Rahasia di Balik Jas ( 21+ )
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Rahasia di Balik Jas
Genre: Romance Dewasa, Office Romance, Drama Psikologis
Rating: 21+
Sinopsis:
Alea, seorang sekretaris muda yang cerdas dan berdedikasi, tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat ia dipindahkan menjadi asisten pribadi CEO baru perusahaannya — Elric Mahendra. Dingin, perfeksionis, dan misterius, Elric terkenal sulit didekati, namun memiliki pesona yang mematikan. Di balik jam kerja yang melelahkan dan perintah-perintah tak masuk akal, hubungan mereka perlahan berubah... menjadi sesuatu yang melampaui batas profesional.
Namun, Elric menyimpan rahasia kelam. Dan Alea, dihadapkan pada pilihan: menyerah pada gairah, atau menjaga prinsipnya.
Bab 1: Asisten Baru untuk Sang Raja Es
"Mulai hari ini, kamu dipindahkan ke lantai eksekutif. Langsung lapor ke Pak Elric. Jangan bikin kesalahan."
Kata-kata itu masih terngiang saat Alea melangkah keluar dari lift kaca, menatap lantai 32 — tempat yang katanya hanya dihuni oleh para ‘raja’.
Pintu kantor CEO terbuka otomatis. Suasana sunyi, minimalis, dan... dingin. Seperti auranya.
"Masuk."
Suaranya berat. Dalam. Tanpa intonasi.
Alea melangkah pelan ke dalam ruangan besar itu, melewati meja marmer hitam dan jendela yang menghadap langsung ke langit Jakarta yang mendung.
Elric Mahendra duduk di belakang meja kerjanya. Kemeja putih pas badan dengan dasi gelap, tangan kirinya memainkan pena, dan mata tajamnya menelusuri Alea dari ujung kepala hingga kaki.
"Saya Alea, sekretaris baru Anda, Pak."
"Sudah tahu tugasmu?" tanyanya sambil kembali fokus pada layar laptop.
"Belum semua, Pak. Tapi saya—"
"Pelajari. Tidak ada ruang untuk kesalahan di sini. Dan satu hal lagi."
Alea mengangkat kepala, menatapnya.
"Di sini... saya tidak percaya pada hubungan profesional yang terlalu formal. Kalau kamu bisa mengikuti ritme saya, kamu akan baik-baik saja. Kalau tidak... ya, kamu tahu jalan keluar."
Kalimat itu terdengar biasa. Tapi sorot matanya — bukan sorot mata seorang atasan. Itu adalah tatapan pria yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau.
Dan Alea? Ia tidak tahu apakah ia baru saja membuka pintu menuju karier... atau ke dalam permainan berbahaya yang bisa menghancurkannya.
Bab 2: Lembur Tengah Malam
Jarum jam sudah melewati angka sepuluh malam. Lantai 32 sudah gelap, hanya satu ruangan yang masih menyala — kantor CEO.
Alea duduk di depan laptop, jari-jarinya mengetik cepat. Matanya mulai lelah, tapi suara Elric masih terdengar jelas di kepalanya:
“Rapat besok pagi jam delapan. Semua materi presentasi harus siap. Jangan pulang sebelum selesai.”
Ia mendesah pelan, mengikat rambutnya ke atas, dan mencoba fokus. Kantor itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya suara kipas pendingin dan detak jarum jam yang menemani.
“Masih di sini?”
Alea menoleh cepat. Elric berdiri di balik pintu kacanya yang terbuka. Kemejanya kini tidak lagi tertutup rapi — dua kancing teratas terbuka, dasinya dilonggarkan. Rambutnya sedikit acak, dan untuk pertama kalinya... ia terlihat manusiawi.
“Sedang menyusun data market share, Pak,” jawab Alea sambil berdiri.
Ia melangkah mendekat. “Terlalu kaku. Duduk saja. Saya bukan monster.”
Alea menelan ludah. Ada jarak lima langkah di antara mereka. Tapi aroma parfumnya... aroma maskulin yang mahal dan tajam, seperti kopi hitam dan hujan pertama, sudah memenuhi udara.
“Saya bisa lanjut dari sini,” katanya, menjaga nada suara tetap netral.
Tapi Elric tidak beranjak. Matanya mengunci pada Alea, seperti sedang menilai... atau mungkin sedang bermain.
“Kamu selalu patuh. Itu bagus. Tapi kamu juga terlalu tegang.”
Ia bersandar di pinggiran meja Alea. “Pernah berpikir meninggalkan pekerjaan ini?”
Alea mengerutkan kening. “Maaf, maksud Bapak?”
“Maksud saya... kamu terlalu baik untuk sekadar menjadi sekretaris.”
Kalimat itu menggantung. Suara detak jam terdengar makin keras.
“Dan kamu terlalu penuh misteri untuk sekadar seorang CEO,” balas Alea, spontan.
Hening.
Kemudian... Elric tersenyum. Senyum tipis, berbahaya.
“Akhirnya kamu berani bicara,” katanya sambil melirik layar laptop Alea. “Kirim draft presentasi ke email saya. Setelah itu...”
Tatapannya menajam, turun ke leher Alea yang sedikit terbuka karena kancing kemeja yang lepas. Suaranya menjadi lebih rendah.
“...biar saya sendiri yang mengecek sisanya.”
Alea tahu, itu bukan sekadar soal pekerjaan lagi.
Dan malam itu, di antara lembar-lembar presentasi dan kopi yang dingin, Alea sadar — ini bukan hanya soal karier. Ini adalah permainan perasaan, kuasa, dan batas yang semakin kabur.
Jika kamu suka alur ini, saya bisa lanjut ke Bab 3: Tawaran yang Tidak Bisa Ditolak, atau kembangkan subplot seperti rival cinta, rahasia masa lalu Elric, atau konflik personal Alea. Mau lanjut?
You said:
ChatGPT said:
Tentu! Berikut lanjutan cerita Bab 3: Tawaran yang Tidak Bisa Ditolak dari novel Di Balik Meja Kerja.
Bab 3: Tawaran yang Tidak Bisa Ditolak
Pagi itu, kantor terasa lebih dingin dari biasanya — bukan karena AC, tapi karena percakapan semalam yang terus berputar di kepala Alea.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca lift. Rambut disanggul rapi, bibir dilapisi lipstik nude, dan kemeja putihnya tertutup sempurna. Penampilan profesional. Tapi tidak ada riasan yang bisa menyembunyikan kegugupan yang tumbuh di dadanya.
Pintu lift terbuka.
“Pagi, Pak Elric,” sapa Alea sambil masuk ke ruangan.
CEO itu berdiri membelakangi jendela, berbicara di telepon dengan suara datar namun tegas. Matanya langsung melirik ke arah Alea begitu dia masuk. Tatapan itu… tidak berubah. Masih sama seperti tadi malam: penuh kendali.
“Ya. Batalkan makan siang dengan Komisaris Tyo. Saya ada agenda lain,” katanya singkat, lalu menutup telepon dan menatap Alea.
“Kamu ingat soal tawaran tadi malam?” tanyanya tanpa basa-basi.
Alea mengerutkan kening. “Tawaran?”
Elric berjalan pelan ke meja kerja, mengambil folder cokelat dan menyerahkannya padanya. “Jabatan baru. Asisten eksekutif khusus. Gajimu naik 40%. Fasilitas tambahan. Syaratnya… kamu ikut dalam semua perjalanan kerja saya. Mulai dari hari ini.”
Alea membuka folder itu. Kontrak kerja. Sudah ditandatangani di bagian CEO.
“Kamu serius?” bisiknya.
“Sangat.” Elric duduk, menyilangkan kaki. “Saya butuh seseorang yang cepat, cerdas… dan bisa saya percaya. Kamu sudah membuktikan itu.”
Alea membaca lembaran itu cepat. Semua tampak legal dan profesional. Tapi sesuatu terasa… tidak biasa.
“Kenapa saya?” tanyanya, menatap mata pria itu langsung.
Elric berdiri lagi, pelan, dan berjalan mendekat. “Karena kamu tahu bagaimana menjaga jarak… tapi kamu juga tahu bagaimana menembus batas itu kalau dibutuhkan.”
Jarak mereka hanya setengah meter sekarang. Napasnya tenang, nadanya dingin — tapi sorot matanya menyala.
“Saya bukan milik siapa pun, Pak,” ucap Alea tenang.
Elric menatapnya beberapa detik. Lalu tersenyum kecil.
“Bukan. Tapi semua orang punya harga. Saya cuma bertanya… berapa milikmu?”
Alea terdiam. Bukan karena marah — tapi karena terpicu.
Tawaran itu memang terdengar profesional. Tapi di balik formalitas kontrak dan angka gaji, ada sesuatu yang jauh lebih dalam: permainan kuasa. Uji kendali.
Dan entah kenapa… Alea tak ingin kalah.
“Baik, Pak,” ucapnya sambil menutup folder itu. “Saya terima. Tapi saya punya satu syarat.”
Elric menaikkan alis. “Apa itu?”
“Kalau saya ikut ke dalam permainan ini… pastikan Anda tidak jatuh cinta pada saya.”
Hening.
Lalu Elric tertawa kecil, suara rendah dan serak yang baru pertama kali Alea dengar.
“Deal,” katanya pelan.
Tapi dalam hati, keduanya tahu — tidak ada yang benar-benar bisa menjaga hati tetap netral dalam permainan seperti ini.
Bab 4: Perjalanan Bisnis ke Bali
Langit Bali sore itu memerah keemasan. Suara debur ombak terdengar samar dari balkon kamar hotel bintang lima di kawasan Seminyak. Angin membawa aroma laut yang asin dan segar.
Alea menatap kota dari balik kaca kamar, menggenggam ponselnya yang sunyi. Di sisi tempat tidur, koper kerjanya sudah terbuka, berisi blazer putih dan gaun formal yang baru dikeluarkan dari laundry hotel. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.
Rapat dengan investor Jepang selesai lebih awal. Mereka memuji presentasi Alea, dan Elric hanya memberikan satu anggukan tipis—tapi Alea tahu, itu berarti "kerja bagus" dalam bahasa Elric Mahendra.
Kini, malam menjelang. Dan ia belum juga keluar dari kamar.
Pesan teks masuk.
Elric:
Makan malam. 19.30. Restoran lantai bawah. Pakai sesuatu yang tidak terlalu sekretaris.
Alea terdiam. Jari-jarinya menari gugup di atas layar ponsel, tapi tak membalas.
“Tidak terlalu sekretaris?” gumamnya, setengah geli, setengah gugup.
Pukul 19.29
Langkah Alea terhenti di depan restoran hotel yang temaram. Ia mengenakan gaun satin berwarna emerald gelap, leher terbuka V, dengan belahan samar di sisi kanan kakinya. Riasannya tipis tapi tajam, rambutnya dikuncir rendah.
Saat ia masuk, Elric sudah duduk di meja pojok. Kemeja hitamnya dilipat di lengan, dua kancing terbuka. Ia sedang memutar gelas anggur di tangan kiri. Saat melihat Alea, ia mendongak... dan diam.
Pandangan mereka bertemu. Sekejap. Panjang. Tidak ada kata-kata.
Hanya tatapan yang lebih jujur dari biasanya.
“Kamu datang,” ucap Elric setelah Alea duduk.
“Karena Anda memerintahkan.”
Ia tersenyum tipis. “Kamu tahu itu bukan perintah.”
Alea menyesap air putih di depannya. “Kalau begitu... apa ini?”
Elric menyandarkan tubuhnya, matanya mengamati wajah Alea seolah sedang memecahkan teka-teki.
“Ini makan malam kerja. Tapi kalau kamu menginginkannya lebih dari itu...”
Ia berhenti sejenak. “Kamu hanya perlu bilang.”
Alea terdiam. Jantungnya berdetak terlalu cepat.
“Dan kalau saya tidak mau?” tantangnya.
Elric mencondongkan tubuh, mendekat sedikit. Suaranya menjadi bisikan.
“Maka saya akan tetap duduk di sini... dan pura-pura tidak tergoda.”
Malam itu berjalan dengan percakapan ringan yang lama-kelamaan berubah menjadi obrolan pribadi. Tentang masa kuliah Alea, tentang hobi Elric membaca buku-buku sejarah militer, tentang bagaimana mereka sama-sama tidak percaya pada cinta.
Hingga akhirnya...
Mereka kembali ke lantai kamar masing-masing.
Atau seharusnya begitu.
Pukul 22.43
Alea membuka pintu kamarnya. Tapi langkahnya terhenti. Di lorong hotel yang remang, Elric berdiri—masih mengenakan kemeja hitamnya, tangan di saku.
“Ada yang tertinggal?” tanyanya pelan.
“Ya,” jawab Elric. “Kata penutup.”
Alea mengernyit. “Maksudnya?”
Langkah Elric mendekat.
Dan tanpa banyak bicara, ia bersandar ke dinding di sisi pintu, menatap Alea dengan cara yang belum pernah ia lakukan sebelumnya — tidak seperti atasan, tidak seperti pria sok kuasa.
Tapi seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan sesuatu yang tak bisa diredam.
“Kalau kamu minta saya berhenti sekarang... saya akan berhenti,” ucapnya lirih.
Dan Alea tahu... inilah titiknya.
Perbatasan itu kini nyaris lenyap. Yang tersisa hanya satu langkah.
Ia menatap matanya.
Dan tidak berkata apa-apa.
Hanya menarik Elric masuk ke dalam kamar.
Pintu tertutup perlahan.
Dan malam Bali menyelimuti dua manusia yang akhirnya berhenti bersembunyi di balik jabatan, status, dan rasa takut mereka sendiri.
Bab 5: Pagi yang Terlalu Nyata
Cahaya matahari menelusup pelan dari sela-sela tirai. Udara kamar hotel beraroma linen bersih dan... keheningan yang aneh. Alea membuka matanya perlahan.
Ia masih terbaring di ranjang hotel, selimut melingkari tubuhnya. Sebelah sisi ranjang kosong — hanya lipatan sprei dan sisa kehangatan yang perlahan menghilang.
Ia menoleh ke arah meja di dekat tempat tidur.
Sepotong catatan kertas kecil tergeletak di sana. Tulisan tangan Elric, tegas dan rapi:
“Rapat jam 9. Sarapan ada di ruang makan. – E”
Tak ada ucapan "terima kasih". Tak ada "maaf". Tak ada "selamat pagi".
Alea duduk, menyentuh dahinya. Ia tidak menyesali apa yang terjadi tadi malam. Tidak sepenuhnya. Tapi ada sesuatu yang terasa... ganjil. Terlalu tenang. Terlalu terkontrol.
Ia bangkit, berjalan pelan menuju kamar mandi. Dalam cermin, ia melihat dirinya sendiri — wajahnya polos, lehernya masih memerah samar, dan matanya...
Mata seorang perempuan yang baru menyadari: permainan ini telah berubah.
Pukul 08.47 – Ruang Meeting Hotel
Elric berdiri di depan layar presentasi, menjelaskan rencana ekspansi ke mitra asing yang duduk mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia bicara percaya diri, tenang, dingin. Seolah semalam tidak pernah terjadi.
Alea duduk di sisi kanan ruangan, mencatat poin-poin penting. Tangan kanannya bergerak cekatan, tapi dalam kepalanya... ia hanya berpikir satu hal: Kenapa rasanya ini lebih dingin dari biasanya?
Saat rapat selesai, semua orang bubar. Hanya Alea yang masih di dalam ruangan, membereskan dokumen. Elric berdiri di belakangnya.
“Kamu tidur cukup?” tanyanya pelan.
Alea berhenti sejenak, lalu mengangguk tanpa menoleh. “Cukup.”
“Kalau ada yang mengganggu... katakan saja.”
Kali ini, ia menoleh. Menatap pria itu.
“Kalau begitu saya tanya satu hal,” ucapnya. “Apa ini hanya sekali? Malam itu.”
Elric menghela napas pelan, lalu berjalan ke arah jendela. Pandangannya lurus ke laut biru jauh di bawah sana.
“Kalau saya jawab ‘ya’, kamu kecewa?”
“Kalau saya jawab ‘tidak’, kamu berharap lebih?”
Alea terdiam.
“Elric... saya bukan anak kecil. Tapi saya juga bukan seseorang yang bisa dipakai lalu diabaikan,” katanya, pelan tapi tegas.
Elric menatapnya, untuk pertama kalinya terlihat ragu.
“Aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya tidak tahu... bagaimana memperlakukan seseorang yang berhasil menembus dinding yang selama ini kukunci rapat.”
Alea menggigit bibir. Jawaban itu jujur. Tapi tidak cukup.
“Kalau kamu tidak siap... jangan undang aku masuk,” katanya sebelum berbalik meninggalkan ruangan.
Dan untuk pertama kalinya, Elric Mahendra tidak tahu harus mengejarnya atau membiarkannya pergi.
Karena pagi itu terlalu nyata. Terlalu sunyi. Terlalu penuh dengan sesuatu yang tak pernah mereka rencanakan: perasaan.
Bab 6: Munculnya Mantan Tunangan Elric
Jakarta kembali menyambut Alea dengan riuh dan debu. Setelah dua hari di Bali yang terasa seperti mimpi (atau mungkin mimpi buruk yang belum selesai), ia kembali ke lantai 32 dengan kepala tegak. Elric tidak banyak bicara selama perjalanan pulang. Profesional. Dingin. Seperti biasanya. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tapi justru itu yang membuat Alea mulai menyadari: ia tidak bisa kembali jadi ‘biasa saja’.
Pukul 11.13 – Ruang Rapat Internal
Alea sedang mempersiapkan berkas-berkas untuk rapat saat sebuah suara asing terdengar di balik pintu kaca.
Suara perempuan. Lembut... tapi tajam.
“Aku hanya akan lima menit. Elric pasti mau bertemu.”
Alea menoleh. Seorang wanita anggun berdiri di depan resepsionis privat. Tinggi, mengenakan gaun hitam yang simpel namun mahal. Rambut panjang bergelombang sempurna. Wajahnya cantik — cantik versi majalah mode, bukan sekadar sosialita biasa.
Resepsionis tampak ragu, tapi wanita itu sudah mendorong pintu ruang kerja CEO tanpa menunggu izin.
Alea mengejar, menahan napas.
“Permisi, Anda—”
Terlambat. Pintu sudah terbuka.
Dan Elric... berdiri dari kursinya begitu melihat siapa yang datang.
“Clarissa,” ucapnya. Suaranya berbeda. Terkejut. Nyaris... lembut.
Wanita itu tersenyum kecil. “Sudah lama ya, Ric.”
Alea berdiri di ambang pintu, kebingungan.
“Elric, siapa dia?” tanyanya akhirnya.
Clarissa menoleh, tersenyum sopan.
“Clarissa Amandira. Mantan tunangannya.”
Dunia Alea berhenti selama tiga detik.
Dan Elric? Hanya menunduk sedikit, seolah sedang dihukum oleh masa lalunya sendiri.
Pukul 12.47 – Pantry Lantai 32
Alea berdiri di dekat mesin kopi. Tangannya gemetar sedikit saat menuangkan air panas.
“Aku bisa jelaskan,” kata suara di belakangnya.
Elric.
“Kamu nggak harus,” balas Alea cepat. “Itu urusan pribadi.”
“Dia datang tiba-tiba. Aku nggak undang.”
Alea menatap kopi yang belum tersentuh. “Tapi dia tahu kamu. Dia tahu kantormu. Dan kamu nggak terlihat terganggu sama sekali.”
Elric menghela napas, bersandar ke meja dekatnya.
“Kami hampir menikah dua tahun lalu. Tapi dia pergi. Mendadak. Tanpa alasan. Hari ini... dia muncul lagi.”
Alea ingin marah. Tapi lebih dari itu — ia takut.
“Kalau dia datang untuk kembali?” tanya Alea pelan.
Elric menatapnya. Lama. Dalam.
“Kalau dia datang untuk kembali... dia terlambat,” jawabnya tegas.
Tapi entah kenapa, kata-kata itu tak cukup meredakan sesak di dada Alea.
Karena Alea tahu satu hal yang Elric belum siap akui:
Clarissa bukan hanya bagian dari masa lalu. Ia adalah ancaman yang bisa merebut masa depan yang belum sempat dibangun.
Bab 7: Jarak yang Terlalu Dekat
Beberapa hari setelah kedatangan Clarissa, suasana di lantai 32 berubah. Elric jadi lebih sibuk — atau pura-pura sibuk. Ia tidak lagi mengajak Alea makan siang. Tatapannya kini lebih pendek, lebih formal, dan lebih dingin. Tapi setiap kali mereka bersentuhan dalam jarak dekat... udara di sekitarnya masih mengandung listrik.
Hari itu, hujan deras turun membasahi kaca-kaca tinggi gedung kantor. Suara gemuruh petir menjadi latar suasana rapat evaluasi internal yang tertunda karena investor asing terlambat datang.
Alea sedang sendirian di ruang rapat. Ia menyusun ulang materi di layar saat Elric masuk diam-diam.
Pintu tertutup otomatis. Kedap suara.
Ia tidak membawa laptop. Tidak membawa berkas. Hanya dirinya — berdiri di sana, dalam jas hitam yang basah di pundaknya, dan tatapan yang tak bisa lagi disembunyikan.
“Kita harus bicara,” katanya.
Alea tidak menoleh. “Tentang apa? Tentang Clarissa?”
“Bukan.”
Ia menatap layar, tapi tak bisa fokus. Elric berjalan perlahan mendekat. Ada aura lain dari langkahnya. Seperti pria yang tidak sedang jadi CEO — tapi pria yang sedang menahan sesuatu terlalu lama.
“Tentang kita.”
Kini ia berdiri di belakang Alea. Napasnya nyaris menyentuh tengkuknya. Jarak mereka tak lebih dari sepuluh sentimeter.
“Kamu menarik diri,” kata Elric, pelan.
“Kamu juga,” bisik Alea, nyaris tak terdengar.
Tangannya terulur, menyentuh pinggang Alea dari belakang. Lembut. Tidak mendesak. Tapi jelas.
“Kamu pikir aku bisa menyentuhmu seperti malam itu... lalu melupakan rasanya?”
“Elric…”
Ia berbalik.
Dan detik itu juga — bibir mereka bertemu.
Bukan ciuman sopan. Bukan juga terburu-buru. Tapi panas, dalam, dan penuh frustasi. Tangan Elric memegang tengkuk Alea, menarik tubuhnya lebih dekat. Bibirnya bergerak, menuntut, menjawab semua pertanyaan yang selama ini tak terucap.
Alea melingkarkan tangannya di leher pria itu. Dunia di luar kaca yang disiram hujan menghilang. Hanya ada mereka, dan dentuman jantung yang berlomba dengan suara badai.
Saat mereka berpisah sejenak, Elric menatapnya dalam-dalam.
“Aku inginmu. Bukan cuma di malam hotel itu. Tapi sekarang. Di sini.”
Alea menggeleng pelan, matanya masih setengah terpejam. “Kita bisa kehilangan semuanya…”
Elric menunduk, menyentuh bibirnya lagi. Lebih pelan. Lebih berbahaya.
“Aku lebih takut kehilangan kamu.”
Bab 8: Malam Kedua yang Tidak Direncanakan
Langit Jakarta masih diguyur hujan saat jam kerja usai. Lantai 32 mulai sepi. Hanya Alea yang masih di depan layar komputer, mencoba fokus menyelesaikan laporan yang diminta Elric sore tadi — walau pikirannya tak benar-benar di sana.
Di luar, suara lift terbuka. Alea mengira itu cleaning service. Tapi langkah kaki yang menghampiri terlalu mantap. Terlalu familiar.
“Elric?” ucapnya pelan saat pria itu berdiri di depan mejanya, basah oleh sisa gerimis.
“Aku bisa antar kamu pulang.”
Alea menatapnya, mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi mulutnya berkata, “Oke.”
Di dalam mobil
Suasana di antara mereka sunyi. Tapi bukan canggung. Lebih seperti... gelombang listrik yang tertahan. Tangan Elric sesekali mengepal di setir. Alea melirik ke jendela, tapi sesekali pandangan mereka bertemu di cermin tengah. Tidak ada yang bicara soal Clarissa. Tidak ada yang membahas ruang rapat sore tadi.
Mobil berhenti di depan apartemen Alea.
Tapi tak satu pun dari mereka bergerak.
“Elric...”
“Kamu tahu aku nggak akan pura-pura nggak menginginkanmu.”
“Dan aku juga bukan perempuan yang suka jadi pelarian,” jawab Alea tajam.
Elric menatapnya. “Kamu bukan pelarian. Kamu adalah hal yang selama ini aku hindari — karena terlalu nyata.”
Hening.
Lalu Elric menurunkan rem tangan. “Naik. Hanya kalau kamu mau.”
Alea membuka pintu. Keluar. Hujan gerimis membasahi rambutnya.
Lalu ia menoleh ke Elric dan berkata, “Ayo naik.”
Di dalam apartemen Alea
Pintu tertutup. Lampu ruang tengah temaram. Sisa air hujan menetes dari rambut mereka, membasahi lantai marmer.
Tak ada kata.
Elric mendekat. Tangannya menyentuh wajah Alea, menyeka air hujan dari pipinya. Sentuhannya hangat. Jantung Alea berdegup terlalu keras saat Elric menunduk... mencium lehernya, perlahan.
“Masih ada waktu buat berhenti,” bisik Elric.
“Jangan berhenti,” balas Alea tanpa ragu.
Ciuman mereka pecah — panas, haus, lebih dalam dari sebelumnya. Tubuh mereka saling menarik, saling menemukan ritme. Jas Elric terlepas lebih dulu. Lalu kancing demi kancing blus Alea dibuka dengan tangan gemetar, seolah setiap helai kain adalah batas terakhir pertahanan yang selama ini dijaga.
Mereka tidak bicara.
Tubuh mereka bicara lebih jujur.
Elric membaringkan Alea di sofa, mencium setiap inci kulitnya seperti sedang membaca puisi diam-diam yang tak pernah ia berani tulis. Alea menenggelamkan jemarinya di rambut Elric, menarik napasnya di antara ciuman dan desir kulit ke kulit.
Di ruangan kecil itu, tidak ada status. Tidak ada masa lalu. Tidak ada Clarissa.
Hanya dua manusia yang akhirnya berhenti bersembunyi dari hasrat.
Malam pun bergulir — panas, panjang, dan terlalu nyata untuk disangkal lagi.
Pagi berikutnya…
Alea terbangun dalam selimut tipis. Di sampingnya, Elric masih tertidur, satu tangan memeluk pinggangnya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa... aman.
Tapi ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Kamu pikir dia milikmu sekarang? Hati-hati, Alea. Beberapa pria cuma mencari ganti yang lebih muda.”
Nama pengirim tidak ada.
Tapi Alea tahu...
Clarissa sudah tahu segalanya.
Bab 9: Clarissa Mengancam Alea Secara Langsung
Hari itu, langit Jakarta tak secerah biasanya. Langkah Alea terasa berat saat memasuki kantor. Wajahnya tenang, tapi dadanya penuh tanda tanya—dan satu kalimat dari pesan semalam terus bergaung:
“Beberapa pria cuma mencari ganti yang lebih muda.”
Ia tidak memberi tahu Elric. Belum. Karena bagian terdalam dari dirinya belum yakin: apakah Elric benar-benar miliknya… atau hanya sedang mencari pelarian yang terasa hangat untuk sementara?
Pukul 11.00, Alea diminta turun ke lobi oleh resepsionis.
“Ada yang mengaku ingin membahas kerja sama, tapi menyebut nama Mbak Alea langsung.”
Alea turun. Saat pintu lift terbuka, jantungnya seperti berhenti berdetak.
Clarissa.
Berpakaian putih gading, duduk dengan anggun di kafe kecil di sudut lobi. Matanya langsung menangkap Alea dan tersenyum seolah mereka sahabat lama.
Alea mendekat. “Kamu minta aku ke sini?”
Clarissa mengangguk, lalu menyesap cappuccino-nya. “Tenang, ini bukan drama sinetron. Aku cuma ingin bicara... sebagai perempuan.”
Alea duduk, menjaga ekspresi wajah tetap tenang.
“Kamu tahu soal aku dan Elric dulu. Aku juga tahu soal kamu dan dia sekarang,” ucap Clarissa, langsung ke inti.
Alea menatapnya, tidak menyangkal. “Kalau kamu sudah tahu, kenapa harus ada pertemuan ini?”
Clarissa tersenyum manis, tapi matanya tajam.
“Karena aku mengenal Elric lebih lama daripada kamu mengenal perusahaan ini. Aku tahu ritmenya. Pola pikirnya. Dan... kelemahannya.”
Alea mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Clarissa mendekat sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan:
“Dia tidak pernah tahan dengan komitmen. Dia bisa tergila-gila — iya. Tapi hanya sebentar. Kamu pikir kamu yang pertama? Aku juga dulu berpikir begitu.”
Alea menahan napas, tapi tidak terpancing.
“Kalau kamu yakin dengan itu, kenapa kamu kembali?”
Clarissa menatapnya lekat-lekat.
“Karena aku tidak suka kalah dari seseorang yang bahkan belum cukup lama berdiri di sisinya. Dan percayalah, Alea... kamu bukan cinta pertama Elric. Kamu hanya gangguan yang datang di waktu salah.”
Alea berdiri, mengambil tasnya perlahan.
“Tapi mungkin justru aku gangguan yang datang di waktu paling tepat.”
Ia melangkah pergi.
Tapi Clarissa menyusul satu kalimat lagi, tajam seperti pisau:
“Kalau kamu pintar, kamu akan pergi sebelum semuanya runtuh — kariermu, reputasimu… dan hatimu sendiri.”
Di lantai 32 – Sore hari
Elric menatap Alea yang duduk diam di ruangannya.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Alea menatapnya balik. “Clarissa menemuiku.”
Wajah Elric langsung berubah.
“Apa yang dia bilang?”
“Hal-hal yang... aku sendiri belum tahu harus percaya atau tidak.”
Elric menghampirinya, berdiri tepat di depannya.
“Kamu percaya aku, Alea?”
Alea mendongak.
“Lebih dari yang seharusnya.”
Mereka saling menatap. Tapi untuk pertama kalinya — bukan karena rindu. Tapi karena ketakutan.
Karena di balik hasrat dan ciuman yang panas, kini berdiri sebuah bayangan yang lebih gelap: ketidakpastian.
Bab 10: Ultimatum
Hari Senin datang dengan panggilan rapat darurat dari dewan direksi.
Alea tidak tahu apa-apa—hingga sore hari, saat Elric memintanya diam-diam ke ruangannya. Wajahnya tegang. Tidak seperti biasanya.
“Mereka tahu,” ucap Elric pelan.
Alea menatapnya, jantung mencelos. “Tahu… soal kita?”
Elric mengangguk.
“Seseorang melaporkan hubungan kita sebagai pelanggaran etika internal. Mereka minta aku bersikap: profesional… atau personal.”
“Kamu diultimatum?” Alea bertanya dengan suara hampir tak keluar.
“Lebih dari itu. Kalau aku tetap mempertahankan kamu sebagai sekretarisku, posisiku bisa dipertanyakan.”
Alea terdiam. Tapi bukan karena takut—karena hancur.
“Jadi, kamu harus memilih.”
Elric menatap matanya, tenang tapi rapuh.
“Dan aku ingin kamu tahu... aku nggak akan memilih posisi di atas kamu.”
Alea tersenyum kecil. Tapi matanya berkaca-kaca.
“Justru karena itu, aku yang harus pergi.”
Bab 11: Kepergian Diam-Diam
Pagi berikutnya, Alea datang lebih awal. Ia membersihkan mejanya perlahan. Menghapus semua file pribadinya. Menaruh ID card di laci, bersama catatan kecil bertuliskan:
"Terima kasih untuk semua kenangan. Tapi kamu pantas mempertahankan segalanya tanpa kehilangan apa pun. Bahkan aku." – A
Elric datang beberapa menit kemudian, dan ruangannya kosong.
Ia mengangkat telepon, menghubungi HR. “Alea?”
“Resign hari ini, Pak. Suratnya masuk tadi subuh via email.”
“Apa alasan dia?”
Hening.
"Pribadi, dan tak ingin jadi beban perusahaan."
Elric menjatuhkan ponsel. Diam. Lalu mengambil jas dan pergi tanpa kata.
Hari-hari berlalu.
Alea menghindari semua pesan Elric. Ia pindah ke coworking space kecil, bekerja freelance. Menyibukkan diri, seolah semua itu tidak terjadi.
Hingga suatu malam, di sebuah acara pitching start-up, ia mendengar nama yang tak asing di panggung:
"Clarissa Amandira – Co-founder Venera Capital."
Wanita itu berdiri penuh percaya diri. Tapi Alea melihat sesuatu yang aneh — mata Clarissa menyapu ruangan dengan gelisah. Dan saat mata mereka bertemu… Clarissa memalingkan wajah.
Alea tahu. Ada sesuatu yang Clarissa sembunyikan.
Bab 12: Rahasia Clarissa
Keesokan harinya, Alea membuka laptop, mulai mencari tahu.
Dan akhirnya, ia menemukan artikel lama di koran bisnis internasional:
"Clarissa Amandira mengundurkan diri dari proyek merger dua perusahaan besar setelah diduga membocorkan strategi internal untuk keuntungan pribadi—kasus diselesaikan secara diam-diam."
Tapi yang lebih mengejutkan, adalah kutipan dari salah satu komisaris proyek:
"Kami terpaksa mengakhiri kerja sama. Tapi CEO kami waktu itu bersikeras untuk tidak memperpanjang kasus secara hukum. Ternyata… ia masih mencintainya.”
CEO proyek merger itu adalah: Elric Adinegara.
Alea tertegun. Jadi… bukan Clarissa yang pergi.
Elric yang menyelamatkan Clarissa dari kehancuran.
Dan kini, wanita itu kembali — bukan karena cinta, tapi karena utang yang belum lunas.
Alea sadar: ia tidak bisa diam.
Di akhir Bab 12, Alea mengambil ponsel. Menghapus semua draft pesan yang belum pernah ia kirim. Lalu menulis satu kalimat:
"Kita perlu bicara. Tentang kamu. Tentang dia. Dan tentang aku… yang belum selesai mencintaimu."
Ia tekan kirim.
Dan malam itu, Elric membalas dengan satu kalimat:
"Datanglah. Aku belum selesai menunggu."
Bab 13: Pertemuan Kembali yang Meledak
Hujan belum berhenti sejak sore. Jakarta dibasahi langit kelabu, seperti menunggu sesuatu yang belum selesai turun dari langit — atau dari hati yang lama tertahan.
Alea berdiri di depan gedung Adinegara Group, mengenakan mantel hitam dan membawa satu koper kecil. Ia tidak tahu kenapa membawa koper. Tapi sesuatu dalam dirinya merasa, malam ini, ia tidak akan pulang sebagai orang yang sama.
Elric menunggu di penthouse-nya, lantai 45. Di ruangan yang dulu terasa seperti benteng tak tersentuh—kini terasa seperti ruang pengakuan yang terlalu senyap.
Begitu pintu terbuka, Elric berdiri di sana.
Bukan dengan jas. Tapi dengan kemeja putih yang setengah terbuka, lengan digulung, dan mata yang tidak bisa menyembunyikan betapa hancurnya ia sejak kepergian Alea.
"Aku nggak tahu kamu bakal datang beneran," katanya pelan.
Alea menatapnya dalam-dalam. “Aku juga nggak tahu... apakah harusnya aku datang.”
Mereka saling diam. Tapi jarak tubuh mereka seperti medan magnet: saling tarik, saling tolak, lalu akhirnya—menyerah.
Alea meletakkan koper di dekat sofa, lalu melangkah mendekat.
“Elric… aku tahu semua soal Clarissa. Soal masa lalumu. Soal alasan kenapa kamu tetap melindunginya waktu itu.”
Elric menunduk. “Aku kira kalau aku bisa menyelamatkan satu hal, aku bisa menebus semua kesalahan yang pernah kulakukan.”
“Tapi kamu nggak bisa terus menebus masa lalu dengan menghancurkan masa depan, Ric.”
Hening. Mata mereka bertemu. Kali ini tanpa gengsi, tanpa topeng.
“Aku pergi karena aku pikir aku melindungi kamu.”
Elric menggenggam tangan Alea.
“Dan aku membiarkanmu pergi… karena aku pikir aku menghancakan kamu.”
Mereka tertawa kecil. Pahit. Lelah.
Dan kemudian, tanpa aba-aba — Elric mencium Alea.
Tidak tergesa.
Tapi penuh amarah, rindu, dan pengakuan.
Tubuh mereka saling menemukan lagi. Tidak dengan kemarahan atau gairah kosong, tapi dengan pelukan yang dalam dan ciuman yang seperti ingin menambal semua celah luka yang belum sembuh.
Mereka tenggelam di sofa. Jemari Elric menjelajahi lekuk punggung Alea, menarik kain satu per satu, bukan sekadar karena ingin, tapi karena ia butuh mengingat rasanya: rasa memiliki. Alea menarik napas di antara ciuman, tangannya menggenggam kerah Elric, seolah ingin memastikan pria itu nyata.
Di tengah suara hujan yang menepuk-nepuk kaca jendela, suara mereka memenuhi ruang — bisikan, erangan, tawa pendek yang gugup. Bukan malam yang sempurna.
Tapi malam yang jujur.
Ketika semuanya selesai, mereka terbaring diam.
Elric menatap langit-langit, lalu berbisik, “Apa kamu akan tinggal?”
Alea menoleh, matanya lelah tapi hangat.
“Kalau aku tinggal, kamu nggak akan menyelamatkanku. Kita akan menyelamatkan satu sama lain.”
Bab 14: Clarissa Membuka Skandal
Dua minggu setelah malam itu, hubungan Alea dan Elric perlahan kembali menghangat. Mereka belum mengumumkan apapun secara resmi, tapi rekan-rekan dekat mulai bisa menebak — dari senyum Elric yang jarang terlihat selama ini, dan dari tatapan Alea yang tak lagi menyimpan jarak.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Suatu pagi, layar-layar digital di lobi kantor menayangkan berita:
“Skandal Cinta CEO Adinegara: Mantan Kekasih Ungkap Hubungan Gelap di Kantor”
Foto mereka — Elric dan Alea, saat turun dari mobil yang sama di Bali — tersebar di semua media.
Clarissa akhirnya memainkan kartu terakhirnya: menggunakan media untuk menjatuhkan keduanya sekaligus.
Dan kali ini, ia tidak main-main.
Ia mengungkap email, jadwal meeting, bahkan bukti transfer pribadi yang dibuat seolah-olah Alea mendapat “privilege” sebagai pegawai karena hubungan khusus.
Dalam waktu dua hari, saham Adinegara Group anjlok 8%.
Bab 15: Konferensi Pers
Elric dipanggil oleh dewan.
“Kalau kamu tidak bersih dari ini, perusahaan akan memintamu mengundurkan diri. Kamu bukan cuma Elric pribadi. Kamu adalah wajah grup ini,” kata salah satu komisaris senior dengan dingin.
Alea tahu: jika Elric bersikeras mempertahankannya, kariernya habis. Jika dia menyangkal hubungan mereka, harga diri Alea hancur.
Jadi sebelum Elric membuat pilihan… Alea yang bicara lebih dulu.
Ia mengadakan konferensi pers dadakan di lobi Adinegara. Sendiri. Dengan blazer abu-abu dan tatapan tak gentar.
“Aku tidak akan menyangkal bahwa aku memiliki hubungan pribadi dengan CEO perusahaan ini. Tapi aku juga tidak akan biarkan diriku — atau wanita manapun — dianggap sukses hanya karena dia dicintai seseorang yang lebih kuat darinya.”
Wartawan berbisik-bisik. Kamera mengambil foto dari segala arah.
Alea tersenyum kecil dan menambahkan, “Aku akan mundur, bukan karena aku kalah, tapi karena aku lebih memilih berdiri untuk diri sendiri... daripada hidup dalam perlindungan orang lain.”
Bab 16: Tawaran Pernikahan di Tengah Hujan Media
Malam harinya, Alea berjalan pulang dari stasiun. Hujan deras. Lagi-lagi hujan, seperti awal mula semua ini.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti. Elric keluar, membawa payung.
Dia tidak bicara. Hanya berdiri di depan Alea, menatapnya. Lalu membuka jasnya, memperlihatkan sesuatu:
Kotak cincin.
“Kalau kamu mau hidup sendiri, aku terima. Tapi kalau kamu mau hidup berdampingan… aku sudah siap.”
Alea menahan napas.
"Ini bukan soal perusahaan. Bukan soal reputasi. Ini cuma tentang kamu dan aku."
Hujan semakin deras.
Alea mendekat. Menatap Elric dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau kamu siap dicintai tanpa jabatan, tanpa nama keluarga besar, tanpa prestise… maka aku siap mencintaimu tanpa bayangan masa lalu.”
Elric tersenyum, lalu berlutut.
"Jadi?"
Alea mengangguk, perlahan.
Dan untuk pertama kalinya, bukan ciuman, bukan kata-kata, tapi air mata dan pelukan di bawah hujan yang menjawab semuanya.
Epilog: Satu Tahun Kemudian
Satu tahun berlalu.
Alea kini menjadi pendiri startup konsultan etika korporat — memberikan pelatihan agar kantor-kantor besar tak lagi menjadi ladang kekuasaan terselubung.
Elric? Masih CEO. Tapi kini dikenal bukan karena kekuasaan, melainkan karena keberaniannya mengakui cinta… dan mengubah cara perusahaan memandang relasi manusia.
Mereka menikah secara tertutup.
Bukan untuk bersembunyi.
Tapi karena mereka tahu…
“Cinta yang nyata tidak butuh pengakuan dunia. Tapi dunia perlu belajar dari cinta yang nyata.”
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar