Rahasia di Balik Mata Elara

 Rahasia di Balik Mata Elara


Genre: Romance, Drama, Psychological, Mystery
Target: 16+ pembaca, penggemar kisah emosional dan penuh rahasia
Setting: Kota fiksi bernama Velmora, dengan atmosfer urban-modern tapi menyimpan banyak misteri di balik bangunan klasiknya.


🌙 Sinopsis:

Elara, seorang gadis 20 tahun dengan masa lalu kelam yang disembunyikannya mati-matian, menjalani hidup sebagai asisten pustakawan di sebuah universitas tua di kota Velmora. Hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan Kael, mahasiswa pindahan dengan mata dingin dan senyum sinis, yang anehnya, bisa membaca luka batin orang lain hanya dengan menatap mata mereka.

Kael tertarik pada Elara bukan karena kecantikannya, melainkan karena… dia tak bisa membaca apa pun dari mata Elara.

Saat hubungan mereka semakin dalam, perlahan terungkap bahwa Elara menyimpan rahasia besar—tentang keluarganya, tentang sebuah tragedi berdarah yang pernah terjadi di kota itu, dan tentang siapa Kael sebenarnya.

Bab 1: Mata yang Tak Terbaca

Velmora. Kota yang tak pernah benar-benar tidur, tapi juga tak pernah sepenuhnya hidup. Langit sore menyelimuti atap-atap bangunan klasik dengan warna keabu-abuan, seperti lukisan yang ditinggal pelukisnya sebelum selesai.

Elara Viane berdiri di antara rak-rak tinggi Perpustakaan Universitas Altaira, jari-jarinya menyusuri punggung buku-buku tua yang usianya lebih lama dari dirinya sendiri. Rambut cokelat gelapnya digulung asal-asalan, dan tatapannya selalu menghindari mata siapa pun. Ia menyukai ketenangan perpustakaan—bukan hanya karena suara heningnya yang menenangkan, tapi karena tempat ini membuatnya tak harus menjawab pertanyaan dari siapa pun. Tak harus berpura-pura menjadi seseorang yang tidak pecah.

“Elara?”

Suara pelan tapi dalam itu membuat jantungnya refleks melonjak. Ia menoleh pelan. Di depan meja peminjaman, seorang laki-laki berdiri. Tinggi. Rambut hitam. Mata yang menusuk seperti bilah kaca.

“Ya?” jawabnya cepat.

“Aku mencari buku tentang trauma pasca-kejadian ekstrem. Ada di bagian mana?” tanyanya.

Nada bicaranya datar. Terlalu tenang. Bukan seperti orang yang benar-benar ingin membaca. Lebih seperti orang yang sudah tahu jawaban dan hanya ingin menguji responsnya.

“Rak 3C. Psikologi,” jawab Elara tanpa banyak bicara.

Laki-laki itu mengangguk. Tapi alih-alih langsung pergi, dia mendekat. Berdiri hanya beberapa langkah dari meja. Dan matanya menatap tepat ke mata Elara.

Tatapan itu… aneh. Bukan sekadar menatap. Seperti menyelami. Seperti menggali.

Elara langsung menunduk. Tapi ia sempat menangkap sorot keheranan dari laki-laki itu. Bukan karena dia gugup, tapi karena dia tak bisa menemukan sesuatu. Dan itu membuatnya penasaran.

“Namamu Elara, ya?”

“Ya. Ada lagi yang bisa saya bantu?”

“Aku Kael,” katanya, tersenyum kecil. Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Dan… kau berbeda.”

Elara menegang. “Berbeda?”

Kael menatapnya sebentar sebelum berbalik pergi.

“Kau orang pertama yang matanya tidak bisa kubaca.”

Elara mengerutkan kening, tapi tak menjawab. Ia menatap punggung Kael yang semakin menjauh, lalu kembali pada meja kayu tua di depannya.

Dia pikir dia sudah cukup baik dalam menyembunyikan segalanya. Tapi ternyata, itu justru membuatnya terlalu menarik untuk orang-orang yang seharusnya tidak tahu.

Di balik meja, di laci paling bawah, tersembunyi sebuah catatan kecil dengan nama Elara tertulis samar dalam tinta hitam. Ia menariknya perlahan dan membuka halaman pertama.

Suatu saat, masa lalu akan kembali. Dan saat itu tiba, mata siapa pun tidak bisa kau hindari.

Tangannya bergetar. Tatapan Kael, suara tenangnya, dan caranya menyebut bahwa ia tak bisa membaca Elara—semuanya terasa seperti kunci yang perlahan membuka pintu masa lalu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.

Dan pintu itu… mulai berderit terbuka.

Bab 2: Buku Rahasia di Rak 9

Pagi di Velmora datang seperti biasa—dingin, diam, dan sedikit terlalu lambat. Kabut tipis menyelimuti jendela perpustakaan saat Elara membuka pintu utama. Udara membawa aroma lembap buku tua, bercampur samar dengan kopi basi dari termos petugas malam.

Namun pagi ini tidak terasa biasa.

Masih ada jejak tatapan Kael dalam pikirannya. Bukan karena dia tampan—meski kenyataannya iya. Tapi karena ucapannya. “Kau orang pertama yang matanya tidak bisa kubaca.” Itu bukan kalimat yang mudah dilupakan. Itu seperti peringatan.

Sambil menyusun ulang buku-buku yang ditinggalkan pengunjung semalam, langkahnya membawa dia ke lorong Rak 9—area paling jarang tersentuh. Buku-bukunya tua, beberapa bahkan belum terdata di sistem komputer. Elara jarang menyentuh rak ini, tapi hari ini… entah kenapa kakinya membawanya ke sana.

Ia menarik satu buku tebal berjudul "Dinamika Trauma Kolektif dalam Komunitas Tertutup"—judul yang tampak terlalu akademis, tapi cover-nya lusuh dan tidak sesuai usia bukunya.

Saat ia membuka halaman tengah, sebuah amplop cokelat kecil jatuh dari sela-selanya.

Elara menunduk, mengambil amplop itu. Tak ada nama, hanya coretan kecil: "Untuk mereka yang ingat."

Dengan jantung berdebar, ia membukanya.

Isinya adalah foto kabur hitam-putih, menunjukkan aula besar kampus Altaira, tapi tidak seperti sekarang. Lebih tua. Penuh hiasan pesta. Di sudut kanan bawah, ada sosok anak perempuan dengan mata membelalak ke kamera—seolah sedang melihat sesuatu yang mengerikan.

Itu dia.

Elara menutup mulutnya.

Dia tidak ingat kapan foto itu diambil. Tapi dia tahu pasti, itu dirinya. Usianya tak lebih dari sembilan tahun. Dan tidak ada alasan mengapa foto itu harus berada di perpustakaan. Di dalam buku psikologi. Disembunyikan.

Lalu, di belakang foto itu, ada tulisan tangan melingkar:

“Mereka bilang kau selamat, tapi tidak ada yang benar-benar selamat, Elara.”

Tangannya gemetar saat membaca kalimat itu.

Saat itu juga, ia merasakan kehadiran seseorang di lorong belakang. Langkah kaki pelan. Suara gesekan sepatu dengan lantai kayu.

“Menemukan sesuatu?”

Kael.

Suaranya lembut, tapi Elara tetap terlonjak. Ia buru-buru menyembunyikan amplop ke balik bajunya.

“Tidak. Hanya sedang memeriksa koleksi lama,” jawabnya, mencoba terdengar tenang.

Kael tidak menjawab. Ia berdiri beberapa langkah di depannya, memperhatikan ekspresi Elara dengan mata tajam itu. Lagi-lagi, seperti sedang mencari celah.

“Tadi malam aku mimpi,” katanya tiba-tiba. “Ada seorang anak berdiri di aula tua, menangis. Tapi suaranya tidak keluar. Dia hanya menunjuk sesuatu di dinding…”

Elara membeku.

“…dan ketika aku menoleh, aku melihat diriku sendiri tergantung di sana.”

Suara Kael menurun seperti bisikan. Elara menatapnya—dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar menatap mata Kael. Di sana, dia melihat sesuatu. Bukan jawaban, tapi luka. Dalam. Seperti dirinya.

“Kenapa kau cerita mimpi itu padaku?” bisik Elara.

Kael menatapnya serius. “Karena aku yakin… entah bagaimana, kau pernah ada di sana juga.”

Untuk sesaat, dunia seolah berhenti. Hanya napas mereka berdua. Hanya tatapan yang tak bisa dihindari.

Di luar perpustakaan, kabut mulai menebal. Tapi di dalam, kabut yang lebih gelap perlahan merayap, membangunkan luka-luka yang selama ini hanya tertidur.

Bab 3: Dialog Tanpa Suara

Hening adalah bahasa yang paling sering Elara gunakan. Ia terbiasa berbicara lewat anggukan kecil, senyuman tipis, atau sekadar gerakan tangan yang cepat dan efisien. Tapi sejak Kael datang, keheningan itu berubah menjadi semacam medan perang yang tak terlihat.

Hari ini, Kael duduk di pojok perpustakaan, meja dekat jendela, dengan setumpuk buku yang—menurut Elara—tidak benar-benar sedang dibaca. Dari balik rak, Elara tahu: dia hanya menunggunya lewat.

Dan itu benar. Begitu ia mendekat untuk merapikan meja di barisan rak sebelah, suara Kael menyapanya tanpa menoleh.

“Kau suka membaca, kan?”

Pertanyaan sederhana. Tapi Elara tetap ragu menjawab. Ia hanya mengangguk, memaksakan senyum ringan.

“Apa kau percaya… ada kenangan yang bisa dikunci begitu dalam, sampai kau lupa bahwa itu pernah terjadi?” lanjut Kael, kini menoleh pelan.

Mata itu. Lagi-lagi. Elara ingin lari, tapi tubuhnya tetap di tempat.

“Aku tidak tahu,” katanya akhirnya. “Tapi kupikir… jika kita lupa sesuatu yang sangat menyakitkan, mungkin itu pertahanan alami tubuh.”

Kael tersenyum miring. “Atau justru sebaliknya. Kita tidak melupakan. Kita hanya memilih untuk tidak mengingat.”

Suasana di antara mereka membeku. Di luar jendela, bayangan pohon-pohon tua di halaman universitas bergoyang pelan tertiup angin. Daun gugur bergulir di jalan berbatu, seperti waktu yang menyeret masa lalu kembali ke permukaan.

Kael mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya hampir berbisik. “Aku tahu kau menemukan sesuatu kemarin. Di Rak 9.”

Elara menegang. “Kau mengikutiku?”

“Tidak. Aku hanya... memperhatikan. Wajahmu berubah ketika keluar dari lorong itu.”

Ia menunduk, lalu perlahan duduk di kursi seberang Kael.

“Aku tidak ingat pernah difoto seperti itu,” bisiknya. “Tapi itu aku. Dan seseorang meninggalkan foto itu untukku.”

Kael diam, menatap keluar jendela. “Elara, nama belakangmu Viane, bukan?”

Elara mengangguk. “Kenapa?”

Kael menelan ludah. “Aku pernah membaca berita lama. Tentang seorang anak perempuan bernama Elara Viane, yang selamat dari kebakaran asrama kampus lama, sepuluh tahun lalu. Tapi setelah itu… tak ada berita lanjutan.”

Elara memejamkan mata. Jantungnya berdetak terlalu cepat sekarang.

“Semua orang pikir itu hanya mitos. Tapi ada satu baris dalam berita itu yang selalu aku ingat.”

Kael merogoh saku jaketnya, mengeluarkan selembar koran lusuh yang sudah dilaminasi.

Ia membentangkannya di atas meja.

“…satu-satunya saksi hidup, Elara Viane, tak pernah bisa menceritakan apa yang terjadi malam itu. Lidahnya selamat, tapi suaranya hilang untuk selamanya.”

Tangannya gemetar. Itu berita tentang dirinya. Ia masih ingat koran itu, ingat ketakutan ibunya membacanya keras-keras di ruang rumah sakit. Tapi ia pikir, itu semua sudah lama hilang. Sudah dikubur.

“Aku bicara sekarang,” bisik Elara, suaranya patah. “Aku belajar bicara lagi. Tapi waktu itu… aku memang tidak bisa. Aku hanya menjerit dalam hati.”

Kael menatapnya, lebih lembut kali ini.

“Dan sekarang… kamu masih menjerit dalam hati, Elara?”

Ia tak menjawab.

Lalu, dari rak sebelah, terdengar suara jatuh—buku terlepas, membentur lantai.

Mereka berdua menoleh.

Tidak ada siapa pun di lorong itu.

Tapi di lantai… ada satu buku terbuka. Elara berdiri perlahan, berjalan ke arah sumber suara. Judulnya: “Psikologi Kolektif dalam Kasus Kekerasan Institusional.”

Dan di halaman pertamanya, dengan tinta merah samar—bukan cetakan:

“Kau ingat suara itu, kan, Elara? Suara yang tidak bisa kau keluarkan. Aku masih mendengarnya.”

Bab 4: Luka di Balik Senyuman

Tangan Elara terhenti di atas halaman buku itu. Tulisan merah di sana terlihat seperti darah yang sudah mengering, menorehkan kata-kata yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang menyimpan kenangan luka.

"Kau ingat suara itu, kan, Elara? Suara yang tidak bisa kau keluarkan. Aku masih mendengarnya."

Ia ingin membuang buku itu, ingin menghapus semuanya, tapi jari-jarinya terlalu kaku. Seolah tubuhnya tahu: ini bagian dari dirinya. Bagian yang selama ini dikurung jauh di bawah permukaan.

Kael berdiri di belakangnya, diam. Ia tak menyentuh Elara, tapi kehadirannya cukup untuk menghalangi dunia luar masuk. Seperti pelindung yang tidak tahu apakah dirinya pelindung atau penyebab luka itu sendiri.

“Kalau seseorang tahu tentang suara itu,” gumam Elara, “berarti mereka tahu malam itu…”

Kael mengangguk. “Dan mereka belum selesai denganmu.”


Hari itu, Elara pulang lebih cepat. Ia berjalan kaki menyusuri jalan berbatu yang basah sisa gerimis. Langit kota Velmora tampak muram, dan daun-daun kering tampak seperti bisikan rahasia yang berlarian di trotoar.

Setibanya di apartemennya yang sempit di lantai tiga, Elara membuka pintu perlahan. Hening. Tapi ia langsung tahu ada sesuatu yang berubah. Jendela kamar yang tadi pagi ia tutup rapat, kini sedikit terbuka. Dan di atas meja belajar, ada sebuah bunga lily putih segar dalam vas bening.

Ia tidak pernah membeli bunga.

Bibirnya kaku. Pelan-pelan ia mendekat dan menemukan secarik kertas kecil terlipat di bawah vas.

“Kau belum melihat semuanya. Mulailah dari aula lama. Di bawah lantai keempat.”

Matanya melebar. Aula lama.

Tempat itu sudah ditutup sejak renovasi besar sepuluh tahun lalu—tepat setelah kebakaran. Tidak pernah dibuka lagi. Bahkan mahasiswa baru tidak tahu itu pernah ada.

Tangannya mengepal.

Malam itu juga, Elara kembali ke kampus. Ia tidak tahu apa yang membawanya ke sana—keberanian, rasa takut, atau keduanya yang membentuk jalan menuju masa lalu yang tak pernah terkubur benar-benar.


Pintu aula lama itu berat dan berkarat. Tapi saat Elara mendorongnya, pintu itu terbuka perlahan, seolah memang menantinya kembali.

Langkahnya bergema di lantai marmer yang retak. Debu di udara membuat napasnya sesak, tapi ia terus berjalan ke tengah aula.

Tempat ini… ia mengenalnya. Tapi bukan dari ingatan logis—dari mimpi buruk. Ia ingat pilar tinggi yang dipenuhi tirai hitam, ingat meja-meja panjang dengan taplak merah marun, dan ingat suara denting kaca… dan jeritan.

Lalu, suara langkah di belakangnya.

“Elara?”

Ia berbalik cepat. Kael berdiri di sana, wajahnya serius, matanya gelap.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Elara, napasnya tercekat.

“Aku mengikuti jejakmu,” jawab Kael tenang. “Kau tidak seharusnya sendiri.”

Elara menggeleng. “Tempat ini… aku ingat. Tapi hanya sedikit. Seperti potongan film yang disensor.”

Kael mendekat, menatap lantai. Ia berjongkok dan menyentuh ubin besar di tengah aula.

“Papan ini longgar,” gumamnya. “Ada sesuatu di bawah.”

Dengan bantuan obeng kecil dari sakunya, ia mencungkil ubin itu. Suara retakan memenuhi ruangan, lalu papan itu terlepas, menampakkan sebuah lubang kecil berisi kotak kayu tua.

Jantung Elara berdetak lebih cepat.

Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu.

Isinya: seuntai pita rambut hitam, penuh debu… dan sebuah lencana nama milik seorang pengawas asrama.

Nama yang terukir di sana: “L. Viane”

Ibu Elara.

Bab 5: Pesta Topeng dan Ingatan yang Terkunci

Angin musim gugur menyusup di celah-celah jendela apartemen Elara malam itu, membuat tirai bergoyang pelan seperti napas panjang yang menahan tangis. Di tangannya, lencana nama tua milik ibunya terasa berat seperti batu.

“L. Viane.”

Ibunya… bukan hanya korban kebakaran. Dia bagian dari sistem yang mengawasi asrama malam itu. Dan fakta itu menghantam Elara lebih keras daripada siapa pun.

Kael duduk di sudut ruangan, diam. Ia tidak bertanya, tidak menuntut penjelasan. Ia hanya menatap Elara dengan cara yang bahkan tidak dilakukan ibunya sendiri—dengan penuh kewaspadaan, tapi juga perlindungan.

“Kenapa semua orang menyembunyikan ini dariku?” suara Elara pelan, retak.

Kael tidak langsung menjawab.

“Kadang yang disembunyikan bukan demi kebaikanmu,” katanya akhirnya. “Tapi demi kenyamanan mereka sendiri.”


Dua hari kemudian, sebuah undangan dikirim ke email universitas Elara. Awalnya, ia mengira itu spam. Sampai ia membaca namanya tertera di bagian penerima.

“Dengan hormat, kami mengundang Elara Viane ke acara Alumni Malam Keheningan, 25 Oktober, Aula Tua Universitas Altaira. Pukul 20.00. Wajib mengenakan topeng hitam.”

Tidak ada logo resmi. Tidak ada penandatangan.

Kael mencetak undangan itu dan membacanya berulang kali. “Ini jebakan,” katanya.

Elara hanya mengangguk. “Tapi aku harus datang. Mereka menunggu aku di sana. Menunggu aku mengingat.”


Malam pesta tiba.

Elara berdiri di depan cermin. Gaun hitam panjang menyelimuti tubuhnya, dan topeng beludru menutupi setengah wajahnya. Wajah dalam bayangan cermin itu tampak asing. Bukan Elara si pustakawan pendiam. Tapi Elara yang lain. Yang terluka. Dan mungkin, yang akan melukai balik.

Kael mengenakan jas hitam dan topeng yang sama. Mata mereka bertemu sejenak sebelum memasuki aula tua. Untuk pertama kalinya, Elara merasa bukan sedang memasuki tempat, melainkan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati.

Aula itu sudah dihias ulang. Lampu gantung tua menyala lemah. Lilin-lilin menyebar di meja bundar yang dipenuhi orang-orang bertopeng hitam. Musik klasik mengalun lembut dari sudut ruangan, tapi tidak ada yang bicara. Tidak ada yang tertawa. Seolah semua tahu… pesta ini bukan tentang perayaan.

Seseorang menyerahkan segelas anggur kepada Elara. Dia menerimanya, tapi tidak menyesap. Nalurinya menolak.

Di tengah aula, sebuah panggung kecil berdiri. Lalu suara seorang pria terdengar dari pengeras suara yang terdistorsi.

“Selamat datang kembali… para saksi bisu. Malam ini, kita mengenang. Kita membuka luka. Dan untuk mereka yang lupa… kami akan mengingatkan.”

Layar besar turun perlahan di belakang panggung. Menampilkan potongan-potongan video tua—rekaman pengawasan asrama dari sepuluh tahun lalu.

Api. Jeritan. Kamera bergoyang. Asrama terbakar.

Lalu… adegan berhenti pada satu cuplikan.

Seorang anak kecil berdiri diam di lorong penuh asap, mengenakan gaun putih. Matanya kosong. Tangannya menggenggam sesuatu.

Pita hitam.

Kael menoleh pada Elara. Ia pucat. Gelas anggur di tangannya jatuh dan pecah.

Itu dia. Itu dirinya. Tapi dia tidak ingat berada di sana. Tidak dalam ingatannya yang sadar.

Lalu seseorang dari kerumunan berkata pelan—tapi cukup keras untuk terdengar:

“Dia yang mengunci pintunya dari dalam. Dia yang membiarkan mereka terbakar.”

Kerumunan mulai bergerak. Beberapa orang mendekat. Elara mundur, napasnya tercekat.

“TIDAK! Aku tidak tahu! Aku tidak INGAT!”

Tapi suara itu hanya ada di dalam kepalanya.

Ia tidak bisa bicara. Tidak bisa menjerit.

Seperti malam itu.

Lalu dunia menjadi kabur. Lampu redup. Suara hilang. Dan Elara jatuh.

Kael menangkapnya sebelum tubuhnya menyentuh lantai.

Dan saat mata Elara menutup, ingatan yang selama ini tersegel mulai retak. Potongan demi potongan muncul—dan satu di antaranya, membuat jiwanya retak:

Ibunya berdiri di depan pintu asrama. Wajah panik. Tapi tangannya… menguncinya dari luar.

Bab 6: Pecahan Kaca

Dunia perlahan kembali menyatu saat Elara membuka matanya. Langit-langit putih rumah sakit universitas menyambut pandangan pertamanya—terlalu terang, terlalu hampa.

Tubuhnya terasa ringan tapi sakit di tempat yang tidak bisa dijelaskan. Seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata.

Kael duduk di sisi tempat tidur, wajahnya lelah. Matanya menatap Elara dengan kekhawatiran yang tidak lagi disembunyikan.

“Kau pingsan selama tiga jam,” katanya pelan. “Dokter bilang itu kombinasi syok, tekanan emosional, dan… kemungkinan efek psikosomatis.”

Elara memejamkan mata lagi. Tapi yang muncul justru bukan kegelapan. Melainkan wajah ibunya. Berdiri di depan pintu asrama malam itu. Wajahnya penuh ketakutan—bukan karena api, tapi karena sesuatu yang ia sembunyikan.

Dan tangan itu. Tangan yang menggenggam kunci. Yang memutar kenop dari luar.

“Aku… dikunci,” gumam Elara.

Kael menunduk. “Kau yakin?”

“Bukan aku yang mengunci pintu itu,” katanya lirih, hampir seperti doa. “Itu… Ibu. Tapi kenapa?”

Kael menarik napas panjang. “Ada seseorang yang harus kau temui.”


Malam itu, Kael membawa Elara ke sebuah tempat yang tak pernah ia sangka masih ada: rumah tua bekas kediaman pengawas asrama—yang sekarang digunakan sebagai arsip tidak resmi universitas. Tak ada CCTV. Tak ada petugas. Hanya penjaga tua yang diam dan menatap mereka seperti hantu masa lalu.

Di lantai atas, di sebuah kamar yang berdebu dan dipenuhi dokumen tua, seorang perempuan duduk di kursi roda. Wajahnya tirus, rambutnya putih kusut, tapi matanya masih tajam. Dialah Madam Sorell, mantan kepala asrama, yang menghilang setelah kebakaran malam itu.

“Anak pengawas itu…” gumamnya lirih saat melihat Elara. “Kau masih hidup.”

Elara mendekat perlahan. Tangannya mengepal di sisi tubuh.

“Anda tahu apa yang terjadi malam itu, bukan?” tanyanya.

Madam Sorell tertawa pelan, getir. “Yang terjadi malam itu bukan kebakaran biasa. Itu pembersihan.”

Kael menegang. “Pembersihan?”

“Beberapa mahasiswa perempuan… mereka tahu rahasia. Tentang eksperimen yang dijalankan oleh lembaga universitas dengan kedok terapi psikologi. Anak-anak itu dipantau. Termasuk kau, Elara.”

Elara menggeleng lemah. “Tidak mungkin…”

“Kau anak dari salah satu pengawas yang tahu segalanya. Ibumu tidak ingin kau ikut dalam eksperimen itu. Ia mencoba menyelamatkanmu dengan menyembunyikan data aslimu. Tapi dia terlambat.”

Sorell mengambil sebuah berkas dari laci di samping kursinya. Di dalamnya, ada dokumen rahasia—laporan eksperimen observasi perilaku terhadap anak-anak asrama. Di bagian atasnya, nama Elara tercetak jelas.

“Subjek: E-V. Status: Reaktif tinggi. Potensi trauma memori.”

Elara menahan napas.

“Lalu kenapa… dia mengunciku dari luar?” tanyanya, suara bergetar.

Sorell menatapnya lama. “Karena api itu tidak seharusnya membakar seluruh asrama. Itu hanya distraksi. Tapi ketika sesuatu keluar dari kendali… dia panik. Dan ia mengira, jika kau tetap di dalam ruangan, kau akan terlindung.”

Air mata Elara jatuh. Bukan karena duka. Tapi karena kebenaran terasa lebih menyakitkan daripada kebohongan.

“Ibuku tidak jahat,” bisiknya. “Dia hanya… takut.”

Kael menaruh tangan di bahu Elara, pelan. “Tapi ketakutan bisa membuat orang menyakiti yang paling mereka cintai.”

Elara berdiri. “Aku ingin tahu semuanya. Tidak hanya potongan. Aku ingin tahu siapa yang membuat eksperimen itu, siapa yang membakar gedung, dan… siapa yang masih mengawasi kami sekarang.”

Madam Sorell tersenyum miring. “Kalau begitu, kau harus temui orang yang menyandang inisial D.L. Dia yang memimpin proyek itu. Dan dia… tidak pernah benar-benar pergi dari Velmora.”


Malam itu, Elara kembali ke apartemennya. Ia duduk di depan kaca, memandangi bayangannya sendiri.

Lalu, ia melihat retakan kecil di permukaan kaca. Seperti pecahan masa lalu yang selama ini hanya menunggu waktu untuk menyeruak ke dunia nyata.

Dan di kaca itu, dalam embun yang menempel, ada tulisan samar:

“Jangan percaya siapa pun. Termasuk Kael.”

Bab 7: Terowongan Rahasia di Bawah Perpustakaan

Malam turun dengan sunyi yang menusuk. Velmora seperti menahan napas—udara terlalu dingin, dan langit begitu gelap seolah bintang pun tak berani mengintip.

Elara berdiri di depan gedung perpustakaan kampus, yang kini lebih menyeramkan daripada menyenangkan. Kael berada di sampingnya, menatap bangunan tua itu seperti seseorang yang mengawasi mimpi buruknya sendiri.

“Kalau kau ragu,” kata Elara pelan, “kau boleh pergi.”

Kael menoleh cepat. “Aku tidak ragu padamu, Elara. Aku hanya mulai ragu… pada diriku sendiri.”

Perkataannya membuat Elara menatapnya lebih lama dari biasanya. Tapi ia tak bertanya. Belum. Belum sekarang.


Dengan kunci duplikat dan satu peta lusuh peninggalan Madam Sorell, mereka masuk ke dalam perpustakaan. Suasana heningnya malam itu berbeda—bukan karena sepi, tapi karena seolah seluruh bangunan menahan rahasia yang ingin menjerit keluar.

Langkah mereka menuju lantai bawah, ke ruangan arsip tak terpakai.

Di balik rak-rak besi dan tumpukan buku tua, tersembunyi sebuah panel tembok yang sedikit retak. Peta menunjukkan: itu bukan tembok asli.

Kael menyentuh sisi retaknya. “Di belakang sini,” gumamnya. Ia menarik tuas besi kecil yang hampir tak terlihat di lantai. Suara klik terdengar, lalu dinding bergeser perlahan, menampakkan lubang sempit menurun ke kegelapan.

“Terowongan,” bisik Elara.

Dengan senter dan napas tertahan, mereka masuk.

Udara di dalam lembap dan dingin. Langkah kaki mereka menggema di lantai batu. Bau besi tua dan jamur menusuk hidung. Terowongan itu terus menurun, seperti menuntun mereka ke perut kampus. Ke dasar di mana semuanya dikubur.

Di ujung lorong, mereka menemukan pintu besi berat. Kael mendorongnya dengan kedua tangan, dan pintu itu terbuka dengan jeritan logam tua.

Ruangan di baliknya adalah laboratorium bawah tanah. Lengkap dengan meja eksperimen, papan tulis penuh coretan kode, dan lemari kaca berisi file dan foto-foto lama.

Elara berjalan pelan, menyentuh meja penuh debu. Ada berkas bertuliskan:

“Subjek: E.V.”
“Pengaruh visual terhadap trauma laten. Respons: tinggi.”
“Catatan terakhir: kehilangan memori selektif, trauma disosiasi.”

“Ini semua tentang aku…” bisiknya.

Kael berdiri di depan lemari kaca, membuka sebuah file lain. Wajahnya menegang saat membaca satu halaman tertentu.

“Elara…”

Ia menyerahkan dokumen itu padanya.

Nama Peneliti: Dr. Dorian Lemaire.
Posisi: Kepala Eksperimen ARK VELMORA.
Asisten utama: Kael Renard.

Tangan Elara gemetar saat membaca nama terakhir.

Dia menatap Kael. “Ini... maksudnya apa?”

Kael tak bisa menghindari tatapannya.

“Aku memang mahasiswa. Tapi sebelum itu… aku adalah subjek pendamping. Dibesarkan di bawah program eksperimen. Tugas asisten… bukan gelar formal. Tapi aku tahu sebagian dari apa yang terjadi. Aku hanya tidak tahu… kau adalah salah satu dari mereka.”

Elara mundur satu langkah. Dadanya sesak.

“Jadi kau—dari awal—mengetahui siapa aku?”

Kael menggeleng cepat. “Tidak! Aku tahu wajahmu familiar, tapi aku pikir itu cuma ilusi. Aku benar-benar baru sadar setelah kita lihat rekaman malam pesta.”

“Kau menyentuh setiap detail hidupku. Kau ikut dalam semua pencarian ini… kau tahu bagian dari masa laluku yang bahkan aku tak tahu.”

“Dan aku mencoba melindungimu, Elara,” suara Kael kini hampir pecah. “Karena jika orang-orang yang menginisiasi eksperimen ini tahu kau masih hidup—dan mulai mengingat—mereka tidak akan tinggal diam.”

Elara menunduk, napasnya terputus-putus.

“Kenapa aku?” tanyanya pelan. “Kenapa hidupku?”

Kael mendekat. “Karena kau… bukan hanya subjek. Kau kunci. Proyek ini dihentikan bukan karena gagal. Tapi karena kau—dalam keadaan setengah sadar—menutup akses ke seluruh sistemnya. Kau menyembunyikan sesuatu yang bahkan kami belum tahu.”

Elara menggigit bibirnya. “Apa maksudmu?”

Kael membuka lemari paling bawah, mengeluarkan satu kotak logam kecil. Ia membukanya dan menunjukkan sesuatu:

Sebuah rekaman video pendek—yang hanya bisa dibuka dengan identitas retina Elara.

“Ini file terakhir yang belum dibuka,” kata Kael. “Dan hanya kau yang bisa membukanya.”


Elara menatap lensa pemindai kecil. Detik-detik terasa begitu panjang. Lalu bunyi klik terdengar, dan layar menyala.

Video itu menampilkan ruang pengawasan. Elara kecil berdiri di depan kamera, menangis. Di belakangnya, ibunya—L. Viane—berbisik sesuatu padanya.

Tapi suara hilang.

Namun sebelum video berakhir, satu kalimat tertulis di layar:

“Elara tahu siapa yang memulai eksperimen. Dan ia sudah menyembunyikan nama itu.”


Lampu ruangan berkedip.

Kemudian mati.

Di lorong belakang, suara langkah kaki terdengar mendekat.

Kael menarik Elara ke belakang meja. Matanya menajam.

“Seseorang tahu kita di sini…”

Bab 8: Mata yang Sama

Kegelapan menyelimuti ruangan bawah tanah itu seperti kabut yang menelan segalanya. Elara menahan napas, merasakan tubuh Kael di sampingnya, tegang dan siap menghadapi apa pun yang muncul dari lorong di belakang mereka.

Langkah kaki itu berhenti.

Diam.

Hanya suara detak jantung Elara yang ia dengar sekarang—keras, seperti genderang perang.

Lalu, dari balik kegelapan, muncul cahaya senter. Sinar itu menyapu ruangan, dan sesosok pria muncul. Tubuhnya tinggi, mengenakan mantel panjang, wajahnya setengah tertutup oleh tudung. Tapi begitu dia mendekat, Elara merasakan sesuatu yang aneh.

Sosok itu… memancarkan perasaan yang familiar.

“Tenang. Aku tidak datang untuk melukai kalian,” katanya dengan suara serak.

Kael berdiri lebih dulu, tubuhnya setengah melindungi Elara. “Siapa kau?”

Pria itu menurunkan tudungnya. Rambutnya perak pudar. Matanya—tajam dan biru keabu-abuan—bertemu dengan mata Elara. Dan saat itu juga, napasnya tercekat.

Mata itu…

Cerminan miliknya sendiri.

“Aku… Damien,” kata pria itu. “Subjek pertama eksperimen ARK Velmora. Dan, Elara… aku adalah kakak kandungmu.”


Dunia Elara seperti runtuh dan dibangun ulang dalam sekejap.

Dia menatap pria bernama Damien itu tanpa bisa berkata apa-apa.

“Kau bohong,” kata Kael cepat. “Tak pernah disebutkan ada keluarga kandung Elara di proyek ini.”

Damien menghela napas. “Tentu saja tidak. Karena itu bagian dari perlindungan. Kami dipisahkan sejak kecil, dimasukkan dalam fase eksperimen yang berbeda. Tapi aku selalu ingat namanya. Elara. Ibuku—ibu kami—berusaha melindunginya dengan menghapus semua catatan.”

Elara menggeleng, suaranya gemetar. “Ibuku tidak pernah bilang apa-apa… Tidak pernah bilang aku punya kakak.”

“Karena dia pikir aku sudah mati,” jawab Damien. “Setelah eksperimen awal gagal, semua subjek fase pertama dianggap tidak stabil. Aku melarikan diri. Bertahun-tahun aku bersembunyi, memantau dari jauh, menunggu waktu yang tepat.”

“Elara adalah kunci,” lanjutnya, menatap Kael sekarang. “Kau pasti tahu itu. Ia bukan hanya satu dari subjek, dia adalah variabel yang dimodifikasi—satu-satunya yang bisa menyerap memori trauma dan… menekannya sepenuhnya.”

“Dan kau yakin kau bisa muncul begitu saja dan—” Kael menahan diri, lalu menatap Elara. “Kau percaya dia?”

Elara tidak langsung menjawab. Tapi sesuatu dalam dirinya merasa… ya. Ada yang aneh dalam pandangan Damien—bukan manipulasi, tapi kepedihan yang tak bisa dipalsukan.

“Ada banyak hal yang belum kau tahu, Elara,” kata Damien pelan. “Termasuk tentang… siapa sebenarnya Kael.”

Kael menegang. “Damien…”

Tapi Damien menatap Elara. “Kau pernah bertanya kenapa dia bisa membaca luka dari mata orang? Kenapa dia tahu terlalu banyak, bergerak terlalu tepat, dan kenapa hanya matamu yang tak bisa dia baca?”

Elara menatap Kael, penuh pertanyaan.

Damien mendekat, suaranya seperti pisau: tenang tapi mengiris.
“Karena Kael bukan hanya bagian dari eksperimen. Dia dilatih untuk mengawasi subjek kunci. Dia tahu kau kunci. Dan dia ditugaskan… untuk membuatmu percaya.”

“Aku TIDAK seperti mereka!” bentak Kael. “Aku meninggalkan semua itu. Aku melindunginya karena aku peduli. Karena aku… mencintainya.”

Diam.

Ruangan itu membeku.

Elara memejamkan mata. Semua yang ia pegang mulai runtuh. Kenyataan bergeser terlalu cepat.

“Jika aku memang ‘kunci’, maka semua orang hanya ingin membuka sesuatu dariku,” bisiknya. “Tapi tak ada yang bertanya apa aku sanggup.”

Damien menatapnya penuh empati. “Itu sebabnya aku datang. Untuk memastikan kau bukan hanya kunci… tapi orang yang bisa memilih. Aku tahu tempat terakhir—pusat arsip—di bawah menara lonceng kampus. Di sana, semua rekaman eksperimen awal disimpan. Termasuk… pengakuan dari Dr. Lemaire.”

Kael terdiam, rahangnya mengeras.

“Kau bisa memilih, Elara,” lanjut Damien. “Ikut aku, dan buka semuanya. Atau tetap bersama dia—dan percayai bahwa kau hanya bagian dari eksperimen, bukan yang mengubahnya.”

Elara berdiri di antara dua pria yang mencerminkan sisi berbeda dari dirinya: luka lama dan cinta yang baru—dan mungkin, keduanya sama-sama menyakitkan.

Matanya menatap lantai, lalu bergeser ke pintu keluar terowongan.

“Aku akan ikut,” katanya akhirnya. “Tapi bukan dengan salah satu dari kalian.”

Keduanya menatapnya.

“Aku akan ke tempat itu. Tapi aku sendiri yang akan memutuskan siapa musuh, siapa kebenaran… dan siapa diriku sebenarnya.”

Dan untuk pertama kalinya sejak tragedi malam itu, Elara merasa suaranya… miliknya sepenuhnya.

Bab 9: Pengakuan di Tengah Hujan

Hujan turun deras malam itu, menelusup masuk ke celah-celah batu tua menara lonceng Universitas Altaira. Kilat menyambar langit Velmora, memantulkan bayangan raksasa menara itu di danau kecil tak jauh dari kompleks kampus. Elara berdiri di bawahnya, jas hujan tipis tak cukup menghalangi dingin yang menembus kulit.

Langkahnya mantap, tapi napasnya pendek.

Ia datang sendiri, seperti yang dijanjikannya.

Kael dan Damien mengikuti dari kejauhan, membiarkan Elara berjalan menuju kebenaran dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin lagi menjadi boneka. Tidak ingin lagi diarahkan ke mana harus melihat dan siapa yang harus dipercaya.

Menara itu sudah lama ditutup. Tapi dengan kunci arsip lama dari Madam Sorell dan petunjuk Damien, Elara menemukan pintu samping kecil yang berkarat. Ia membukanya dengan paksa, dan disambut oleh tangga batu spiral menurun ke ruang bawah tanah.

Lampu-lampu tua berkedip. Lantai licin.

Dan di dasar tangga, ruangan itu menanti—ruang arsip utama, dengan lemari besi tinggi, rak penuh kaset, dan komputer-komputer usang yang masih menyala pelan dalam mode pemulihan.

Di tengah ruangan, sebuah kursi kosong berdiri di depan layar lebar.

Elara berjalan mendekat.

Di layar, sudah ada satu file video yang ditandai:

“REKAMAN FINAL – D.L. // Diakses oleh: E.V.”

Tangan Elara gemetar saat menekan tombol play.

Gambaran di layar muncul. Sosok seorang pria tua duduk di depan kamera—rambut putih tersisir rapi, mata tajam tapi lelah. Dialah Dr. Dorian Lemaire.

“Jika video ini ditemukan oleh Elara Viane, maka semua kemungkinan telah terjadi.”

“Kau subjek paling istimewa yang pernah kami temukan, Elara. Bukan karena kekuatanmu… tapi karena ketahananmu. Kau tidak melupakan karena trauma. Kau menyerap trauma orang lain—dan menguncinya di dalam dirimu sendiri. Satu-satunya yang bertahan dari gelombang trauma kolektif eksperimen ARK.”

“Kami pikir itu anomali. Tapi ternyata itu desain. Ibumu menciptakan perlindungan itu dalam dirimu sejak bayi—dengan teknologi pembaca resonansi emosi yang seharusnya belum diuji.”

Elara menatap layar dengan mata membulat.

“Kami semua terlalu serakah. Kami ingin menjadikanmu wadah—penyimpan trauma seluruh generasi percobaan. Tapi kami tidak paham satu hal…”

“…bahwa setiap luka yang kau simpan, suatu hari akan mencari jalan untuk keluar.”

“Kau adalah perpustakaan luka. Dan jika kau rusak—semua yang ada di dalam dirimu akan dilepaskan. Termasuk… milik kami.”

Gambaran video goyah. Suara Lemaire mulai retak.

“Jika kau ingin menyelesaikan ini, Elara… kau harus menghancurkan pusat rekaman ini. Bakar semuanya. Jangan biarkan mereka menggunakannya lagi. Karena jika ‘mereka’ datang kembali… mereka tak akan hanya mengincar ingatanmu.”

Layar mati.

Hening.

Elara menunduk. Pikirannya penuh. Hatinya kacau.

Ia kini tahu—ia bukan korban.

Ia adalah gudang. Tempat disimpannya semua rasa sakit, semua kebohongan, semua jejak eksperimen kelam. Dan jika ia jatuh, jika ia lepas kendali… semuanya bisa kembali. Lebih buruk dari sebelumnya.

Tiba-tiba, pintu besi belakang ruangan terbuka.

Damien masuk lebih dulu, napasnya berat. Di belakangnya… Kael.

“Elara!” seru Damien. “Ada seseorang datang ke kampus. Mereka tahu kau di sini!”

Kael mengeluarkan ponsel. “Listrik dimatikan dari pusat. Kita tidak punya waktu. Tempat ini akan dikunci dari jarak jauh—dan mereka akan menghapus semua rekaman!”

Elara menoleh ke pusat server. Tangannya mengepal.

“Aku akan mengakhiri ini,” katanya.

Damien melangkah maju. “Tunggu. Apa maksudmu?”

“Tugas terakhir bukan pada ingatanku. Tapi pada keputusan yang harus aku buat.” Ia menarik korek api kecil dari sakunya. Milik ibunya. Yang selalu disimpan di laci rumah, tak pernah ditanyakan.

Kael mendekat, matanya berkabut. “Kalau kau hancurkan semua… kau mungkin tidak akan pernah ingat semuanya. Tidak akan pernah tahu mana cinta, mana pengkhianatan. Mana dirimu… yang sesungguhnya.”

Elara menatap mereka berdua.

Kemudian tersenyum tipis. Luka. Tapi tegar.

“Mungkin… itu harga yang pantas untuk kebebasan.”

Ia menyalakan api. Melemparkannya ke tumpukan rekaman kertas di bawah terminal utama. Api menyala cepat. Panas mulai memenuhi ruangan.

Sirine berdengung.

Tapi Elara tidak bergerak.

Kael menarik tangannya. “Ayo! Kita masih bisa keluar dari sini!”

Elara memandang layar yang perlahan pecah oleh api.

Di tengah kobaran, dia melihat bayangannya sendiri—bukan sebagai korban, bukan sebagai subjek, bukan sebagai eksperimen.

Tapi sebagai seseorang yang memilih.

Seseorang yang akhirnya… merdeka.

Bab 10: Terbitnya Fajar Baru

Asap hitam mengepul di ruang bawah tanah, membumbung ke atas dan menutupi bayangan dinding yang selama ini menyimpan rahasia gelap. Elara berdiri di tengah kobaran api, tubuhnya bergetar bukan karena panas, tapi karena beban yang perlahan terlepas.

Kael dan Damien menariknya keluar dengan susah payah. Mereka berlari melewati lorong sempit, meninggalkan api yang melahap rekaman, dokumen, dan kebohongan selama bertahun-tahun.

Saat mereka keluar ke udara malam, hujan mulai turun, membasahi tubuh mereka, membasuh debu dan abu.

Elara menatap langit yang mulai cerah di ufuk timur. Wajahnya basah oleh air hujan dan air mata.

“Kau melakukan hal yang benar,” kata Kael pelan.

Elara mengangguk. “Aku memilih kebebasan, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua yang pernah terluka karena rahasia itu.”

Damien tersenyum. “Ini bukan akhir. Tapi awal baru.”


Epilog: Suara yang Kembali

Beberapa bulan kemudian, Elara berdiri di hadapan kelas psikologi universitas. Suaranya kini jelas, kuat, dan penuh keyakinan.

“Trauma bukan hanya luka yang kita simpan. Tapi juga pelajaran yang membentuk siapa kita hari ini. Menghadapi dan memilih untuk sembuh adalah keberanian terbesar.”

Tatapan para mahasiswa tertuju padanya. Mereka tidak hanya melihat seorang profesor muda, tapi juga saksi hidup dari sebuah perjalanan yang luar biasa.

Di bangku belakang, Kael dan Damien saling bertukar senyum.

Elara tersenyum hangat. Suara yang dulu hilang kini kembali—lebih kuat dari sebelumnya.

Dan fajar baru telah benar-benar terbit.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Tua di Loteng

Lorong Kamar 307

Cinta yang Tak Tersentuh