membeku. “Apa maksudmu... dipakai?”

Salma berdiri, membuka bagian belakang lehernya. Terlihat bekas luka seperti implan kecil yang pernah dicabut paksa.
“Aku bagian dari eksperimen mereka. Sebuah ‘program’ yang menguji batas antara keinginan dan kendali. Mereka pikir mereka bisa menciptakan wanita sempurna—yang selalu tunduk, selalu basah, dan tidak pernah bertanya.”

“Program?” Maya merasa tubuhnya dingin.

Salma mengangguk. “Kau pikir kau memilih semuanya. Tapi coba kau ingat: sejak pertama kali kau menginjak kamar 213, seberapa banyak keputusan yang benar-benar berasal dari dirimu sendiri?”

Maya ingin menyangkal. Tapi kepalanya sakit.
Tiap adegan gairah, tiap permainan... semua terasa seperti dorongan tak kasat mata.
Dan tiba-tiba ia ingat—Tuan tidak pernah menyentuh wajahnya. Tidak pernah mencium bibirnya. Karena mungkin... dia juga tidak sepenuhnya tahu siapa dirinya sendiri.

Salma mendekat. Matanya serius.

“Dengarkan aku baik-baik. Di balik semua ini, ada seseorang yang mengendalikan para Tuan. Mereka adalah pion. Yang kamu hadapi bukan sekadar klub atau sekte. Ini proyek rahasia. Dan kita—wanita-wanita seperti kita—adalah kelinci percobaan.”

Maya menatap Salma. “Kenapa kau masih di sini?”

“Aku menunggu saat yang tepat untuk keluar. Tapi sekarang denganmu datang, mungkin saat itu sudah tiba.”
Salma menyelipkan secarik kertas kecil ke telapak tangan Maya. “Malam ini, jam 03.00. Koridor timur. Jangan ajak siapapun. Dan Clara…”

Salma menatapnya tajam.
“…kalau kau masih bisa merasakan marah dan takut, itu tandanya kau belum hilang sepenuhnya.”


Malam pun tiba.

Maya kembali ke kamarnya. Tidak ada kotak hadiah malam ini. Tidak ada Tuan.
Tapi dari lubang udara kecil di langit-langit... terdengar suara samar.

“Subjek X-17 mulai menunjukkan ketidakstabilan emosi.
Fase dua segera dimulai. Jika terjadi pembelotan, aktifkan protokol penghapusan memori.”

Maya menahan napas. Suara itu… suara dari balik dinding.

Dan tiba-tiba semuanya terasa jelas:

Ia tidak sedang bercinta. Ia sedang dikendalikan.

BAB 10 – Protokol Penghapusan

Pukul 02.55 dini hari.

Maya berdiri di balik tirai koridor timur. Tubuhnya dibalut pakaian ketat hitam yang dipinjamkan Salma, rambutnya digulung rapi, dan di saku dalam gaunnya… secarik kertas berisi kode darurat: kombinasi angka yang bisa membuka sistem otomatis di ruang kontrol pusat.

Ia memejamkan mata, mengatur napas.

Koridor ini terasa berbeda malam ini. Senyap. Terlalu senyap.


03.00 — tepat waktu.
Pintu kecil terbuka dari dinding tersembunyi. Salma muncul, tanpa suara.

“Ini waktunya,” bisiknya. “Kita harus masuk ke ruang inti di balik kamar Tuan—di sanalah semua disimpan: video, catatan eksperimen, identitas mereka.”

Mereka berlari pelan menyusuri lorong rahasia.
Lampu-lampu kecil menyala otomatis seiring langkah mereka.
Dinding di kiri-kanan dipenuhi foto-foto perempuan lain—semuanya memakai choker. Semuanya dengan ekspresi antara ekstasi dan kehancuran.

Maya ingin muntah. Tapi tak sempat.

Mereka tiba di depan pintu logam besar bertanda ACCESS RESTRICTED.
Salma mengeluarkan lencana kecil yang ia curi dari seorang pengawas beberapa minggu lalu.

Bip. Lampu hijau menyala. Pintu terbuka.

Dan dunia dalamnya… menghantam Maya seperti gelombang listrik.


Ruang itu penuh layar.

Ada puluhan kamera menampilkan kamar berbeda:
— wanita yang sedang menangis sambil memohon dilepas.
— seorang “Tuan” yang tengah pingsan di lantai, tubuhnya penuh bekas luka cambuk.
— dan di tengahnya… tampilan live dari kamar Maya sendiri, kosong, tapi aktif.

Lalu… muncul video lama.

Dirinya.
Tengah dirantai. Merintih. Mencium Tuan.
Tapi dalam slow motion, Maya melihat sesuatu yang selama ini luput.

Tatapan mata Tuan… kosong.

Bukan gairah. Tapi… programmed.

Salma membisikkan, “Mereka bukan dominator sejati. Mereka aktor. Diberi skenario. Dipasangkan dengan subjek berbeda setiap minggu. Disuplai obat penenang dan skrip."

Maya menggigil.

Salah satu layar memperlihatkan folder bernama X-17—file dirinya.

Status: Aktif
Kecenderungan: Submisif inkonsisten
Rekomendasi: Programkan ulang atau hapus memori jika membangkang

Dan saat itu—alarm berbunyi.

WEOOOOOP. WEOOOOOP.
Lampu merah menyala. Layar berkedip. Sistem mulai mengunci.

“Kita ketahuan!” teriak Salma. “Lari ke ruang pelepasan memori! Kita harus menghentikan mereka sebelum—”

BANG!

Pintu terbuka paksa.

Dan di sana berdiri… Tuan.

Tanpa topeng.

Wajahnya pucat, matanya merah, tapi penuh kebingungan.

“Maya…” bisiknya. “Kau... di sini?”

Dia tampak tak paham.

Salma menarik Maya. “Itu bukan pacarmu, bukan kekasihmu. Dia juga korban!”

Maya menatap Tuan. Dan di matanya, untuk pertama kalinya… ada kesadaran.

“Aku... mereka menyuruhku... menyentuhmu. Mereka menulis semuanya. Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya...”
Suara Tuan bergetar. “Aku bahkan tak ingat namaku sendiri.”


Maya memutuskan.

Ia berlari ke konsol utama, memasukkan kode dari kertas itu: 13-7-1-0-0
Layar berkedip. Sistem mulai wipe semua data.

“PERINGATAN: Ini akan menghapus semua rekaman, mengaktifkan pelepasan subjek, dan menonaktifkan seluruh protokol eksperimen. Apakah Anda yakin?”

Maya menekan: YES.

Listrik bergetar. Layar meledak satu per satu.
Lampu mati.

Dan di seluruh penjuru fasilitas, pintu-pintu kamar terbuka.
Wanita-wanita keluar dengan tubuh lemah, mata bingung, sebagian menangis, sebagian telanjang—tapi mereka semua… bebas.

Salma menjerit penuh kemenangan. Tuan memeluk Maya.

Tapi dari speaker terdengar suara terakhir dari sistem:

“Protokol penghapusan gagal 43%. Subjek X-17 masih dalam daftar aktif.
Memori tidak sepenuhnya dihapus.
Risiko gangguan psikologis... tinggi.”


Dua hari kemudian.

Maya duduk di kamar hotel tua di luar kota Arvella.
Salma sudah pergi ke luar negeri. Tuan... masih bersamanya, tapi diam.

Setiap malam Maya bermimpi aneh.
Tangannya menggigil saat menyentuh diri sendiri, tapi tidak bisa merasakan kenikmatan seperti dulu.
Wajah Tuan muncul dalam imajinasi, tapi suaranya selalu berubah.

Ia menatap ke cermin.

Kalung choker-nya masih melingkar.

Ia tak bisa melepaskannya.

Dan dalam bisikan halus, dari balik pikirannya sendiri...

“Clara... kau tidak bisa benar-benar keluar. Kau sudah diprogram. Kau… milik kami.”


EPILOG – Bayang-Bayang yang Tak Pernah Padam

Beberapa tahun telah berlalu.

Maya duduk di sebuah kafe kecil di pusat kota.
Wajahnya berbeda — lebih matang, lebih tegar. Tapi di balik matanya, tersimpan kerinduan dan luka yang tak sepenuhnya sembuh.

Di meja depan, laptop terbuka, layarnya menampilkan naskah buku barunya:
“Di Balik Rantai dan Nafas: Psikologi Erotika dan Kendali”

Buku itu menjadi bestseller, diakui banyak kalangan sebagai karya berani yang mengungkap sisi gelap hasrat manusia—tanpa kehilangan keindahan dan kerentanan.

Namun, saat Maya menyesap kopi hangatnya, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk:

“Apakah kau benar-benar bebas, Clara?
Atau kau masih milik kami?”

Maya membeku. Pesan itu tanpa nomor pengirim.
Ia menatap ke luar jendela, ke keramaian kota yang tak pernah tidur.

Tangan Maya mengepal di bawah meja, terasa berat seperti kalung choker yang tak pernah bisa ia lepaskan.

Dalam hati, ia tahu satu hal:

Perang ini belum usai.

Di suatu tempat, bayang-bayang itu masih mengintai.
Dan suatu saat, ia harus kembali bertarung—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua jiwa yang pernah terkunci dalam kegelapan.


THE END Season 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh